[Resensi] Where The Mountain Meets The Moon - Grace Lin

Menakjubkan, satu kata untuk memuji cerita yang dibuat oleh penulis bernama Grace Lin. Sangat sederhana, berbudaya china, dan penuh pelajaran hidup. Saya sendiri selesai membaca buku ini, terusik dan merasa gerah. Kemurnian sebagai manusia yang bertuhan, terlalu lama digerus obsesi dunia. Padahal seharusnya manusiawi dan bernurani murni.

Judul: Where The Mountain Meets The Moon
Penulis: Grace Lin
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Penyelaras: Ida Wajdi
Pewajah isi: Aniza
Penerbit: Penerbit Atria
Terbit: November 2010
Tebal buku: vii + 266
ISBN: 9789790244603
Harga: Rp 10.000

Perjalanan seorang bocah perempuan bernama Minli untuk bertemu Kakek Rembulan dengan misi menanyakan peruntungan keluarganya dan nasib gersang Gunung Nirbuah. Tak disangka, keluguan dan kepolosan Minli membawa lebih dari sekedar peruntungan. Bukan untuk dirinya saja, untuk banyak makhluk yang ia temui sepanjang perjalanan.

Membaca buku ini, saya seperti sedang didongengkan cerita yang begitu indah. Cerita petualangan dengan latar alam yang mengundang imajinasi; hutan, kerajaan, sungai, langit dan hamparan tanah lapang, dan dipenuhi pesan kebaikan. Saya selalu menyukai cerita atau film yang ada perjalanan jauhnya, seakan saya ikut serta melakukan perjalanan atau ini bentuk kerinduan saya karena jarang bepergian.

Bersyukur adalah pesan besar yang saya pahami. Kondisi seburuk apa pun, kita pasti pernah mengandai-andai dihujani banyak kebaikan. Itu yang membuat kita resah dan tidak pernah bahagia menjalani hidup. Konsep bersyukur ini diutarakan penulis dengan tokoh Minli, Ba (Ayahnya) dan Ma (Ibunya) dengan sangat hangat dan menyentuh hati sekali.

“...Akulah yang seharusnya disalahkan. Minli tahu bahwa aku tidak puas dengan peruntungan kita; seandainya aku tidak begitu, dia tidak akan pergi meninggalkan kita. Maafkan aku.” [hal. 237]
Kekayaan bukanlah rumah yang dipenuhi emas dan batu giok, namun sesuatu yang jauh lebih bermakna daripada itu. Sesuatu yang dimilikinya dan tidak perlu diubahnya. [hal. 242]
Format yang diusung penulis dalam bukunya ini bisa disebut ‘kisah dalam kisah’. Buku ini menceritakan perjalanan Minli, dan buku juga menceritakan kisah yang diceritakan kepada Minli, Ma dan Ba oleh beberapa tokoh lainnya yang muncul.

Kisah yang menjadi subplot cerita ternyata berhubungan dengan masa ketika Minli melakukan perjalanan. Sebagai contoh, Naga yang ditolong Minli, adalah naga dari tempat tinggal Minli, yang sudah berpisah ratusan tahun.

Berikut judul kisah subplot tersebut:
  1.  Kisah Gunung Nirbuah
  2. Kisah Kakek Rembulan
  3. Kisah Naga
  4. Kisah Penjaja Ikan Mas
  5. Kisah Kertas Kebahagiaan
  6. Kisah Gerbang Naga
  7. Kisah Teman Si Penggembala Kerbau
  8. Bagian Yang Tak Diketahui Dari Kisah Kakek Rembulan
  9. Benang Takdir
  10. Kisah Yang Disampaikan Si Bocah Perempuan Pada Harimau Hijau
  11. Kisah Desa Hujan Rembulan
  12. Kisah Harimau Hijau dan Teh
  13. Kisah Para Leluhur Da-A-Fu
  14. Kisah Mutiara Naga
  15. Kisah Wu Kang
  16. Kisah Yang Dituturkan Oleh Ma

Nilai lebih dari buku ini, ada ilustrasi yang berwarna yang membuat betah membaca dan ilustrasi tadi memberikan gambaran mengenai cerita.


Saya kira buku ini harus dibacakan kepada anak-anak sekarang. Memupuk jiwa murni yang polos dan santun pada generasi yang kemungkinan akan banyak dipengaruhi gaya hidup yang kacau. Bukan rahasia umum jika masa kini termasuk masa yang sedikit meprihatinkan untuk perkembangan anak-anak, terutama akibat kehadiran gadget.

Saya sebagai orang dewasa saja, merasa terhibur dan tercerahkan oleh kisah Minli ini. Saya tertohok untuk mengembalikan kesantunan yang disampaikan penulis.

Akhirnya saya memberikan rating sebesar 5 bintang dari 5 bintang.

6 komentar:

  1. Wah sepertinya menarik ya Mbak.
    Mbaknya sampai beri bintang 5.
    Saya belum pernah baca kisah karangan penulis China gini.
    Yang pernah setting China kerajaan tapi penulis Indonesia.
    https://ridhodanbukunya.wordpress.com/2016/04/12/lotus-feet-girl-karya-wiwid-prasetyo/

    BalasHapus
    Balasan
    1. waduh manggilnya aja salah. saya mas-mas. hahaha

      Cobain atuh baca yang terjemahan penulis china. rasa dan deskripsinya juga pasti beda.

      segera meluncur ke blognya ya.. :)

      Hapus
  2. Saat buku ini pertama kali terbit versi Indonesianya, saya langsung tertarik karena ilustrasi-ilustrasi indah dan cerita-ceritanya yang hangat. Sungguh pengalaman membaca yang berbeda dengan buku ini, yang sejatinya buku anak tetapi bisa dinikmati orang dewasa. Duh, saya belum mengulasnya ternyata

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo sempat diulas atuh Mas Dion. Mau tau penilaian Mas Dion pada karya Grace Lin ini. :)

      Hapus
  3. Saya punya buku ini di ... timbunan, hahah.

    Dan baru tahu ada ilustrasinya x))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha. Ayo atuh dibuka, dibaca. Seru kok ceritanya. :) :)

      Hapus