Judul: Hai, Conchita!
Penulis: Marthino Andries
Penyunting: Shara Yosevina
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
Terbit: Februari 2018
Tebal buku: 120 halaman
ISBN: 9786024553869
Harga: Rp38.000
Novel Hai, Conchita! jadi pengalaman kedua saya membaca karya Marthino. Sebelumnya, saya sudah membaca novelnya yang bertajuk A Love Song From Bunaken. Menurut saya, kedua novel ini punya kesamaan dari cara penulis bercerita. Fresh, muda, dan penuh komedi. Kesan ini muncul lantaran tokoh yang dipakai penulis adalah murid SMA, sehingga penulis menceritakan dengan diksi-diksi kekinian dan lincah seperti aura remaja itu sendiri.
Kali ini kita akan berkenalan dengan sosok Conchita Velasquez, atau biasa dipanggil Chita, murid SMA yang tomboi dan agresif. Awal cerita saja, kita akan disuguhkan aksi Chita membajak mobil Kopaja. Sebuah adegan yang tidak biasa tapi menarik sekali, sekaligus menegaskan karakter Chita yang tomboi, berani, dan aktif. Di adegan awal ini, kita pun akan berkenalan dengan tokoh cowok bernama Ivan Fernandez, seorang aktor sinetron muda, yang akan kita temui sepanjang babak berikutnya. Chita dan Ivan dihubungkan untuk menawarkan suasana roman, tapi saya kasih bocoran dulu, menariknya novel ini bukan pada kisah cinta-cintaannya.
Konflik pertama, perjalanan Chita menjadi aktris sinetron. Bagian ini Marthino mengingatkan pentingnya orang tua untuk membatasi anak dengan kesibukan barunya jadi aktris karena si anak masih bergelar murid sekolah. Orang tua Chita tidak melarang anaknya jadi selebriti tapi kekhawatiran sebagai orang tua, mereka membatasi Chita dengan memberi kelonggaran Chita membintangi sinetron sebanyak enam episode. Solusi menarik, karena di sini orang tua Chita tidak digambarkan sebagai sosok yang kejam, marah, dan diktator, melainkan berada di pihak yang mampu menengahi kemauan anak dan orang tua. Konflik kedua, kisah percintaan Chita dengan Ivan. Saya ragu menyebutnya sebagai konflik sebab porsi roman mereka sangat sedikit. Berkutat pada bagaimana Chita menebak perhatian Ivan, tapi dia susah membedakan apakah Ivan serius atau tidak. Apalagi ketika dia mengetahui jika Ivan ini bersikap manis juga dengan gadis lain. Karena pembawaan Chita yang tomboi, kebingungan Chita tidak menyeretnya pada perasaan galau khas kids zaman now.
Selain kedua konflik tadi, kalian harus tahu jika novel ini membuka cara pandang manusiawi dalam memperlakukan asisten rumah tangga. Diwakilkan tokoh Bi Ijah, keluarga Chita menilai jika peran asisten rumah tangga bukan sekadar melakukan pekerjaan rumah. Melainkan sebagai teman dan sebagai keluarga. Peran mereka memberikan kontribusi besar dan sebutan ‘pembantu’ rasanya kurang layak disematkan mengingat jasa besar mereka, walau maknanya sama. Menghormati mereka bisa dimulai dengan memberikan sebutan yang hormat dan terpuji. Dan prinsip ini bisa juga diaplikasikan dalam berbagai dinamika kehidupan.
Novel ini juga menyinggung mengenai cara penggunaan gawai. Fakta jika gawai menjadi barang yang sama pentingnya dengan makan dan minum, Marthino mengingatkan batasan yang seharusnya dipakai oleh pengguna. Jika gawai saja sudah smart, sudah semestinya penggunanya juga smart. Yang dianggap penting menurut novel ini adalah bagaimana kita menjadi pengguna gawai yang arif dan bijaksana. “Banyak manfaat penggunaan ponsel selama dia mampu menggunakannya secara arif dan bijaksana” (hal.13). Konsep penulisan juga ternyata berubah ketika peran gawai disisipkan dalam cerita. Bukan bentuk narasi yang memiliki banyak kalimat, melainkan bentuk unik cerita lainnya.
Pujian rasanya pas ditujukan kepada penulis untuk komedi yang digarapnya sehingga novel ini punya rasa renyah dan tentu saja berkat komedi tersebut saya bisa tersenyum membayangkan kekonyolan-kekonyolan yang ‘kok bisa begitu ya?’. Selain Chita, tokoh Bi Ijah juga menggelitik. Kepolosan khas perempuan dewasa yang sepertinya hanya lulusan SD, menambah semarak kisahnya dengan celetukkan dan gelagat yang mengejutkan. Berbeda dengan komedinya, saya tidak suka dengan kovernya yang warna backround-nya putih, plus warna tulisan judulnya yang merah-muda-sangat-pucat sehingga susah dilihatnya. Hanya saya tidak tahu yang resmi yang mana soalnya kover putih ini yang versi di Gramedia Digital, sedangkan versi Goodreads warnanya merah (atau pink?).
Terus, saya kira novel ini terlalu nge-gas untuk berakhir padahal bisa diulik lebih banyak. Rasanya kurang puas saja menikmati novel yang hanya punya halaman kurang dari dua ratus ini. Jadi, saya pun memberikan nilai 3/5 untuk pasangan Chita dan Ivan, juga saya doakan semoga Bi Ijah dan Bang Tarjo langgeng pernikahannya.
Gambar diunduh dari:
https://kabarpenumpang.com/rute-jauh-ongkos-murah-inilah-si-hijau-putih-kopaja/
Gambar diunduh dari:
https://kabarpenumpang.com/rute-jauh-ongkos-murah-inilah-si-hijau-putih-kopaja/
Tentang ART pernh nonton flim singapura judul klo gak salah stupid, disana digambarkan bagaimana seorang ART diperlalukan dgn baik meski ART dri indo,,
BalasHapusUntuk point ortu hanya membolehkan 6 episode kayaknya emnk kurang logis,,mengingat sinetron indo episidenya bikin geleng2 kepala
Saya kayaknya pernah nonton film pendek itu.
HapusUntuk 6 episode ini memang karena Chita bukan tokoh utama, melainkan tokoh piguran semata. Tapi memang sinetron Indonesia juaranya soal episode. Hahaha
Bagus ya ringan bangeeet. Hehehe. Udah lama gak ke toko buku nih jadi ga begitu apdet sama dunia perbukuan. :(
BalasHapusSaya juga udah lama banget gak mampir ke toko buku. Sekarang mah banyaknya baca ebook. Hehehe. Updatenya makin fresh pisan.
HapusPerempuan bajak Kopaja? Bisa itu siswi sekolah nyetir? Hahaha. Membayangkannya konyol juga. Adin ini buku apa aja dibaca, ya. Mantap! Novel remaja kayak gini saya malah udah lama nggak baca, sih.
BalasHapusSebetulnya, asisten rumah tangga, ya, memang nggak bisa dipandang sebelah mata atau terlalu diremehin. Bagaimanapun juga, dia sudah melayani para majikan dengan baik. Setiap orang punya perannya masing-masing. :D
Bener banget, setiap orang punya peran masing-masing. Dan kita nggak berhak menghargai seseorang sesuai siapa dia.
Hapus