Judul: A Love Song From Bunaken
Penulis: Marthino Andries
Penyunting: Shara Yosevina
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
Cetakan: Maret 2018
Tebal buku: 180 halaman
ISBN: 9786024553753
Harga: Rp 48.000 (via bukabuku.com)
Pertama yang kalian perlu tahu sebelum membaca novel ini adalah label di belakangnya: novel ini dilabeli untuk usia tiga belas tahun ke atas (U13+) dan ber-genre romance comedy. Pentingnya mengetahui fakta ini agar kalian punya harapan yang terukur saat mulai membacanya. Tentu saja label tadi menunjukkan karakter novel ini secara keseluruhan. Label umur misalnya, kalian akan bertemu tokoh utama yang usianya belia. Di sini kita akan berkenalan dengan cowok dan cewek kelas dua SMA bernama Adrianus Dion dan Dessy Murni. Mereka sekelas tapi tidak akrab. Pasalnya, Adri yang berasal dari Pulau Bunaken yang kemudian merantau ke Jakarta demi bisa sekolah di tempat yang bagus, terlanjur dicap bopung alias bocah kampung. Kerap juga dia dipanggil Tarzan ketika diolok-olok oleh Arjun, pacarnya Dessy. Sehingga butuh waktu lama buat Adri menyesuaikan diri walau hasil akhirnya tidak seperti kisah upik abu, yang mendadak dilimpahi keberuntungan besar. Label umur pun mempengaruhi konflik yang disajikan penulis. Dan karena lebih banyak mengambil latar di sekolah, novel ini pun punya konflik seputar kehidupan murid. Sebut saja, adaptasi murid baru, kompetisi cinta monyet, dan yang paling banyak dibahas tentu saja kasus perundungan baik secara verbal maupun tindakan.
Berbicara tentang konflik perundungan, penulis seolah ingin menyampaikan cara menghadapi dan bertahan dari tindakan perundungan tanpa bantuan pihak luar. Adri mencontohkan dengan berprinsip kenakalan tidak boleh dibalas kenakalan. Melainkan dia tunjukkan dengan kebaikan-kebaikan yang sudah menjadi nilai hidupnya yang dia bawa dari didikan ibunya sewaktu di Pulau Bunaken. Apakah boleh melawan jika dirasa perundungannya keterlaluan? Penulis membolehkan melakukannya tapi dengan syarat kontrol kesadaran dan emosi sehingga perlawanan itu tepat sasaran dan tidak menimbulkan efek buruk lainnya.
Novel ini juga menyentuh banyak dinamika masalah yang ada di seputar remaja. Tentang pencarian jadi diri remaja yang kerap mengabaikan keluarga karena memilih lebih eksis dengan teman sekolah, tentang persaingan sesama teman sekolah yang imbasnya melakukan cara apa pun tanpa mengindahkan caranya salah atau benar, tentang penggunaan narkoba di kalangan remaja, dan yang membuat saya kaget, novel ini juga membahas sisi gelap pergaulan bebas remaja yang sampai ke ranah seksualitas.
Label Romance Comedy pun tepat disematkan di novel ini sebab kita bakal diajak ketawa mengikuti kisah Adri dan Dessy yang menghibur. Perbedaan karakter antara Adri yang kampungan dan Dessy yang anak kota, dengan sangat baik diolah penulis menjadi humor lewat sindiran atas kesenjangan ekonomi, miskomunikasi atas penggunaan bahasa daerah, dan tentu saja adu gengsi untuk mengaku saling suka. Untuk humornya, penulis konsisten menjaga tone-nya sampai babak akhir dan cara ini tentu saja berhasil menciptakan rasa bahagia terhibur sepanjang proses membacanya. Dan jangan khawatir, humor yang dihadirkan tidak mengaburkan format novel menjadi buku humor yang beredar di pasaran, melainkan masih pakai pakem format novel dalam bercerita.
Cerita romannya pun terasa manis dan pas kadarnya. Saya menyimpulkan demikian karena melihat betapa kompleks muatan novel ini sehingga setiap unsurnya mendapatkan porsi masing-masing. Juga bukan tipe kisah roman yang kental dengan drama, melainkan roman segar khas anak SMA.Sehingga tarik-ulur perasaan yang dipendam oleh Adri dan Dessy semakin membuat saya gemas, sekaligus berharap penulis tidak menggiring ke drama yang super romantis. Dan harapan saya terkabul, sampai akhir cerita, Adri dan Dessy masih lucu.
Saya pun merasa harus mengatakan ketidaksukaan saya pada perkembangan karakter Adhi dan Dessy ketika usia mereka di angka dua puluh lima tahun. Perseteruan mereka di masa lalu yang belum selesai, masih membuntuti saat mereka bertemu kembali di pulau Bunaken. Dan cara keduanya tidak menyukai pertemuan itu ditampilkan dengan dialog dan tingkah yang sama persis seperti perseteruan mereka sewaktu SMA. Kekonyolan itu seharusnya berubah drastis menjadi reaksi yang dewasa dan elegan. Pengaruhnya adalah saya tidak bisa membayangkan tokoh Adri dan Dessy dalam sosok dewasanya, atau katakan saja imajinasi saya terjebak di sosok remaja mereka.
Selain perkembangan karakter yang disayangkan, saya pun merasa jika latar Pulau Bunaken dan unsur tradisional yang dimiliki tidak digali dengan aduhai. Semua dinyatakan dalam narasi berupa informasi semata. Misal, fakta Pulau Bunaken dan suasananya, juga macam-macam menu khas Bunaken. Padahal secara foto yang saya intip di google, lingkungan Pulau Bunaken begitu indah.Setidaknya, menurut saya, keberhasilan membawa latar ke cerita, bisa diukur dari tergugah atau tidaknya pembaca untuk pergi ke lokasi.
Saya juga mengapresiasi kover novelnya yang kece. Perpaduan warna yang beragam (warna-warni) dalam ilustrasi gabungan simbol-simbol penting dalam kisahnya, tidak membuat mata jadi pusing. Simbol-simbol yang saya maksud adalah pantai, karang laut, senar gitar, pohon kelapa, dan dua sosok laki-laki dan perempuan yang mewakili Adri dan Dessy. Jadi, akhirnya saya memberikan nilai 4/5 untuk humor segar antara Adri dan Dessy.
Gambar diunduh dari:
http://www.gocelebes.com/taman-laut-nasional-bunaken/
Penulis: Marthino Andries
Penyunting: Shara Yosevina
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
Cetakan: Maret 2018
Tebal buku: 180 halaman
ISBN: 9786024553753
Harga: Rp 48.000 (via bukabuku.com)
Pertama yang kalian perlu tahu sebelum membaca novel ini adalah label di belakangnya: novel ini dilabeli untuk usia tiga belas tahun ke atas (U13+) dan ber-genre romance comedy. Pentingnya mengetahui fakta ini agar kalian punya harapan yang terukur saat mulai membacanya. Tentu saja label tadi menunjukkan karakter novel ini secara keseluruhan. Label umur misalnya, kalian akan bertemu tokoh utama yang usianya belia. Di sini kita akan berkenalan dengan cowok dan cewek kelas dua SMA bernama Adrianus Dion dan Dessy Murni. Mereka sekelas tapi tidak akrab. Pasalnya, Adri yang berasal dari Pulau Bunaken yang kemudian merantau ke Jakarta demi bisa sekolah di tempat yang bagus, terlanjur dicap bopung alias bocah kampung. Kerap juga dia dipanggil Tarzan ketika diolok-olok oleh Arjun, pacarnya Dessy. Sehingga butuh waktu lama buat Adri menyesuaikan diri walau hasil akhirnya tidak seperti kisah upik abu, yang mendadak dilimpahi keberuntungan besar. Label umur pun mempengaruhi konflik yang disajikan penulis. Dan karena lebih banyak mengambil latar di sekolah, novel ini pun punya konflik seputar kehidupan murid. Sebut saja, adaptasi murid baru, kompetisi cinta monyet, dan yang paling banyak dibahas tentu saja kasus perundungan baik secara verbal maupun tindakan.
Berbicara tentang konflik perundungan, penulis seolah ingin menyampaikan cara menghadapi dan bertahan dari tindakan perundungan tanpa bantuan pihak luar. Adri mencontohkan dengan berprinsip kenakalan tidak boleh dibalas kenakalan. Melainkan dia tunjukkan dengan kebaikan-kebaikan yang sudah menjadi nilai hidupnya yang dia bawa dari didikan ibunya sewaktu di Pulau Bunaken. Apakah boleh melawan jika dirasa perundungannya keterlaluan? Penulis membolehkan melakukannya tapi dengan syarat kontrol kesadaran dan emosi sehingga perlawanan itu tepat sasaran dan tidak menimbulkan efek buruk lainnya.
Novel ini juga menyentuh banyak dinamika masalah yang ada di seputar remaja. Tentang pencarian jadi diri remaja yang kerap mengabaikan keluarga karena memilih lebih eksis dengan teman sekolah, tentang persaingan sesama teman sekolah yang imbasnya melakukan cara apa pun tanpa mengindahkan caranya salah atau benar, tentang penggunaan narkoba di kalangan remaja, dan yang membuat saya kaget, novel ini juga membahas sisi gelap pergaulan bebas remaja yang sampai ke ranah seksualitas.
Label Romance Comedy pun tepat disematkan di novel ini sebab kita bakal diajak ketawa mengikuti kisah Adri dan Dessy yang menghibur. Perbedaan karakter antara Adri yang kampungan dan Dessy yang anak kota, dengan sangat baik diolah penulis menjadi humor lewat sindiran atas kesenjangan ekonomi, miskomunikasi atas penggunaan bahasa daerah, dan tentu saja adu gengsi untuk mengaku saling suka. Untuk humornya, penulis konsisten menjaga tone-nya sampai babak akhir dan cara ini tentu saja berhasil menciptakan rasa bahagia terhibur sepanjang proses membacanya. Dan jangan khawatir, humor yang dihadirkan tidak mengaburkan format novel menjadi buku humor yang beredar di pasaran, melainkan masih pakai pakem format novel dalam bercerita.
Cerita romannya pun terasa manis dan pas kadarnya. Saya menyimpulkan demikian karena melihat betapa kompleks muatan novel ini sehingga setiap unsurnya mendapatkan porsi masing-masing. Juga bukan tipe kisah roman yang kental dengan drama, melainkan roman segar khas anak SMA.Sehingga tarik-ulur perasaan yang dipendam oleh Adri dan Dessy semakin membuat saya gemas, sekaligus berharap penulis tidak menggiring ke drama yang super romantis. Dan harapan saya terkabul, sampai akhir cerita, Adri dan Dessy masih lucu.
Saya pun merasa harus mengatakan ketidaksukaan saya pada perkembangan karakter Adhi dan Dessy ketika usia mereka di angka dua puluh lima tahun. Perseteruan mereka di masa lalu yang belum selesai, masih membuntuti saat mereka bertemu kembali di pulau Bunaken. Dan cara keduanya tidak menyukai pertemuan itu ditampilkan dengan dialog dan tingkah yang sama persis seperti perseteruan mereka sewaktu SMA. Kekonyolan itu seharusnya berubah drastis menjadi reaksi yang dewasa dan elegan. Pengaruhnya adalah saya tidak bisa membayangkan tokoh Adri dan Dessy dalam sosok dewasanya, atau katakan saja imajinasi saya terjebak di sosok remaja mereka.
Selain perkembangan karakter yang disayangkan, saya pun merasa jika latar Pulau Bunaken dan unsur tradisional yang dimiliki tidak digali dengan aduhai. Semua dinyatakan dalam narasi berupa informasi semata. Misal, fakta Pulau Bunaken dan suasananya, juga macam-macam menu khas Bunaken. Padahal secara foto yang saya intip di google, lingkungan Pulau Bunaken begitu indah.Setidaknya, menurut saya, keberhasilan membawa latar ke cerita, bisa diukur dari tergugah atau tidaknya pembaca untuk pergi ke lokasi.
Saya juga mengapresiasi kover novelnya yang kece. Perpaduan warna yang beragam (warna-warni) dalam ilustrasi gabungan simbol-simbol penting dalam kisahnya, tidak membuat mata jadi pusing. Simbol-simbol yang saya maksud adalah pantai, karang laut, senar gitar, pohon kelapa, dan dua sosok laki-laki dan perempuan yang mewakili Adri dan Dessy. Jadi, akhirnya saya memberikan nilai 4/5 untuk humor segar antara Adri dan Dessy.
Gambar diunduh dari:
http://www.gocelebes.com/taman-laut-nasional-bunaken/
Meluncur deh minggu depan, jd penasaran sama bukunya
BalasHapusDitunggu hasil membacanya berupa ulasan. *eh, punya blog gak, saya mau mampir melipir nih
HapusKemarin lihat buku ini di Gramedia Digital. Setelah baca review ini jadi penasaran deh
BalasHapusIya nih saya juga baca via Gramedia Digital. Dan pas liat kovernya, saya langsung download terus langsung dibaca. Asyik. Ditunggu resensinya ya nih 😀
HapusSampulnya bagus banget ya, tapi suka sebel sama novel yang berani mengangkat nama tempat terkenal di judul hanya saja kurang dapat suasananya. Mungkin memang karena kurang digali ya setting tempatnya.
BalasHapusIya Mas termasuk di novel ini. Kekurangannya itu, setting belum terceritakan secara detail.
Hapus