Tampilkan postingan dengan label non-fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label non-fiksi. Tampilkan semua postingan

Agustus 16, 2024

Resensi Buku Digital Minimalism - Cal Newport

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]


Judul:
Digital Minimalism

Penulis: Cal Newport

Penerjemah: Agnes Cynthia

Sampul: Suprianto

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Mei 2024

Tebal: xxiv + 360 hlm

ISBN: 9786020644691


Setelah membaca buku ini saya memutuskan untuk mencopot beberapa aplikasi seperti shopee, tokopedia, lazada, notion, ipusnas, dan facebook. Alasannya, saya ingin benar-benar menikmati keseharian saya. Karena saya akui, aplikasi-aplikasi tadi masuk ke golongan: yang membuang-buang waktu (ecommerce dengan game-nya) atau yang jarang saya gunakan.

Buku ini terbilang tebal tapi penulis merangkum pembahasannya hanya di dua bab besar; Fondasi dan Praktik. Kemudian mengerucut jadi tujuh sub bab yang isi pembahasannya bisa menohok kita semua.

Karena judulnya mengandung kata minimalis, seperti buku serupa lainnya, kita akan diajak untuk membuang segala yang tidak perlu. Tetapi di sini kita akan bicara soal teknologi, lebih spesifiknya ke ponsel.

Latar belakangnya adalah kita semua sudah ketergantungan dengan ponsel dan aplikasi-aplikasi yang berjubel. Banyak dari kita yang secara tidak sadar menggeser layar ponsel menonton hiburan hingga berjam-jam. Kita sedang dijajah oleh perusahaan aplikasi untuk berlama-lama di depan ponsel karena waktu kita adalah uang bagi mereka.

Dan penulis mengajak kita untuk melek pada penggunaannya. Ingat, penulis tidak meminta kita tidak menggunakan teknologi, tetapi hanya mengingatkan bagaimana kita bertanggung jawab memakai teknologi.

Yang paling utama dari saran penulis adalah dengan membersihkan diri dari keterhubungan kita dengan teknologi. Mengurangi atau melepaskan dulu selama beberapa hari, lalu lihat hasilnya, apakah kita akan kembali ke kebiasaan lama (main ponsel melulu) atau justru kita bisa mengurangi dan mulai memilih mana saja aplikasi-aplikasi yang dibutuhkan.




Empat sub bab di bagian bab Praktik membuat saya lebih sadar kalau saya memang salah satu dari banyak orang yang main ponsel melulu. Ajakan untuk menyendiri membuat saya pengen lebih banyak menghabiskan waktu tanpa diganggu oleh siapa-siapa. Dan selama ini saya melakukannya dengan motoran, disamping saya memikirkan, merencanakan, mengaji diri, soal kehidupan yang sedang saya jalani. Di buku ini dikatakan tiga manfaat kesendirian adalah: ide-ide baru, pemahaman terhadap diri sendiri, dan kedekatan dengan orang lain.

Jangan menekan "like" pada postingan orang lain hanya untuk membuktikan kalau kita peduli. Penulis menyarankan untuk membuktikan kepedulian kita dengan berjumpa atau menelepon. Di kebiasaan ini saya bukan termasuk yang suka menekan like pada sosial media.

Kita harus memiliki waktu santai yang produktif. Ingat, rebahan sepanjang hari dengan ponsel di tangan bukan bentuk menikmati waktu santai. Banyak kegiatan santai yang lebih berkualitas daripada sekadar tiduran sambil memantau media sosial.

Isi di buku ini bukan hanya menata kita dalam menggunakan teknologi seperti ponsel tapi justru menyasar bagaimana kita bisa menikmati kehidupan yang membahagiakan.

Saya sangat merekomendasikan buku ini dibaca kita semua sebelum kita menyesal karena merasa kekurangan waktu setiap harinya. Padahal kita sendiri yang belum keluar dari jeratan ponsel yang selalu kita pantau setiap saat. Dan saya bakal membaca ulang buku ini karena banyak poin yang menarik dan patut diingat-ingat lagi.

Gara-gara banyak disebutkan di dalam buku ini, saya juga jadi pengen segera baca buku Walden karya Hendry David Thoreau yang kebetulan bukunya sudah ada di timbunan.


  • Teknologi-teknologi ini semakin lama semakin mendikte cara kita berprilaku serta yang kita rasakan, dan entah bagaimana memaksa kita menggunakannya lebih sering dari seharusnya, acap kali dengan mengorbankan kegiatan lain yang lebih bernilai bagi kita (hal. 9)
  • Biaya sesuatu adalah jumlah waktu dalam hidup yang kita bersedia tukarkan untuk mendapatkannya, segera atau dalam jangka panjang (hal. 49)
  • Kita mudah tergoda oleh keuntungan tak seberapa yang ditawarkan beragam program aplikasi atau layanan terbaru, tetapi kemudian lupa dengan harga yang harus kita bayarkan atas sumber daya terpenting yang kita miliki: menit-menit dalam hidup kita (hal. 53)
  • Apakah teknologi ini dapat langsung menopang sesuatu yang sangat benilai bagiku? Inilah satu-satunya syarat untuk mengizinkan perangkat tersebut masuk ke hidup anda (hal. 94)


Nah, sekian ulasan dan kesan saya untuk buku ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



Juli 26, 2024

Resensi Buku Happiness Without Money - Koike Ryunosuke

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]


Judul:
Happiness Without Money

Penulis: Koike Ryunosuke

Penerjemah: Yuditha Savka

Penyunting: Yoke Yuliana

Penerbit: M&C! (PT Gramedia Pustaka Utama)

Terbit: Mei 2021, cetakan pertama

Tebal: iii + 149 hlm.

ISBN: 9786230305061


Buku Happiness Without Money ini membahas soal bagaimana kita bisa meraih kebahagiaan dengan cara menggunakan uang secara tepat. Walau judul buku ini ada kata 'tanpa uang', penulis justru mengingatkan jika kita mustahil mengejar kebahagiaan tanpa menggunakan uang. Koike sendiri adalah seorang biksu yang menjalankan hidup sederhana, namun sederhana itu bukan tanpa uang melainkan menggunakan uang untuk hal tepat dengan cara yang tepat.

Pembahasan pertama di buku ini mirip dengan pembahasan di buku The Life-Changing Magic of Tidying Up yang ditulis Marie Kondo. Soal kepemilikan barang yang memengaruhi kebahagiaan. Semakin banyak barang yang kita miliki, semakin hidup kita tidak bahagia. Alasan seseorang memiliki barang karena penilaian diri dan penilaian orang lain. Maksudnya, nilai diri kita selalu diukur dengan memiliki barang tertentu, dan untuk diakui nilai diri kita oleh orang lain, kita pun menopangnya dengan memiliki barang tertentu.

Memiliki benda berarti paling sedikit ada dua tanggung jawab yang menempel ke pemiliknya; menjaga agar tidak hilang (ketakutan) dan merawatnya (kewajiban). Dan semakin banyak benda yang dipunya, semakin banyak pula ketakutan, kecemasan, dan kewajiban tadi. Solusi untuk kepemilikan benda ini adalah dengan membuangnya. Jangan bingung, di bab awal buku ini akan diberikan tips membuang barang agar kita tidak begitu menderita dalam prosesnya.


Buanglah benda yang relatif mudah dibuang (hal. 36)


Ada alasan kenapa kita bisa mempunyai banyak barang yaitu karena kita serakah. Sifat serakah ini ternyata punya asal yaitu keinginan. Dan penulis menyebut jika keinginan itu bentuk dari penderitaan. Karena kita merasa menderita, kita berusaha mati-matian untuk meredakan penderitaan itu dengan memenuhi keinginan tadi. Bahayanya, keinginan manusia itu tidak terbatas. Setelah keinginan standar dipenuhi, muncul keinginan baru yang lebih besar, bahkan seiring waktu bisa menginginkan sesuatu lebih ekstrim. Dan kunci menuju kebahagiaan yang utama adalah memotong keinginan tadi menjadi sewajarnya.

Ada istilah 3D Keserakahan yaitu demand, desire, dan drive. Perubahan dari kebutuhan menjadi dorongan ini yang membuat kita dibutakan oleh banyaknya keinginan.


Kebanyakan orang awalnya  menginginkan sesuatu karena membutuhkannya. Dengan kata lain, "demand". Namun, rasa kebutuhan itu semakin menyimpang dan mereka menginginkan jeda "derita senang" yang lebih besar sebelum kemudian perlahan-lahan menjadi semakin ketagihan oleh stimulasi "derita". Ini adalah desaire, keinginan. Kemudian, desire itu semakin menyimpang dan akhirnya mereka dikendalikan total oleh "derita" sehingga akhirnya menjadi drive, dorongan yang tidak bisa dikendalikan. (hal. 44).


Menurut penulis ada 3 sikap yang bisa dilakukan atas sifat keserakahan yaitu:

  1. Merealisasikan sesuai keinginan.
  2. Melarikan diri dan menggantinya dengan rangsangan keinginan lain.
  3. Menekan rasa ingin tersebut.

Penjelasan ketiga sikap ini akan dikupas di bukunya. Pembahasannya benar-benar menarik, apalagi diberikan contohnya juga.


Yang paling menyentil saya adalah soal habbit saya yang suka membeli novel baru hanya karena ingin, padahal novel itu entah akan dibaca atau enggak di masa depan. Novel yang menumpuk secara samar-samar menimbulkan penyesalan walau saya alihkan dengan dalih kalau buku itu sesuatu yang positif. Kasus ini bisa jadi contoh kebahagiaan semu sebab di dalam hati paling mendalam menimbun novel bukannya membuat bahagia secara penuh tetapi justru menimbulkan rasa negatif yang kemudian ditutup-tutupi.

Saya paling suka dengan bab empat yang berisi Cara Menggunakan Uang Agar Menjadi Bahagia. Di sini ditegaskan kalau penjelasan buku ini bukan mendorong orang untuk pelit. Ketika kita bersikap pelit, kita sebenarnya sudah memutuskan untuk tidak bahagia sekali pun ujungnya kita bisa menumpuk uang. Penulis justru lebih senang jika kita membuang uang dengan cara memberikan hadiah kepada orang lain karena tindakan ini akan membikin kita merasa lega.

Gara-gara membaca buku ini saya pun termotivasi untuk lebih bisa mengendalikan uang di lingkaran keinginan yang tak berujung. Harus bisa membuat prioritas antara kebutuhan dan keinginan. Tujuannya tentu saja kita harus bisa bahagia ketika sedang ada uang, dan tetap baik-baik saja ketika tidak punya uang.

Berikut beberapa kutipan-kutipan menarik di buku ini:

  • Bagaimana pendapat orang lain mengenai kita atau bagaimana orang lain melihat kitalah yang menyebabkan lahirnya penderitaan tersebut (hal. 11).
  • Menjadi pelit saat tidak punya uang dan tiba-tiba menjadi bermewahan saat memiliki uang banyak itu yang namanya dipermainkan uang dan hati kita akan lelah (hal. 121).
  • Orang modern semuanya memiliki penderitaan berupa kesepian dan untuk menyembuhkannya, mereka membuang uang dan waktu untuk telepon genggam dan media sosial (hal. 128)

Saya sangat merekomendasikan buku ini dibaca siapa pun untuk bahan reminder kita soal uang. Dan sekian ulasan saya untuk buku ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



[ Saking sukanya dengan isi buku ini saya berencana membaca ulang dan tentu saja ulasan ini akan saya update dengan insight baru dari bacaan ulang nanti ]

April 20, 2024

Resensi Buku Sulung Dan Nyonya Ai - Sulung Landung

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]



Judul: Sulung Dan Nyonya Ai: Sebuah Perjalanan Menuju Pulih

Penulis: Sulung Landung

Penyunting: Reda Gaudiamo, Anastha Eka

Ilustrasi: Mohammad Taufiq (Emte)

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Mei 2023

Tebal: 195 hlm.

ISBN: 9786020670638


Buku ini merupakan buku self improvement berisi pengalaman penulis saat ia kecil hingga dewasa yang penuh dinamika dan perenungan. Dan ini perkenalan saya dengan sosok Sulung Landung, yang saya baru tahu kalau beliau sudah mempunyai tiga buku series 'Management Artis 101', dengan pembahasan dunia keartisan.

Pada paruh awal buku, kita akan dikenalkan pada perjuangan Sulung karena lahir dari keluarga biasa dengan mempunyai orang tua yang kemudaan. Sulung lahir saat ibunya, Ai, masih berusia 17 tahun. Keadaan ini berimbas Sulung lebih banyak diasuh oleh Ama atau neneknya. Sulung sendiri mengakui kalau hubungannya dengan sang ibu memang agak jauh sedari kecil. 

Sulung kecil ternyata korban bully. Ia kerap diolok-olok oleh teman-temannya di sekolah karena seragamnya sering bau ikan asin. Wajar berbau begitu karena Sulung kecil sering menemani Ama berjualan ikan asin sehingga bau ikan asin menempel di pakaiannya.

Ada pengalaman Sulung menyanyi dan justru ia disoraki dengan sebutan 'banci, bencong', dan itu membuat nyalinya menciut untuk unjuk gigi. Sulung kecil yang mentalnya sedang dibentuk justru dibenturkan dengan lingkungan yang menggangu, dan pada saat itu Sulung kecil tidak punya tempat untuk mengadu dan berlindung.

Mental Sulung digulung tekanan hingga ia tumbuh dewasa dengan rasa malu, takut, dan tidak percaya diri. Bahkan sifat pecundangnya ini bertahan sampai ia masuk SMA. Beruntung ketika SMA ini ia menemukan lingkungan yang mendukung untuk mengeluarkan potensi baiknya. Prestasinya menanjak, namanya muncul, dan Sulung mulai berani memutuskan ingin jadi apa dirinya.

Ketika ia kuliah, Sulung harus berjuang dengan keadaan ekonomi yang tidak stabil. Usaha ayahnya kerap naik-turun dan itu memaksa Sulung untuk dewasa menyikapi. Sehingga Sulung pun menyambi pekerjaan paruh waktu agar kuliahnya tidak terhenti di tengah jalan.

Enggak ada usaha yang mengkhianati hasil. Apa yang diimpikan Sulung, satu per satu mulai terwujud. Tetapi ternyata pengalaman buruk saat ia kecil hingga dewasa menjadi luka batin. Sulung tidak tenang dengan pencapaiannya. Sulung tidak bahagia. Diam-diam pengalaman buruk di masa lalu ia pendam sendiri dan menjadi borok. Sulung pun mencari penyembuhan ke beberapa orang agar kegelisahannya menghilang. Dan kunci mendapatkan itu adalah memaafkan masa lalu.

Namun proses memaafkan masa lalu tidak mudah. Berkat menemui beberapa orang, Sulung mendapatkan akar masalah batin yang menderanya. Dan itu ternyata berhubungan dengan Ai, ibunya. 

Dari buku ini saya memahami pelajaran-pelajaran hidup berharga yang seharusnya dipahami banyak orang. Pertama, anak kecil harus mempunyai kehidupan yang menyenangkan dan tenang. Tidak harus bergelimang harta atau bisa jajan apa saja. Yang utama adalah peran orang tua mendampingi harus jadi prioritas. Pendewasaan dari anak kecil ke jelang dewasa itu prosesnya berat. Banyak tidak tahunya. Dan peran orang tua seharusnya menemani, mendampingi, merangkul, memberi tahu, dan membenarkan jika salah. 

Pengalaman buruk di masa lalu yang tidak diselesaikan akan jadi luka batin sampai dewasa. Kenangan buruk akan jadi trauma yang jika tidak disembuhkan akan terus jadi ganjalan di hati dan ini bisa mempengarui kualitas kebahagian. 

Untuk teman-teman yang saat ini masih gelisah dan malu mengakui masa lalu buruk, coba untuk mulai menyembuhkan dengan menuliskannya atau membicarakan dengan seseorang yang kita percaya. Jangan lagi dipendam pengalaman buruk tadi, keluarkan dari hati, bebaskan belenggunya, dan lepaskan bebannya.

Kedua, jika tidak baik-baik saja segera cari penyembuhan. Untuk beberapa orang yang mempunyai nasib seperti Sulung, tidak bisa dibiarkan dan berpura-pura kalau itu sudah berlalu. Dengan dibantu ahlinya, kita akan menyelami sisi terdalam kita dan rahasia yang dipendam. Jika sudah tahu isi hati dan luka-luka yang dipendam dalam-dalam, baru kita mulai mengungkapkan kegusaran itu. Kita bisa mulai menyelesaikan semuanya sampai ke tahap 'Oke, saya menerima masa lalu buruk itu dan saya memaafkan semuanya.' 

Ketiga, kita harus jadi pejuang untuk hidup kita. Harus diakui semakin dewasa, beban hidup semakin berat. Banyak faktor yang membuat kita tertekan dengan tuntutan dan tanggung jawab. Dan perjuangan kita harus untuk tujuan hidup yang kita mau. Ingat, standar hidup setiap orang berbeda-beda dan kita harus tahu standar hidup kita segimana sehingga perjuangan yang kita lakukan pun lebih terukur dan terarah. Jangan sampai kita terjebak memperjuangkan hidup untuk standar selangit, yang ada kita akan mati lebih dulu sebelum mengucapkan syukur atas pencapaian yang sudah dilalui.

Membaca buku Sulung dan Nyonya Ai ini membuat saya melihat ke diri sendiri, membongkar lagi isi hati dan memang ternyata ada pengalaman yang kurang menyenangkan yang masih belum saya akui. PR-nya ya saya harus mulai jujur dengan masa lalu, dan perlahan-lahan harus berdamai.

Oya, buku ini punya gaya penulisan yang enak dibaca. Tiap bab-nya dibikin pendek dan isi ceritanya juga jelas. Jadi enggak akan bikin kita pusing memahaminya. Dan saya awalnya terkecoh dengan sampulnya yang bagus, mirip sampul buku anak, tetapi isi buku ini sangat untuk orang dewasa. 

Saya merekomendasikan buku ini untuk mengingatkan kita soal apakah rasa bahagia kita sudah utuh atau jangan-jangan ada ganjalan di hati yang ternyata kita pura-pura enggak merasakannya. Pasti banyak dari pembaca yang punya nasib seperti Sulung dan buku ini bisa jadi contoh nyata kalau kita bisa menyembuhkan dan memperbaikinya.

Nah, sekian ulasan saya untuk buku Sulung dan Nyonya Ai: Sebuah Perjalanan Menuju Pulih ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!


Januari 18, 2024

Resensi Buku The Keep It Simple Book - Simon Tyler


Judul:
The Keep It Simple Book

Penulis: Simon Tyler

Penerjemah: Anna Ervita Dewi

Sampul: Amanda M. T. Castilani

Penerbit: Bhuana Ilmu Populer

Terbit: Maret 2020

Tebal: 198 hlm.

ISBN: 9786232169029

Ada nggak di antara kamu yang sedang merasa demotivasi, lesu, kurang gairah, dalam menjalani hidup sehari-hari dan pekerjaan? Jangan-jangan itu akibat kesibukan yang berlangsung lama...

Mungkin kamu sedang butuh asupan motivasi yang bisa mengurai semuanya.

Dan menurut saya buku The Keep It Simple Book ini bisa membantu. Buku ini punya isi motivasi yang bisa dipraktikkan agar hidup kita lebih clean dan full value. Dan secara garis besar, penulis mengajak kita untuk 'Menyederhanakan Hidup'.

Ada 50 bab berisi masukan yang bisa diaplikasikan dan sebagian besar sangat relate dengan kondisi saya saat ini. Ada tiga pelajaran penting yang saya ambil dari buku ini yaitu tidak menjadi reaktif, menyederhanakan yang rumit, dan berkesadaran.



Pertama, tidak menjadi reaktif artinya memberi jeda pada apa pun. Yang paling penting buat saya adalah menahan diri ketika berbicara. Saya ini orangnya suka berkomentar dan bercerita sampai-sampai hal tidak penting pun bisa keluar dari mulut saya. Dan setelah membaca buku ini saya mulai menahan diri dengan memberi jeda setiap kali mulut saya ini akan berbicara. Karena saya tidak bisa mengontrol ucapan yang sudah diucapkan.

Kedua, menyederhanakan yang rumit aryinya membuat semua menjadi simple, bersih, dan teratur. Ternyata ada beberapa tips untuk membuat segalanya menjadi sederhana, baik pikiran, ucapan, maupun lingkungan. Beberapa cara bisa dilakukan misalnya dengan membersihkan meja kerja, menyelesaikan semua hal yang selama ini ditunda dan mengganggu pikiran, menyingkir dari situasi gaduh, dan masih banyak lainnya.

Ketiga, berkesadaran artinya kita paham apa yang kita mau tuju dan akan lakukan. Ini akan membuat kita bisa menyeleksi apa saja yang menjadi penghalang untuk mencapai tujuan kita dan itu mesti ditiadakan. Alhasil segalanya menjadi ringkas dan sederhana. 

Jujur, buku ini benar-benar mengingatkan saya kalau apa yang saya jalani terlalu sibuk, bising, dan menguras energi. Dan kalau bukan sekarang, kapan lagi kita akan membereskan itu semua. Saya cuma tidak ingin menjalani hidup yang melelahkan dan mengesampingkan kebahagiaan. Rugi sekali kalau sampai kita menjalani hari-hari tanpa bisa menikmati kebahagiaan.



Walau pun buku ini sudah selesai dibaca, tapi saya akan membaca ulang dengan membuka secara random atau memilih judul yang memang nanti saya butuhkan. Setiap babnya ditulis dengan ringkas jadi cukup membantu untuk meng-on kan semangat kita jika sedang off tanpa menghabiskan waktu yang rada lama.

Berikut beberapa poin yang saya tandai di bukunya:

"Jangan ceroboh dalam perbuatan; membingungkan dalam perkataan, ataupun bertele-tele dalam pemikiran." Marcus Aurelius (121-180) | hal. 13

...Orang yang paling terpengaruh oleh kata-kata Anda adalah ANDA SENDIRI! | hal. 14

"Jika kamu mengubah caramu melihat segala sesuatu; maka sesuatu yang kamu lihat itu akan berubah." Wayne Dyer | hal. 141

Kesimpulannya, buku ini bisa menjadi kawan kapan pun karena muatan masukkannya yang berguna sekali.

Sekian ulasan saya kali ini, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



Oktober 03, 2023

Resensi Buku Komunikasi Bebas Konflik - Hiromi Yamasaki


Judul:
Komunikasi Bebas Konflik

Penulis: Hiromi Yamasaki

Penerjemah: Faisal

Editor: Tilarama

Desain sampul: Suprianto

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Juli 2020

Tebal: 145 hlm.

ISBN: 9786020633060

Buku ini membahas bagaimana melakukan komunikasi yang baik untuk menghindari konflik atau konfrontasi dengan orang lain. Tujuannya, selain mendapatkan ketentraman bersosialiasi, juga agar maksud pesan kita tersampaikan dengan tepat.

Lingkungan yang dibahas kebanyakan untuk dunia pekerjaan, tapi cara-cara di dalam buku ini bisa dipraktikkan juga di lingkungan lain seperti di keluarga atau di pergaulan.

Sebagai langkah awal, kita diminta untuk sadar kalau setiap orang memiliki pola berbeda-beda, baik pola tindakan, pola pikir, maupun pola emosi. Ada penekanan keharusan kita untuk paham pola sendiri agar kita tidak memaksakan standar/pola kita kepada orang lain. Sehingga ketika mau melakukan komunikasi, kita sudah lebih dulu paham kalau lawan kita memiliki keunikan sendiri. 


"Masa lalu dan orang lain tidak bisa diubah. Diri kita dan masa depanlah yang dapat diubah." (hal. 24)

Dengan mengetahui pola sehari-hari, kita bisa memilih pola yang berbeda saat diperlukan. (hal. 25)


Tips berikutnya adalah mengutamakan rasa tentram yaitu dengan mengakui eksistensi lawan. Maksudnya, kita harus bisa memanusiakan lawan komunikasi kita. Caranya bisa dengan melakukan sapaan yang ramah dan berterima kasih dengan tulus. 


Manusialah yang mematahkan semangat dan yang menumbuhkan semangat. (hal. 40)

Lawan tidak akan terlihat jika kita memiliki ketertarikan tapi tidak melibatkan diri. (hal. 43)


Lalu saran selanjutnya adalah menggunakan kelebihan sebagai kekuatan tim. Dalam group kita harus memastikan kalau goal yang akan dicapai dipahami semua anggota. Dan semuanya harus paham peran masing-masing dalam tim termasuk kelebihan masing-masing, sehingga ketika kondisi tidak lancar, kita tahu harus menekan tombol off pada pola dan peran siapa.

Sesekali pujilah rekan kita melalui bisikan yang disampaikan kepada rekan lain. Hal ini akan memberikan semangat karena eksistensinya diakui.

Selain melihat kelebihan, kita pun harus mengakui kelemahan sendiri. Dan jangan sungkan untuk meminta tolong kepada orang lain. 


Kegagalan yang dialami saat usaha semakin keras dilakukan kebanyakan disebabkan oleh hilangnya tujuan. (hal. 61)

Memang menyenangkan mendapatkan pujian langsung, tapi lebih menyenangkan lagi mengetahui ada seseorang yang menghargai diri kita di saat kita tidak ada. (hal. 65)

Ada kalanya menyatakan kelemahan diri kita secara terbuka dan meminta pertolongan akan lebih mudah membuahkan hasil. (hal. 70)



Membangun relasi akan memperluas kesempatan dan fakta ini memang pasti sudah diakui banyak orang. Tantangannya adalah asumsi negatif yang kita ciptakan sebelum bertindak, sampai akhirnya kita tidak melakukan apa yang ingin dilakukan. Ini masalah setiap orang kayaknya. Misalnya, kita mau menelepon seseorang untuk minta tolong tapi di otak kita sudah ada asumsi, 'Jangan-jangan dia lagi sibuk. Nanti malah mengganggu.' Ujung-ujungnya kita tidak jadi menelepon dan melewatkan kesempatan itu. Padahal, yang memiliki jawaban Ya dan Tidak adalah lawan komunikasi kita. Tetapi karena tidak melakukan tindakan tersebut, kita tidak pernah tahu jawaban Ya atau Tidak yang akan kita terima.

Dalam berkomunikasi, kita pasti akan mendapatkan komplain atau perbedaan pendapat. Dalam menghadapi situasi ini disarankan menggunakan hukum "Ya, dan." 

Maksudnya, ketika orang lain berbeda pendapat, apalagi sambil marah-marah, kita harus mengiyakan lebih dulu sampai apa yang disampaikannya selesai dan tuntas diutarakan. Setelahnya baru kita tambahkan dengan "dan" yang berisi opini kita. Ingat, sampaikan bahasa kita dengan cinta agar tidak menyulut api lagi. Jika kita berhasil melakukannya, bukan tidak mungkin pelanggan yang komplain dan marah-marah akan jadi pelanggan setia.


Berbagai kesempatan dan pekerjaan jauh lebih banyak datang dari orang-orang di sekitar kita daripada dari tempat yang jauh. (hal. 88)

Sepak terjang kitalah yang memperbaiki dan memperburuk hubungan kita dengan manusia lain. (hal. 98)


Tak kalah penting kita harus berteman dengan perasaan. Kita harus memegang kendali perasaan apa yang akan kita keluarkan. Dalam buku ini dicontohkan mengenai rasa marah. Di dalam kemarahan biasanya ada perasaan orisinalnya, antara pengharapan, kekhawatiran, atau kesedihan. Dan disarankan ketika kita marah, lebih baik keluarkan saja perasaan orisinalnya.

Menanggapi kegagalan, kita akan diberikan 3 cara agar bisa kembali bangkit:

  1. Mengakui kematian emosi
  2. Pertanyaan "kenapa?" di saat Gagal alah tidak baik
  3. Dalam hidup hanya ada berhasil atau belajar.

Untuk lebih jelasnya lebih baik langsung baca bukunya saja. 

Sebagai bab pamungkas, kita harus berteman dengan kondisi kita saat ini. Mungkin di masa lalu kita ingin menjadi X, tetapi saat ini kita menjadi O. Enggak apa-apa, kita tidak sendiri, banyak sekali yang mengalaminya. Yang perlu dilakukan adalah bersyukur. 


Bukankah hidup adalah mengubah 1% "hal yang tidak menyenangkan" menjadi 60% "hal yang disyukuri." (hal. 132)


Secara keseluruhan, membaca buku ini mempertajam soal bagaimana memanusiakan orang lain. Ada dua bagian yang membuat saya terkesan:

Pertama, kita harus enteng berterima kasih. Dan cara mengucapkan terima kasih harus dengan bahasa yang baik. Mengucapkan "terima kasih banyak" terdengar mudah tapi rasanya belum tentu tulus. Di buku ini diberi tahu kalimat yang lebih bermakna, misalnya dengan mengucapkan, "wah kalau enggak ada kamu saya enggak tau bisa selesai atau enggak."

Kedua, mengenai mengungkapkan rasa orisinal di balik kemarahan. Contoh di buku ini sangat mengharukan. Anak perempuan mengendap-endap keluar rumah di malam hari untuk bertukar jurnal harian dengan sahabatnya. Saat kembali ke rumah, ibunya sudah berdiri di ruang tamu. Harusnya si ibu marah dan mengatakan kalau anak perempuannya bengal. Tetapi karena tahu rasa orisinal di balik kemarahan itu, si ibu mengucapkan, "Syukurlah kamu sudah pulang. Ibu khawatir kamu kenapa-kenapa di malam begini." Cukup jelas bukan kalau di balik si ibu marah sebenarnya ia hanya ingin mengatakan kekhawatirannya.

Buku ini saya rekomendasikan untuk dibaca oleh siapa pun yang mau meng-upgrade kemampuannya berkomunikasi. Enggak masalah dari buku nonfiksi seperti ini yang kita tangkap ilmunya hanya 30%, tetapi dari yang sedikit itu akan kita praktikkan dan syukur-syukur menjadi habbit dan karakter kita.

Sekian ulasan saya untuk buku Komunikasi Bebas Konflik. Terakhir, jaga kesehatan dan tetap membaca buku.



Maret 18, 2023

Resensi Buku Twelve And A Half - Gary Vaynerchuck


Judul:
Twelve And A Half

Penulis: Gary Vaynerchuck

Penerjemah: Ingrid Nimpoeno

Penerbit: Noura Books

Terbit: Agustus 2022, cetakan pertama

Tebal: 252 hlm

ISBN: 9786232423435



Twelve and a Half atau dua belas setengah, yang merupakan judul buku ini merujuk pada 12 nilai hidup dan setengah nilai hidup. Nilai tersebut dirangkum sebagai bahan-bahan emosional: rasa syukur (1), kesadaran diri (1), akuntabilitas (1), optimisme (1), empati (1), kebaikan (1), kegigihan (1), keingintahuan (1), kesabaran (1), keyakinan (1), kerendahan hati (1), ambisi (1), dan keterusterangan (1/2). 

Bagi penulis, setiap nilai hidup bernilai 1 karena sudah cukup menguasai. Sedangkan untuk nilai hidup yang masih proses dipelajari karena menjadi kekurangan bagi pribadinya, penulis memberikan nilai 1/2.

Rasa Syukur: Sikap menerima keadaan melalui perspektif lain yang lebih positif. Dan dengan bersyukur kamu akan terhindar dari penyesalan yang mendalam. 

Orang mendongak memandang mereka yang berperingkat lebih tinggi, tetapi tidak menunduk memandang miliaran orang yang berperingkat lebih rendah. (hal.29)

Kesadaran Diri: Mengenali diri sendiri dan mengakui apa yang menjadi kelemahan dan kelebihan. Kalau kamu sudah sadar diri, kamu akan kokoh menghadapi situasi yang berubah-ubah. Jika ada kelemahan, dapat kamu tingkatkan. Jika ada kelebihan, dapat kamu kuatkan.

Akuntabilitas: Memegang tanggung jawab dan tidak menunjuk orang lain atas nasib buruk yang kamu alami. Jika kamu menunjuk orang lain, artinya kamu lemah sebab kamu menjadi korban dari ulah orang lain. Dan dengan bertanggung jawab kamu akan dinilai sebagai orang yang berkomitmen baik.



Optimisme: Selalu mengedepankan harapan dan hanya melihat hal-hal baik saja. Bukan berarti tidak pernah melihat kemungkinan buruk, tapi hal-hal baik tadi menjadi bahan bakar utama melanjutkan hidup. Cara ini akan membuat langkah kamu lebih ringan meskipun kamu harus menghadapi masalah yang berat dan pelik.

Empati: Menempatkan diri menjadi orang lain karena kamu sadar jika kamu tidak mengenal seorang pun secara utuh. Kamu tidak bisa menilai seseorang atas dasar pandangan sekilas saja, dan penting sekali untuk bisa berempati agar bisa melihat seseorang dengan lebih baik.

Kebaikan: Bersikap baik meskipun di situasi tidak baik. Memang berat melakukannya tapi jika mampu melakukannya, keadaan buruk akan mampu dilewati dengan baik pula.

Kegigihan: Bukan sekadar rajin tetapi condong ke fokus melakukan sesuatu sesuai keyakinan. Dan saat melakukannya, kamu harus bisa menikmati prosesnya, tidak melulu berorientasi pada hasil semata.

Keingintahuan: Modal penting untuk berkembang dan menjadi pribadi lebih baik yaitu dengan mengakui kebodohan diri sendiri. Tanpa sikap ini, kamu akan menjadi orang biasa-biasa saja sebab menjalani hidup bagai mengikuti air mengalir.

Kesabaran: Nilai hidup yang paling banyak disebut, sebab kamu tahu kalau melakukan apa pun butuh waktu. Tidak ada pencapaian yang bisa diraih dengan instan. Butuh proses dan kerja keras. Dan sewaktu menjalani itu semua, dengan kesabaran yang tebal, kita akan merasakan kepuasan yang maksimal.

Keyakinan: Keteguhan hati dengan apa yang kita putuskan dan apa yang kita kerjakan. Terlepas pada benar atau salah, dengan sikap yakin kamu akan lebih bertanggung jawab.

Kerendahan Hati: Sikap menganggap diri sendiri tidak istimewa dan tidak menganggap orang lain lebih istimewa. Dengan sikap ini kamu akan terhindar dari kekecewaan terhadap orang lain.

Ambisi: Hasrat kuat untuk mencapai dan mewujudkan tujuan yang didambakan. Pada prosesnya dibutuhkan kesabaran dan kecermatan.

Keterusterangan: Kejujuran yang disampaikan walau hasilnya pahit. Tetapi sikap ini akan membuat lawan kamu berpikir dan mengevaluasi masalah.



Buku ini terdiri dari 3 Bab. Bab pertama membahas soal dua belas setengah (12 1/2) bahan-bahan emosional tadi, yang dijabarkan dengan cukup jelas dan singkat. Selain pengertian dari bahan-bahan emosional, penulis juga membahas pengalaman pribadinya ketika mengaplikasikannya. Penjelasannya sederhana, mudah dipahami, dan sangat relate dengan pembaca.

Saya sangat terkesan dengan bahan-bahan emosional yang dituturkan penulis. Seperti bercermin dan mulai mengakui ke diri sendiri jika ternyata masih banyak kekurangan. Membacanya membuat saya seperti diingatkan. Dan setelah dibaca semua bab pertama ini, saya semakin termotivasi untuk menjadi lebih baik dengan memperhatikan bahan-bahan emosinal tadi dan memastikan untuk terus mengasahnya.

Bahan emosional yang paling berkesan buat saya adalah kesabaran. Membacanya seperti melucuti diri sendiri yang suka buru-buru, spontanitas, dan reaktif. Sifat jelek ini kadang menyisakan penyesalan nantinya. Dan saya bertekad untuk perlahan-lahan memoles kesabaran agar saya lebih tenang menikmati hidup.

Bab kedua berisi contoh skenario peristiwa sehari-hari dan bahan-bahan emosional apa yang paling baik dipakai ketika mengalami hal tersebut. Ada 35 skenario peristiwa, dan hampir semuanya berada di lingkup dunia pekerjaan dan bisnis. Hubungan antara bawahan dengan atasan atau hubungan antara kolega. Ini memang sudah jelas kalau kita baca ulang jargon judulnya yang menyebutkan, "Kecerdasan Emosional Terpenting dalam Bisnis." Makanya, contoh peristiwanya ya seputar dunia kerja.

Penulis mewanti-wanti jika bahan-bahan emosional tadi tidak bisa diaplikasikan secara sendiri-sendiri. Pasti harus dikombinasikan, bisa dengan satu atau lebih bahan emosional lainnya. Dan setiap menghadapi skenario hidup, kamu membutuhkan kombinasi yang pas.


Salah satu contoh skenario menarik adalah apa yang akan kita lakukan jika ketika kita jadi pemimpin harus memimpin anggota tim yang lebih lama bekerja di tempat kerja dan usianya juga lebih tua. Dan penulis memberikan kombinasi bahan emosional yang terdiri dari empati, kebaikan, dan kerendahan hati. Empati gunanya untuk memahami apa yang orang tersebut rasakan, kebaikan gunanya untuk memperlakukan orang tersebut dengan baik, dan kerendahan hati gunanya menjaga kita agar tidak mendadak sombong dengan posisi jabatan baru. Dengan begini, hubungan pemimpin dan anggota tim tadi akan tetap solid.

Contoh skenario menarik lainnya adalah apa yang akan kamu lakukan jika pekerjaan saat ini membebani kamu karena ada pengurangan tim dan belum ada penggantinya, kamu ingin resign, tetapi kamu nyaman dengan orang-orangnya. Penulis menyodorkan kombinasi antara keterusterangan, keingintahuan, dan empati. Keterusterangan membuat kamu bisa menyampaikan apa yang kamu rasakan atas pekerjaan saat ini kepada atasan, keingintahuan akan membuat kamu memahami ada alasan apa kenapa belum ada rekrutmen lagi, dam empati membuat kamu bisa melihat kasus ini dari berbagai sisi, baik sisi manajer maupun sisi pemilik perusahaan. Jika sudah menerapkan kombinasi tadi, kamu tinggal memutuskan antara resign atau bertahan.

Pada bab ketiga, penulis memberikan tantangan bagi pembaca untuk menerapkan bahan-bahan emosional tadi. Buku ini ingin mengajak pembacanya untuk mempraktikan, bukan sekadar menuturkan teori-teorinya saja.

Sebagai contoh praktik ambisi, kamu akan diminta untuk merekam video dan membahas mimpi-mimpi yang ingin kamu wujudkan. Video ini di-share di media sosial agar pengikut kamu tahu. Cara ini akan membuat kamu memutar otak berupaya mewujudkan omongan di video tadi. Sebab pertaruhannya, kalau kamu gagal, kamu akan diolok-olok.

Sepanjang saya membaca buku, butuh ekstra sabar untuk menyelesaikan buku nonfiksi. Ditambah harus membuat ulasannya, itu pekerjaan yang berat. Tapi membaca buku ini memberikan efek langsung, saya mencoba bersikap gigih dan sabar dalam proses membacanya.

Menurut saya buku ini akan mengingatkan kita pada beberapa sikap positif yang diperlukan dalam keseharian. Jika kita praktikan terus, saya yakin kita akan menjadi pribadi yang menyenangkan dan kehidupan kita pun akan jauh lebih nyaman dan tenang.

Beberapa kutipan menarik:

  • Bijak dan jujurlah dengan diri sendiri mengenai salah langkah anda, tetapi jangan mulai menyesalinya. (hal. 30)
  • Jika ada mengambil energi dari rasa syukur, anda akan tahu bahwa itu bertahan jauh lebih lama daripada energi yang diambil dari rasa tidak percaya diri, kemarahan, atau kekecewaan. (hal. 31)
  • Pengkhayal tidak memiliki kesadaran diri mengenai kekuatan dan kelemahan mereka. (hal. 35)
  • Rasa tidak aman sering kali mengakibatkan penghindaran. Orang cenderung paling menghindari kekurangan mereka sendiri. (hal. 35)
  • Sulit untuk menerima kesalahan jika anda tidak baik kepada diri sendiri atau optimistis mengenai masa depan; menerimanya akan membuat anda benar-benar rentan terhadap penilaian orang lain. (hal. 42)

Buku ini bisa menjadi panduan meningkatkan kecerdasan emosional dalam bisnis. Berbobot dibaca oleh siapa pun yang sudah menginjak dunia pekerjaan. Dan karenanya, saya memberikan nilai 4/5 bintang.

Sekian ulasan saya untuk buku ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku.



Oktober 27, 2021

[Resensi] Apakah Ucapan Bisa Menjadi Obat? - Lee Ki-joo

gambar diunduh dari gramedia.com, diedit

Judul: Apakah Ucapan Bisa Menjadi Obat? (Temperature of Language)

Penulis: Lee Ki-joo

Penerjemah: Gitta Lestari

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Terbit:  2021

Tebal: 209 hlm.

ISBN: 9786020651804

***

Ucapan dan tulisan bisa memancarkan kehangatan juga aura dingin. Bahasa yang hangat merangkul kesedihan, bahkan memercikkan kebahagiaan. Ada orang yang bisa melepaskan rasa lelah pada dunia lewat bicara dengan teman, ada juga yang menemukan ketenangan dari kalimat-kalimat yang tertulis di buku. Jika seseorang yang kau sayangi meninggalkanmu gara-gara sesuatu yang kaukatakan tanpa sengaja, mungkin ucapanmu terlalu “panas”. Jika seseorang menutup hati hanya gara-gara satu atau dua pesan singkat darimu, mungkin tulisanmu terlalu “dingin”.

Buku ini berisi ucapan dan tulisan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari, asal muasal suatu kata, serta penegasan atas betapa penting dan berharganya bahasa. Setiap kali membalik halaman buku ini, jika kau menghirup dan membaca setiap kalimatnya dengan hati-hati layaknya sedang menyantap makanan yang masih panas, mungkin kau bisa mempertimbangkan kembali sehangat apa pesan yang kau maksudkan dari ucapan dan tulisanmu.

***

Buku 'Apakah Ucapan Bisa Menjadi Obat?' atau dalam judul aslinya adalah Temperature of Language merupakan buku nonfiksi yang dilabeli sebagai buku self-improvement. Dalam bayangan saya, buku ini akan membahas mengenai ucapan yang baik-baik, yang bisa menjadi obat untuk kestabilan emosi seseorang. Bisa dari pemilihan kata, intonasi, waktu penggunaan, atau siapa lawan bicara. Tetapi ternyata buku ini tidak membahas ucapan dengan detail seperti harapan saya. Lebih banyak menceritakan pengalaman sehari-hari penulis yang kemudian dia tarik pelajaran atau hikmah yang bisa dipetik. 

Terdapat tiga bab besar yang saya sendiri tidak paham kenapa ada pengelompokan begitu. Bab pertama 'Ucapan, Sesuatu yang Terpatri dalam Hati' lebih memenuhi bayangan saya soal buku ini, karena ada pembahasan di balik ucapan yang dipilih orang-orang. Contohnya, di sebuah rumah sakit, dokter dan perawat atau pekerja lainnya akan menyebut pasien dengan gelar, nyonya, atau tuan, ketimbang memanggil mereka dengan sebutan pasien. 

"Kata 'pasien' merujuk pada seseorang yang sedang sakit. Jika kita sering memanggil mereka seperti itu, mereka justru akan lebih sakit."
(hal. 6)

Bab kedua 'Tulisan, Bunga yang Tak Pernah Layu' sepertinya dikhususkan bagaimana tulisan bisa membentuk ucapan yang baik. Contohnya ada seorang petugas keamanan yang setiap kali bertugas selalu membawa buku catatan. Si penulis penasaran dan mengintip beliau menulis apa. Ternyata di buku tersebut hanya tertulis tanggal dia bertemu sang istri dan tanggal ulang tahun istrinya. Setelah mendapatkan informasi, si penulis paham tujuan petugas keamanan membawa buku tersebut, tak lain karena dia didiagnosa mengalami gejala demensia. Dan petugas keamanan memilih tidak mengapa dia kelihatan banyak memori tapi dia tidak mau melupakan dua tanggal tersebut.

Bab ketiga 'Baris, Bukti Bahwa Kita Masih Hidup' seperti ingin menegaskan pentingnya meninggalkan jejak baik kita agar ketika kita tiada masih dapat dikenang oleh orang-orang terdekat. Seperti yang dilakukan oleh seorang Ibu yang renta, yang selalu mengajak anaknya yang disabilitas untuk berjalan kaki. Begitu sang Ibu meninggal, si anak sudah dapat berjalan walau tertatih. Tujuan sang Ibu agar anaknya dapat berdiri di kaki sendiri, tanpa merepotkan orang lain.

Penulis menuangkan banyak pengalaman hidupnya dalam sub-bab yang pendek-pendek. Pengalaman yang begitu keseharian sekali, tapi jika kita merubah sudut pandang, kita akan menemukan makna lebih dari pengalaman tersebut. 

Ada banyak hal yang dibahas, diantaranya soal percintaan, pernikahan, pekerjaan, kegemaran, dan orang tua. Dan yang paling mengena buat saya tentu saja tulisan-tulisan yang membahas soal orang tua. Saya selalu gampang dibuat berkaca-kaca jika membaca tema orang tua. Dalam tulisan 'Hanya Menelepon' dibahas mengenai telepon orang tua kepada anaknya yang selalu diawali dengan, "Saya menelepon karena sedang senggang." Padahal di balik kalimat itu ada kerinduan yang mendalam dari sosok orang tua, tapi di sisi lain mereka tidak ingin mengganggu kesibukan si anak. Penulis ingin mengingatkan bahwa tidak ada telepon orang tua yang sekedar waktu senggang, pasti ada rasa yang ingin diungkapkan disitu. Maka, jika kita menerima telepon tersebut, angkat dan berbincanglah sebentar dengan nada yang ceria dan riang. Orang tua akan senang mendengarnya.

Lalu pada tulisan 'Maaf, Saya Tidak Bisa Memberi Lebih' menceritakan pengalaman penulis yang sedang di rumah dan ibunya pergi ke keluar di tengah cuaca dingin bersalju lebat. Karena sudah gelap dan ibunya belum pulang, si anak mencari. Akhirnya dia bisa menemukan ibunya yang gemetaran di halte bus. Begitu si ibu masuk ke mobil, dia berkata lirih, "Maaf, Ki-Joo."

Padahal orang tua sudah memberikan segenap hidupnya untuk anak-anak, tapi setiap kali orang tua merasa menyusahkan anak, selalu yang paling pertama minta maaf. Sebuah sikap yang menyakitkan bagi anak karena orang tua tidak ingin menjadi beban bagi anak-anaknya. Padahal jauh di lubuk hati anak ada rasa senang dan bangga bisa dibutuhkan orang tua. Tapi kenapa mereka masih saja merasa itu tidak seharusnya? Begitulah kebaikan dan sifat rendah hati orang tua.

Tulisan favorit saya lainnya adalah 'Tujuan Perjalanan' yang membahas mengenai makna melakukan perjalanan entah sebagai berwisata atau berkelana. Bagi penulis keduanya merupakan proses dan yang paling penting proses perjalanannya, bukan tujuannya. Bagian ini seperti menyentil impian saya yang bercita-cita melakukan perjalanan ke beberapa tempat tapi sampai saya menulis ulasan buku ini belum terwujudkan.

Dalam buku ini penulis meramu pengalaman dari hal-hal kecil yang ia temui. Lalu dengan perenungan dicari makna baik yang terkandungnya. Gaya bahasa penulis mudah dipahami, apalagi pembahasan yang dibawakan mudah diterima pembaca karena tidak jauh dari yang kita alami juga. Ditambah dikemas dalam tulisan pendek sehingga bagi pembaca yang ingin meresapi tulisannya dengan mendalam dapat dibaca dengan singkat dan dilanjutkan dengan perenungan.

Dalam pembahasan nilai-nilai kehidupan, penulis sering sekali membawa pengalamannya menonton film. Saya sampai menuliskan sebagian banyak judul-judul film yang disebutkan penulis dalam bukunya ini:  Late Night Restaurant, Pale Moon, Veteran, Lover in Paris (drama), Our Little Sister, Casablanca, Whiplash, 'Like Father, Like Soon', The Great Passage, The Martian, Saving Private Rian, Gravity, Planet of Snail, Spotlight, Carol, Begin Again, Indiana Jones, Memento Mori, Star Wars, One Fine Spring Day, Interstellar, Eternal Sunshine of The Spotless Mind, La Famille Belier, Youth, The Great Beauty, The Six Million Dollar Man, The Bionic Woman, Drunken master, The Wonderful Wizard of Oz, 'Crouching Tiger, Hidden Dragon', Old Boy, Bourne Series, Mission Impossible. Ternyata Lee Ki-Joo ini sepertinya menyukai kegiatan menonton film sehingga bisa merelevansikan cerita film ke dalam pengalamannya.

Secara keseluruhan, membaca buku ini membuat saya seperti kembali melihat diri di cermin, sudah sejauh mana menerapkan syukur atas keseharian yang dilalui. Dan kita diingatkan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita selama masih bersosialisasi dengan orang lain, salah satunya dengan menjaga ucapan agar yang keluar dari mulut kita merupakan yang baik dan menyenangkan orang-orang. Dibalik proses itu, kita juga harus merawat hati dan pikiran dengan hal yang baik-baik.

Untuk buku Apakah Ucapan Bisa Menjadi Obat? saya memberikan nilai 3 bintang dari 5 bintang.

Sekian ulasan dari saya, terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!

Catatan:

Cinta tidak akan berbicara panjang lebar atau memberikan alasan remeh demi menghindari situasi tertentu (hal. 8)

... banyak hal yang kehilangan keseimbangan dan roboh gara-gara kita terlalu terobsesi pada kesempurnaan (hal. 10)

... cara mengatakan sesuatu sebenarnya lebih penting daripada apa yang dikatakan, dan kadang apa yang tidak dikatakan lebih penting daripada cara mengatakan sesuatu (hal. 11-12)

Rasa malu pada dasarnya adalah hati yang rendah hati. Orang-orang yang tidak punya rasa malu adalah orang-orang yang tidak rendah hati (hal. 29)

Permintaan maaf adalah bahasa kemenangan yang hanya bisa diucapkan oleh orang-orang yang memiliki tekad dan keberanian untuk menghadapi hal-hal rumit (30)

Sifat seseorang bisa terlihat dalam hal-hal remeh (hal. 46)

Banyak orang yang mengacaukan hidup karena tidak mengambil keputusan dengan bijak (hal. 58)

Hanya ada dua pilihan yang dimiliki oleh orang-orang yang sudah kehilangan kemampuan bertanya. Beradaptasi atau menyerah. (hal. 60)

Kadang, kita harus melihat sedikit lebih jauh. Kita bisa melangkah mundur sedikit, atau memandang sesuatu dari sudut yang berbeda. Agar sesuatu terlihat lebih berharga. (hal. 131)

Tak ada cinta yang lebih buta daripada cinta seorang ibu kepada anaknya. (hal.139)

Kita harus lebih dulu mengalami kekalahan sebelum tahu cara menggapai kemenangan. (hal. 143)

Daripada sibuk menggapai sesuatu yang bisa dengan mudah terlepas dari jari-jari kita, sebaiknya kita mengingat kembali "apa yang pernah kita miliki" dan berusaha mendapatkannya kembali. (hal.146)

... kalau kau terjatuh, beristirahatlah sejenak. kadang, kau perlu memiliki ruang kosong. (hal. 162)

jamais vu adalah fenomena ketika hal-hal yang sudah sering kita alami terasa asing. Jamais vu kebalikan dari deja vu. (hal. 172)

yang dekat dengan kehidupan adalah kelembutan, sedangkan yang dekat dengan kematian adalah kekerasan. (hal. 183)

"Mata' bukanlah alat untuk melihat kelemahan seseorang, melainkan kelebihan seseorang. (hal. 188)

Desember 26, 2017

[Buku] What I Talk About When I Talk About Running - Haruki Murakami




Judul: What I Talk About When I Talk About Running
Penulis: Haruki Murakami
Penerjemah: Ellnovianty Nine Sjarif & A. Fitriyanti
Penyunting: A. Fitriyanti
Penerbit: Penerbit Bentang
Cetakan: Pertama, April 2016
Tebal buku: vi + 198 halaman
ISBN: 9786022910862
Harga: Rp 49.000

“Apakah hal yang kamu lakukan baik atau tidak, keren atau tidak keren sama sekali, pada akhirnya yang memiliki arti bukanlah sesuatu yang bisa dilihat, tetapi yang bisa dirasakan oleh hatimu. Agar mengerti sebuah nilai, kadang-kadang kamu harus melakukan sesuatu yang buang-buang waktu. Namun, bahkan suatu tindakan yang kelihatannya sia-sia, tidak selamanya berakhir demikian.” (Hal. 189)

Ada rasa janggal setelah membaca buku Haruki Murakami ini. Sebab memoar ini berisi pandangan penulis terhadap sesuatu. Di buku ini penulis mengungkapkan buah pikirannya terhadap hobinya: berlari. Sebagai memoar, saya meloncati proses dalam mengenal penulis. Biasanya, orang akan membaca novel-novel karya Haruki Murakami, setelah itu ia akan membaca memoarnya. Karena memoar lebih mengetengahkan lebih banyak sisi pribadi si penulis. Justru yang saya lakukan mengenal penulisnya dahulu, mungkin baru membaca novel-novelnya. Ini kesan yang saya simpulkan dan tentu saja akan berbeda dengan kalian.

Memoar What I Talk About When I Talk About Running berkisah pengalaman Murakami di dunia lari dan dunia kepenulisan. Dia menceritakan banyak pengalaman mengikuti lomba lari dan pikiran-pikirannya terhadap kegiatan berlari. Contohnya, pikirannya tentang ketidakinginannya bangun pagi dan berlari. Siapa pun pasti pernah menemukan perasaan ini setelah melakukan kegiatan dalam kurun waktu tidak sebentar. Murakami penasaran apakah pikiran tersebut muncul juga pada pelari profesional. (Hal. 55)

Pada bagian lain, Murakami juga menceritakan pengalaman ia berlari maraton di Yunani untuk artikel majalah (Hal. 65-76). Ada opsi untuk membuat foto setelah Murakami berlari beberapa jarak dan urusan selesai. Tetapi, Murakami memilih berlari menyelesaikan jarak lintasan maraton sejauh 42.195 km. Diceritakan terperinci bagaimana suhu panas pada saat itu, kondisi jalan yang ramai dan kerap ditemukan bangkai anjing dan kucing, dan perasaan campur aduk ketika Murakami berada di titik sangat lelah (marah, kesal, merutuk).

Namun, cerita pengalaman lari Murakami kemudian dikaitkan pada pengalaman ia sebagai penulis. Saya terkesan pada bagaimana awal mula ia memutuskan untuk menulis novel. Niat yang muncul saat ia menonton baseball dan kemudian ia lanjutkan dengan pengorbanan besar, menutup usaha bar yang pada saat itu dalam kondisi sangat baik. Usia Murakami pada saat itu di ujung 20-an.

Selain pengalaman awal mula menjadi penulis, Murakami berbagi cara-cara menjadi penulis yang baik menurut versinya. Sebab Murakami sadar sekali dirinya bukan penulis yang memiliki bakat alami luar biasa.

“Sebaliknya jika kamu bisa berfokus secara efektif, kamu akan dapat mengimbangi bakat yang tak menentu atau bahkan yang jumlahnya sedikit.” (Hal. 87-88)

“Jika konsentrasi hanyalah proses menahan napas, daya tahan merupakan seni mengeluarkan napas dengan tenang dan pelan-pelan sekaligus mengisi udara ke dalam paru-paru.” (Hal. 88)

“Keseluruhan proses menulis- duduk di depan meja, memfokuskan pikiran seperti sinar laser, membangun imajinasi dari kekosongan, mengarang cerita, memilih kata yang tepat satu demi satu, mempertahankan seluruh alur tetap berada pada jalur - membutuhkan energi yang jauh lebih banyak, untuk jangka waktu yang lama, dari yang dibayangkan orang kebanyakan.” (Hal. 90)

Sebuah pengalaman berharga karena setelah membaca memoar Murakami ini, saya seperti sudah belajar langsung kepadanya untuk urusan menulis. Ada banyak bagian dari buku yang menginspirasi saya untuk menekuni dunia menulis. Dan saya pun berharap kalian akan menemukan pengalaman yang sama setelah membaca buku ini.

Akhirnya, saya memberi nilai 4/5 untuk buku yang menginspirasi sekaligus meyakinkan saya kembali untuk fokus di dunia menulis.

Catatan:
  • Aku selalu berhenti pada saat aku merasa bisa menulis lebih banyak. Dengan begitu, penulisan selanjutnya secara mengejutkan menjadi lebih lancar. (Hal. 6)
  • Setelah berlari rasanya apa pun yang menjadi inti tubuh ini seperti diperas keluar sehingga terlahir perasaan ringan, dan apa pun yang terjadi, terjadilah. (Hal 9)
  • Apakah hasil tulisan sesuai atau tidak dengan standar yang ditetapkan oleh diri sendiri akan menjadi hal yang lebih penting daripada segalanya dan itu adalah sesuatu yang tidak mudah dijadikan alasan. (Hal. 13)
  • Hal terpenting adalah bagaimana melampaui diri sendiri yang kemarin. (Hal. 14)
  • Aku belajar bahwa tidak mungkin manusia hidup sendiri - sesuatu yang sudah sewajarnya. (Hal. 20)
  • Manusia memiliki nilai di dalam diri mereka dan cara hidup masing-masing, begitu juga aku. (Hal. 24)
  • Kepedihan ataupun sakit hati merupakan hal yang diperlukan dalam hidup. (Hal. 24)
  • Perkara sakit hati adalah harga yang harus dibayar seseorang untuk dapat menjadi mandiri di dunia ini. (Hal. 25)
  • Bagaimana membagi waktu dan tenaga kita untuk melakukan hal-hal sesuai urutan prioritas. Jika tidak bisa menetapkan sistem semacam itu pada suatu masa dalam hidup, kamu akan kurang terfokus dan hidupmu jadi tidak seimbang. (Hal. 45-46)
  • Seberapa pun besarnya niat seseorang, seberapa pun bencinya dia pada kekalahan, jika hal itu merupakan sesuatu yang tidak benar-benar disukai, dia tidak akan bisa bertahan lama meneruskannya. (Hal. 53)
  • Namun, manusia punya kecocokan dan ketidakcocokan masing-masing. (Hal. 54)
  • Dinding pemisah antara kepercayaan diri yang sehat dan harga diri yang berlebihan memang cukup tipis. (Hal. 63)
  • Saat semakin tua, kamu akan belajar untuk bahagia dengan apa yang kamu miliki. Itulah salah satu dari sedikit hal baik dengan menjadi tua. (Hal. 97)
  • Jika sesuatu berarti untuk dilakukan, memberikan semua yang terbaik - atau bahkan melebihi yang terbaik darimu - juga berarti. (Hal. 109)
  • Sekali melanggar peraturan yang kuputuskan sendiri, aku akan melanggar lebih banyak lagi. (Hal. 124)
  • Mungkin yang bisa kita lakukan hanyalah menerimanya, tanpa terlalu banyak tahu apa yang sebenarnya terjadi. (Hal. 134)

September 26, 2016

[Resensi] Sewindu - Tasaro GK

Setelah membaca buku Sewindu ini, saya banyak belajar mengenai menjadi pria dewasa. Terutama pada bagian tanggung jawab. Seorang pria dewasa, sudah bukan waktunya mementingkan kesenangan egonya sendiri. Ada banyak bentuk tanggung jawab yang harus ditunaikan kepada istri, keluarga mertua, keluarga sendiri, anak, atasan, rekan kerja, sahabat, dan tetangga. Tidak ada sekolah yang mengajarkan itu semua. Terima kasih, Taufik Saptoto Rohadi, atas curhatnya yang menginspirasi dan mencerahkan.

Judul: Sewindu
Penulis: Tasaro GK
Editor: A. Mellyora
Proofreader: Hartanto
Desain sampul dan isi: Rendra TH
Penata letak isi: Diyantomo
Ilustrator: Bayu
Penerbit: Metagraf, Creative Imprint of Tiga Serangkai
Terbit: Maret 2013
Tebal buku: x + 382 halaman
ISBN: 9786029212785
Harga: Rp82.000

8 tahun sejak ia menikah, rentang waktu itu pula yang ia rekam melalui buku ini. Dimulai dari kehidupan awal pernikahan yang masih menumpang di rumah mertua, hingga ia mewujudkan mimpi besarnya menjadi orang yang berguna bagi banyak umat. Banyak sekali episode-episode yang dilewati dan direnungkan hikmahnya dengan seksama. Beruntunglah pembaca yang menyempatkan membaca buku ini, sebab kita diingatkan terlebih dahulu oleh penulis mengenai kehidupan setelah menikah, sebelum merasakan kagetnya memangku tanggung jawab keluarga.

Buku Sewindu ini saya kategorikan sebagai buku non-fiksi. Cerita di dalamnya merupakan pengalaman penulis sendiri menjalani kehidupan setelah menikah hingga hari-harinya menjadi seorang penulis. Akan ditemukan kegetiran, kegundahan, keresahan, dan suka duka kehidupan pasangan suami istri baru.

Awal-awal buku akan diceritakan mengenai sulitnya kondisi ekonomi bagi pasangan tadi. Membaca bagian ini, saya menyadari, ternyata lebih baik mempersiapkan materi sebelum berani memindah tanggung jawab seorang ayah dari seorang perempuan ke tangan kita. Saya jadi ingat pesan mengenai kondisi ini; Istri yang baik akan ikhlas ikut sengsara bersama suami. Suami yang baik tidak akan membiarkan istrinya sengsara.

Banyak sekali momen-momen yang diceritakan penulis. Kejadian kekurangan air bersih, kejadian istri mau melahirkan, kejadian kepenulisan, kejadian belajar ngaji, kejadian memahami anak yang pertumbuhannya terlambat, dan masih banyak lagi cerita yang lain. Yang paling berkesan tentu saja mengenai meninggalnya Ummi dari penulis dan Mimih dari istrinya. Saya sampai menangis membaca bagian ini. Saya jadi merasa belum siap kehilangan Bapak Ibu kelak.


Keunggulan Tasaro tentu saja dari kalimat-kalimat yang disusunnya sangat sederhana dan mengalir. Sehingga untuk menyelesaikan buku ini tidak membuat saya bosan. Selain tema buku mengenai keseharian suami istri yang ringan dan mudah dipahami, ilustrasi berwarna yang disisipkan di buku ini juga memikat.

Buku ini sangat bermanfaat bagi pasangan muda yang akan menginjak fase hidup yang baru; pernikahan. Atau berguna sebagai cerminan bagi mereka yang sudah menikah dan memiliki anak. Akhirnya, rating saya berikan sebesar 3 poin dari 5 poin.




Catatan.
  • Melakukan hal-hal bersahaja yang dengan itu kata cinta yang terucapkan tanpa kata-kata. [Hal. 44]
  • Cinta adalah habis-habisan memberikan yang terbaik untuk anaknya. [Hal. 73]
  • Ternyata, ada waktunya, cinta harus dikatakan, harus diungkapkan. Bahkan, jika itu berarti keluarnya air mata. [Hal. 78]
  • Setiap kelahiran anak manusia membutuhkan perjuangan luar biasa seorang perempuan yang menjadi ibunya.Cukuplah dengan itu dia mesti dihormati dan dicintai. [Hal. 214]
  • Melangkah terus, meskipun satu dua ayunan, pada akhirnya akan sampai ke tempat tujuan. [Hal. 315]
  • Masa lalu adalah lembaran terbuka yang hanya perlu dibuka untuk mengambil kebaikan-kebaikan  darinya. [Hal. 360]