Resensi Buku Komunikasi Bebas Konflik - Hiromi Yamasaki


Judul:
Komunikasi Bebas Konflik

Penulis: Hiromi Yamasaki

Penerjemah: Faisal

Editor: Tilarama

Desain sampul: Suprianto

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Juli 2020

Tebal: 145 hlm.

ISBN: 9786020633060

Buku ini membahas bagaimana melakukan komunikasi yang baik untuk menghindari konflik atau konfrontasi dengan orang lain. Tujuannya, selain mendapatkan ketentraman bersosialiasi, juga agar maksud pesan kita tersampaikan dengan tepat.

Lingkungan yang dibahas kebanyakan untuk dunia pekerjaan, tapi cara-cara di dalam buku ini bisa dipraktikkan juga di lingkungan lain seperti di keluarga atau di pergaulan.

Sebagai langkah awal, kita diminta untuk sadar kalau setiap orang memiliki pola berbeda-beda, baik pola tindakan, pola pikir, maupun pola emosi. Ada penekanan keharusan kita untuk paham pola sendiri agar kita tidak memaksakan standar/pola kita kepada orang lain. Sehingga ketika mau melakukan komunikasi, kita sudah lebih dulu paham kalau lawan kita memiliki keunikan sendiri. 


"Masa lalu dan orang lain tidak bisa diubah. Diri kita dan masa depanlah yang dapat diubah." (hal. 24)

Dengan mengetahui pola sehari-hari, kita bisa memilih pola yang berbeda saat diperlukan. (hal. 25)


Tips berikutnya adalah mengutamakan rasa tentram yaitu dengan mengakui eksistensi lawan. Maksudnya, kita harus bisa memanusiakan lawan komunikasi kita. Caranya bisa dengan melakukan sapaan yang ramah dan berterima kasih dengan tulus. 


Manusialah yang mematahkan semangat dan yang menumbuhkan semangat. (hal. 40)

Lawan tidak akan terlihat jika kita memiliki ketertarikan tapi tidak melibatkan diri. (hal. 43)


Lalu saran selanjutnya adalah menggunakan kelebihan sebagai kekuatan tim. Dalam group kita harus memastikan kalau goal yang akan dicapai dipahami semua anggota. Dan semuanya harus paham peran masing-masing dalam tim termasuk kelebihan masing-masing, sehingga ketika kondisi tidak lancar, kita tahu harus menekan tombol off pada pola dan peran siapa.

Sesekali pujilah rekan kita melalui bisikan yang disampaikan kepada rekan lain. Hal ini akan memberikan semangat karena eksistensinya diakui.

Selain melihat kelebihan, kita pun harus mengakui kelemahan sendiri. Dan jangan sungkan untuk meminta tolong kepada orang lain. 


Kegagalan yang dialami saat usaha semakin keras dilakukan kebanyakan disebabkan oleh hilangnya tujuan. (hal. 61)

Memang menyenangkan mendapatkan pujian langsung, tapi lebih menyenangkan lagi mengetahui ada seseorang yang menghargai diri kita di saat kita tidak ada. (hal. 65)

Ada kalanya menyatakan kelemahan diri kita secara terbuka dan meminta pertolongan akan lebih mudah membuahkan hasil. (hal. 70)



Membangun relasi akan memperluas kesempatan dan fakta ini memang pasti sudah diakui banyak orang. Tantangannya adalah asumsi negatif yang kita ciptakan sebelum bertindak, sampai akhirnya kita tidak melakukan apa yang ingin dilakukan. Ini masalah setiap orang kayaknya. Misalnya, kita mau menelepon seseorang untuk minta tolong tapi di otak kita sudah ada asumsi, 'Jangan-jangan dia lagi sibuk. Nanti malah mengganggu.' Ujung-ujungnya kita tidak jadi menelepon dan melewatkan kesempatan itu. Padahal, yang memiliki jawaban Ya dan Tidak adalah lawan komunikasi kita. Tetapi karena tidak melakukan tindakan tersebut, kita tidak pernah tahu jawaban Ya atau Tidak yang akan kita terima.

Dalam berkomunikasi, kita pasti akan mendapatkan komplain atau perbedaan pendapat. Dalam menghadapi situasi ini disarankan menggunakan hukum "Ya, dan." 

Maksudnya, ketika orang lain berbeda pendapat, apalagi sambil marah-marah, kita harus mengiyakan lebih dulu sampai apa yang disampaikannya selesai dan tuntas diutarakan. Setelahnya baru kita tambahkan dengan "dan" yang berisi opini kita. Ingat, sampaikan bahasa kita dengan cinta agar tidak menyulut api lagi. Jika kita berhasil melakukannya, bukan tidak mungkin pelanggan yang komplain dan marah-marah akan jadi pelanggan setia.


Berbagai kesempatan dan pekerjaan jauh lebih banyak datang dari orang-orang di sekitar kita daripada dari tempat yang jauh. (hal. 88)

Sepak terjang kitalah yang memperbaiki dan memperburuk hubungan kita dengan manusia lain. (hal. 98)


Tak kalah penting kita harus berteman dengan perasaan. Kita harus memegang kendali perasaan apa yang akan kita keluarkan. Dalam buku ini dicontohkan mengenai rasa marah. Di dalam kemarahan biasanya ada perasaan orisinalnya, antara pengharapan, kekhawatiran, atau kesedihan. Dan disarankan ketika kita marah, lebih baik keluarkan saja perasaan orisinalnya.

Menanggapi kegagalan, kita akan diberikan 3 cara agar bisa kembali bangkit:

  1. Mengakui kematian emosi
  2. Pertanyaan "kenapa?" di saat Gagal alah tidak baik
  3. Dalam hidup hanya ada berhasil atau belajar.

Untuk lebih jelasnya lebih baik langsung baca bukunya saja. 

Sebagai bab pamungkas, kita harus berteman dengan kondisi kita saat ini. Mungkin di masa lalu kita ingin menjadi X, tetapi saat ini kita menjadi O. Enggak apa-apa, kita tidak sendiri, banyak sekali yang mengalaminya. Yang perlu dilakukan adalah bersyukur. 


Bukankah hidup adalah mengubah 1% "hal yang tidak menyenangkan" menjadi 60% "hal yang disyukuri." (hal. 132)


Secara keseluruhan, membaca buku ini mempertajam soal bagaimana memanusiakan orang lain. Ada dua bagian yang membuat saya terkesan:

Pertama, kita harus enteng berterima kasih. Dan cara mengucapkan terima kasih harus dengan bahasa yang baik. Mengucapkan "terima kasih banyak" terdengar mudah tapi rasanya belum tentu tulus. Di buku ini diberi tahu kalimat yang lebih bermakna, misalnya dengan mengucapkan, "wah kalau enggak ada kamu saya enggak tau bisa selesai atau enggak."

Kedua, mengenai mengungkapkan rasa orisinal di balik kemarahan. Contoh di buku ini sangat mengharukan. Anak perempuan mengendap-endap keluar rumah di malam hari untuk bertukar jurnal harian dengan sahabatnya. Saat kembali ke rumah, ibunya sudah berdiri di ruang tamu. Harusnya si ibu marah dan mengatakan kalau anak perempuannya bengal. Tetapi karena tahu rasa orisinal di balik kemarahan itu, si ibu mengucapkan, "Syukurlah kamu sudah pulang. Ibu khawatir kamu kenapa-kenapa di malam begini." Cukup jelas bukan kalau di balik si ibu marah sebenarnya ia hanya ingin mengatakan kekhawatirannya.

Buku ini saya rekomendasikan untuk dibaca oleh siapa pun yang mau meng-upgrade kemampuannya berkomunikasi. Enggak masalah dari buku nonfiksi seperti ini yang kita tangkap ilmunya hanya 30%, tetapi dari yang sedikit itu akan kita praktikkan dan syukur-syukur menjadi habbit dan karakter kita.

Sekian ulasan saya untuk buku Komunikasi Bebas Konflik. Terakhir, jaga kesehatan dan tetap membaca buku.



0 komentar:

Posting Komentar