Tampilkan postingan dengan label gramedia pustaka utama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gramedia pustaka utama. Tampilkan semua postingan

Mei 09, 2025

Resensi Novel Satine - Ika Natassa

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]


Judul: Satine

Penulis: Ika Natassa

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Desember 2024

Tebal: 336 hlm.

ISBN: 9786020679983

Tag: kesepian, jodoh, karir, metropop


Karir bagus, umur sudah kepala tiga, tapi kekasih belum punya. Satine merasa kesepian. Lewat aplikasi jodoh Bespoke ia dipertemukan dengan pria bernama Ash Risjad. Satine butuh teman kencan dan Ash butuh teman ngobrol. Keduanya sepakat untuk berkencan dengan ketentuan tertentu.

Kencan kontrak tetap punya resiko, salah satunya menumbuhkan rasa sayang, dan itu jadi pelanggaran kesepakatan. Sejak pengakuan Ash itu, mereka mengakhiri kontrak kencan tersebut. Bukannya perasaan itu makin memudar, justru makin menyiksa. Asumsi-asumi tumbuh di hidup masing-masing. Dan efek perpisahan itu mengguncang hidup Satine dan Ash secara signifikan.

Perasaan sedih dan gundah yang dihadapi keduanya memberi momen merenung mengenai luka di masa lalu. Mungkin ini waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang belum rampung. Tentang Satine dan kebahagiannya bekerja. Tentang Ash dan kebencian kepada ayahnya yang kasar.

Apakah Satine bisa menemukan kebahagiaan yang sebenarnya? Apakah Ash bisa menerima kenyataan kalau ia memiliki darah ayahnya? Dan takdir apa yang akan digariskan untuk keduanya?

***


Novel Satine jadi novel ketiga yang saya baca dari deretan karya Ika Natassa. Sebelumnya saya sudah membaca novel Critical Eleven dan novel The Architecture of Love

Novel ini membahas nelangsanya jadi orang yang secara umur pada umumnya sudah harus menikah (kepala tiga) tapi pacar aja enggak punya. Digambarkan jadi orang kesepian, kalo nonton sendirian, sibuk dengan pekerjaan sampe lembur, ada momen senang atau sedih tidak bisa berbagi dengan siapa pun. Momen-momen menyedihkan jadi joblo ngenes terasa banget di sini.

Karir bagus, duit banyak, tapi kalo kesepian, enggak membuat kita bahagia. Duit dipakai untuk melarikan diri dari rasa sepi, tapi percayalah, saat menjelang tidur, perasaan sendirian itu mendekap erat dan otak kita akan melayang mempertanyakan kenapa nasib begini amat, keputusan apa yang salah di masa lalu, dan kira-kira apa yang bisa dilakukan untuk merubahnya. Jujur, kesepian itu perasaan yang bisa disangkal di mulut tapi di dalam hati enggak bisa diajak bohong.

Bakal jadi debat panjang kalau diulik kenapa Satine masih lajang di usia 37 tahun padahal karirnya gemilang. Setiap orang punya alasan kenapa belum mempunyai pasangan. Tapi yang bahaya itu kalau alasannya berupa keegoisan kita. Satine bekerja mati-matian untuk mengejar validasi dari ibunya. Lalu, ketika validasi didapat, apa itu merubah situasi. Jawabannya, merubah, tapi tidak keseluruhan. Apa bikin bahagia? Satu sisi iya, sisi lain ia juga kehilangan banyak.

Kemapanan memang bisa dikejar, tapi waktu yang seharusnya dinikmati terbuang percuma. Saat Satine umur 37 tahun, temannya sudah menikah. Mungkin temannya tidak sekaya Satine, tapi saya percaya temannya ini sudah mengalami susah-senang bersama pasangan, pengalaman hidupnya sudah kaya, dan bersama pasangan ia sudah belajar banyak untuk jadi bijaksana.

Dan yang paling menohok buat saya, seloyal-loyalnya kita ke perusahaan, ketika kita sudah tidak bermanfaat lagi, kita akan disingkirkan dan diganti dengan karyawan yang baru. Ini hukum alam corporate. Dan kita harus mengakui kalau tanpa kita pun perusahaan akan tetap jalan. Jadi, buat apa kita jadi budak perusahaan sampai membuat kita kehilangan waktu menikmati hidup dan kesehatan. Bekerjalah dengan baik, bekerjalah dengan porsinya.



Novel ini juga menyinggung isu parenting dan kesehatan mental (trauma). Satine jadi sosok yang begitu karena di masa lalunya ada tuntutan dari ibunya untuk sukses. Dan itu jadi alasan utama kenapa Satine bekerja lebih keras. Ditambah hubungan keduanya terlalu dingin, jarang ngobrol, serba sungkan, dan egois karena tidak ada yang memulai, sehingga perjalanan Satine untuk mencapai puncak karirnya terkesan berjuang sendirian.

Lalu isu trauma bisa dipelajari dari tokoh Ash. Mempunyai ayah yang kasar dan pemarah membuat Ash berusaha untuk tidak seperti ayahnya itu. Lalu ada satu momen ia marah dan memukuli rekan kerjanya, Ash merasa gagal dan menganggap dirinya sebagai sosok monster, tidak jauh beda dengan sosok ayahnya. Gara-gara perasaan menjudge diri sendiri seburuk itu, Ash mengambil keputusan dan langkah yang keliru lagi. Jadilah drama jauh-jauhan dengan Satine yang menurut saya agak gimana gitu mengingat Ash itu sudah kepala tiga, harus bisa bijaksana ketika ia keliru langkah harusnya ia fokus membenahi, bukan meratapi.

Dari semua konflik di novel ini, saya diingatkan lagi soal arti pentingnya melakukan komunikasi tulus dan mendalam. Kalau kita ada masalah, ada salah paham, ada sesuatu yang perlu diperjelas, lakukan komunikasi, bukan justru berasumsi dan menebak-nebak. Manusia kebanyakan tidak diberikan kemampuan menebak isi pikiran orang lain jadi jangan mengandalkan 'orang lain harus tahu dan mengerti kita'. Mulailah memulai pembicaraan.

Sisi romansa begitu kental terasa di novel ini. Banyak kejadian biasa yang dikemas jadi momen romantis. Makan nasi padang dini hari bareng gebetan, lihat pameran lukisan di galeri, atau berdua melihat sebaran lampu menyerupai bintang. Dan kejadiannya bukan yang diada-adakan atau dipaksakan oleh penulis sehingga momen tadi terasa pas aja untuk ceritanya.

Secara alur cerita, kita akan dibawa terus maju mengikuti apa yang dialami oleh Satine dan Ash pasca mereka memutuskan mengakhiri kontrak kencan. Beberapa bagian menjelaskan masa lalu tapi porsinya tidak banyak, yah seperti penegasan saja, apa yang terjadi hari ini disebabkan oleh sesuatu atau keputusan di masa lalu.

Sedikit yang tidak nyaman adalah cara penulis membuat narasi terlalu lengkap untuk informasi sederhana. Banyak kalimat pembukaan yang dipakai (kebanyakan di awal paragraf tiap berganti POV). Tentu saja itu informatif tapi bagi saya itu mengurangi momen untuk mendalami alur utamanya. Ini tergantung selera juga sih, saya mungkin tipe yang ketika alur sedang jalan, saya butuh fokus yang intens masuk ke jalan ceritanya. Jangan diganggu dulu dengan narasi-narasi pendukung, saya lebih butuh narasi penggerak utamanya biar emosi yang sudah dibangun tidak buyar seketika.

Kalau untuk diksi tidak ada masalah. Terasa lugas dan cerdas. Banyak narasi bahasa inggris dan saya butuh waktu lebih lama untuk memahami isi paragrafnya. Tapi itu tidak menyurutkan semangat untuk membaca novelnya sampai kelar.



Sudut pandang dalam novel ini dibagi dua, bergantian antara Satine dan Ash. Yang membedakan penggunaan kata 'gue' di bagian Ash dan kata 'aku' di bagian Satine. Tapi saya tidak menemukan perbedaan rasa antara kedua bagian itu. Narasinya sama-sama terasa cerdas, sama-sama terasa pilu, dan sama-sama banyak menceritakan buah pikiran masing-masing.

Seandainya semua bagian menggunakan kata 'aku', dan judul bagian Satine atau Ash-nya dihapus, saya pasti kesulitan membedakan yang sedang bercerita itu Santie atau Ash, saking tidak ada gap dalam struktur narasinya. Katanya, narasi tokoh perempuan dan tokoh laki-laki harus memiliki perbedaan agar karakter tokohnya berkesan untuk pembaca. Contohnya kalau versi perempuan boleh banyak mengungkapkan pikirannya, kalau versi laki-laki dibuat lebih banyak narasi aksinya. 

Pendalaman karakter untuk tokoh utamanya sudah sangat baik. Satine Muchlis digambarkan sebagai pekerja keras, kesepian, tertekan dengan tuntutan dari ibunya, dan pejuang validasi. Sedangkan Ash Risjad digambarkan sebagai pria yang menyimpan trauma kekerasan, observer, dan perasa. Sayangnya, saya tidak terkesan dengan kedua tokoh ini. Mungkin karena kurangnya penggambaran kedekatan dengan orang-orang sekitarnya sehingga kebaikan keduanya tidak cukup terasa.

Kesimpulannya, menurut saya, novel ini memberi persepektif tentang pilihan beberapa orang yang mengejar karir sehingga urusan asmara rada kesulitan. Ada alasan kenapa pilihan itu dijalani, ada juga resiko yang timbul dari situasi tersebut. Setelah membaca novel ini, kita patut refleksi, sudah seberapa tepat kita mengambil keputusan, baik tentang asmara, finansial, dan keluarga. Dan pertanyaan berikutnya, sudahkan keputusan itu membahagiakan hidup kita?

Sekian ulasan novel Satine dari saya. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



November 06, 2023

Resensi Novel Silence (Hening) - Shusaku Endo


Judul:
Silence (Hening)

Penulis: Shusaku Endo

Alih bahasa: Tanti Lesmana

Sampul: Staven Andersen

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Juni 2021, cetakan kelima

Tebal: 304 hlm.

ISBN: 9786020337173


Berita tersebut sampai kepada Gereja di Roma. [kalimat pertama, Silence]



Christovao Ferreira, yang seorang misionaris Kristen dikabarkan murtad di Jepang. Gereja Roma tahu situasi berat di Jepang. Dan untuk melanjutkan karya misionaris ini, dikirimlah Bapa Rubino dan keempat rekan lainnya untuk memasuki Jepang. Tetapi ada tambahan tiga orang pastor muda yang dulunya murid dari Ferreira: Francisco Garrpe, Juan de Santa Marta, dan Sebastian Rodrigues. Mereka ingin menyelidiki apa yang menimpa gurunya dengan kepala sendiri.

Untuk sampai di Jepang, rombongan akan memulai perjalanan dari Lisbon menuju India. Butuh berbulan-bulan untuk sampai ke sana dan merupakan perjalanan laut yang tidak mudah. Setelah tiba di Goa, mereka mendapatkan kabar jika kapal Portugis tidak diijinkan memasuki wilayah Jepang, dan membuat rombongan mesti berhenti di Kota Macao. 

Rombongan disambut oleh Bapa Valignano dan dia tidak mengijinkan melanjutkan perjalanan ke Jepang karena sedang marak penyiksaan oleh pemerintah Jepang kepada siapa pun yang memeluk Kristen. Namun murid Ferreira memaksa untuk memasuki Jepang dengan dibantu oleh orang Jepang bernama Kichijiro. Dan yang berangkat akhirnya hanya Garrpe dan Rodrigues, Santa Marta tidak diijinkan ikut karena sakit malaria.

Setiba di Jepang, dimulailah perjuangan berat dua pastor muda ini untuk menemukan guru mereka dan orang-orang Kristen yang saat itu ketakutan identitasnya diketahui sebab akan membuat mereka terbunuh dengan penyiksaan yang sangat menyakitkan. 

Keduanya mengalami masa berat harus sembunyi-sembunyi, menahan kelaparan, ditangkap oleh prajurit, dipenjara di pegunungan, menyaksikan pembantaian orang Jepang Kristen yang membantu mereka, dan semua itu terjadi karena mereka enggan menyangkal keyakinan mereka terhadap Kristen.

Apakah mereka mampu mempertahankan kekristenan mereka yang harus dibayar oleh banyak kematian warga kristen lainnya? Atau apakah mereka akan murtad seperti guru mereka Ferreira?




Novel ini tuh menceritakan dukanya seorang pastor melakukan misionaris di Jepang. Cerita ini malah mengingatkan saya kepada perjuangan Nabi Muhammad SAW sewaktu menyebarkan ajaran Islam. Ada yang menentang terbuka, menghina-dinakan, bahkan sampai ancaman pembunuhan. Enggak kebayang bagaimana pedihnya mereka menghadapi hal itu.

Konflik muncul sewaktu Rodrigues dihadapkan pada penderitaan siksaan seperti dipenjara atau menyaksikan orang lain dibunuh karena keukeuh dengan Kristen-nya. Batinnya resah mempertanyakan misionaris yang dilakukannya ini memang perlu atau tidak dilanjutkan sebab yang jadi korban bukan dirinya sendiri. Korbannya bisa menimpa siapa pun yang menolongnya. Seorang pastor harusnya mengasihi dengan kasih tapi yang terjadi justru menjadi sebab orang lain disiksa dan dibunuh.

Puncaknya, sesuai judul novel ini - Hening, Rodrigues mempertanyakan peran Tuhan ketika dirinya dan pemeluk Kristen lainnya didera siksaan pedih, Dia ada dimana. Kenapa Tuhan tidak menolongnya dan hanya hening saja saat dia dan yang lainnya berdoa dengan sangat keras meminta pertolongan.

Ada dua poin menarik yang mengesankan saya yaitu soal peran organisasi agama bagi umatnya dan soal status di agama yang disindir oleh Rodrigues. Jika ia murtad demi menyelamatkan umat lainnya agar tidak terbunuh akan menjadi kekecewaan bagi Gereja Roma di sana. Sementara peran mereka di sana hanya mengirimkan pastor ke Jepang, hidup mereka aman dan nyaman, tidak mengalami penderitaan yang sama, tetapi dengan entengnya bisa melabelkan, memberi cap kalau tindakan murtad itu sebagai kesalahan besar. Padahal yang murtad terpaksa kemudian harus menderita karena pilihannya itu. 

Selain itu, status pastor yang disandang Rodrigues membuatnya harus bersikap terus mengasihi, memberi berkat dengan santun, dan harus mempresentasikan ajaran Kristen dalam situasi apa pun. Padahal pastor sendiri adalah manusia biasa. Ketika mengalami penyiksaan, ia pun ingin mengakhirinya segera dengan menyangkal keyakinan. Tetapi ia tetap menolak keluar dari keyakinan karena ia pastor dan di luar sana banyak yang menyebutnya Bapa. Label pastor inilah yang kemudian membuatnya tidak leluasa mengekspresikan emosi secara natural dan jujur sebagai manusia. Rodrigues dibuat resah dengan situasi yang membingungkan ini.

Sewaktu membaca novel ini, saya harus ekstra sabar sebab novel ini tipikal yang slow pace. Beruntungnya saya sudah menyiapkan diri jadi bisa melewatinya dengan baik. Dan format berceritanya lebih banyak deskripsi dibanding dialog. Tidak heran sih sebab keunggulan novel ini tuh kelihatan dari bagaimana penulis menggambarkan situasi yang dialami si tokoh dengan detail. Banyak banget narasi yang membuat kita akan membayangkan visualnya. Contohnya, sewaktu Rodrigues dipenjara di ruangan gelap dan pada pagi hari akan kelihatan sinar matahari yang masuk melalui celah, itu dideskripsikan dengan apik dan bisa membangun imajinasi pembaca.

Sudut pandang di novel ini ada di tokoh Rodrigues. Di awal kita akan membaca surat-surat yang dikirim Rodrigues ke Gereja Roma untuk mengabarkan perjalanannya ke Jepang. Isi suratnya sangat runut dan sarat informasi. Kemudian akan berubah menjadi pencerita saat kondisi Rodrigues tertangkap dan tidak memungkinkan untuk mengirim surat ke luar Jepang. Bentuk bercerita yang menarik dan tidak membingungkan juga.

Karena hanya ada satu POV, karakter Rodrigues juga yang paling berkembang. Dia ini pastor yang baik dan taat tapi kemudian mengalami kebingungan dengan ajarannya ketika mengalami penyiksaan. Tokoh-tokoh lainnya muncul sebagai pendukung saja dan porsinya tidak cukup banyak.

Usai membaca novel ini saya tidak mau membahas soal keyakinan beragama itu harus bagaimana sebab saya hanya manusia biasa yang imannya mudah naik dan turun. Orang paling taat pun akan ada fase dia menjadi manusia biasa yang punya nafsu, niat jelek, pikiran buruk, dan dosa yang mungkin disembunyikan dengan rapi dari pandangan orang lain. Yang paling tegas pesan dari novel ini adalah kita harus peka dengan orang sekitar agar kita bisa memiliki manfaat baik di situ.

Dosa adalah kalau orang menginjak-injak kehidupan orang lain secara brutal dan sama sekali tidak peduli akan luka-luka yang ditimbulkannya (hal. 145)

Kesimpulannya, secara pribadi saya suka dengan cerita di novel ini dan saya akan merekomendasikannya untuk pembaca yang menyukai cerita perenungan soal agama yang slow pace

Sekian ulasan saya untuk novel ini, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



November 02, 2023

Resensi Novel The Architecture of love - Ika Natassa


Judul:
The Architecture of Love

Penulis: Ika Natassa

Editor: Rosi L. Simamora

Sampul: Ika Natassa

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Agustus 2023, cetakan kedelapan belas

Tebal: 304 hlm.

ISBN: 978602329260


Semua orang pasti pernah merasa tersesat, literally atau figuratively, dan tidak ada yang membuat Raia merasa lebih salah tempat daripada sebuah pesta tahun baru[kalimat pertama, the architecture of love]

 



Raia Arsjad adalah penulis yang kehabisan ide untuk novel barunya dan memutuskan menemui temannya, Erin, di New York. Dan pada malam tahun baru ia bertemu pertama kali dengan River, kakak Aga, yang sedang menggambar sketsa di ruang gelap. Disusul dengan pertemuan berikutnya, Raia dan River sepakat untuk menjelajahi Kota New York.

Sebagai seorang arsitek, River mempunyai banyak kisah mengenai bangunan-bangunan di NY. Semakin banyak tempat yang mereka datangi, semakin banyak cerita yang diungkapkan, semakin membuat River bingung dengan kedekatan yang terjalin. Rasanya ia ingin melangkah maju ke Raia tapi masa lalunya masih memberatkan.

Ada persamaan antara Raia dan River yaitu sama-sama pernah kehilangan ditinggalkan orang yang dicintai. Dan alasan ini yang membuat keduanya berpikir lebih lama untuk melangkah saling mendekat.





Novel The Architecture of Love ini memiliki tema romantis. Kita akan menemukan kisah percintaan yang mendominasi, tetapi di bagian lain kita juga akan menemukan kisah persahabatan dan kisah keluarga yang walau porsinya sedikit tapi cukup menghangatkan hati. Yang membedakan dari novel lainnya, di novel ini romansanya dikemas bukan dengan tokoh lajang, melainkan dipresentasikan lewat tokoh yang sudah menikah namun karena satu hal harus menjadi single. Karena status tokoh-tokohnya ini kita akan dikasih intip romantika dan konflik yang salah satunya bisa saja muncul ketika kita berumah tangga nanti.

Saya sangat suka dengan jalinan kisah cinta antara Raia dan River di sini karena penulis mengemasnya dengan elegan. Narasi yang digunakan terasa lugas dan tidak bertele-tele, khas Kak Ika sih, persis seperti di novel Critical Eleven. Selama membaca novel ini saya mendapatkan pengalaman baik sebab akhirnya bisa membaca dengan penuh nikmat, tidak terburu-buru, dan bisa lebih memahami narasi yang ditulis Bahasa Inggris. Jujur saja, saya tuh berjarak dengan novel-novel yang Bahasa Inggrisnya kebanyakan. Namun di novel ini saya bisa membaur karena memang sejak awal saya sudah menyiapkan diri jika harus menerjemahkannya di google.

Novel ini punya part yang membuat saya terharu yaitu ketika Raia ngobrol dengan ibunya dan membahas soal apa yang ia alami. Raia ingin tahu apakah ibunya kecewa dengan segala keputusan yang ia ambil dan ada keputusan yang ternyata gagal. Dan ibunya menjawab dengan lugas kalau Raia tidak pernah mengecewakan mereka sebagai orang tua. Selalu dan selalu saja kalau cerita atau film yang membahas hubungan orang tua dan anak selalu bisa membuat saya terenyuh.





Yang menarik lainnya di novel ini adalah dunia kepenulisan yang diungkapkan Kak Ika sangat jelas, bukan sebagai tempelan semata. Tentu saja tidak meragukan, ibaratnya Kak Ika ini sedang membuka pintu dapurnya dan membiarkan pembaca melongok ada apa di dalamnya. Sebenarnya bukan teknik menulis yang dibocorkan melainkan kehidupan apa yang dialami penulis. Dibahas soal fase writing block, pencarian ide, proses promosi buku dan konflik pribadi versus profesi. Menurut saya ini sangat menarik diketahui siapa tahu kita nanti bisa jadi penulis juga, hehehe. Amin.

Setting Kota New York menjadi begitu indah dengan pendeskripsikan yang baik. Berbagai sudut kota dikulik, berbagai tempat ditunjukkan, dan dipadukan dengan narasi situasi seperti musim dan cuaca, membuat kita seperti ikutan berkunjung ke sana. Enak kali ya kalau bisa jalan-jalan ke New York?

Dan kalau membahas karakter, sosok Raia dan River ini terbilang utuh penggambarannya. Mereka ini baik, tulus, yang laki-laki sangat gentle, yang perempuan begitu manis, tapi bagi saya belum cukup mengesankan. Mungkin karena karakter sempurna tadi dibentuk hanya untuk menyokong adegan-adegan romantis sehingga kebaikan tadi terasa dangkal. Berbeda jika diselipkan konflik non-romantis dan penulis menonjolkan karakter baik tadi, pasti akan terasa lebih dalam. Karena seseorang kelihatan baik itu harus untuk berbagai situasi, bukan hanya ketika kasmaran.

Kesimpulannya, novel ini menarik dan menyenangkan, membawa perasaan hangat juga. Saya sangat merekomendasikan untuk membaca kisah Raia dan River di sini sebelum kita ketemu dengan filmnya yang sedang tahap produksi.



Sekian ulasan dari saya, jika ada yang tidak berkenan dengan tulisan ini, semata-mata ini adalah opini saya sebagai yang sudah membaca novelnya. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



Oktober 19, 2023

Resensi Buku Anak Angin Dari Tebing 1 - Clara NG, Yustina Antonio


Judul: Angin Dari Tebing 1

Penulis: Clara Ng

Ilustrasi: Yustina Antonio

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Maret 2020

Tebal: 140 hlm.

ISBN: 9786020637372




Ada sebuah sekolah sederhana di tepi tebing. Orang-orang menyebutnya Sekolah Tebing. Ada 13 anak yang menjadi muridnya. Dan ini kisah keseharian segala yang berada di sekitar Sekolah Tebing.



Bersyukur banget bisa meminjam buku anak ini sebab gambar di dalamnya benar-benar menghibur. Kalau membaca profil ilustratornya, Kak Yustina, gambar-gambar ini dibuat menggunakan cat air. Tekstur dan warnanya lembut dan menyenangkan. Sangat bagus untuk sajian buku anak dan sudah pasti gambar-gambarnya bakal memikat pembaca berlama-lama memandangi detailnya.

Buku anak ini memiliki 28 judul cerita. Menurut saya sih tergolong banyak tetapi jangan panik dulu, setiap ceritanya pendek-pendek karena setiap halamannya ada gambar-gambarnya juga. Membaca buku begini bisa habis dalam sekali duduk lho.

Ceritanya sendiri berputar pada keseharian penghuni di dalam dan sekitar Sekolah Tebing. Ada 13 murid yang lucu-lucu dan memiliki kekhasan masing-masing. Ada mahluk hidup yang berbagi kisah  juga seperti anak kucing, ulat, anjing, kura-kura, laba-laba, tumbuhan bugenvile, dan masih banyak lagi.






Setiap ceritanya punya tema yang ringan. Seperti ketakutan Tia ketika pindah rumah, aksi kejar-kejaran tiga tikus yang menghebohkan kelas, tidurnya ulat yang pas bangun sudah jadi kupu-kupu, mimpi Bu Sheila bertemu Gatotkaca, dan masih banyak lainnya. Semua ceritanya aman kok untuk dibacakan buat anak-anak. Mereka pasti senang mendengar kisah yang unik dan sederhana, ditambah karakternya bermacam-macam.






Kak Clara Ng berhasil membangun imajinasi tentang sebuah sekolah dan pernak-perniknya yang begitu asyik buat anak-anak. Ditambah lingkungan sekitar dan suasananya yang mirip di pedesaan membuat jiwa kanak-kanak saya merindukan momen bisa lari-larian di lapangan dengan riang. Nostalgia sekali bagi pembaca yang punya masa kecil di lingkungan yang asri.

Oya buku ini juga ada bagian keduanya. Saya tidak sabar ingin meminjam dan membacanya juga. Dan sekian ulasan saya untuk buku anak ini, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!

Oktober 12, 2023

Resensi Novel To Tokyo To Love - Mariskova


Judul: To Tokyo To Love

Penulis: Mariskova

Sampul: Orkha Creative

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Maret 2016

Tebal: 296 hlm.

ISBN: 9786020325705




Enam bulan menjelang pernikahan, Nina mendapatkan pengakuan dari calon suaminya kalau dia melakukan kesalahan karena menghamili mantannya, Karina. Ian berjanji setelah menikahi Karina, dia akan segera menceraikannya, lalu mereka bisa kembali bersama. Nina menolak keras usul Ian, bagaimana pun bayi yang dikandung Karina harus punya ayah.

Sebagai karyawan baik, Nina mendapatkan perhatian dari atasannya. Begitu performance-nya menurun, Nina mengajukan resign dan ditolak. Ia justru mendapatkan kesempatan untuk kuliah di Jepang sembari menyembuhkan luka hatinya.

Selama di Jepang, Nina mendapatkan kenalan baru bernama Takung. Awalnya mereka berkomuniasi dengan email, seriring waktu mereka bertukar nomor ponsel. Banyak hal yang mereka obrolkan dan membuat masing-masing nyaman meski belum pernah bertemu. Selain itu Nina pun tertarik dengan sosok lelaki yang rutin ia temui di kereta tapi ia tidak cukup berani untuk berkenalan langsung.

Kehidupan Nina kembali berantakan saat Ian dan Karina justru muncul di Jepang dan mengusiknya. Mampukan Nina melepaskan dari masa lalunya? Dan siapakah Takung yang sebenarnya?




Saya suka dengan plot cerita di novel ini karena penasaran apakah Nina bisa benar-benar melupakan Ian setelah dikhianati. Saya juga mengutuk Ian waktu dia menyepelekan kesalahannya dan masih mengharapkan Nina. Tukang selingkuh itu nggak ada obatnya jadi saya tidak setuju kalau sampai Nina memberi kesempatan kedua untuk Ian.

Kisah percintaannya terasa romantis. Ada momen tarik-ulur antara Nina dan Takung yang bikin gemas sendiri. Walau dramatisasinya ala-ala sinetron tetapi masih enak diikuti. Keduanya hampir saja mengenali satu sama lain tapi malah dipatahkan oleh keadaan, bener-bener geregetan. Di tambah latarnya di Jepang, ada musim bunga sakura mekar, membuat ceritanya makin manis. 

Drama keluarga di sini diwakili oleh interaksi Nina dengan Tito, kakaknya. Dan saat Tito masuk rumah sakit gara-gara diserang sekumpulan orang, orang tua mereka menyembunyikan kabar ini agar Nina tidak khawatir, membuat saya sesak terharu. Di mata saya keluarga Nina tampak harmonis. 

Karakter Nina yang jadi pusat cerita berkembang baik dari yang melow melulu akibat patah hati berubah menjadi Nina yang mulai riang. Perubahannya diracik apik sehingga kita bisa merasakan prosesnya, bukan yang tiba-tiba.

Catatan saya adalah narasi paragraf di novel ini panjang-panjang sehingga saya melakukan skipping saat membacanya karena takut keburu bosan. Biasanya yang saya loncati adalah kalimat-kalimat penegasan dan ini tidak mengurangi saya memahami jalan ceritanya.




Ternyata kover novel ini yang versi baru lebih bagus ya. Samaan sama novel Metropop yang lainnya, jadi pengen mengkoleksi. 

Saya merekomendasikan novel ini untuk pembaca yang suka cerita romantis. 

Sekian ulasan saya, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



Oktober 03, 2023

Resensi Buku Komunikasi Bebas Konflik - Hiromi Yamasaki


Judul:
Komunikasi Bebas Konflik

Penulis: Hiromi Yamasaki

Penerjemah: Faisal

Editor: Tilarama

Desain sampul: Suprianto

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Juli 2020

Tebal: 145 hlm.

ISBN: 9786020633060

Buku ini membahas bagaimana melakukan komunikasi yang baik untuk menghindari konflik atau konfrontasi dengan orang lain. Tujuannya, selain mendapatkan ketentraman bersosialiasi, juga agar maksud pesan kita tersampaikan dengan tepat.

Lingkungan yang dibahas kebanyakan untuk dunia pekerjaan, tapi cara-cara di dalam buku ini bisa dipraktikkan juga di lingkungan lain seperti di keluarga atau di pergaulan.

Sebagai langkah awal, kita diminta untuk sadar kalau setiap orang memiliki pola berbeda-beda, baik pola tindakan, pola pikir, maupun pola emosi. Ada penekanan keharusan kita untuk paham pola sendiri agar kita tidak memaksakan standar/pola kita kepada orang lain. Sehingga ketika mau melakukan komunikasi, kita sudah lebih dulu paham kalau lawan kita memiliki keunikan sendiri. 


"Masa lalu dan orang lain tidak bisa diubah. Diri kita dan masa depanlah yang dapat diubah." (hal. 24)

Dengan mengetahui pola sehari-hari, kita bisa memilih pola yang berbeda saat diperlukan. (hal. 25)


Tips berikutnya adalah mengutamakan rasa tentram yaitu dengan mengakui eksistensi lawan. Maksudnya, kita harus bisa memanusiakan lawan komunikasi kita. Caranya bisa dengan melakukan sapaan yang ramah dan berterima kasih dengan tulus. 


Manusialah yang mematahkan semangat dan yang menumbuhkan semangat. (hal. 40)

Lawan tidak akan terlihat jika kita memiliki ketertarikan tapi tidak melibatkan diri. (hal. 43)


Lalu saran selanjutnya adalah menggunakan kelebihan sebagai kekuatan tim. Dalam group kita harus memastikan kalau goal yang akan dicapai dipahami semua anggota. Dan semuanya harus paham peran masing-masing dalam tim termasuk kelebihan masing-masing, sehingga ketika kondisi tidak lancar, kita tahu harus menekan tombol off pada pola dan peran siapa.

Sesekali pujilah rekan kita melalui bisikan yang disampaikan kepada rekan lain. Hal ini akan memberikan semangat karena eksistensinya diakui.

Selain melihat kelebihan, kita pun harus mengakui kelemahan sendiri. Dan jangan sungkan untuk meminta tolong kepada orang lain. 


Kegagalan yang dialami saat usaha semakin keras dilakukan kebanyakan disebabkan oleh hilangnya tujuan. (hal. 61)

Memang menyenangkan mendapatkan pujian langsung, tapi lebih menyenangkan lagi mengetahui ada seseorang yang menghargai diri kita di saat kita tidak ada. (hal. 65)

Ada kalanya menyatakan kelemahan diri kita secara terbuka dan meminta pertolongan akan lebih mudah membuahkan hasil. (hal. 70)



Membangun relasi akan memperluas kesempatan dan fakta ini memang pasti sudah diakui banyak orang. Tantangannya adalah asumsi negatif yang kita ciptakan sebelum bertindak, sampai akhirnya kita tidak melakukan apa yang ingin dilakukan. Ini masalah setiap orang kayaknya. Misalnya, kita mau menelepon seseorang untuk minta tolong tapi di otak kita sudah ada asumsi, 'Jangan-jangan dia lagi sibuk. Nanti malah mengganggu.' Ujung-ujungnya kita tidak jadi menelepon dan melewatkan kesempatan itu. Padahal, yang memiliki jawaban Ya dan Tidak adalah lawan komunikasi kita. Tetapi karena tidak melakukan tindakan tersebut, kita tidak pernah tahu jawaban Ya atau Tidak yang akan kita terima.

Dalam berkomunikasi, kita pasti akan mendapatkan komplain atau perbedaan pendapat. Dalam menghadapi situasi ini disarankan menggunakan hukum "Ya, dan." 

Maksudnya, ketika orang lain berbeda pendapat, apalagi sambil marah-marah, kita harus mengiyakan lebih dulu sampai apa yang disampaikannya selesai dan tuntas diutarakan. Setelahnya baru kita tambahkan dengan "dan" yang berisi opini kita. Ingat, sampaikan bahasa kita dengan cinta agar tidak menyulut api lagi. Jika kita berhasil melakukannya, bukan tidak mungkin pelanggan yang komplain dan marah-marah akan jadi pelanggan setia.


Berbagai kesempatan dan pekerjaan jauh lebih banyak datang dari orang-orang di sekitar kita daripada dari tempat yang jauh. (hal. 88)

Sepak terjang kitalah yang memperbaiki dan memperburuk hubungan kita dengan manusia lain. (hal. 98)


Tak kalah penting kita harus berteman dengan perasaan. Kita harus memegang kendali perasaan apa yang akan kita keluarkan. Dalam buku ini dicontohkan mengenai rasa marah. Di dalam kemarahan biasanya ada perasaan orisinalnya, antara pengharapan, kekhawatiran, atau kesedihan. Dan disarankan ketika kita marah, lebih baik keluarkan saja perasaan orisinalnya.

Menanggapi kegagalan, kita akan diberikan 3 cara agar bisa kembali bangkit:

  1. Mengakui kematian emosi
  2. Pertanyaan "kenapa?" di saat Gagal alah tidak baik
  3. Dalam hidup hanya ada berhasil atau belajar.

Untuk lebih jelasnya lebih baik langsung baca bukunya saja. 

Sebagai bab pamungkas, kita harus berteman dengan kondisi kita saat ini. Mungkin di masa lalu kita ingin menjadi X, tetapi saat ini kita menjadi O. Enggak apa-apa, kita tidak sendiri, banyak sekali yang mengalaminya. Yang perlu dilakukan adalah bersyukur. 


Bukankah hidup adalah mengubah 1% "hal yang tidak menyenangkan" menjadi 60% "hal yang disyukuri." (hal. 132)


Secara keseluruhan, membaca buku ini mempertajam soal bagaimana memanusiakan orang lain. Ada dua bagian yang membuat saya terkesan:

Pertama, kita harus enteng berterima kasih. Dan cara mengucapkan terima kasih harus dengan bahasa yang baik. Mengucapkan "terima kasih banyak" terdengar mudah tapi rasanya belum tentu tulus. Di buku ini diberi tahu kalimat yang lebih bermakna, misalnya dengan mengucapkan, "wah kalau enggak ada kamu saya enggak tau bisa selesai atau enggak."

Kedua, mengenai mengungkapkan rasa orisinal di balik kemarahan. Contoh di buku ini sangat mengharukan. Anak perempuan mengendap-endap keluar rumah di malam hari untuk bertukar jurnal harian dengan sahabatnya. Saat kembali ke rumah, ibunya sudah berdiri di ruang tamu. Harusnya si ibu marah dan mengatakan kalau anak perempuannya bengal. Tetapi karena tahu rasa orisinal di balik kemarahan itu, si ibu mengucapkan, "Syukurlah kamu sudah pulang. Ibu khawatir kamu kenapa-kenapa di malam begini." Cukup jelas bukan kalau di balik si ibu marah sebenarnya ia hanya ingin mengatakan kekhawatirannya.

Buku ini saya rekomendasikan untuk dibaca oleh siapa pun yang mau meng-upgrade kemampuannya berkomunikasi. Enggak masalah dari buku nonfiksi seperti ini yang kita tangkap ilmunya hanya 30%, tetapi dari yang sedikit itu akan kita praktikkan dan syukur-syukur menjadi habbit dan karakter kita.

Sekian ulasan saya untuk buku Komunikasi Bebas Konflik. Terakhir, jaga kesehatan dan tetap membaca buku.



Mei 31, 2023

Resensi Novel Convenience Store Woman (Gadis Minimarket) - Sayaka Murata


Judul:
Convenience Store Woman (Gadis Minimarket)

Penulis: Sayaka Murata

Penerjemah: Ninuk Sulistyawati

Editor: Karina Anjani

Ilustrasi kover: Orkha

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Juni 2022, cetakan ketujuh

Tebal: 160 hlm.

ISBN: 9786020644394


Dunia menuntut Keiko untuk jadi normal, walau ia tidak tahu 'normal' itu seperti apa. Namun di minimarket, Keiko dilahirkan dengan identitas baru sebagai 'pegawai minimarket'. Kini Keiko terancam dipisahkan dari dunia minimarket yang dicintainya selama ini..



Novel Gadis Minimarket ini menceritakan tentang perempuan bernama Keiko. Usianya sudah 36 tahun tetapi masih bekerja paruh waktu di minimarket dan dia belum menikah. 

Sudah 18 tahun dia menikmati pekerjaannya. Jiwa raga sudah menyatu dengan kehidupan minimarket.

Suatu hari dia memutuskan menampung lelaki bernama Shiraha. Shiraha adalah mantan pegawai minimarket di tempat Keiko kerja. Berkat kesepakatan berdua, keputusan tinggal sekamar dianggap menguntungkan kedua pihak. 

Karena Shiraha, Keiko harus berhenti bekerja di minimarket. keputusan paling besar dalam hidupnya karena minimarket sudah menjadi surga baginya. 

Apakah Keiko sanggup melanjutkan hidup setelah berhenti kerja?




Walau tipis tapi novel ini berbobot. Soalnya banyak hal yang dibahas dan bikin pembaca jadi tambah wawasan. 

Pertama, soal psikologi. Keiko dan Shiraha memiliki karakter yang aneh. Keiko sudah aneh sejak kecil. Saat TK, dia menyarankan ibunya untuk memasak burung yang mati. Saat SD, dia memukul dua teman lelaki yang berkelahi dengan sekop. Tujuannya agar mereka cepat berhenti berkelahi. Pernah juga Keiko menurunkan rok gurunya supaya gurunya berhenti histeris, berteriak-teriak, dan memukul-mukul meja dengan buku di depan kelas. Keiko kepikiran cara ini berkat tayangan TV.

Walau sudah dewasa pun, Keiko tetap aneh. Dia suka meniru gestur dan nada ucapan pegawai lain. Bahkan dia menganggap keponakannya seperti binatang. Yang menurutnya untuk menghentikan tangisan si bayi dapat dilakukan dengan pisau. Keiko sadar kalau dia bermasalah tapi dia tidak tahu apa masalahnya. Kadang pikiran dia bisa kita terima, tapi lebih banyaknya di luar nalar.

Sedangkan Shiraha digambarkan sebagai lelaki dewasa yang suka meremehkan, pemalas, banyak omong, suka berhutang, dan tidak bertanggung jawab. Kasarnya, Shiraha itu parasit untuk siapa pun. Gara-gara omongannya yang besar, Keiko mau-maunya membuat kesepakatan dengannya untuk tinggal sekamar.

Kedua, soal budaya masyarakat. Novel ini blak-blakan menunjukkan bagaimana masyarakat melihat dan memperlakukan orang yang secara usia sudah matang tapi belum punya pencapaian. Pencapaian yang jadi standar masyarakat seperti pekerjaan yang baik dan pernikahan. Di kehidupan nyata pun banyak orang yang memandang sebelah mata kepada orang lain yang belum mencapai standar masyarakat.

Kalau ditelaah lebih dalam, Keiko dan Shiraha belum mencapai standar masyarakat karena pilihan hidup yang mereka ambil selalu tidak tepat. Sikap dan karakter keduanya yang membuat mereka tertinggal. Bukan karena takdir ya. 


Ketiga, soal pekerjaan. Nilai seseorang ditentukan dari pekerjaannya. Beruntung bagi kita yang punya pekerjaan sebab pengangguran itu tidak berharga. Novel ini menyinggung sikap profesional yang harus dimiliki pekerja. Salah satu yang paling vocal disinggung adalah harus mematuhi peraturan pekerjaan. 

Shiraha menjadi contoh buruk sikap pekerja. Dia meremehkan pekerjaannya, menggunakan ponsel di jam kerja, suka terlambat, memakan stock makanan yang hampir kadaluarsa, dan paling parah dia menguntit pelanggan minimarket. Hasilnya, dia harus dipecat. Buruknya sifat Shiraha, pemecatannya dianggap ketidakadilan.

Keempat, soal keluarga. Saya salut dengan adik dan orang tua Keiko yang tidak lepas tangan menghadapi keanehan Keiko. Selain support, mereka juga memperhatikan kehidupannya. Ini yang mematahkan dugaan keanehan Keiko diakibatkan keluarga yang tidak harmonis. Nyatanya keluarga Keiko baik-baik saja tapi Keiko tetap aneh.

Kelima, soal mencari jati diri. Setelah Keiko berhenti kerja, hidupnya jadi kacau, tidak tentu arah sebab tidak ada panduan. Ada satu kejadian, Keiko masuk ke minimarket dan reflek dia mengerjakan pekerjaan pegawai. Momen ini jadi titik balik Keiko sadar siapa dia dan apa yang ia sukai.


Novel ini tidak punya puncak konflik yang seru. Tipikal alur cerita yang datar tapi tidak sampai bikin bosan. Alurnya campuran, sesekali mundur untuk menjelaskan latar belakang yang membuat Keiko seperti sekarang.

Dengan sudut pandang orang pertama, pembaca diajak menyelami karakter Keiko lebih dalam. Dan karena saking memahami cara dia berpikir dan bertindak, saya tidak bersimpati dengan yang dialaminya. Bukan lingkungan yang salah, bukan pola didik orang tua yang salah, tetapi memang karakternya yang keliru. Ditambah Keiko tidak berjuang keluar dari zonanya selama ini, yang akhirnya sampai dia seusia segitu pun karakternya tetap tertutup.

Gaya bahasanya enak dan mudah dipahami. Ini juga berkat penerjemahan yang bagus. Ditambah kovernya yang mencolok berwarna kuning dengan ilustrasi Keiko yang minimalis, membuat novel ini gampang menarik pembaca.


Setelah membaca novel Gadis Minimarket ini saya semakin diyakinkan untuk menjadi orang yang lebih baik. Saya ingin membentuk nilai diri lebih positif seperti ramah, bertutur dengan bahasa santun, pekerja keras, gemar menebar tindakan baik, gampang menolong, dan masih banyak lagi sikap-sikap terpuji lainnya. Sebab, jika diri kita baik, masyarakat pun akan menilai baik. Dan jadi orang baik tidak akan rugi.

Untuk pengalaman membaca kisak Keiko dan minimarketnya, saya memberikan nilai 3/5 bintang. Tetap enak diikuti dan layak direnungkan.

Nah, sekian ulasan atau resensi novel dari saya. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku.