Resensi Novel Silence (Hening) - Shusaku Endo


Judul:
Silence (Hening)

Penulis: Shusaku Endo

Alih bahasa: Tanti Lesmana

Sampul: Staven Andersen

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Juni 2021, cetakan kelima

Tebal: 304 hlm.

ISBN: 9786020337173


Berita tersebut sampai kepada Gereja di Roma. [kalimat pertama, Silence]



Christovao Ferreira, yang seorang misionaris Kristen dikabarkan murtad di Jepang. Gereja Roma tahu situasi berat di Jepang. Dan untuk melanjutkan karya misionaris ini, dikirimlah Bapa Rubino dan keempat rekan lainnya untuk memasuki Jepang. Tetapi ada tambahan tiga orang pastor muda yang dulunya murid dari Ferreira: Francisco Garrpe, Juan de Santa Marta, dan Sebastian Rodrigues. Mereka ingin menyelidiki apa yang menimpa gurunya dengan kepala sendiri.

Untuk sampai di Jepang, rombongan akan memulai perjalanan dari Lisbon menuju India. Butuh berbulan-bulan untuk sampai ke sana dan merupakan perjalanan laut yang tidak mudah. Setelah tiba di Goa, mereka mendapatkan kabar jika kapal Portugis tidak diijinkan memasuki wilayah Jepang, dan membuat rombongan mesti berhenti di Kota Macao. 

Rombongan disambut oleh Bapa Valignano dan dia tidak mengijinkan melanjutkan perjalanan ke Jepang karena sedang marak penyiksaan oleh pemerintah Jepang kepada siapa pun yang memeluk Kristen. Namun murid Ferreira memaksa untuk memasuki Jepang dengan dibantu oleh orang Jepang bernama Kichijiro. Dan yang berangkat akhirnya hanya Garrpe dan Rodrigues, Santa Marta tidak diijinkan ikut karena sakit malaria.

Setiba di Jepang, dimulailah perjuangan berat dua pastor muda ini untuk menemukan guru mereka dan orang-orang Kristen yang saat itu ketakutan identitasnya diketahui sebab akan membuat mereka terbunuh dengan penyiksaan yang sangat menyakitkan. 

Keduanya mengalami masa berat harus sembunyi-sembunyi, menahan kelaparan, ditangkap oleh prajurit, dipenjara di pegunungan, menyaksikan pembantaian orang Jepang Kristen yang membantu mereka, dan semua itu terjadi karena mereka enggan menyangkal keyakinan mereka terhadap Kristen.

Apakah mereka mampu mempertahankan kekristenan mereka yang harus dibayar oleh banyak kematian warga kristen lainnya? Atau apakah mereka akan murtad seperti guru mereka Ferreira?




Novel ini tuh menceritakan dukanya seorang pastor melakukan misionaris di Jepang. Cerita ini malah mengingatkan saya kepada perjuangan Nabi Muhammad SAW sewaktu menyebarkan ajaran Islam. Ada yang menentang terbuka, menghina-dinakan, bahkan sampai ancaman pembunuhan. Enggak kebayang bagaimana pedihnya mereka menghadapi hal itu.

Konflik muncul sewaktu Rodrigues dihadapkan pada penderitaan siksaan seperti dipenjara atau menyaksikan orang lain dibunuh karena keukeuh dengan Kristen-nya. Batinnya resah mempertanyakan misionaris yang dilakukannya ini memang perlu atau tidak dilanjutkan sebab yang jadi korban bukan dirinya sendiri. Korbannya bisa menimpa siapa pun yang menolongnya. Seorang pastor harusnya mengasihi dengan kasih tapi yang terjadi justru menjadi sebab orang lain disiksa dan dibunuh.

Puncaknya, sesuai judul novel ini - Hening, Rodrigues mempertanyakan peran Tuhan ketika dirinya dan pemeluk Kristen lainnya didera siksaan pedih, Dia ada dimana. Kenapa Tuhan tidak menolongnya dan hanya hening saja saat dia dan yang lainnya berdoa dengan sangat keras meminta pertolongan.

Ada dua poin menarik yang mengesankan saya yaitu soal peran organisasi agama bagi umatnya dan soal status di agama yang disindir oleh Rodrigues. Jika ia murtad demi menyelamatkan umat lainnya agar tidak terbunuh akan menjadi kekecewaan bagi Gereja Roma di sana. Sementara peran mereka di sana hanya mengirimkan pastor ke Jepang, hidup mereka aman dan nyaman, tidak mengalami penderitaan yang sama, tetapi dengan entengnya bisa melabelkan, memberi cap kalau tindakan murtad itu sebagai kesalahan besar. Padahal yang murtad terpaksa kemudian harus menderita karena pilihannya itu. 

Selain itu, status pastor yang disandang Rodrigues membuatnya harus bersikap terus mengasihi, memberi berkat dengan santun, dan harus mempresentasikan ajaran Kristen dalam situasi apa pun. Padahal pastor sendiri adalah manusia biasa. Ketika mengalami penyiksaan, ia pun ingin mengakhirinya segera dengan menyangkal keyakinan. Tetapi ia tetap menolak keluar dari keyakinan karena ia pastor dan di luar sana banyak yang menyebutnya Bapa. Label pastor inilah yang kemudian membuatnya tidak leluasa mengekspresikan emosi secara natural dan jujur sebagai manusia. Rodrigues dibuat resah dengan situasi yang membingungkan ini.

Sewaktu membaca novel ini, saya harus ekstra sabar sebab novel ini tipikal yang slow pace. Beruntungnya saya sudah menyiapkan diri jadi bisa melewatinya dengan baik. Dan format berceritanya lebih banyak deskripsi dibanding dialog. Tidak heran sih sebab keunggulan novel ini tuh kelihatan dari bagaimana penulis menggambarkan situasi yang dialami si tokoh dengan detail. Banyak banget narasi yang membuat kita akan membayangkan visualnya. Contohnya, sewaktu Rodrigues dipenjara di ruangan gelap dan pada pagi hari akan kelihatan sinar matahari yang masuk melalui celah, itu dideskripsikan dengan apik dan bisa membangun imajinasi pembaca.

Sudut pandang di novel ini ada di tokoh Rodrigues. Di awal kita akan membaca surat-surat yang dikirim Rodrigues ke Gereja Roma untuk mengabarkan perjalanannya ke Jepang. Isi suratnya sangat runut dan sarat informasi. Kemudian akan berubah menjadi pencerita saat kondisi Rodrigues tertangkap dan tidak memungkinkan untuk mengirim surat ke luar Jepang. Bentuk bercerita yang menarik dan tidak membingungkan juga.

Karena hanya ada satu POV, karakter Rodrigues juga yang paling berkembang. Dia ini pastor yang baik dan taat tapi kemudian mengalami kebingungan dengan ajarannya ketika mengalami penyiksaan. Tokoh-tokoh lainnya muncul sebagai pendukung saja dan porsinya tidak cukup banyak.

Usai membaca novel ini saya tidak mau membahas soal keyakinan beragama itu harus bagaimana sebab saya hanya manusia biasa yang imannya mudah naik dan turun. Orang paling taat pun akan ada fase dia menjadi manusia biasa yang punya nafsu, niat jelek, pikiran buruk, dan dosa yang mungkin disembunyikan dengan rapi dari pandangan orang lain. Yang paling tegas pesan dari novel ini adalah kita harus peka dengan orang sekitar agar kita bisa memiliki manfaat baik di situ.

Dosa adalah kalau orang menginjak-injak kehidupan orang lain secara brutal dan sama sekali tidak peduli akan luka-luka yang ditimbulkannya (hal. 145)

Kesimpulannya, secara pribadi saya suka dengan cerita di novel ini dan saya akan merekomendasikannya untuk pembaca yang menyukai cerita perenungan soal agama yang slow pace

Sekian ulasan saya untuk novel ini, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



0 komentar:

Posting Komentar