Judul buku: Starlight
Penulis: Dya Ragil
Desain sampul: Orkha Creative
Aksara diperiksa: Abduraafi Andrian
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: April 2016
Tebal buku: 264 halaman
Harga buku: Rp 62.000 (before discount, gramedia.com)
ISBN: 9786020327532
“Bakal kusedot semua cahaya dari bintang-bintang yang
kelewat dekat. Hati-hati, bisa aja kamu salah satunya.”
Gimana rasanya satu
kelompok belajar murid-murid berbeda kepribadian? Harusnya sih seru, tapi Wulan
merasa kebalikannya. Dia bete mesti sekelompok sama Lintang-saudara
kembarnya-yang lebih disayang sang ayah, Bagas si jenius bermulut besar, Nindi
yang galak dan dingin, juga Teguh si biang onar. Hubungan kelimanya makin kacau
waktu sekolah mengadakan seleksi perwakilan olimpiade sains.
Di tengah persiapan
olimpiade, Wulan harus menghadapi sang ayah yang selalu meragukan dirinya,
mantan pacar yang kerap menindas saudaranya, juga mantan gebetan yang terus
mengganggu konsentrasinya.
Akankah kehidupan SMA
Wulan berjalan mulus? Atau dia gagal membuktikan kemampuannya?
***
Review.
Ada yang tidak sepakat dengan judul di atas, SMA adalah masa
paling indah?
Menengok cerita yang ada di novel Starlight ini, saya menjadi kangen belajar kelompok, presentasi di
depan kelas, jajan di kantin, bersaing dengan salah satu siswi yang kerap
menyalip rangking, dan masih banyak memori lainnya mengenai kehidupan di masa
SMA. Kalau mengingat-ingat hal itu, rasanya indah sekali.
Novel Starlight ini menceritakan mengenai satu kelompok
belajar yang diisi oleh siswa-siswi yang sangat beragam karakternya.
Perbedaan karakter satu anggota dengan anggota yang lain sangat terlihat.
Sedikit sudah dipaparkan mengenai anggota-anggotanya dan karakter yang dimiliki
pada blurb di atas. Saya sebagai pembaca mengikuti perjalanan sekolah Wulan,
Lintang, Bagas, Nindi, dan Teguh, merasa seru sekali.
Lintang selalu di-bully Teguh. Bukan tidak bisa melawan,
Lintang melakukannya hanya karena ingin minta maaf atas kejadian 2 tahun silam.
Kejadian yang membuat Lintang dan Teguh yang bersahabat dekat, menjadi musuh
yang setiap ketemu selalu membuat suasana tegang. Wulan hadir dengan sifat
cerianya. Hanya dia yang bisa memarahi Teguh lantaran pada masa SMP ternyata
mereka sempat pacaran. Wulan yang berusaha mengendalikan Teguh dari sifat
pemarah, membuat Bagas uring-uringan. Ditambah konflik batin karena sang
ayah selalu membanggakan Lintang, membuat Wulan kadang-kadang merasa iri. Sementara
Nindi yang bersikap dingin ternyata memiliki beban besar untuk selalu menjadi
yang terbaik dan harus memiliki nilai paling bagus.
Perseteruan dan ketidakakraban mereka membuat banyak
kejadian menjadi asyik dinikmati. Saya sendiri merasa tidak bisa menutup novel
ini sebelum mengetahui apa yang akan terjadi dengan mereka. Novel ini juga
mencoba menghadirkan banyak warna, ada sisi romantis, ada sisi keluarga dan ada sisi persahabatan. Untuk lebih lengkapnya, silakan beli novel ini di
toko buku terdekat dan baca hingga tuntas (ngiklan, hehe).
Bonus dalam novel ini, pembaca akan diberikan banyak sekali
pengetahuan mengenai benda langit. Seperti nama-nama rasi bintang, alasan bulan
hanya menampakkan satu sisi saja bagi penghuni bumi, dan masih banyak yang lainnya.
Contohnya di halaman 81 yang menceritakan mengenai bintang kembar, bintang
Sirius.
Memperhatikan kover, saya sudah sangat suka.
Sebab, warna hitam sebagai backround yang menunjukkan langit malam, dengan
ditaburi banyak bintang, dengan menghadirkan gambar rumah yang memiliki balkon
dan ada sosok anak laki-laki dan perempuan yang sedang berdiri dekat teleskop,
sudah sangat mempresentasikan isi cerita di dalamnya. Jadi tidak saran apa pun
dari saya untuk kover.
Plot. Gaya Menulis.POV. Karakter.
Novel Starlight mengusung plot maju. Ada pun untuk
menceritakan masa lalu, penulis menggunakan bercerita melalui dialog pada tokoh
utama. Sehingga tidak memperbanyak cabang cerita dan itu pilihan yang tepat.
Sedangkan gaya menulis yang digunakan Dya Ragil sudah sangat enak. Diksi yang
digunakan sederhana, pemilihan katanya tidak semua baku dan ini mencirikan
novel lini teenlit, serta kalimatnya dibuat mengalir. Saya merasa sangat lancar
membaca novel ini dengan kelebihan gaya menulis yang tadi saya sebutkan.
Tanpa mengurangi jatah yang lain dalam mengeksplor karakter
kelima tokoh yang menjadi sorotan, pemilihan POV orang ketiga sangat pas.
Kemampuan penulis menghidupkan karakter dengan POV tersebut sangat berhasil dan
seimbang. Memang yang lebih banyak diceritakan mengenai Wulan dan Lintang,
namun karakter Bagas, Nindi, dan Teguh, dapat digambarkan dengan utuh sehingga latar
belakang dan keadaan mereka bisa dipahami menyeluruh.
Karakter yang muncul sepanjang novel ini sudah sangat hidup.
Lintang, sosok pemimpin kelas berwibawa, bijak, cerdas, peduli dengan teman,
kuat, penurut dan dewasa. Saya menyukai gaya Lintang dalam menghadapi Teguh.
Usahanya untuk meminta maaf patut diacungi jempol. Wulan, anak perempuan yang
ceria, berpikiran sederhana, namun jangan sampai membuatnya marah. Sebab
ternyata keceriaan tersebut bisa hilang jika ia sudah marah. Nindi, contoh
siswi yang rajin, pintar, ambisius, dan mengerti keadaannya yang hanya anak
dari keluarga biasa. Bagas, anak laki-laki yang sinis, percaya diri, bermulut
besar atau suka berbicara tanpa memfilter ucapannya, dan sedikit dingin. Teguh,
anak laki-laki yang tempramen, pendiam, pendendam, namun baik. Ia menjadi sosok
bad boy karena masa lalu yang melukai hatinya.
Bagian favorit.
Bagian ini adalah bagian yang membuat saya merasa terharu. Yaitu
ketika Wulan mencoba menghentikan Teguh yang tidak mau ke perpustakaan untuk
belajar kelompok. Dalam adegan itu Teguh mengkonfirmasi hubungan Wulan dengan
Bagas. Dan Wulan memberikan jawaban jika itu bukan urusannya. Dengan tegas
Teguh menjawabnya;
“Aku bakal bikin kamu jadi urusanku lagi.” [hal. 61]
Petik-petik.
- Berusahalah dengan belajar lebih giat untuk mencapai impian. Sebab usaha tidak pernah membohongi hasilnya.
- Menjadi orang yang pemaaf bukan berarti lemah. Melainkan menjadi orang kuat, sebab hatinya lebih tangguh menerima kesalahan.
Catatan menarik.
- Bahkan orang bodoh pun punya potensi. Yang awalnya nol besar pun bisa meledak jadi hebat kalau mau usaha. [hal. 11]
- Tugas wali kelas itu untuk selalu ada di sisi anak-anak didiknya tanpa pilih kasih, tanpa satu orang pun disingkirkan, kan? [hal. 29]
- Asumsi orang dewasa tiap melihat seorang anak babak belur pasti selalu karena anak itu berkelahi. [hal. 44]
- Menghakimi seseorang juga kebiasaan buruk, Pak. [hal. 45]
- Sekolah adalah rumah kedua buat anak-anak itu. [hal. 46-47]
- Alasan selalu sederhana. Yang jadi pembeda kan gimana kita bisa bikin hal sederhana itu jadi sesuatu yang nyata dan berarti besar. [hal. 64]
- Kalau berusaha keras, impian sebesar apa pun masih mungkin diraih. [hal. 152]
- Itu bukan janji. Nggak berarti semua bakal beneran baik-baik aja. Tapi itu doa. Kata-kata yang ngasih kita sugesti dan kekuatan untuk mengusahakannya sendiri. [hal. 197]
Final. Rating.
Novel ini karena lini teenlit, jadi sangat pas dibaca oleh
anak sekolah level SMP-SMA. Namun tidak buruk juga jika dibaca oleh para guru. Sebab
di dalamnya ada juga pembelajaran menjadi wali kelas yang baik untuk anak-anak
didik. Akhirnya rating yang saya berikan untuk novel Starlight ini adalah 4
bintang dari 5 bintang.
Penulis.
Dya Ragil lahir dan besar di Sleman. Penyuka kucing,
astronomi, kopi dan Detektif Conan. Penggila sepak bola dan Sherlock Holmes.
Bukunya yang telah terbit adalah Sebelas (Ice Cube, 2015).
Penulis dapat dihubungi lewat email dyaragil@gmail.com, laman Facebook: Dya
Ragil, dan Twitter @dyaragil. Bisa juga mengintip tulisannya di http://dyaragil.blogspot.com. [sumber
dari biodata penulis di belakang novel]