Tampilkan postingan dengan label annisa ihsani. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label annisa ihsani. Tampilkan semua postingan

Desember 18, 2019

[Resensi] Mencari Simetri - Annisa Ihsani


Judul: Mencari Simetri
Penulis: Annisa Ihsani
Penyunting: Mery Riansyah
Penyelaras aksara: Yuliono
Desain sampul: Sukutangan
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Agustus 2019
Tebal: 240 hlm.
ISBN: 9786020629360
ISBN digital: 9786020629353

Sinopsis
Umur April sudah 29 tahun. Pekerjaannya sudah bagus dan fleksible, bisa dikerjain di kosan atau rumah. Tapi dia gundah oleh cerita asmaranya dengan Armin, rekan kerja prianya yang kadang cuek, kadang begitu perhatian. Hubungan mereka tidak jelas, sehingga April tidak bisa melanjutkan langkahnya mau kemana. Enam tahun April terus memupuk harapan kepada Armin. Sedangkan kalau dibandingkan dengan sahabatnya, Sita, dia sudah menikah dan akhirnya punya bayi.

Dalam keluarga, Mama harus ke Semarang untuk mengurus neneknya. Papa ditinggal di rumah dan mulai melupakan banyak hal. April kemudian memegang tanggung jawab terhadap papanya karena Kak Laras sibuk dengan keluarganya.

Apakah April bisa melewati krisis hidup di usianya yang sekarang?

Resensi
Nama penulis Annisa Ihsani merupakan salah satu penulis yang karyanya saya ikuti. Buku Mencari Simetri ini merupakan buku keempat karya Annisa yang saya baca. Untuk membaca resensi buku Annisa lainnya, silakan klik judulnya berikut ini: Buku A Untuk Amanda, Buku Teka-Teki Terakhir, dan Buku A Hole in The Head.

Menurut kabar, buku Mencari Simetri ini merupakan karya Annisa yang keluar dari kebiasaannya karena dia mengambil lini Metropop. Buku-buku terdahulunya terbilang di lini Teenlit/Remaja. Tentu saja ini bikin penasaran bagaimana Annisa meramu konflik dewasa, apakah akan sama serunya atau justru Annisa menjadi bukan Annisa.

Krisis Usia Menjelang Usia Tiga Puluh Tahun

Saya yakin banyak yang mengalami kegalauan ketika umur sudah mendekati angka tiga puluh. Biasanya mereka akan men-screening dirinya sendiri, lalu dibandingkan dengan orang lain di sekitarnya. Hasilnya adalah rendah diri. Seperti yang dialami tokoh April, dia merasa dirinya gagal, hidupnya tidak berhasil, dan merasa tertinggal dibandingkan dengan pencapaian orang terdekatnya. Contohnya, April melihat Sita, sahabatnya, sudah sangat enak karena di usia sekarang dia sudah menikah, bahkan sebentar lagi dia punya bayi. Sedangkan April merasa dirinya masih jauh untuk menyamai Sita.

Pikiran menikah saja tidak ada. April masih bergelut dengan perasaannya yang kerap di naik-turunkan oleh Armin. Kedekatan mereka tidak membawa mereka kemana-mana. Hanya senang berbagi letupan indah di dada ketika sedang bersama tanpa ada yang mau memulai membicarakan komitmen. April galau karena urusan ini.

Cinderella Syndrom Atau Hanya Ketidaksiapan?

Mengikuti kisah April dengan kebucinannya (budak cinta) membuat saya mempertanyakan pola pikirnya yang menolak segala bentuk komitmen besar. Misalkan dia belum memikirkan menikah dan masih senang dengan konsep berbunga-bunga ala remaja belia. Atau ketika dia bingung untuk pindah kosan ke rumah, sedang di depannya ada alasan besar yang mengharuskan dia pindah, dan keraguannya itu didasari ketidakinginan April memikul tanggung jawab merawat papanya yang akan membuat zona nyamannya terrenggut.

Kalian pernah dengar Cinderella syndrom? Sindrom yang menyebabkan orang dewasa bersikap kanak-kanak. Cinderella syndrom ini sebutan bagi penderita perempuan, sedangkan bagi penderita laki-laki disebutnya Peterpan syndrom. Begitu membaca kisah April, saya menduga dia mengidap sindrom ini. Apalagi ending cerita April digantung, yang bikin saya makin heran kenapa dia tidak bisa melihat kisah asmaranya dengan sudut pandang yang lain. Tapi saya tidak bisa memastikan hal itu, bisa saja April memang tipe perempuan yang memiliki prinsip kuat terkait keputusan yang menyangkut dirinya.

Berbakti Kepada Orang Tua Itu Tidak Mudah Dan Harus Dilakukan

Selain urusan asmara, April terseret untuk mengurus papanya yang mulai menunjukkan gejala pikun. Mamanya mendadak harus ke Semarang mengurus Eyang Uti yang mulai sakit-sakitan, bahkan sampai berbulan-bulan Mamanya di sana. April baru merasakan bagaimana sulitnya membagi waktu antara bekerja dan mengurus keluarga.

Ada beberapa bagian cerita yang akan mengingatkan kita untuk memperhatikan orang tua kita dan akan membuat hati kita terenyuh. Yaitu ketika kita mendapati sosok orang tua kita ternyata sudah tua. Melihat tubuh mereka yang mulai bungkuk, melihat kulit mereka yang mulai keriput, dan melihat rambut mereka yang mulai beruban. Ini bikin kita berpikir sudah sejauh mana kita berbakti kepada mereka.


Perubahan Bentuk Perkawanan Di Atas 25 Tahun

Ketika kita sudah lulus kuliah dan kemudian bekerja, ada yang berubah dari bentuk perkawanan. Jangan tanya soal perkawanan SD, SMP, dan SMA. Itu pasti sudah berubah sejak kita naik tingkat sekolah. Dan perkawanan kuliah pun berubah juga. Sebab kita akan disibukkan oleh pekerjaan, oleh pergaulan tempat kerja, bahkan oleh prioritas hidup lainnya.

Hubungan April dan Sita pun berubah ketika Sita menikah dan akhirnya punya anak. April merasakan betul waktu sahabatnya itu berkurang banyak untuk dirinya karena Sita punya prioritas baru. Pada saat beginilah dibutuhkan kedewasaan menyikapi perubahaan yang terjadi. Kita tidak bisa menuntut orang lain mengikuti ritme hidup yang kemarin-kemarin, tetapi yang dibutuhkan adalah menyesuaikan diri dengan prioritas kita yang baru.

Mereka Menyebalkan Dan Bikin Hilang Simpati

Sepanjang membaca buku Mencari Simetri ini, kita akan dikenalkan kepada beberapa tokoh. Sayangnya, saya tidak bertemu dengan satu tokoh pun yang saya sukai. Menurut saya tokoh utama di novel ini sangat menyebalkan.

April jelas-jelas perempuan yang begitu mengagungkan kebenaran pilihannya. Memilih pasangan saja dia begitu ingin yang sesuai dia mau dengan alasan, "Saya yang akan menjalani." Tidak salah sebenarnya, tapi ada kalanya sebagai manusia kita juga begitu didominasi egois dan belum tentu yang kita yakini itu benar. Banyak sekali orang di sekitar saya yang karena usia sudah matang, atau kelewat matang, akhirnya memilih pasangan dengan menurunkan egoisnya. Mereka mulai melihat dengan kacamata orang tua dan sahabat-sahabatnya. Toh tidak ada orang yang menyayangi kita akan memberikan kepada kita pilihan yang buruk.

Armin pun bukan pria yang patut dibanggakan walau senyumnya manis dan dia bisa sangat perhatian. Benar kata Sita, Armin tipe pria yang senang menebar remah-remah untuk perempuan, tapi enggan memberikan kue utuh. Dia senang di kelilingi perempuan, memperhatikan mereka, tapi tidak ada dipikirannya untuk memiliki. Senang sebatas itu saja. Orang menyebutnya pria pemberi harapan palsu.

Lukman juga membosankan. Kalau dari segi materi, dia mapan, Kalau soal perhatian, dia jagonya. Kalau soal membangun hubungan yang berwarna, ini dipertanyakan. Saya masih bingung dengan karakter dia yang ingin mengajak April serius tapi tanpa memberi kesan dulu. Kesan nyaman dan kesan membahagiakan. Bayangkan saja yang dilakukan Lukman itu sekadar ngajak makan dan nonton, lalu tiba-tiba memperkenalkan April ke keluarga. Caranya tepat tapi dia tidak mempertimbangkan perasaan April yang terkejut. Entah ini karena ceritanya dipersingkat atau beneran dikonsep demikian.

Akhirnya dan Rating
Pemilihan konflik yang pas untuk menyasar pembaca dewasa dan banyak mengingatkan soal beberapa hal yang akan dialami ketika menginjak usia tiga puluh. Fase krisis yang butuh ekstra tenaga untuk bisa melewatinya. Dan saya memberikan nilai untuk buku Mencari Simetri ini dengan nilai 3 dari 5.

*****

  • "... Ketika orang-orang menaruh ekspektasi mereka terhadapmu dan kau tidak mau memenuhinya, itu bukan salahmu. Kau tidak bisa memenuhi ekspektasi semua orang." (Hal. 52)
  • "Janganlah terlalu sering membanding-bandingkan hidupmu dengan orang lain...." (Hal. 96)



Januari 18, 2018

[Resensi] Teka-Teki Terakhir - Annisa Ihsani

Judul: Teka-Teki Terakhir
Penulis: Annisa Ihsani
Editor: Ayu Yudha
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Maret 2014
Tebal buku: 256 halaman
ISBN: 9786020302980
Harga: Rp60.000 

Sebuah novel jika dibaca oleh dua orang akan melahirkan dua penilaian yang berbeda. Sebab novel memiliki efek kesan yang terhubung dengan pembaca secara misterius. Kondisi si pembaca turut menyebabkan hal demikian terjadi. Dan itu yang saya alami setelah berdiskusi via twitter dengan beberapa teman blogger buku mengenai buku ini.

Novel Teka-Teki Terakhir merupakan debut Annisa Ihsani (Sepertinya begitu, sebab judul novel ini selalu muncul di awal dibandingkan novel lainnya; A Untuk Amanda dan A Hole in The Head). Menceritakan seorang anak perempuan usia dua belas tahun bernama Laura.  Di dekat rumahnya itu, ada sebuah rumah besar terkesan angker yang dihuni oleh keluarga Maxwell yang dipenuh gosip tidak jelas kebenarannya. Dan suatu hari, sepulang sekolah, Laura membuang kertas ulangan matematikanya dengan nilai nol pada tempat sampah di depan rumah keluarga Maxwell. Hari berikutnya Laura ketakutan saat Tuan Maxwell memanggilnya dari beranda dan mengembalikan kertas ulangannya serta memberikan buku Nol: Asal-usul dan Perjalanannya.

Itu jadi pertemuan pertama Laura dengan Tuan Maxwell yang kemudian diikuti oleh kunjungan lainnya sebab di rumah yang kelihatan angker tersebut terdapat perpustakaan lengkap. Laura seperti menemukan tempat paling nyaman. Usut punya usut, Tuan Maxwell ternyata seorang profesor matematika. Berkat diskusi yang Laura lakukan dengan Tuan dan Nyonya Maxwell, nilai matematikanya berangsur-angsur membaik.

Novel ini memang penuh pembahasan matematika. Sebagiannya saya tidak memahami. Namun, tetap saja asyik diikuti sebab menambah wawasan. Dan fakta mengenai penuh matematika memang menjadi alasan beberapa blogger menyukai novel ini. Alasan lainnya, gaya menulis Ihsani memang patut diacungi jempol. Selain renyah dan apik, gaya menulis Ihsani pas sekali dengan pemilihan karakter anak-anak.

Ada persamaan dari ketiga novel karya Ihsani; tokoh utamanya anak-anak atau remaja. Dan saya merasa tokoh Laura di novel ini mirip sekali dengan tokoh Ann di novel A Hole in The Head. Keduanya punya sifat ingin tahu, suka petualangan, dan selalu ceria khas anak-anak.

Saya menyatakan lebih suka novel A Hole in The Head dibandingkan novel ini karena unsur petualangan di novel ini sangat sedikit. Teka-Teki Terakhir yang menjadi judulnya sempat mengecoh karena saya berharap menemukan petualangan menemukan misteri. Yang ada justru teka-teki terakhir ini menunjuk ke pencarian Tuan Maxwell akan pembuktian Teorema Fermat Terakhir. Jadi bukan si Laura yang melakukan pencariaannya.

Ada bagian cerita yang terhubung langsung dengan emosi saya ketika membacanya. Yaitu ketika Tuan Maxwell meninggal dan Laura merasa kehilangan. Saya pernah mengalami hal serupa, kehilangan orang terkasih. Narasi Laura yang merasa ada yang tercabut sebagian jiwanya sangat mewakili apa yang pernah saya rasakan. Bahkan sampai detik ini saya belum berani mengintip foto dia di sosial medianya meski sangat rindu. Perasaan kehilangan itu yang membuat saya menyukai novel ini. Bukan matematika, bukan konflik persahabatan Laura dengan Katie, atau kekecewaan Tuan Maxwell yang akhirnya kalah dalam pencarian Teorema Fermat Terakhir.

Di novel ini kita akan melihat bentuk persahabatan yang solid. Yah, meski di tengah persahabatan akan selalu ditemukan pertengekaran-pertengkaran, tapi jika persahabatan itu solid pasti akan kembali akur. Laura dan Katie sempat saling menghindar. Keduanya sadar akan kondisi tak beres, dan keduanya gengsi untuk memulai kembali sehingga butuh berbulan-bulan agar mereka kembali menyapa. Inilah warna dalam persahabatan. Tidak selalu tertawa bareng, tidak selalu menangis bareng, tapi ada kalanya harus saling berseteru.

Untuk Laura yang kemudian berubah dewasa berkat perkenalannya dengan keluarga Maxwell, saya memberikan nilai 4/5 untuk buku ini. Novel yang pas dan cocok dibaca oleh anak-anak dan remaja untuk menyukai matematika.

Januari 15, 2018

[Resensi] A Hole in The Head - Annisa Ihsani

Judul: A Hole in The Head
Penulis: Annisa Ihsani
Penyunting: Aditiyo Haryadi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Oktober 2017
Tebal buku: 232 halaman
ISBN: 9786020377445
Harga: Rp58.000 

Novel A Hole in The Head merupakan novel terbaru dari Annisa Ihsani dan jadi novel kedua yang saya baca, setelah sebelumnya saya membaca novel A Untuk Amanda. Ada perbedaan besar antara kedua novel tadi. Novel A Hole in The Head mengangkat kisah petualangan misteri, sedangkan novel A Untuk Amanda lebih banyak mengupas psikologi remaja.

Di novel ini kita akan berkenalan dengan anak perempuan berusia tiga belas tahun bernama Ann. Orang tua Ann bercerai ketika dia berumur dua tahun. Menjelang liburan sekolah selama dua minggu, Indira harus merubah rencana liburan Ann di rumah neneknya karena adik perempuan Indira baru saja melahirkan dan si nenek dibutuhkan sekali untuk mengurus adiknya itu. Indira akhirnya memutuskan mengirim Ann ke rumah ayahnya di Jenewa.

Gertjan, si ayah Ann, setelah bercerai, dia menikahi Mama Nina dan sudah memiliki anak bernama Emil yang berusia sepuluh bulan. Kesibukan Gertjan saat ini adalah membantu Mama Nina mengurus penginapan warisan keluarga, Penginapan Monchblick Inn.

Setibanya Ann di penginapan sekaligus rumah ayahnya, ia bertemu Jo, cucu seorang koki di penginapan. Ann juga mendengar rumor hantu yang beredar mengenai penginapan Monchblick Inn dan membuat penginapan jadi sepi pengunjung. Jiwa petualang Ann terpanggil untuk membongkar kebenaran mengenai hantu Matteo yang mengganggu di penginapan. Dia pun bekerja sama dengan Jo melakukan penyelidikan.

Membaca novel A Hole in The Head mengingatkan saya pada novel Trio Detektif punya Robert Arthur. Sama-sama memecahkan misteri dan tokohnya anak-anak. Saya sangat menyukai diksi pada novel ini, mirip terjemahan novel anak. Dunia anak yang penuh ingin tahu digambarkan dengan apik oleh Ihsani sehingga dia berhasil menggiring pembaca untuk ikut serta berpetualang. Jalan pikiran anak-anak yang bergulir tanpa banyak pertimbangan, spontan, dan sumbu pendek, membuat saya yang bukan seusia Ann lagi, seakan bernostalgia dengan masa kecil. Auranya kerasa dan berkesan. Rasa takut, deg-degan, dan penasaran merasuk ke jiwa saya sepanjang mengikuti kisah Ann.

Novel ini mematahkan stereotip tentang ibu tiri yang jahat dan tidak sayang terhadap anak tiri. Sebab Mama Nina sama sayangnya terhadap Ann meski ia memiliki anak kandung. Mama Nina peduli terhadap kebahagiaan Ann yang sudah mau menghabiskan liburan bersama keluarganya di tengah kesibukan dia mengurus penginapan yang sedang bermasalah. Selain itu, kita pun akan melihat kerukunan, saling menghormati antara Mama Nina dan Indira padahal keduanya memiliki status hubungan yang rentan dengan ketidaksukaan.

Saya paling suka pada bagian misteri yang kunci kebenarannya susah ditebak. Saya pun rasanya punya lubang di kepala, seperti judul ini, karena tidak menyadari petunjuk-petunjuk yang mengarah pada kebenaran. Padahal, penulis sudah menyinggung petunjuk-petunjuk itu di beberapa bagian. Artinya, Ihsani sukses mengonsep cerita misterinya.

Novel ini cocok dibaca oleh pembaca anak-anak. Selain menghibur, novel ini pun memiliki sisipan ilmu pengetahuan. Dan ini kelebihan novel Ihsani, memberikan cerita yang menambah wawasan. Ilmu pengetahuan yang dipilih pun bukan sekadar tempelan agar ceritanya berbobot. Justru ilmu pengetahuan itu mendukung penuh pada cerita.

Catatan saya untuk novel ini terletak pada cara Ihsani mendeskripsikan latar tempat yang menurut saya masih kurang dalam. Detail lokasi, baik jalanan, lingkungan, penginapan, dan tempat wisata, belum tergali dengan sangat baik. Saya tidak mendapatkan imajinasi latar yang benar-benar bikin bulu kuduk merinding. Padahal, menilik misteri yang diangkat, aura dingin, gelap, dan begidik, harusnya bisa tersampaikan kepada pembaca. Sayangnya, itu jadi PR Ihsani untuk karya selanjutnya. Saya membandingkan dengan karya Paula Hawkins yang Into The Water, aura dingin kolam penenggalaman tersampaikan dengan baik melalui narasi yang berulang dengan pemilihan kata yang berbeda, dan dukungan misteri yang memang menyesakkan.

Lainnya, saya kurang suka akhir cerita yang dipilih Ihsani terkait si penjahat. Sebab tidak ada hukuman dan ganjaran yang sepadan yang diterimanya. Padahal, jelas sekali kejahatannya terbilang besar. Tapi saya masih berpikir positif, pilihan Ihsani ini berdasarkan genre novelnya yang condong ke buku anak atau buku keluarga.

Saya memberikan nilai 4/5 untuk kecolongan Ann memahami kebenaran misteri yang ada di penginapan Monchblick Inn.

Mei 28, 2016

[Resensi] A Untuk Amanda - Annisa Ihsani; Berdamai Dengan Diri Sendiri


Judul buku: A Untuk Amanda
Penulis: Annisa Ihsani
Editor: Yuniar Budiarti
Proofreader: M. Aditiyo Haryadi
Desain sampul: Orkha Creative
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Maret 2016
Tebal buku: 264 halaman
Harga buku: Rp 60.000 (before discount, gramedia.com)
ISBN: 9786050326313

Amanda punya satu masalah kecil: dia yakin bahwa dia tidak sepandai kesan yang ditampilkannya. Rapor yang semua berisi nilai A, dia yakini karena keberuntungan berpihak padanya. Tampaknya para guru hanya menanyakan pertanyaan yang kebetulan dia tahu jawabannya.

Namun tentunya, tidak mungkin ada orang yang bisa beruntung setiap saat, kan?

Setelah dipikir-pikir, sepertinya itu bukan masalah kecil. Apalagi mengingat hidupnya diisi dengan serangkaian perjanjian psikoterapi. Ketika pulang dengan resep antidepresan, Amanda tahu masalahnya lebih pelik daripada yang siap diakuinya.

Di tengah kerumitan dengan pacar, keluarga, dan sekolahnya, Amanda harus menerima bahwa dia tidak bisa mendapatkan nilai A untuk segalanya.
***

Review.
Novel ini menceritakan seorang murid SMA bernama Amanda yang kalau dilihat dari berbagai aspek kehidupannya, dia adalah murid yang sangat normal dan aman, namun didiagnosa Depresi. Kebutuhan sehari-hari yang cukup berkat memiliki Ibu seorang akuntan, tidak pernah mengalami trauma apapun, memiliki pacar yang baik hati, dan nilai-nilainya hampir sempurna, menjadi alasan Amanda tidak mempercayai hasil diagnosa Dokter Eli. Prolog inilah yang membuat saya penasaran dengan cerita yang terjadi pada Amanda. Prolog ini jugalah yang menjadi awal mula kilas balik kisah Amanda.

Saya dibawa mengenal sosok Amanda yang bersahabat dengan Tommy. Persahabatan yang terjalin sejak mereka kecil. Kemudian saya juga diperkenalkan dengan Amanda yang pintar di sekolah. Ia selalu bisa menjawab pertanyaan yang diajukan gurunya. Kadang gemes jika seorang guru mengajukan pertanyaan, dan teman-temannya tidak ada yang menjawab. Dengan berat hati, ia pun menjawabnya. Tindakannya itu membuat sosok Amanda terkenal pintar dan cerdas.

Sejak mendapatkan nilai IPK 4,00 di semester pertama, pertanyaan mengenai nilai tersebut mulai memasuki benak Amanda. Terus bergulir pertanyaan, apakah memang karena kemampuannya atau justru hanya kebetulan saja. Kehidupan Amanda berubah drastis. Ia mulai menilai dirinya negatif dan itu mempengaruhi hubungannya dengan Tommy dan Ibunya.

Saya cukup terkejut penulis membawa kisah buram mengenai sisi orang yang perfeksionis, pintar dan ambisi. Saya kira orang-orang berotak encer akan sangat bersyukur dengan kemampuannya. Namun penulis mencoba memperkenalkan kerumitan yang mungkin memang dialami oleh orang-orang cerdas. Saya bukan orang cerdas, tapi saya sedikit tersentil mengenai kerja otak yang selalu berpikir, saya pun kerap mengalaminya. Dan efek dari banyak terlalu berpikir adalah mulai menilai diri dengan sangat negatif sehingga timbul rasa tidak percaya diri dan minder. Saya masih mengalaminya hingga saya menuliskan resensi ini.

Mengikuti proses psikoterapi Amanda dengan Dokter Eli, saya pun turut menyimaknya dengan sepenuh hati. Banyak sekali hal yang bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari untuk memahami siapa kita sebenarnya. Seperti, menuliskan pikiran negatif yang muncul dan menuliskan respon positif seharusnya. Ada juga dengan membandingkan indeks kesenangan yang muncul dipikiran ketika akan memulai kegiatan dengan indeks setelah melakukan kegiatan tersebut.

Lalu, ketika sampai di akhir novel, saya menyadari ini novel yang penuh pelajaran mengenai psikologis. Dan harus dibaca oleh anak-anak yang masih bersekolah sebagai motivasi.

Menilik kovernya, saya terus terang kurang suka. Terlalu sederhana dengan warna kuning yang sangat pucat. Kover yang dipakai tidak menarik minat orang yang sedang mencari buku. Saya lebih suka warna yang terang dan gambar yang tegas. Di luar dari pemilihan warna, untuk gambar sosok perempuan yang memejamkan mata, cukup menceritakan sebagai sosok Amanda yang sangat kelelahan dengan kehidupan dan dia mencoba mencari ketenangan dengan mengheningkan diri. Mungkin jika dipadukan warna biru langit dan gambar perempuan tadi, akan menjadikan novel ini lebih menonjol.

Plot. Gaya menulis. POV. Karakter.
Novel A Untuk Amanda ini menggunakan plot campuran; plot mundur-maju, dengan POV orang pertama. Prolog membuka dengan kunjungan pertama Amanda ke Klinik Psikiater; Dokter Eli. Lalu setengah buku pertama, pembaca diajak kilas balik mengenal sosok kehidupan Amanda; mengenai Tommy dari sahabat hingga menjadi pacar, hubungannya dengan sang ibu, mengenal teman-teman Amanda di sekolah dan membahas prestasi Amanda di sekolah. Pada setengah buku berikutnya, pembaca diajak mengikuti proses psikoterapi Amanda dengan Dokter Eli, menceritakan perubahan-perubahan yang muncul efek psikoterapi tersebut terhadap hubungannya dengan ibunya, Tommy, teman-temannya. Dan saya menyukai pola tersebut sebab membuat saya mengenal sosok Amanda secara utuh.

Gaya menulis yang dipakai oleh Annisa sangat mengagetkan saya. Sangat runut dan menghanyutkan. Ditambah ide cerita yang dikemas seperti cerita dalam novel-novel luar, novel ini menjadi sangat segar. Konflik yang muncul bukan sekedar mengenai Amanda dan sakit mentalnya, namun penulis mengurai menjadi konflik yang bercabang-cabang seperti sarang laba-laba, ada konflik dengan ibunya, dengan Tommy, dengan teman-temannya, bahkan dengan dirinya sendiri. Sampai saya menyelesaikan novel ini, saya masih menerka sebenarnya setting kota tersebut ada dimana. Ada yang bisa bantu, soalnya saya tidak menemukannya atau takut saya kelewatan?

Untuk saya membicarakan karakter dalam novel ini rada sulit. Terutama mengenai tokoh utamanya, Amanda. Di awal, ia seorang siswa yang pintar dan ambisius prestasi . Namun seiring berjalannya cerita, Amanda jatuh bangun menjadi sosok yang rapuh, menyedihkan, rendah diri, dan akhirnya kembali menjadi sosok yang bijaksana, sabar, dan pemaaf. Perubahan inilah yang kerap membuat pembaca sulit menentukan karakter tokoh utamanya berada pada sisi yang mana. Tommy, terlihat sangat cuek anmun peduli, konyol, pintar, pengertian dan akhirnya mau menerima perubahan. Ibunya Amanda, sosok penyayang dan bisa mengerti serta memposisikan dirinya jika menjadi Amanda. Helena, populer, eksis, peduli teman dan bijaksana. Sedangkan tokoh lainnya silakan dibaca langsung saja novelnya. Oya, tidak ketinggalan juga sosok Dokter Eli, dia penanya ulung. Bisa mengorek kepribadian Amanda hanya dengan mengajukan pertanyaan. Seru juga menjadi psikiater.

Bagian favorit.
Bagian ini membuat saya hampir meneteskan air mata. Ketika botol obat antidepresan Amanda jatuh dan Tommy menanyakan obat apa itu. Rahasia yang Amanda pendam namun akhirnya harus terucapkan. Dan ketidakmengertian Tommy akan kondisi Amanda yang sakit mental dan ketidakmaumengertian Tommy, membuat Amanda marah. Saya langsung terbawa dramanya. Baca saja di halaman 196 – 203.

“Kau tidak tahu seperti apa rasanya harus berjuang demi sesuatu. Kau tidak pernah menginginkan sesuatu sampai sebegitunya, dan apa pun yang kau inginkan , kau bisa mendapatkannya dengan mudah dan cepat-” [hal. 202]
“-dengar, aku sudah lelah dengan omong kosong feminismemu. Tidak ada yang bisa tahan dengan semua ambisimu-” [hal. 202]

Petik-petik.
Secara umum, novel ini ingin menyampaikan untuk menjadi diri sendiri dengan menerima kekurangan serta kelebihan yang dimiliki.

“Namun hari ini, matahari bersinar cerah dan aku sedang berdamai dengan diri sendiri.” [hal.263]

Catatan menarik.
  • Ada pertanyaan-pertanyaan yang kita tidak akan pernah tahu jawabannya, karena Tuhan bekerja dengan cara misterius. [hal. 25]
  • Kau tidak bisa tahu apa yang dipikirkan orang lain. Lagi pula, apa yang dipikirkan orang lain tidak bisa memengaruhi perasaanmu sedikit pun. [hal. 175]
  • Dia bilang aku harus menghadapi ketakutanku. Mungkin ini saatnya. [hal. 258]
  • Kau tidak bisa “sembuh” dari depresi layaknya sembuh dari penyakit fisik seperti cacar air. Tidak, kau harus menghadapinya setiap hari. [hal. 263]

Final. Rating.
Novel A Untuk Amanda sangat pas dibaca oleh para siswa sebagai buku yang memotivasi. Dan pas pula jika dibaca oleh orang tua untuk memahami keadaan dan kondisi yang dialami anaknya ketika di sekolah. Akhirnya rating yang saya berikan untuk novel ini adalah 4 bintang dari 5 bintang.

Penulis.
Annisa Ihsani adalah penulis novel Teka-Teki Terakhir. Perempuan yang lahir di tahun 1988 ini berusaha membaca buku yang sesuai dengan kategori umurnya. Tapi tidak bisa dimungkiri lagi bacaan favoritnya adalah fiksi middle grade dan young adult.

Annisa tinggal di bogor bersama suami dan putrinya. Dia mencoba untuk tetap konsisten menulis, meskipun kini waktunya lebih banyak dihabiskan dengan mencegah putrinya memasukkan pasir kinetik ke mulut.