[Resensi] The Chronicle of a 35-Year-Old Woman - kincirmainan


Judul: The Chronicle of 35- Year-Old Woman
Penulis: kincirmainan
Penyunting: Yuke Ratna Permatasari
Penerbit: Penerbit Bhuana Sastra
Terbit: 2017
Tebal buku: 244 hlm.
ISBN: 9786023948512

Perjalanan cinta di ujung penantian.

Kikan, 35 tahun, seorang wanita karir yang molek dengan karakter work hard, play hard. Kikan masih melajang karena jera dengan hubungan asmaranya yang sudah-sudah, dan Andre "Si Blasteran Siluman Anjing Pemburu" adalah penyebabnya.

Bertahun-tahun Kikan tidak kunjung menemukan lelaki yang bisa memantapkannya. Sampai tiba-tiba juniornya di kantor nekat melamar. Dialah Pras, lelaki introver yang usianya delapan tahun lebih muda darinya. Tapi, bersama dengan Pras belum meyakinkannya seratus persen. Ditambah urusan dengan mantannya yang belum tuntas.

Kikan akhirnya harus memilih, mengakhiri penantiannya atau...

*****

Sinopsis di belakang novel ini sudah menggambarkan garis besar ceritanya. Kikan yang sudah berusia 35 tahun dilamar oleh rekan kerjanya yaitu Prasetyo, yang justru lebih muda delapan tahun. Dia galau dengan jawaban yang akan dipilihnya. Tiba-tiba saja dia bertemu dengan mantannya delapan tahun silam, Andreas.

Kehadiran Andreas benar-benar mengusik hubungan Kikan dan Pras. Selain hubungan Andreas dan Pras yang bersaudara tiri, ada masa lalu mereka yang sampai saat ini membuat keduanya berseteru. Kikan benar-benar dibuat gila oleh Pras yang susah ditebak dan oleh Andreas yang masih menyimpan perasaan masa lalu.
Siapakah yang akan dipilih oleh Kikan antara Pras dan Andreas? Jawabannya tentu saja lebih baik baca langsung novelnya.

*****

Novel ini dilabeli sebagai fiksi/novel dewasa yang tertera di sampul belakang. Alhasil, banyak ditemukan  bagian cerita yang menjelaskan secara detail soal hubungan seksual. Selain sebagai pemanis cerita, menurut saya adegan intim tokoh di novel ini untuk menunjang penggambaran karakter yang kuat dari masing-masing tokoh. Misalkan Andreas yang jelas-jelas penjahat kelamin disebutkan mahir soal medan ranjang. Sedangkan Prasetyo disebutkan sebagai karakter pria biasa yang berkacamata tapi punya sisi liar dalam hubungan seks. Kikan sendiri diceritakan sebagai perempuan matang yang memang butuh pemenuhan hasratnya. Tak heran pada beberapa bagian dia melakukan seks, diterangkan dia begitu menikmatinya.

Adegan mesum yang lumayan banyak membuat saya harus mewanti-wanti jika novel ini hanya boleh dibaca oleh pembaca di atas 20 tahun. Kenapa bukan 18 tahun? Sebab keutuhan cerita yang dipadukan dengan adegan seks pra-nikah perlu disikapi oleh pembaca yang bijak dan berwawasan.

Pembaca yang sudah cukup usianya bisa memandang jika adegan seks di novel ini, apa pun kondisinya, hanya sebatas tekstual semata, bukan untuk ditiru mentah. Sedikit bahaya jika novel ini dibaca oleh remaja. Ketakutannya adalah mereka meniru bulat-bulat adegan seks tanpa melihat jalan cerita besarnya.

*****

Saya menilai jika novel ini bagus sebab beberapa bagian ceritanya sejalan dengan pengalaman sendiri. Sehingga beberapa pesan ceritanya bisa sampai ke saya.

Ketika Kikan melakukan kesalahan besar kepada Pras, dia galau dengan banyak mempertimbangkan apa harus atau tidak harus memulai menghubungi Pras. Lalu Gita sebagai sahabat menekankan Kikan untuk memulai menghubungi Pras sebab jika terlambat bisa saja terjadi cerita lain. Menghubungi lebih dulu sama saja bentuk memperjuangkan.

Ini sejalan dengan pengalaman saya bolak-balik antara Cirebon - Subang untuk memperjuangkan dia lagi, menjelaskan masalahnya, dan mengatakan maaf. Sampai tiga kali saya melakukannya. Walau hasilnya tetap tidak bisa diperbaiki hubungan kami, saya merasa puas sebab saya sudah maksimal menjalankan bagian saya dalam memperbaiki hubungan yang saya rusak.

Bagian lain menceritakan soal bagaimana pentingnya melepaskan masa lalu ketika sedang menjalani hubungan yang baru. Kikan harus melepaskan bayangan Andreas yang pernah menorehkan luka yang dalam. Begitu juga Pras dan Andreas harus melepaskan masa lalu yang jadi pemicu mereka berseteru tak pernah akur.

Saya pun pernah terjebak masa lalu dengan seseorang karena kami berpisah dengan tidak baik-baik. Dia yang melakukannya dengan tidak baik-baik. Sehingga selama setahun ke depannya, saya kerap diserang rasa sakit di dada setiap mengingat dia. Pada puncaknya, setahun setelah kejadian perpisahan tidak baik-baik, saya memberanikan diri menemui dia untuk mengucapkan maaf karena saya tahu masalah perpisahan itu pasti dipicu oleh kesalahan saya juga.

Setelah itu saya bisa menjalani kehidupan dengan lebih adem. Saya juga bisa membuka hati untuk beberapa nama berikutnya walau sampai sekarang belum ada yang pas di hati.

*****

Novel ini punya tiga tokoh utama yaitu Kikan, Pras, dan Andreas. Mereka dibentuk dengan karakter yang kuat. Kikan merupakan tipe perempuan matang yang pekerja keras, menomorduakan asmara, punya kegalauan sendiri soal pencapaian hidup di usia kritis, dan masih kekanak-kanakan jika menyangkut perkara cinta.

Prasetyo itu sosok pria yang kalem, punya bakat di alat musik, hemat kata-kata, dan pemikir matang. Yang saya tidak sukai dari tokoh Pras ini adalah kebiasaan dia untuk menyampaikan hal penting harus nunggu waktu yang tepat. Saya tidak mengerti alasannya kenapa dia menunda-nunda menyampaikan cerita masa lalu yang sebenarnya kepada Kikan. Baru setelah konflik meruncing, Pras buka mulut.

Lalu Andreas ini tipe penjahat kelamin, bicaranya to the point, guyonannya keterlaluan, dan menyepelekan perempuan. Karakter Andreas sangat mengganggu dan menyebalkan.
Selain ketiga tokoh yang berkarakter kuat dan berwarna, novel ini tambah menarik oleh beberapa faktor lain: jalan ceritanya yang lincah dan kovernya menarik.

Jalan cerita novel ini dibangun dengan alur maju dan mundur. Alur maju dipakai penulis untuk memberikan progres konflik yang dialami si tokoh. Sedangkan alur mundur menjadi pembukaan tabir dari keadaan sekarang, yah semacam membuka alasan kenapa si tokoh begini dan begitu.

Penceritaan pun dilakukan oleh ketiga tokoh. Walau porsi Kikan lebih banyak dibandingkan bagian Pras atau Andreas. Teknik ini menyeimbangkan penilaian pembaca terhadap ketiga tokoh agar tidak dihakimi secara sepihak.

Sampul merah gelap dipadukan dengan Stiletto tampak tidak mengganggu mata. Justru menampilkan kesan dewasa. Pas banget dengan tokoh yang ada di dalamnya beserta konflik yang diurai menjalin alur cerita.

*****

Apakah novel ini menyuguhkan kisah roman saja?

Tidak. Sebab ada juga bagian cerita yang mengulas hubungan anak dan orang tua. Dipresentasikan oleh Andreas dan Pras kepada sosok Bunda. Sosok Bunda juga merupakan tokoh samping yang menarik. Cara pandang beliau kepada perseteruan kedua anaknya sangat elegan. Ia tidak memaksa agar keduanya akur. Tapi Bunda tahu kapan turun tangan untuk menengahi kedua anaknya.

Bagian lain mengulas soal hubungan persahabatan. Contohnya antara Gita dan Kikan. Kikan kerap menghabiskan waktu di rumah Gita. Merecoki Gita dengan keluhannya. Kadang Kikan malah ikut mengasuh anak Gita. Sampai menjelang konflik cerita berakhir, Gita punya peranan penting sebagai sahabat Kikan agar Kikan tidak semena-mena memutuskan sesuatu yang keliru. Fungsi sahabat demikian bukan? Mengingatkan sahabat ketika dia salah jalan.

*****

Akhirnya novel ini selesai dibaca dan saya pun merekomendasikan novel ini untuk pembaca dewasa yang ingin mendapatkan cerita rada panas dan memberikan pencerahan dari konflik yang disajikan.

[Resensi] Table for Two - Dy Lunaly


Judul: Table for Two
Penulis: Dy Lunaly
Penyunting: Pratiwi Utami
Penerbit: Bentang Belia
Terbit: Cetakan pertama, Desember 2016
Tebal: iv + 260 hlm.
ISBN: 9786021383636

"Aku pernah janji untuk selalu ngelindungin kamu. Itu alasan kenapa aku nggak bisa berhenti bertinju, sekalipun kamu minta aku untuk berhenti. Aku cuma bisa ngelindungin kamu kalau aku kuat." (Hal. 112)

*****

Novel Table for Two ini merupakan bagian dari novel series Olahraga yang digagas penerbit Bentang Belia. Masih ada empat judul lainnya: Let's Break Up karya Anjani Fitriana, Other Half of Me karya Elsa Puspita, My Favorite Distruction karya Naala, dan Happiness is You karya Clara Canceriana.

Untuk Table for Two ini, olahraga yang menjadi tema utama adalah tinju. Membawa kisah Asha yang harus menjadi pendamping diet untuk sahabat masa kecilnya yang seorang petinju. Konflik muncul karena Asha dan Arga pernah berantem tujuh tahun lalu perkara soal Arga yang keukeuh menjalani cita-cita menjadi petinju profesional. Asha meminta Arga berhenti karena cerita menyedihkan meninggalnya sang papa sewaktu tanding tinju di Amerika.

Alur cerita dalam novel ini memang mengejutkan. Latar belakang kenapa Asha berantem dengan Arga, alasan Arga ketus kepada Asha, dan alasan Arga memilih jadi petinju, dibeberkan perlahan-lahan. Sehingga teknik menulis begini membuat saya penasaran dan terus membaca karena keseruan yang ditimbulkannya.

Saya bukan penyuka olahraga tinju jadi tidak terlalu tahu seluk-beluknya. Di sini pun saya mendapati kalau penulis tidak mendalami emosi orang-orang yang memilih penjadi petinju. Sekedar teknik dasar memang diselipkan, tapi kedalaman profesinya tidak sampai kepada saya selaku pembaca. Termasuk profesi mamanya Asha sebagai ahli gizi, tidak tereksplorasi secara mendalam. Menu diet yang disebutkan sekadar nama saja tanpa ada penjelasan lebih rinci tentang manfaat, takaran dan kombinasi menu atau bahan-bahannya.

Kesimpulan profesi yang saya tangkap berupa: untuk kelas dalam tinju ditentukan oleh berat badan makanya dibutuhkan diet untuk mencapai berat badan sesuai kelas. Istilah tinju paling sering disebut dalam novel ini adalah Sparring. Alat tinju yang disebutkan antara lain sarung tinju dan samsak. Sedangkan untuk dunia pergizian hanya informasi berupa penting sekali mengetahui kadar makanan yang kita makan baik berupa jumlah kalori atau ketersediaan unsur karbohidrat, protein dan sebagainya.

Dominasi hal lain yang ditulis penulis adalah mengenai rasa dan proses menerima kehilangan. Asha, mama, dan Om Bima menjadi orang-orang yang terbelenggu atas meninggalnya papanya Asha. Ketiga orang tadi memiliki alasan masing-masing memendam penyesalan atas kejadian itu. Namun penulis membawa cerita kehilangan ini menuju proses menerima kenyataan dengan cara yang bijaksana. Sebab ketiga pihak tadi tidak menjadikan penyesalan sebagai sesuatu yang menghalangi kehidupan ke depannya. Walaupun kesedihan kerap menimpa mereka dalam kondisi-kondisi tertentu terutama ketika mengingat hal-hal yang berkaitan dengan papanya Asha.

Unsur roman yang diracik penulis juga menarik. Terutama mengenai hati Asha akan berlabuh kemana, antara Arga atau Rama. Rama ini adalah pekerja di klinik mamanya Asha, yang perhatiannya melebihi sosok kakak. Penulis mengakhiri kebimbangan Asha dengan cukup baik. Asha memilih orang yang tepat setelah hatinya dilanda kebimbangan. Alasan kenapa Asha memilih pilihannya sangat saya terima. Kalau mau tau siapa yang dipilih Asha, langsung baca aja novelnya, hehe.

Beberapa hal dalam novel ini juga menjadi sorotan saya. Terutama karakter Arga yang temperamental, ketus, pendiam, suram, mendadak berubah ketika di bab menjelang akhir buku. Perubahannya terlalu cepat padahal Arga dan Asha habis bertengkar hebat. Apalagi di pertengkaran itu Arga menghina orang-orang yang Asha sayangi. Kalau saya di posisi Asha, bakal berat banget untuk memaafkan ucapan Arga yang mengandung hinaan, merendahkan dan tuduhan.

Penyelesaian konflik novel ini pun terasa terburu-buru. Ini lagi lagi berkaitan dengan mudahnya Arga dan Asha berdamai padahal konflik mereka terbilang runcing. Sehingga menjelang akhir buku, saya merasa kurang bisa menikmati alur cerita demi menutup kisah Arga dan Asha. Terutama adegan Asha yang berbincang dengan Arga setelah Arga siuman pasca pingsan. Mereka bisa bercanda sedemikan rupa padahal sebelumnya mereka berseteru hebat. Aneh saja buat logika saya.

Sebagai penutup, terlepas dari kekurangan (menurut saya) di atas, novel Table for Two ini nyaman dibaca. Kita akan disuguhi pelajaran bagaimana berdamai dengan masa lalu, dan bukan menjadikan masa lalu sebagai ganjalan untuk masa depan.

*****

Ternyata kenangan bahagia, tidak peduli selama apa pun tersimpan, selalu menghadirkan getar kerinduan ketika mengingatnya. (Hal. 7)

Ternyata benar, kenangan tidak tersimpan dalam ingatan atau hati. Tetapi, pada benda atau tempat kenangan itu terjadi. (Hal. 64)

...kuat itu bukan yang bisa mengalahkan lawan, melainkan seseorang yang bisa dihormati dan dihargai karena berhasil mengalahkan keinginan untuk balas dendam. (Hal. 143)