Judul: Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan
Penulis: Riyana Rizki
Penyunting: Amanatia Junda
Penerbit: BukuMojok
Terbit: Agustus 2021, cetakan pertama
Tebal: vi + 156 hlm.
ISBN: 9786237284628
***
Jika menikahi laki-laki yang membawanya lari adalah takdir perempuan Sasak, jangan-jangan tidak tersisa kehormatan jika menolak takdir itu. Tidak bolehkah perempuan memilih, sekadar memilih untuk tidak memilih laki-laki yang memilihnya?
Sering kali dongeng digambarkan sebagai cerita fantasi yang berujung pada sang tokoh utama hidup berbahagia. Kisah manis seperti ini membingkai kesan bahwa dongeng hanyalah konsumsi anak-anak, sementara kelak ketika dewasa, apa pun yang indah itu hanya ada di buku dongeng belaka. Riyana Rizki memulai debutnya dengan menyajikan 12 cerita pendek terpilih yang bertalian kuat antara beragam dongeng, legenda, ataupun cerita rakyat. Cerita-cerita tersebut jauh dari janji happily ever after (bahagia selama-lamanya). Justru sebaliknya, sebagian besar menyimpan amarah, luka, dan perlawanan.
***
Wara-wiri paket buku yang dijual oleh Penerbit BukuMojok seharga 98K untuk Genealogi Hoaks Indonesia (Rony K. Pratama) dan Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan (Riyana Rizki) cukup menarik. Tapi karena tidak kenal dengan kedua penulis ini, kedua bukunya pun tidak jadi prioritas untuk segera dibeli. Namun, begitu kabar lomba resensi digaungkan, semangat menantang diri membuat ulasan bukunya melejit.
Saya pokoknya harus ikutan, menang kalah itu urusan entar, yang penting coba dulu belajar mengulas.
Sebagai syarat ikut serta, saya akhirnya memilih buku fiksi ketimbang non-fiksi. Sejauh ini saya jarang sekali mengulas buku non-fiksi. Belum ketemu formula yang pas dan nyaman untuk format ulasannya sehingga belum pengen mencoba dulu di kesempatan ini.
Mengulas kumcer saja menjadi tantangan yang lumayan berat. Sebab keragaman cerita di dalamnya harus diulas secara utuh sebagai bentuk reaksi saya setelah membaca bukunya.
Keragaman Tema Dalam Dominasi Tokoh Perempuan
12 cerita pendek dalam buku ini punya tema yang beragam. Ada yang mengulas soal legenda, kisah mistis, drama kehidupan, bahkan dongeng. Dan setelah saya menyelesaikan membaca bukunya, tokoh di buku ini hampir didominasi perempuan.
Isu stigma perempuan dibahas kental pada beberapa cerita di buku ini. Cerita Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan memaparkan stigma jika perempuan harus taat adat dan jika melanggar, dianggap aib. Sekalipun hidupnya menderita, melawan adat tidak dibenarkan. Sulin digunjingkan, dijadikan bahan cemoohan lantaran memilih dipulangkan (dicerai) suaminya karena alasan, "Perempuan tidak menyakiti perempuan, itu kata Ibu." (hal. 10) Sulin tidak berminat menjelaskan kepulangannya karena pada saat itu, orang-orang tidak bertolak dari apa yang benar, tetapi pada kebenaran dominan yang mereka ciptakan sendiri (hal. 11).
Pada cerita Sudah Kukatakan, Aku Timun Mas mengajak pembaca mengenal tokoh Timun, bayi perempuan yang dibuang di tempat sampah, lalu dibesarkan oleh Arini di lokalisasi, hingga ia berusia 17 tahun dan sudah waktunya menentukan nasib seperti pada dongeng Timun Mas, lari dari raksasa atau terkungkung oleh raksasa. Stigma perempuan dalam kisah ini, lagi-lagi diposisikan untuk tidak memilih karena keadaan lingkungan mendikte lebih dulu.
Lalu pada cerita Perempuan Ceria dengan Kotak Pandora di Pelukannya seolah menyentil stigma perempuan harus sempurna dan baik. Lalu, bagaimana nasib perempuan ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), apakah tidak boleh merasakan cinta, apakah begitu menjijikan, atau tidak lagi punya kesempatan seperti perempuan-perempuan normal? Tokoh Aku bingung ketika fakta itu terungkap. Apalagi ini menyangkut perasaan dan pertimbangan Ibunya selaku pemangku restu.
Dongeng Pengantar Kematian membuka kisahnya dengan narasi yang bikin mual dan linu. Stigma di cerita ini mengenai sosok ibu tiri, yang digambarkan kejam dan tukang menyiksa. Padahal tidak semua ibu tiri demikian. Kalau pun Ilit harus meregang nyawa di tangan ibu tirinya, itu lantaran hasil rentetan emosi yang berkelindan tanpa terurai sehingga pada titik tertentu memuncak. Ilit yang masih bocah hanya menilai ibu tiri dari dongeng yang didengarnya.
Pada cerita Bocah Terbang dan Anak yang Merasa Hilang dituturkan lewat sudut pandang anak perempuan yang menerangkan tentang Ibunya yang menjadi perempuan simpanan. Makanya si anak ini penasaran siapa sosok ayahnya, sebab sepanjang kehidupannya dia tidak dibekali cerita sosok sang ayah. Tidak mengenakkan menjadi perempuan simpanan begitu lues dijabarkan penulis pada cerita ini. Dan ujung cerita disimpulkan, anaklah yang jadi korban dari hubungan orang-orang dewasa ini.
Sedangkan pada cerita Perawan, Perawan, Turunkan Rambutmu, penulis mengadopsi cerita anak-anak Rapunzel. Seorang gadis berambut panjang yang dikurung di atas menara. Dalam buku ini, ada stigma perempuan itu lemah dan dilemahkan, sehingga harus disembunyikan, dan pada kondisi naas, perempuan hanya objek bagi laki-laki. Walau pada akhirnya perempuan tetap bisa memilih untuk terus terkungkung atau menjadi bebas.
Cerita Dendam Yang Lapar dan Tegining-Teganang justru mengingatkan kita pada keburukan manusia yang serakah. Demi mencapai tujuan tertentu, orang serakah bisa melakukan apa pun. Termasuk menebar fitnah hingga menjadi kebenaran mayoritas dan melakukan penipuan tanpa belas kasih. Di cerita Dendam Yang Lapar, Alin terjebak dalam konspirasi 'Menjadi Kades' Bapak dan Suaminya yang berujung pada kematian keluarga Swarta."Dendammu masih lapar? Ada makanan penutup di rumah Bapak." (hal. 34). Lalu pada cerita Tegining-Teganang ini kita akan diingatkan pada kasus suami-istri yang menipu banyak orang dengan motif investasi. Kesamaan kedua cerita ini, pelaku yang serakah akan mendapatkan balasan setimpal.
Isu pelecehan seksual dipaparkan dalam cerita May dan Suling Pemikat dan Misteri Hilangnya Para Bocah. Kedua cerita ini terasa relate dengan berita baru-baru ini. Menceritakan korban pelecehan seksual yang sulit mendapatkan keadilan karena pelaku merupakan petinggi yang berkuasa. Bedanya, pelaku di cerita May adalah bosnya, sedangkan pada cerita Suling Pemikat dan Misteri Hilangnya Para Bocah adalah orang terpandang di desa.
Cerita bak legenda atau dongeng akan kita temui di judul Sihir Bumi. Saat membaca cerita ini, saya membayangkan kisah kolosal. Tokoh utamanya buruk rupa, tapi sakti madraguna. Apalagi di dalam kisahnya, dibalut sihir yang menutupi pandangan orang-orang terhadap lingkungannya.
Problematika Perempuan di Mata Dunia
Seperti yang saya bilang, tokoh dalam buku ini didominasi perempuan. Sehingga banyak juga problematika perempuan yang disentil penulis, sekadar mengingatkan atau memberikan pandangan. Buku ini mau tidak mau memberikan renungan soal perempuan yang pada saat ini pun masih dianggap objek bagi laki-laki, bahkan dilemahkan sehingga posisi perempuan ditekan untuk di bawah laki-laki.
Selain itu, tokoh perempuan dalam buku ini pun, beberapa terikat dalam 'kubus' keluarga. Entah sebagai istri, ibu, adik, maupun anak perempuan. Dan peran ini membawa dinamika masalah keluarga yang beragam. Dari peran-peran inilah lahir konflik-konflik keluarga misalnya perselingkuhan, pembangkangan, ketidakakuran, kurang kasih sayang, dan sebagainya.
Penulis juga menempatkan dengan apik posisi perempuan sebagai objek. Sehingga unsur seksual begitu lekat pada alur kisahnya. Misal posisi istri simpanan, perempuan penjaja seksual, dan perzinahan. Ini semakin menegaskan tujuan penulis mengulas peran dan posisi perempuan yang ingin ia dobrak lewat cerita-cerita rekaannya.
Apakah Kumcer Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan Ini Menarik?
Ada 12 cerita menyoal perempuan dan problematika bagi saya cukup mengenyangkan. Ditambah akhir cerita yang rada jauh dari bikin senyum. Buku ini lebih banyak mengajak pembaca untuk menikmati pahitnya jalan hidup. Dan saat selesai satu judul, alangkah baiknya berhenti sejenak dan meresapi hal putih apa yang bisa diambil sebagai hikmah. Kalau sampai tidak ketemu, cukup bersyukur, "Beruntung masih bisa membaca satu kisah".
Gaya bahasa dan bercerita penulis tidak canggung. Penulis juga mahir mem-plotting bagian-bagian cerita sehingga satu judul tidak melulu alur maju, tapi ada juga yang alur campuran. Dinamika alurnya beragam sehingga tidak membosankan. Tidak pula membuat pembaca payah memahami cerita karena keluesan penulis yang mumpuni bermain diksi lugas, minim metafora dan pengandaian lainnya.
Secara kemasan, jujur aja, kovernya begitu pias, seperti bibir anak sekolah yang ikut upacara dan belum sarapan. Bikin iba. Menurut saya, kover begini tidak cukup memikat pembaca yang kebetulan masuk toko buku, untuk sekadar mengambil bukunya, membalik bagian belakang, dan membaca blurb-nya. Terlalu sederhana. Saya paham jika gambar perempuan yang mendekap lututnya menggambarkan keterkekangan menjadi perempuan, ditambah megap-megap ketika lingkungan membuatnya sesak seperti ditenggelamkan ke dalam air. Saya justru akan menyarankan kovernya dibuat warna biru laut saja.
Ada sekitar 3 temuan tipo yang saya dapati saat membaca buku ini. Jumlah yang masih dimaklumi, karena tidak mengganggu proses membaca. Mambawa = Membawa (hal. 70). Menjawa = Menjawab (hal. 100). Dan satu lagi saya lupa menandai, hehe.
Secara keseluruhan, buku ini bisa dinikmati. Waspada saja dengan efek sesudahnya, mungkin bagi kalian akan terpengaruh secara emosi sebab ceritanya memang mengaduk-aduk begitu. Jika harus memberikan nilai, saya menyematkan nilai 3 bintang dari 5 bintang. Sebuah debut yang cukup baik.
Sekian ulasan saya, terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!