Lebih Manfaat Mana: Membaca Buku Fiksi atau Non-Fiksi?


Bukan pertanyaan baru soal lebih bermanfaat mana antara membaca buku fiksi dan non-fiksi. Ini menjadi momen yang mengesalkan ketika masyarakat suka membandingkan dua hal ini. Saya sendiri mengalami hal serupa ketika sering membagi link resensi buku di blog ini, di status whatsapp.

Sekelas atasan kerja pun sempet menyinggung hal ini ketika beliau menelepon saya. “Kamu jangan kebanyakan membaca novel,” ucapnya dengan intonasi meremehkan. Sejak itu saya membatasi untuk membagikan link di WA. Saya jadi lebih sering membagikannya di twitter. Jengah, iya, tapi nggak begitu menyakiti hati. Pembenaran lainnya, “Mungkin banyak yang terganggu dengan status WA saya, jadi alangkah baiknya dihindari saja.”

Oke, saya akui bacaan saya lebih banyak di golongan fiksi, sehingga jika sebulan saya bisa menyelesaikan 3 sampai 4 novel dan 1 buku pengembangan diri. Atau mungkin tidak berhasil membaca buku non-fiksi satu pun. Lalu, apa jeleknya membaca novel

Menurut saya yang jelek itu mereka yang nggak pernah baca buku tapi doyan nyinyir ke orang yang suka baca buku.

Pola pikir masyarakat menilai novel sebagai bacaan yang imajinatif dan halu. Sehingga bagi mereka isi novel ini tak lain dan tak bukan hanya cerita kosong karangan orang yang disebut penulis. Bukan sesuatu yang nyata, dan karena bukan kenyataan dianggapnya sepele dan nggak berguna.

Berbeda dengan buku non-fiksi, bagi masyarakat buku jenis ini lebih berbobot dan untuk beberapa buku bisa meningkatkan kemampuan pembacanya. Saya akui soal meningkatkan kemampuan seseorang itu memang benar. Tapi bukan berarti buku fiksi tidak berbobot juga.

Saya jadi gemas pengen menjelaskan apa manfaat saya membaca novel.


  1. Membaca novel justru mengasah empati. Novel yang saya baca (dan semua novel umumnya) selalu memuat nilai-nilai kehidupan manusia sehingga novel sebenarnya memotret dinamika kehidupan manusia yang punya masalah kompeks. Dari tokoh-tokoh di dalam novel kita bisa belajar banyak nilai kehidupan yang belum tentu kita alami. Dengan membaca banyak novel, makin kaya juga kita memahami pelajaran hidup tanpa harus mengalaminya. Kita akan lebih peka dan empati menghadapi masalah hidup yang mungkin ke depannya akan menimpa kita.
  2. Membaca novel membuat sisi logis otak makin tajam. Perpaduan membaca, memahami, bahkan menghayati isi novel membuat pembaca lebih cerdas baik secara otak dan hati. Saya merasakan betul manfaat ini ketika saya menghadapi pekerjaan kantor yang berhubungan dengan sistem komputerisasi akuntansi dan logika jurnal keuangan, padahal saya karyawan yang kuliahnya nggak selesai. Nilai plus pembaca buku adalah mereka suka inovasi, mereka bisa menyederhanakan pekerjaan sehingga selesai cepat dan tepat, dan mereka lebih teliti. Ini karena kebiasaan membaca mengharuskan teliti, mengikuti alur cerita, dan menguasai lebih banyak isi novelnya.
  3. Membaca novel bukan kegiatan yang merugikan orang lain. Ini yang perlu dipahami oleh orang-orang yang nyinyir soal manfaat membaca fiksi, jika membaca bukan kegiatan yang akan mengganggu, apalagi merugikan orang lain. Jadi selama kalian tidak terganggu, stop, sudah jangan mengomentari soal lebih baik yang mana.


Kesimpulannya, membaca itu punya manfaat. Bukan soal fiksi atau non-fiksi. Membaca komik pun itu masih lebih baik dibandingkan dengan tidak membaca apa pun. Justru kegiatan membaca membuat kita sadar kalau ternyata selera orang itu berbeda-beda. Kita justru belajar hal lain, soal menghargai kesukaan orang lain, dan tidak dibenarkan menilai orang lain berdasarkan buku yang dibacanya.

Nah, sekian artikel sekaligus uneg-uneg dari saya. Jika ada yang mau menambahkan, silakan tulis di kolom komentar ya!

Terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!



[Resensi] Funiculi Funicula - Toshikazu Kawaguchi


Judul: Funiculi Funicula

Penulis: Toshikazu Kawaguchi

Penerjemah: Dania Sakti

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Mei 2021, cetakan kedua

Tebal: 224 hlm.

ISBN: 9786020651927

***

Di sebuah gang kecil di Tokyo, ada kafe tua yang bisa membawa pengunjungnya menjelajahi waktu. Keajaiban kafe itu menarik seorang wanita yang ingin memutar waktu untuk berbaikan dengan kekasihnya, seorang perawat yang ingin membaca surat yang tak sempat diberikan suaminya yang sakit, seorang kakak yang ingin menemui adiknya untuk terakhir kali, dan seorang ibu yang ingin bertemu dengan anaknya yang mungkin takkan pernah dikenalnya.

Namun ada banyak peraturan yang harus diingat. Satu, mereka harus tetap duduk di kursi yang telah ditentukan. Dua, apa pun yang mereka lakukan di masa yang didatangi takkan mengubah kenyataan masa kini. Tiga, mereka harus menghabiskan kopi khusus yang disajikan sebelum kopi itu dingin.

Rentetan peraturan lainnya tak menghentikan orang-orang itu untuk menjelajahi waktu. Akan tetapi, jika kepergian mereka tak mengubah satu hal pun di masa kini, layakkah semua itu dijalani?

***

Satu hari Fumiko Kiyokawa dan Goro Katada janjian ketemu di satu tempat makan, tapi tutup. Lalu mereka mencari tempat lain, sayangnya mereka hanya menemukan kafe Funiculi Funicula. Pertemuan itu diharapkan menjadi lamaran Goro. Namun ternyata justru jadi perpisahan Goro karena harus ke Amerika mengejar impian pekerjaannya.

Setelah kejadian itu, setelah melihat informasi di televisi, Fumiko baru sadar kalau kafe kemarin adalah kafe yang legendaris sebab rumornya bisa membawa pengunjung pergi ke masa lalu. Fumiko kembali datang ke kafe dan meminta tolong kepada Kazu Tokito, pekerja kafe, untuk membantunya pergi ke masa lalu. Di kafe Funiculi Funicula, Fumiko mengenal Yaeko Hirai, Kumi HiraiKotake, Fusagi, Kei Tokita (istri sepupu Kazu), dan Nagare Tokita (sepupu Kazu).

Ada lima peraturan rumit yang harus diketahui oleh pengunjung ketika ingin pergi ke masa lalu. Gara-gara peraturan ini, kebanyakan pengunjung mengurungkan niat mereka.


Walau dengan lima aturan sulit ini, Fumiko bisa kembali ke masa lalu. Disusul oleh yang lainnya. 

Lalu, masa lalu seperti apa yang mereka kunjungi? Jawaban apa yang mereka cari?

Masa Lalu Tetaplah Masa Lalu

Kebanyakan alasan seseorang ingin kembali ke masa lalu karena ingin memperbaiki sesuatu yang sudah berlalu, yang dianggap sebagai kesalahan. Dengan harapan bisa merubah keadaan sekarang. Namun, di novel ini kita akan diberikan kebalikannya.

Konsep masa lalu yang tidak dapat diubah merupakan aturan bijaksana. Sebab jika masa lalu bisa dirubah, masa depan ikut berubah. Dan cerita tipe itu pasti membingungkan kita, sebab teori paradoks akan berlaku. Misalnya Grandfather - Paradox: Jika kamu kembali ke masa lalu dan membunuh kakekmu, maka keberadaan kamu dipertanyakan. Sebab jika kakekmu meninggal, orang tuamu tidak ada, dan kamu pun tidak ada. Lalu kamu yang membunuh pun tidak ada.

Rumit, kan?

Dengan aturan yang ketat soal masa lalu yang tidak dapat berubah, tokoh yang pergi ke masa lalu hanya akan menemukan jawaban dari yang selama ini belum mereka ketahui atas suatu kejadian atau peristiwa.

Ada empat bab di novel ini, yang setiap bab-nya menceritakan kunjungan para tokoh melintasi waktu. Bab pertama, Kekasih, menceritakan Fumiko yang ingin mengungkapkan keinginannya menahan Goro supaya jangan pergi. Bab kedua, Suami-Istri, menceritakan rasa penasaran Kotake dengan surat yang dipegang suaminya, Fusagi, yang mengidap Alzhemier. Bab ketiga, Kakak-Adik, menceritakan Hirai yang menyesal karena kehilangan adiknya. Bab keempat, Ibu-Anak, menceritakan perjalanan Kei ke masa depan untuk melihat putrinya.

Dominan Tema Keluarga

Karena ada empat kisah menjelajah waktu, dan semuanya membahas soal hubungan, saya bisa menyebut tema novel ini didominasi tema keluarga. Tema yang selalu bikin hati saya menghangat ketika membacanya, dan terkadang justru bikin mata berkaca-kaca. 

Tema keluarga lebih banyak menggali konflik yang biasa muncul di tengah rumah tangga, lalu dibandingkan dengan kondisi ideal. Misal, hubungan suami-istri itu harusnya mesra dan romantis, tapi jika kenyataan salah satu pasangan ditimpa sakit, keadaan mesra dan romantis tadi menguap. Yang ada justru usaha keras untuk membuat kondisi tetap stabil. Pencapaian ini paling minimal yang diupayakan.

Contoh lainnya, Ibu-Anak harusnya akrab dan harmonis. Tetapi jika anak itu ditinggal mati ibunya sejak bayi, apakah akrab dan harmonis akan berlaku? Yang ada adalah bagaimana si anak melanjutkan hidup tanpa kasih sayang seorang ibu.

Kondisi-kondisi seperti inilah yang paling gampang mengaduk emosi pembaca sebab tema ini relate dengan hati pembaca kebanyakan.

Heartwarming

Saya sempat membaca salah satu twett yang menanyakan, "Apakah 'Heartwarming' termasuk salah satu genre buku?" Tentu saja bukan. Heartwarming atau menghangatkan hati merupakan salah satu kesan yang timbul setelah membaca novel. Biasanya kesan ini muncul untuk novel-novel yang bergenre roman dan keluarga.

Novel Funiculi Funicula ini termasuk salah satu novel yang meninggalkan kesan heartwarming tadi. Menurut saya hal itu terjadi karena emosi yang dimainkan penulis tidak sampai meledak (marah-marah, kesal, menggerutu, atau emosi negatif lainnya). Pembaca justru diajak untuk bersikap positif thinking, ikhlas, sabar, dan berlapang dada dengan kenyataan yang tidak dapat diubah semau kita.


Apakah novel Funiculi Funicula ini menarik?

Bagi saya novel ini meninggalkan kesan adem. Saya belajar banyak nilai hidup dari berbagai bentuk hubungan. Pesan yang dikandung novel ini mengajak pembaca untuk lebih menyayangi keluarga atau orang terdekat. Sebab ketika kita kehilangan waktu indah bersama mereka, yang tersisa tinggal penyesalan. Di novel ini para tokoh bisa menemukan jawaban dengan menjelajah waktu. Sedangkan di kenyataan, kita tidak bisa berbuat apa-apa.

Saya memberikan nilai 4 bintang dari 5 bintang untuk kafe sederhana dan dingin, kafe Funiculi Funicula.

Terakhir dari saya, jaga kesehatan dan terus membaca buku!

[Resensi] Dollagoot: Toko Penjual Mimpi - Lee Mi Ye



Judul: Dollagoot: Toko Penjual Mimpi

Penulis: Lee Mi Ye

Penerjemah: Dwita Rizki

Penyunting: Jia Effendi

Penerbit: Penerbit Baca

Terbit: Juli 2021, cetakan pertama

Tebal: vi + 294 hlm.

ISBN: 9786026486608

***

Ada sebuah desa yang hanya bisa kamu kunjungi dalam tidurmu. Tempat paling populer di desa ini adalah Dollagoot: Toko Penjual Mimpi yang mengumpulkan dan menjual segala macam mimpi. Toko ini selalu ramai oleh manusia dan hewan yang ingin tidur panjang atau tidur siang. Setiap lantainya dilengkapi dengan mimpi-mimpi dari berbagai macam genre istimewa, termasuk mimpi tentang masa kecil, perjalanan menyenangkan, melahap makanan lezat, hingga mimpi buruk dan mimpi misterius.

Di toko ini ada Dollagoot, si pemilik toko; Penny, karyawan baru yang ceroboh dan penuh rasa ingin tahu; Aganef Coco. produser legendaris; dan Vigo Myers, manajer lantai dua.

Penny ditugaskan untuk bekerja di lantai satu dengan karyawan veteran, Bibi Weather. Namun, pada hari pertama dia bekerja, mimpi yang paling mahal dicuri....

Kisah menawan ini akan meninggalkan gaung yang lama. Tidak hanya menyenangkan bagi pembaca remaja, tetapi juga memberikan kehangatan dan penghiburan bagi pembaca dewasa yang lelah dengan kenyataan hidup.

***

Sejauh ini saya baru membaca 2 buku yang diterbitkan oleh Penerbit BACA: The Hen Who Dreamed She Could Fly karya Hwang Sun-mi dan Vegetarian karya Han Kang. Kesan saya, buku mereka kebanyakan berasal dari asia sehingga tempo dan tema cerita terasa lembut, dingin, sesekali diliputi misteri.

Novel Dollagoot: Toko Penjual Mimpi langsung memikat saya ketika mulai dibuka PO-nya. Tetapi saya yang sedang berusaha mengatur budget beli buku -walau gagal- belum memasukan buku ini ke keranjang. Jodoh memang nggak kemana, saya bisa mendapatkan buku ini dihadiahi oleh Kak Khansaa di twitter karena terpilih sebagai pemenang beruntung pengisi survey mengenai kebiasaan membaca buku.

Novel Dollagoot: Toko Penjual Mimpi menceritakan tentang Penny yang akhirnya bisa bekerja di toko penjual mimpi yang dikelola oleh Dollagot. Dia kemudian mengenal manajer setiap lantai toko yang memiliki karakter berbeda-beda. 

Bibi Weather, manajer lantai satu, sosok yang keibuan. Dalam bayangan saya, badannya gemuk. Dia murah senyum dan ramah. Vigo Myers, manajer lantai dua, memiliki kesan kaku, sangat suka kerapihan dan kebersihan. Tipe yang perfeksionis. 

Mogberry, manajer lantai tiga, sosok perempuan yang bebas dan ceria sehingga lantai tiga terasa lebih berwarna dan bising. Speedo, manajer lantai empat, tipe yang aktif, nyentrik, dan bawel sebab dia memegang lantai yang menjual mimpi bagi manusia dan hewan. Dan Motale, bukan manajer lantai lima, merupakan teman Penny waktu SMA yang dikenal bersikap gaduh, suka tampil, dan bersemangat.

Selama bekerja di Dollagoot, Penny mendapatkan banyak nilai hidup, baik dari Dollagoot, manajer setiap lantai, maupun dari pelanggan. Dia merasa beruntung bisa bekerja di tempat yang tepat.

Pondasi cerita yang kuat

Kontradiksi sebenarnya ketika saya menyatakan pondasi cerita yang kuat dalam novel ini, padahal di awal saya kebingungan membayangkan latar tempat, waktu, dan alur ceritanya. Kotanya tidak jelas, mahluk Noctiluca itu apa, sirop penenang itu minuman apa. Dan dengan mengabaikan sementara, saya akhirnya bisa memahami dunia mimpi yang diciptakan penulis.

Yang terlintas di otak saya ketika membayangkan masyarakat di kota mimpi ini tertuju ke film animasi Soul dan Inside Out, dimana karakter pada kedua film ini adalah jiwa dan emosi. Orang-orang yang ada di kota terbagi menjadi dua golongan. Pertama, penduduk asli kota mimpi yang menjalankan industri mimpi. Kedua, pelanggan yang jadi tamu di kota adalah jiwa dari orang sungguhan yang sedang berada di fase setengah tidur.

Sejarah toko Dollagoot diulas lengkap dalam buku mungil berjudul Kisah Dewa Waktu dan Ketiga Murid. Buku yang diberikan Assam kepada Penny yang secara tidak langsung memuluskan dia untuk diterima bekerja di toko Dollagoot. Pengetahuan soal ini akan memudahkan pembaca memahami siapa Dollagoot dan bagaimana cerita toko ini menjadi penting dan terkenal di kota.

Pesan moral yang mengena ke hati

Saya menyebut jika alur cerita dalam novel Dollagoot ini tidak biasa. Umumnya, urutan alur cerita begini: perkenalan, konflik, titik puncak konflik, lalu penyelesaian, yang berfokus kepada tokoh utama. Tapi Dollagoot ini punya alur begini: perkenalan, konflik, perkenalan, konflik, perkenalan, dan konflik. Karena memang tipe cerita Dollagoot ini lebih ke menjelaskan apa yang terjadi selama kurun waktu tertentu di kota Mimpi.

Misal, ketika perayaan natal, perayaan tahun baru, pagelaran Grand Prix, keseharian Bibi Weather pagi hari sebelum berdinas, kegiatan Dollagoot melayani pesanan mimpi untuk orang lain, dan lain-lain. Semua berupa potongan kegiatan yang dilakukan para tokoh pekerja di Dollagoot, termasuk pelanggan yang bersinggungan dengan Penny dkk.

Konflik besarnya tidak tampak. Tapi tenang saja, jalan ceritanya tetap bisa dinikmati karena muatan pesan moral yang relate dengan kondisi kita masa sekarang.

Saya setuju dengan pernyataan di atas. Selain menambah pengetahuan, kebiasaan membaca dapat melatih otak untuk lebih mengerti suatu masalah. Ini terbukti ketika kita mempelajari rumus excel. Banyak orang yang tidak memahami rumus fungsi IF, padahal bagi orang yang suka membaca, rumus ini sebenarnya berupa kalimat. Jadi ketika rumus-rumus excel dikombinasikan antara satu rumus dengan rumus lain, kita akan lebih paham maksudnya karena rumus tersebut membentuk kalimat.

Pada halaman 106 dibahas mengenai arti masa depan dan tujuan hidup. Kurang lebih menyatakan, "Hidup akan terasa sempurna kalau bisa melewati prosesnya, bukan sekadar tau ujung akhirnya." Penulis menyentil kita semua untuk menikmati proses hidup, jangan terpaku kepada hasil. Jika terpaku kepada hasil, kita bisa berhenti di tengah proses karena melihat hasil yang ingin dicapai tidak sesuai ekspektasi.

Tidur merupakan wahana untuk menghidupkan mimpi. Dan arti penting tidur dibahas di halaman 172-173. Penulis mengingatkan orang-orang yang rela begadang demi main gim, mengutak-atik smartphone, dan menelepon pacar. Padahal, esok harinya mereka harus beraktifitas. Bagi industri mimpi ini kerugian sebab penjualan mimpi menurun drastis karena orang-orang memilih tidur nyenyak dibanding tidur bermimpi.

Pesan lebih mendalam disampaikan penulis lewat pertanyaan yang langsung menohok.

"Sampai kapan aku harus hidup begini?" (hal. 73) menyoroti keputusasaan seorang perempuan muda berusia 28 tahun, yang merasa kehidupannya tidak menarik. Relate banget dengan saya pribadi, yang sejak mendapatkan jabatan baru, kehidupan saya tersedot hampir seluruhnya untuk menyelesaikan pekerjaan. Sehingga keseharian saya tidak menarik dan terasa membosankan sekali.

"Kapan kalian merasa tidak bebas?" (hal. 207) memaksa kita merenungkan keresahan-keresahan apa yang tengah kita rasakan dan itu membuat kita merasa tidak bebas. Salah satu cara untuk bebas adalah dengan menerima kehidupan apa adanya dan paham kalau kehidupan bebas itu memang tidak ada.

Industri Mimpi bagian dari bisnis

Mimpi dalam novel Gollagoot ini menjadi salah satu industri bisnis. Dalam setiap mimpi yang dialami kita, ada produser di belakangnya. Setiap produser memiliki sentuhan dan spesifikasi tertentu pada karyanya. Begitu membaca soal seluk-beluk mimpi, saya membayangkan industri mimpi ini mirip industri film. 

Mimpi dan film sama-sama diputar untuk disaksikan. Keduanya sama-sama dijual-beli. Sampai pada puncaknya, industri mimpi di Dollagoot pun ada malah anugerahnya. Semacam piala penghargaan. Dan dijelaskan malam penghargaan ini merupakan tontonan yang menarik banyak orang dan meriah.



Apakah novel Dollagoot: Toko Penjual Mimpi ini menarik?

Menurut saya buku ini sangat menarik. Bagi saya, novel yang membahas dinamika manusia, selalu punya nilai tersendiri. Saya seperti sedang belajar memahami nilai kebijaksanaan dari cerita-cerita beragam manusia. Dan itu akan membuat kita semua sadar, tidak ada manusia yang sempurna.

Jika saya harus memberi nilai pada novel ini, saya akan menganugerahkan 4 bintang dari 5 bintang.

Nah, sekian ulasan dari saya. Terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!


4 Tips Berburu Buku Preloved


Faktanya, pembaca buku lebih banyak membeli daripada membaca. Nggak heran kalau timbunan buku-buku mereka bisa seabreg. Eit, ini juga berlaku buat saya. Jumlah buku yang ada di kosan meningkat drastis dibandingkan jumlah buku yang dibaca.

Kapan buku-bukunya akan dibabat habis?

Nanti lah. Lagian saya nggak berhenti baca buku kok. Cuma bacanya memang pelan-pelan karena mesti memahami isi bukunya. Apalagi saya merasa punya kewajiban nggak tertulis untuk mempublikasikan ulasannya di blog ini. Jadi, harap maklum ya, hehe.

Buku yang kita beli sebenarnya ada dua kondisi, buku baru dan buku preloved

Buku baru adalah buku yang masih fresh terbungkus yang memang disiapkan untuk dijual dalam kondisi prima. Secara kualitas jangan ditanya, mendekati paripurna. Lalu, kalau pun ada cacat cetak, biasanya penerbit atau toko buku membuka lebar-lebar pintu buat banding dan retur. Garansinya berlaku lho.

Dari segi harga pun masih harga pasaran. Beruntung saja jika penerbit atau toko buku mengadakan diskon, sehingga harga bisa turun sedikit.

Sedangkan buku preloved, atau buku bekas pakai, biasanya punya kondisi lepas segel, ada sedikit lipatan, bahkan mungkin kertasnya sudah sedikit menguning. Intinya, kondisi buku ada jejak-jejak pernah dibaca. Sehingga harga buku pun turun sekitar 30%, 50%, bahkan sampai 80%. Suka-suka yang jual aja.

Kali ini saya mau bahas soal pengalaman pribadi ketika memburu buku preloved. Alasan utamanya, biar budget masuk, tapi jumlah buku bisa dapat lebih banyak.

Saya biasanya mencari di akun twitter untuk base buku. Di situ biasanya banyak yang share info menjual atau bahkan mau beli buku preloved. Saya akan membaca semua komentarnya, demi memilah dan mencari, siapa tau ada buku preloved yang murah dan kondisi bagus.

Sejauh ini saya bersyukur pernah membeli buku preloved yang sesuai kriteria, murah dan bagus. Jadi belum pernah kecewa, dan jangan sampai kecewa ya.

Ada beberapa tips nih biar aman beli buku preloved. Cek yuk!

1. Cek gambar buku dan harga. Ini langkah pertama yang saya perhatikan ketika melirik informasi buku preloved. Saya memang kurang suka dengan buku preloved yang kertasnya sudah menguning. Makanya saya akan memilih kondisi buku yang masih seger. Karena saya termasuk golongan penimbun, sehingga buku yang dibeli belum tentu dibaca segera. Kalo sudah menguning kertasnya, pas mau baca nggak bisa dibayangkan kondisinya sudah separah apa.

Rewelnya saya soal kondisi buku, biasanya saya akan minta penjual buku untuk memfotokan sisi bukunya.

Lalu, berikutnya saya akan mempertimbangkan soal harga. Caranya, saya akan mencari tahu harga aslinya, lalu saya cari harga pasar yang berlaku karena biasanya ada harga pasar plus diskon yang sedang berlaku. Kalau harga sudah lebih murah dari dua pertimbangan tadi, langsung memutuskan beli.

2. Cek lokasi pengiriman penjual. Ini juga patut diperhatikan karena menyangkut ongkos kirim dan lama waktu buku akan diterima.

Baru-baru ini saya membeli buku preloved yang saya incar dari lama. Harga sudah masuk. Saya langsung komunikasi dengan penjual dan melakukan transaksi via e-commerce. Lalu hari berikutnya saya pantau pengiriman, tapi kok status nggak berubah ya. Besoknya lagi saya pantau, sudah berubah, tapi kok MAKASAR. Wow, saya alpa memperhatikan penjual ini asalnya dari mana. Bayangkan, buku murah, dikirim dari Makasar ke Cirebon. Jelas memakan waktu. Tapi saya tidak kecewa karena ini salah saya. Beruntungnya pada transaksi ini saya tidak dibebankan ongkos kirim alias gratis.

3. Cek keaslian buku. Penting-penting-penting banget untuk memeriksa informasi dari buku yang dijual, apalagi yang preloved, soal keaslian bukunya. Saya hampir terkecoh antara buku murah yang bajakan dengan buku preloved. Harga biasanya beda tipis alias beti. Begitu dibaca ulang informasinya ada tulisan 'dicetak dengan kertas bla..bla..bla..' atau 'non-ori'.

4. Pilih buku wishlist. Sebab karena harga yang murah, kita bisa terperosok ke pemborosan. Jadi tetap pegang teguh yang namanya budget beli buku. Bulan September ini saya termasuk korban pemborosan sebab membeli buku banyak banget, baik preloved maupun yang baru. Padahal sudah dicadangkan berapa duit khusus beli buku, tapi masih saja pakai pembenaran, "Mumpung murah jeh!"

Nah, itu tadi tips dari saya soal gimana pertimbangan ketika mau membeli buku preloved. Semoga bisa bermanfaat buat kalian yo!

Terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!



[Resensi] Cinta Terakhir Baba Dunja - Alina Bronsky



Judul: Cinta Terakhir Baba Dunja

Penulis: Alina Bronsky

Penerjemah: Harisa Permatasari

Editor: Bayu Anangga

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Terbit: November 2020

Tebal: 160 hlm.

ISBN: 9786020648224

***

Baba Dunja tidak peduli dengan peringatan pemerintah mengenai tingkat radiasi di kampung halamannya (yang terletak jauh dari Chernobyl), ia bertekad untuk pulang! Dan beberapa tetangga mengikutinya kesana. Bermodal kebun sayur-sayuran dan buah-buahan, penduduk kota itu bisa dibilang memiliki segalanya yang mereka butuhkan.

Petrov yang sakit parah melewatkan waktu dengan membaca puisi cinta di halaman; Marja menjalin cinta dengan Sidorow yang nyaris berusia seratus tahun; dan Baba Dunja mengisi hari dengan menulis surat untuk putrinya. Hidup terasa sempurna. Hingga suatu hari orang asing datang dan mengusik ketenangan kota itu.

***

Untuk bisa menambah daftar bacaan atau koleksi buku, selain beli langsung, kita bisa mencari lewat jalur lain, yaitu ikutan talkshow soal buku atau berburu giveaway. Kalau beruntung, kita bisa nambah buku tanpa keluar dana, alias gratis.

Senengkan kalo gitu? Harusnya sih nggak melirik buku bajakan ya!



Baru-baru ini saya melakukan poin pertama, ikutan talkshow soal buku. Acara yang diselenggarakan oleh Gramedia dengan tagline "Sahabat Baca Novel" dilakukan via zoom pada tanggal 27 Agustus 2021, dengan tema "Bocoran Editor".  Hadir empat editor yang mewakili lini penerbit Gramedia: Kak Hetih Rusli (Gramedia Pustaka Utama), Kak Aninda Nurrahmi (Kepustakaan Populer Gramedia), Kak Pramonoadi (Grasindo) dan Kak Noni Mira (Bhuana Ilmu Populer). 

Dengan dimoderatori oleh Kak Hestia, keempat nara sumber membeberkan cerita mereka dalam menangani naskah-naskah yang masuk, utamanya untuk menerjemahkan buku luar negeri. Banyak cerita dan pengalaman seru yang dibagikan mengingat keempat penerbit ini sama-sama bisa menerbitkan buku terjemahan. Ada satu momen hak cipta terjemahan sebuah buku diperebutkan untuk diterjemahkan. Siapa yang ngalah, siapa yang dapat, prosesnya seru sekali.

Lalu pada akhir acara, Kak Hestia menyebutkan penanya beruntung yang akan mendapatkan hadiah. Dan beruntungnya saya termasuk salah satunya. Pada acara itu saya sempat menanyakan beberapa pertanyaan, salah satunya mengenai kemungkinan-kemungkinan para editor melirik buku yang tidak hype tapi bagus, istilahnya "mutiara dalam lumpur" gitu. 

Selain itu, saya juga menanyakan perihal ada kemungkinan nggak menerbitkan terjemahan buku luar negeri misalnya dari Polandia atau negara lainnya yang selama ini belum pernah diterjemahkan oleh penerbit mana pun di Indonesia.

Dan buku yang jadi hadiahnya adalah ini, Cinta Terakhir Baba Dunja karya Alina Bronsky. Salah satu buku terjemahan yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

***


Novel Cinta Terakhir Baba Dunja menceritakan kehidupan seorang nenek yang tinggal di Desa Tschernowo, desa yang diklaim sebagai desa kematian pasca tragedi reaktor pada tahun 1986. Pemerintah menyatakan jika segala yang di desa itu mengeluarkan radiasi yang berbahaya. Semua penduduk dievakuasi ke desa sebelah, Desa Malyschi. Baba Dunja yang dipaksa anak perempuannya , Irina, untuk ikut tinggal Jerman, menolak dengan banyak alasan. Namun, pada satu waktu Baba Dunja memilih kembali ke desa Tschernowo, disusul oleh orang tua lainnya.

Selain Baba Dunja, ada juga tetangga lainnya yang tinggal di desa itu: Marja, pasangan Mr. dan Mrs. Gavrilow, Lenotschka, Petrow, dan Sidorow

Setengah buku pertama, penulis mengulas karakter dan kehidupan sehari-hari setiap tokoh yang ada di desa tersebut. Sebenarnya tidak ada yang menarik dari kehidupan para orang tua itu, sebab pada dasarnya desa itu adalah desa mati. Keseharian mereka dilalui dengan banyak keterbatasan. Keberadaan mereka di desa itu seolah mereka tengah menikmati hidup dengan apa adanya sambil menunggu ajal tiba.

Ini persis ketika wabah covid melanda, dan ada penduduk di blok tertentu terpapar, maka blok itu ditutup. Orang luar tidak bisa masuk; dilarang masuk atau takut masuk. Ini juga terjadi di Desa Tschernowo, orang luar hanya berani berkunjung di perbatasan, tidak ada yang berani masuk. Bahkan tenaga medis dan peneliti akan memakai APD lengkap ketika datang berkunjung. 

Masalah datang ketika muncul orang baru di desa itu, seorang ayah dan anak kecil. Dan pada petang itu terjadi satu kejadian yang akan membuat Baba Dunja harus mendekam di penjara.

Menjadi Tua Menjadi Payah

Ketika membaca novel ini, saya memikirkan beratnya menjadi tua. Penyakitan, gampang lelah, dan kemampuan indera berkurang. Terlebih jika kita tua nanti tidak ada anak atau orang lain yang mengurus kita, akan sangat menyedihkan. Kehidupan Baba Dunja dan yang lainnya cukup mengingatkan kita pentingnya mempersiapkan masa tua yang gemilang bak emas. Dan itu hanya bisa dipersiapkan sejak kita masih muda dan mampu. Misalnya menjaga pola hidup sehat, menyiapkan tabungan, dan membangun hubungan baik dengan orang lain.

Yang paling membuat hati terenyuh adalah mereka yang kesepian. Baba Dunja merasakan itu, kedua anaknya dan cucunya jauh di tempat lain. Sebenarnya banyak cara membunuh rasa sepi, tapi jujur, rasa sepi tetaplah rasa sepi. Diingkari segimana pun, hati kita mengakuinya, dan itu menyedihkan. Baba Dunja memilih membaca buku bekas. Marja bahkan sampai memelihara kambing di dalam rumah agar merasakan ada mahluk hidup di sekitarnya.

Semoga kita semua kelak tidak mengalami kepayahan dan kesepian ketika menjadi tua. Amin!

Melihat Makna Keluarga

Yang mengejutkan saya menjelang akhir buku, penulis memaparkan makna keluarga yang membuat hati menghangat. Hubungan Baba Dunja dan Irina yang terpisah membuat ikatan keluarga jadi dingin dan rawan. Jarang bertemu, jarang menelepon. Kabar soal Irina hanya didapatkan lewat surat yang dikirimkan bersama paket kebutuhan sehari-hari. Bahkan Baba Dunja belum pernah bertemu dengan Laura, cucu perempuannya. Sehingga dia menciptakan bayangan Laura sebagai cucu perempuannya yang cantik dan manis. Walau pada akhirnya Irina menjelaskan keadaan sebenarnya.

Laura bayangan Baba Dunja memiliki rambut pirang, bermata sedih dan berwajah cantik dengan senyumnya yang manis. Tetapi versi Irina berlawanan, Laura menggunduli rambutnya, mencuri uang orang tuanya, pernah mengalami keracunan alkohol, dan dikeluarkan sekolah dua kali.

"Aku melakukan banyak kesalahan, Ibu."

"Tidak," ujarku. "Aku yang melakukan banyak kesalahan..." (hal. 147)

Ini jelas menohok kita semua, kita harus menciptakan keluarga yang harmonis dan solid. Membangun sekuat-kuatnya pondasi keluarga agar segala masalah yang timbul di luaran, bisa dihadapi karena kita yakin ada keluarga yang menguatkan di belakang, baik lewat bantuan mereka atau doa-doa mereka.

Dan sebagai anak, kita perlu sensitif terhadap perasaan orang tua. Ketika kita ada masalah, percaya saya, yang paling merasa sedih dan bersalah adalah orang tua. Ribuan penyesalan menyerbu, "Seharusnya saya dulu membuat dia begini, seharusnya dia bisa mendapatkan pendidikan begini, dan lain-lain."

Apakah novel Cinta Terakhir Baba Dunja ini menarik?

Bagi saya menarik, membaca novel dengan karakter utama para lansia, menjadi pengalaman membaca yang berbeda dengan sebelumnya. Karena dimensi kehidupan yang dipaparkan penulis bukan pengalaman yang sudah saya alami, membuat novel ini jadi pengingat dan nasihat ketika saya jadi lansia kelak.

Kalian tidak akan menemukan konflik yang bikin tegang atau kehebohan seperti novel thriller atau petualangan. Tapi novel ini punya value untuk diambil hikmahnya. Saya memberi nilai untuk novel ini 3 bintang dari 5 bintang.

Saya penasaran dengan karya Alina Bronsky yang " The Hottest Dishes of the Tartar Cuisine" yang katanya dinobatkan sebagai buku terbaik pada tahun 2011 oleh banyak media masa internasional.

Nah, sekian ulasan dari saya, terakhir, jaga terus kesehatan dan jangan lupa membaca buku!


[ poster talkshow Gramedia diunduh dari postingan twitter akun @bukugpu ]

[Resensi] Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan - Riyana Rizki



Judul: Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan

Penulis: Riyana Rizki

Penyunting: Amanatia Junda

Penerbit: BukuMojok

Terbit: Agustus 2021, cetakan pertama

 Tebal: vi + 156 hlm.

ISBN: 9786237284628

***

Jika menikahi laki-laki yang membawanya lari adalah takdir perempuan Sasak, jangan-jangan tidak tersisa kehormatan jika menolak takdir itu. Tidak bolehkah perempuan memilih, sekadar memilih untuk tidak memilih laki-laki yang memilihnya?

Sering kali dongeng digambarkan sebagai cerita fantasi yang berujung pada sang tokoh utama hidup berbahagia. Kisah manis seperti ini membingkai kesan bahwa dongeng hanyalah konsumsi anak-anak, sementara kelak ketika dewasa, apa pun yang indah itu hanya ada di buku dongeng belaka. Riyana Rizki memulai debutnya dengan menyajikan 12 cerita pendek terpilih yang bertalian kuat antara beragam dongeng, legenda, ataupun cerita rakyat. Cerita-cerita tersebut jauh dari janji happily ever after (bahagia selama-lamanya). Justru sebaliknya, sebagian besar menyimpan amarah, luka, dan perlawanan.

***

Wara-wiri paket buku yang dijual oleh Penerbit BukuMojok seharga 98K untuk Genealogi Hoaks Indonesia (Rony K. Pratama) dan Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan (Riyana Rizki) cukup menarik. Tapi karena tidak kenal dengan kedua penulis ini, kedua bukunya pun tidak jadi prioritas untuk segera dibeli. Namun, begitu kabar lomba resensi digaungkan, semangat menantang diri membuat ulasan bukunya melejit.

Saya pokoknya harus ikutan, menang kalah itu urusan entar, yang penting coba dulu belajar mengulas.

Sebagai syarat ikut serta, saya akhirnya memilih buku fiksi ketimbang non-fiksi. Sejauh ini saya jarang sekali mengulas buku non-fiksi. Belum ketemu formula yang pas dan nyaman untuk format ulasannya sehingga belum pengen mencoba dulu di kesempatan ini. 

Mengulas kumcer saja menjadi tantangan yang lumayan berat. Sebab keragaman cerita di dalamnya harus diulas secara utuh sebagai bentuk reaksi saya setelah membaca bukunya. 

Keragaman Tema Dalam Dominasi Tokoh Perempuan

12 cerita pendek dalam buku ini punya tema yang beragam. Ada yang mengulas soal legenda, kisah mistis, drama kehidupan, bahkan dongeng. Dan setelah saya menyelesaikan membaca bukunya, tokoh di buku ini hampir didominasi perempuan.

Isu stigma perempuan dibahas kental pada beberapa cerita di buku ini. Cerita Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan memaparkan stigma jika perempuan harus taat adat dan jika melanggar, dianggap aib. Sekalipun hidupnya menderita, melawan adat tidak dibenarkan. Sulin digunjingkan, dijadikan bahan cemoohan lantaran memilih dipulangkan (dicerai) suaminya karena alasan, "Perempuan tidak menyakiti perempuan, itu kata Ibu." (hal. 10) Sulin tidak berminat menjelaskan kepulangannya karena pada saat itu, orang-orang tidak bertolak dari apa yang benar, tetapi pada kebenaran dominan yang mereka ciptakan sendiri (hal. 11).

Pada cerita Sudah Kukatakan, Aku Timun Mas mengajak pembaca mengenal tokoh Timun, bayi perempuan yang dibuang di tempat sampah, lalu dibesarkan oleh Arini di lokalisasi, hingga ia  berusia 17 tahun dan sudah waktunya menentukan nasib seperti pada dongeng Timun Mas, lari dari raksasa atau terkungkung oleh raksasa. Stigma perempuan dalam kisah ini, lagi-lagi diposisikan untuk tidak memilih karena keadaan lingkungan mendikte lebih dulu.

Lalu pada cerita Perempuan Ceria dengan Kotak Pandora di Pelukannya seolah menyentil stigma perempuan harus sempurna dan baik. Lalu, bagaimana nasib perempuan ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), apakah tidak boleh merasakan cinta, apakah begitu menjijikan, atau tidak lagi punya kesempatan seperti perempuan-perempuan normal? Tokoh Aku bingung ketika fakta itu terungkap. Apalagi ini menyangkut perasaan dan pertimbangan Ibunya selaku pemangku restu.

Dongeng Pengantar Kematian membuka kisahnya dengan narasi yang bikin mual dan linu. Stigma di cerita ini mengenai sosok ibu tiri, yang digambarkan kejam dan tukang menyiksa. Padahal tidak semua ibu tiri demikian. Kalau pun Ilit harus meregang nyawa di tangan ibu tirinya, itu lantaran hasil rentetan emosi yang berkelindan tanpa terurai sehingga pada titik tertentu memuncak. Ilit yang masih bocah hanya menilai ibu tiri dari dongeng yang didengarnya.



Pada cerita Bocah Terbang dan Anak yang Merasa Hilang dituturkan lewat sudut pandang anak perempuan yang menerangkan tentang Ibunya yang menjadi perempuan simpanan. Makanya si anak ini penasaran siapa sosok ayahnya, sebab sepanjang kehidupannya dia tidak dibekali cerita sosok sang ayah. Tidak mengenakkan menjadi perempuan simpanan begitu lues dijabarkan penulis pada cerita ini. Dan ujung cerita disimpulkan, anaklah yang jadi korban dari hubungan orang-orang dewasa ini.

Sedangkan pada cerita Perawan, Perawan, Turunkan Rambutmu, penulis mengadopsi cerita anak-anak Rapunzel. Seorang gadis berambut panjang yang dikurung di atas menara. Dalam buku ini, ada stigma perempuan itu lemah dan dilemahkan, sehingga harus disembunyikan, dan pada kondisi naas, perempuan hanya objek bagi laki-laki. Walau pada akhirnya perempuan tetap bisa memilih untuk terus terkungkung atau menjadi bebas.

Cerita Dendam Yang Lapar dan Tegining-Teganang justru mengingatkan kita pada keburukan manusia yang serakah. Demi mencapai tujuan tertentu, orang serakah bisa melakukan apa pun. Termasuk menebar fitnah hingga menjadi kebenaran mayoritas dan melakukan penipuan tanpa belas kasih. Di cerita Dendam Yang Lapar, Alin terjebak dalam konspirasi 'Menjadi Kades' Bapak dan Suaminya yang berujung pada kematian keluarga Swarta."Dendammu masih lapar? Ada makanan penutup di rumah Bapak." (hal. 34). Lalu pada cerita Tegining-Teganang ini kita akan diingatkan pada kasus suami-istri yang menipu banyak orang dengan motif investasi. Kesamaan kedua cerita ini, pelaku yang serakah akan mendapatkan balasan setimpal.

Isu pelecehan seksual dipaparkan dalam cerita May dan Suling Pemikat dan Misteri Hilangnya Para Bocah. Kedua cerita ini terasa relate dengan berita baru-baru ini. Menceritakan korban pelecehan seksual yang sulit mendapatkan keadilan karena pelaku merupakan petinggi yang berkuasa. Bedanya, pelaku di cerita May adalah bosnya, sedangkan pada cerita Suling Pemikat dan Misteri Hilangnya Para Bocah adalah orang terpandang di desa. 

Cerita bak legenda atau dongeng akan kita temui di judul Sihir Bumi. Saat membaca cerita ini, saya membayangkan kisah kolosal. Tokoh utamanya buruk rupa, tapi sakti madraguna. Apalagi di dalam kisahnya, dibalut sihir yang menutupi pandangan orang-orang terhadap lingkungannya.

Problematika Perempuan di Mata Dunia

Seperti yang saya bilang, tokoh dalam buku ini didominasi perempuan. Sehingga banyak juga problematika perempuan yang disentil penulis, sekadar mengingatkan atau memberikan pandangan. Buku ini mau tidak mau memberikan renungan soal perempuan yang pada saat ini pun masih dianggap objek bagi laki-laki, bahkan dilemahkan sehingga posisi perempuan ditekan untuk di bawah laki-laki.

Selain itu, tokoh perempuan dalam buku ini pun, beberapa terikat dalam 'kubus' keluarga. Entah sebagai istri, ibu, adik, maupun anak perempuan. Dan peran ini membawa dinamika masalah keluarga yang beragam. Dari peran-peran inilah lahir konflik-konflik keluarga misalnya perselingkuhan, pembangkangan, ketidakakuran, kurang kasih sayang, dan sebagainya.

Penulis juga menempatkan dengan apik posisi perempuan sebagai objek. Sehingga unsur seksual begitu lekat pada alur kisahnya. Misal posisi istri simpanan, perempuan penjaja seksual, dan perzinahan. Ini semakin menegaskan tujuan penulis mengulas peran dan posisi perempuan yang ingin ia dobrak lewat cerita-cerita rekaannya.

Apakah Kumcer Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan Ini Menarik?

Ada 12 cerita menyoal perempuan dan problematika bagi saya cukup mengenyangkan. Ditambah akhir cerita yang rada jauh dari bikin senyum. Buku ini lebih banyak mengajak pembaca untuk menikmati pahitnya jalan hidup. Dan saat selesai satu judul, alangkah baiknya berhenti sejenak dan meresapi hal putih apa yang bisa diambil sebagai hikmah. Kalau sampai tidak ketemu, cukup bersyukur, "Beruntung masih bisa membaca satu kisah".

Gaya bahasa dan bercerita penulis tidak canggung. Penulis juga mahir mem-plotting bagian-bagian cerita sehingga satu judul tidak melulu alur maju, tapi ada juga yang alur campuran. Dinamika alurnya beragam sehingga tidak membosankan. Tidak pula membuat pembaca payah memahami cerita karena keluesan penulis yang mumpuni bermain diksi lugas, minim metafora dan pengandaian lainnya.

Secara kemasan, jujur aja, kovernya begitu pias, seperti bibir anak sekolah yang ikut upacara dan belum sarapan. Bikin iba. Menurut saya, kover begini tidak cukup memikat pembaca yang kebetulan masuk toko buku, untuk sekadar mengambil bukunya, membalik bagian belakang, dan membaca blurb-nya. Terlalu sederhana. Saya paham jika gambar perempuan yang mendekap lututnya menggambarkan keterkekangan menjadi perempuan, ditambah megap-megap ketika lingkungan membuatnya sesak seperti ditenggelamkan ke dalam air. Saya justru akan menyarankan kovernya dibuat warna biru laut saja.

Ada sekitar 3 temuan tipo yang saya dapati saat membaca buku ini. Jumlah yang masih dimaklumi, karena tidak mengganggu proses membaca. Mambawa = Membawa (hal. 70). Menjawa = Menjawab (hal. 100). Dan satu lagi saya lupa menandai, hehe.

Secara keseluruhan, buku ini bisa dinikmati. Waspada saja dengan efek sesudahnya, mungkin bagi kalian akan terpengaruh secara emosi sebab ceritanya memang mengaduk-aduk begitu. Jika harus memberikan nilai, saya menyematkan nilai 3 bintang dari 5 bintang. Sebuah debut yang cukup baik.

Sekian ulasan saya, terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!



[Resensi] Satu Kisah Yang Tak Terucap - Guntur Alam



Judul: Satu Kisah Yang Tak Terucap

Penulis: Guntur Alam

Editor: Idha Umamah

Penerbit: GagasMedia

Terbit: Februari 2016, cetakan pertama

Tebal: x + 242 hlm.

ISBN: 9797808556

***

Jika aku berbagi rahasia paling rahasia, bisakah kau memastikan hatimu akan tetap miliku?

Laki-laki itu tampak asing di mata Ratna, tetapi tak sulit jatuh cinta kembali kepadanya. Dialah yang menuliskan nama mereka di pohon cinta yang melegenda di Pulau Kemaro. Tempat yang mengabadikan kisah cinta Putri Fatimah dan Pangeran Tan Bu An.

Pulau di timur Kota Palembang itu pulalah yang menjadi saksi kisah Ratna dan Lee, belasan tahun silam. Dulu maupun sekarang, binar itu masih sama. Namun, sebuah cemas bersarang dan Ratna tak kuasa mengusirnya.

Mungkin saja semua masih bisa sama saat hanya jarak yang memisahkan mereka. Hanya saja, sejauh mana kau bisa bertahan dalam sebuah rahasia dari orang yang kau cinta?

Ratna dan Lee. Bagaimana jika kisah mereka seperti legenda Putri Melayu dan Pangeran Negeri Tionghoa di Pulau Kemaro? Bahwa cinta sejati tak selamanya berakhir bahagia...

***

Ini adalah novel series Indonesiana kedua dari penerbit GagasMedia yang akhirnya bisa saya selesaikan setelah beberapa lama menjadi timbunan. Kalau bisa teriak, kayaknya timbunan bakal merengek, "Pembacaku yang baik, please, bacalah daku!" Mengabaikan pengandaian rengekan buku-buku di rak, saya masih merasakan kekentalan tema budaya di novel ini, meski dalam karya Guntur Alam ini kita akan diajak mendekat ke kebudayaan warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Palembang.

Novel Satu Kisah Yang Tak Terucap ini mengisahkan pasangan Ratna dan Lee, teman-tetangga-masa kecil, yang kembali bertemu setelah 15 tahun berpisah. Ratna tetap di Palembang, sedangkan Lee pindah sekeluarga ke Jakarta. Lee kembali karena mengikuti permintaan Omanya yang merencanakan perjodohan dirinya dengan Ratna. Lee merasa ini hal baik yang patut dicoba setelah tiga tahun lamanya dia merasa kecewa atas insiden pacarnya selingkuh dengan perempuan lain.

Namun ketika Lee bertemu dengan Ratna, dia mendapati Ratna bukan sosok yang dulu dia kenal. Ratna lebih pendiam dan sering kesal kepadanya. Lee tidak tahu kalau Ratna sama merindukannya namun ada satu rahasia yang belum pernah dia ungkap kepada siapa pun.

Isu-Isu Yang Mewarnai

Pada novel Satu Kisah Yang Tak Terucap ini ada beberapa isu yang disinggung penulis walaupun kadarnya tidak banyak. Pertama, mengenai diskriminatif terhadap keturunan Tionghoa pada masa orde baru. Sampai-sampai bagi mereka, nama china harus diganti dengan nama indonesia, percakapan pun dilarang menggunakan bahasa ibu, perayaan agama mereka pun tidak boleh dilakukan terang-terangan sehingga mereka merayakan Imlek secara sembunyi-sembunyi.

Kedua, dipaparkan pula legenda Pangeran Tan Bun An yang hendak meminang Putri Fatimah, putri Raja Sriwijaya. Syarat pinangan itu, Pangeran Tan Bun An harus menyerahkan maskawin pernikahan sebesar sembilan guci emas. Orang tua Pangeran Tan Bun An tidak dapat hadir tapi mereka mengirimkan sembilan guci yang saat dibuka berisi sawi busuk. Pangeran kecewa lalu dengan kesal dia melemparkan guci-guci tersebut ke Sungai Musi. Pada saat di guci terakhir, kakinya tersandung dan guci pecah memperlihatkan emas batangan. Pangeran tidak paham kalo sawi busuk dalam guci digunakan untuk mengelabui perompak agar emas-emas itu aman.

Dengan perasaan sedih, pangeran melompat ke dalam sungai bermaksud mengambil kembali guci-guci berisi emas tadi. Tetapi pangeran tidak juga muncul. Tersiarlah kabar kalau pengeran tenggelam di sungai ke telinga Putri Fatimah. Tanpa berpikir panjang, Putri Fatimah bergegas ke sungai dan dia pun berucap, "Bila kelak ada tanah kering muncul di tengah Sungai Musi, itulah makamku dan makam Tan Bun An." Putri menceburkan diri ke sungai dan tidak pernah kembali. 

Inilah legenda di balik keberadaan Pulau Kemaro. Nama 'Kemaro' sendiri dalam bahasa Melayu Palembang berarti kemarau.

Ketiga, orientasi seksual lesbi dan gay. Orientasi lesbi dibahas ketika pada satu hari Lee yang kembali ke apartement pacarnya, Michel, justru mendapati pacarnya itu tengah memadu kasih dengan seorang perempuan, Luna. Dari insiden ini, Lee sangat kecewa terhadap pacarnya yang sudah empat tahun menemaninya. Lalu orientasi gay dituturkan ketika Lee lulus SMA dan diajak oleh Jounatan ke kelab, mereka sampai melakukan hal terlarang itu. Kegiatan seksual (lesbi dan gay) dalam novel ini masih terbilang aman karena disinggung sangat sedikit, bisa dibilang sebagai bumbu saja. Bahkan kejadian Lee dan Jou itu lumayan mengagetkan saya karena tidak dibahas sedikit pun pengalaman ini. Tau-tau menjelang akhir cerita, penulis memaparkan hal ini.

Keempat, kekerasan seksual. Ini isu yang sudah saya duga akan muncul ketika penulis terus mengulur keputusan Ratna untuk menerima Lee. Padahal keduanya sudah secara terang-terangan saling menyukai, namun gara-gara rahasia ini keduanya tidak kunjung menemukan titik temu. Mereka justru lebih banyak bertengkar karena banyak berprasangka.

Yang mengecewakan saya, kekerasan seksual yang dialami Ratna sangat tidak jelas. Setelah penulis mengulur dari awal sampai menjelang cerita, begitu adegan Ratna mengungkapkan apa yang terjadi dan apa rahasianya, penulis tidak memuat dengan detail cerita sebenarnya. Bahkan tidak dibahas apa yang terjadi, kapan kejadiannya, dan siapa pelakunya.

"Siapa dia, Na? Siapa?" Tangis Ratna masih keras. Dia terguncang. (hal. 218)

Penulis lebih fokus menyimpan itu sebagai rahasia besar Ratna. Dan lebih mengherankan lagi, apa yang dialami Ratna tidak diketahui keluarganya. Ratna berubah sejak itu, tapi saya tidak bisa habis pikir kekuatan mental seperti apa yang dimiliki Ratna kok bisa begitu kuat menghadapi kejadian buruk itu.

Cinta Segitiga Lagi

Seperti novel Pertanyaan Kepada Kenangan karya Faisal Oddang, pada novel ini pun kembali diangkat kisah roman cinta segitiga. Ada Lee, Ratna, dan Samuel. Tokoh ketiga ini muncul sekitar pertengahan buku, untuk memberi konflik cemburu bagi Lee yang tidak ada kemajuan dengan Ratna.

Dari ketiga tokoh yang bermain rasa cinta, saya tidak terkesan oleh salah satunya. Lee termasuk pria berkarakter menawan. Dia setia dan perhatian. Namun, dia sesekali suka berpikir pendek untuk membuat keputusan sehingga jika keadaan mendukung dia akan melewatkan banyak kesempatan asmaranya. Misal, ketika Ratna mengaku tidak setuju dengan perjodohan, Lee hampir bergegas kembali ke Jakarta. Atau ketika Ratna sudah mengungkapkan rahasianya, Lee menjauh dan dia pun sempat berpikir kembali ke Jakarta.

Tokoh Ratna yang mengalami trauma akibat kekerasan seksual tidak membuat saya simpati. Sebab narasi yang dibuat penulis membentuk Ratna ini sudah dalam kondisi stabil. Dia menolak Lee, tapi gestur dan harapannya menginginkan Lee. Dan ketidakjelasan ini tidak dinarasikan dengan kejadian kekerasan seksual. 

Sedangkan tokoh Samuel merupakan tokoh paling utuh, saya rasa. Sebab alasan dia mengejar dan memperhatikan Ratna cukup beralasan. Dia juga cukup baik merespon reaksi Ratna ketika terang-terangan menginginkan Ratna.

Oya, di novel ini kita akan dibawa ke masa sekolah mereka. Alur yang disajikan penulis berupa alur maju-mundur. Masa lalu dibahas untuk menegaskan seberapa dekat hubungan Lee dan Ratna sehingga ketika mereka bertemu kembali, pembaca akan merasakan kontrasnya. Sedangkan masa lalu Ratna dan Samuel untuk mengungkapkan siapa sosok yang dekat dengan Ratna setelah Lee pindah ke Jakarta.

Apakah Novel Satu Kisah Yang Tak Terucap ini menarik?

Bagi saya, selama ada nilai kebudayaan, itu menjadi wawasan menarik. Kisah romannya tidak memang mengesankan, tapi latar ceritanya (budaya, tradisi, sejarah) cukup menutupi kekurangan itu. Dan judul novel Satu Kisah Yang Tak Terucap ini belum cukup memuaskan saya untuk memahami 'satu kisah' yang dimaksud oleh penulis. 

Nah, jika saya nilai secara pribadi novel Satu Kisah Yang Tak Terucap ini, maka saya akan beri nilai 3 bintang dari 5 bintang.

[Resensi] Pertanyaan Kepada Kenangan - Faisal Oddang



Judul: Pertanyaan Kepada Kenangan

Penulis: Faisal Oddang

Editor: Jia Effendi & Tesara Rafiantika

Penerbit: GagasMedia

Terbit: Januari 2016, cetakan pertama

Tebal buku: xii + 188 hlm.

ISBN: 979780853X

***

Di Makasar, dan barangkali di tempat kau sekarang membaca kisah ini; kenangan sering kali datang bukan pada waktu dan tempat yang tepat. Rinailah Rindu, perempuan Jawa itu memandang Pantai Losari sekali lagi. Mengenang rencana pernikahannya yang karam tiga tahun silam. Namun, bukan kehilangan itu yang ia sesali, melainkan mengapa dia kembali? Tanya itulah yang menuntut jawaban pada kisah yang seharusnya telah usai.

Kehilangan telah mebuat Rinai mengerti bahwa manusia tidak pernah memiliki apa pun, bahkan perasaannya sendiri. Ia bersetuju dengan keadaan, bahwa Wanua, laki-l;aki Bugis itulah harapan baru baginya. Lamba, bangsawan Toraja yang pernah mematahkan hatinya, hanya perlu berakhir sebagai kenangan.

Sayangnya, terkadang hati dan ingatan tak selalu sejalan. Rinai tak ingin terluka lagi, tetapi kali ini, apakah takdir akan berbaik hati pada cinta juga kebahagiannya?

***

Dalam series Indonesiana, penerbit GagasMedia mengabarkan kepada pembaca kisah yang dibalut kental kebudayaan. Tujuannya agar kisah yang disajikan kepada pembaca bukan melulu kisah roman semata yang disisipkan konflik ala-ala sinetron. Bisa jadi series Indonesiana ini adalah bentuk komitmen penerbit bersikap nasionalis dengan kembali mengangkat tema budaya kepada masyarakat.

Novel Pertanyaan Kepada Kenangan merupakan salah satu judul dalam series Indonesiana, yang ditulis oleh penulis novel Puya ke Puya, Fasial Oddang. Novel Puya ke Puya sendiri begitu saya puji karena memiliki cerita menarik. Kesamaan dua novel ini menyinggung budaya yang ada di Tana Toraja, Rambu Solo, menyemayamkan orang meninggal agar rohnya naik ke Puya, surga. Ritual ini merupakan ritual paling mahal karena bisa menghabiskan uang ratusan juta, bahkan milyar.

Kegagalan Pernikahan Karena Beda Budaya

Konflik pertama yang diberikan penulis ke pembaca berupa kandasnya hubungan Rinai dan Lamba karena adat yang berbeda. Proposal pernikahan yang diajukan Lamba kepada mamanya, ditentang lantaran ritual Rambu Solo kematian papanya belum digelar. Tidak boleh ada perayaan kebahagian sebelum selesai perayaan kedukaan. Dan bagi keluarga Lamba, pantang menentang adat.

Rinai nelangsa. Selain gagal menikah, pertemanan dia dengan dua orang, Lamba dan Manua, berubah.  Karena diketahui kemudian kalau Manua selama ini menyimpan perasaan suka kepada Rinai. Kedekatan bak keluarga, berubah jadi dingin dan membuat mereka asing satu sama lain.

Cinta Segitiga Anak Manusia

Dalam catatan awal, Faisal menganggap proyek novel Pertanyaan Kepada Kenangan ini seperti proyek istirahat setelah ia menyiapkan novel Puya ke Puya yang menurutnya lebih rumit. Tema roman menjadi pilihan yang menyenangkan baginya dan Faisal memilih konflik cinta segitiga.

Bentuk cinta segitiga sudah menjadi bahan novel yang banyak diangkat oleh penulis lain, namun dasarnya tema roman tidak ada matinya, yang ditunggu oleh pembaca tentu saja bagaimana penulis mengeksekusi konflik cinta segitiga ini. 

Dan menurut saya, akhir kisah Rinai - Lamba - Wanua ini belum begitu jelas arahnya. Saya sampai bingung, ini si Rinai jadinya pilih siapa?


Di dalam saku kemejaku, kotak berwarna gusi pemberian Lamba barangkali telah menunggu jawaban pula. Kotak itu belum kubuka sejak kami pulang dari Bukit Sion. Isinya utuh. Di dalam dadaku, cinta buat Wanua juga belum ada yang membukanya. Isinya utuh. (hal. 185)

Toraja, Makasar, dan Kekayaannya

Kebudayaan Toraja dan Makasar digali sangat mendalam oleh penulis. Termasuk tempat wisata, sejarah kota, dan kesenian, diracik menjadi bumbu cerita yang makin menguatkan konflik antara tokoh-tokoh yang ada, dan itu bukan sekadar tempelan biar ada tema budaya. Misalnya: Rambu Solo, Kete Kesu, Pantai Losari, Tongkonan, Tau-Tau, Fort Roterdam, dan masih banyak lainnya.

Tau-tau (replika mayat) - sumber gambar dari filckr.com

Menurut saya penulis berhasil menjadikan kebudayaan menjadi pelengkap dalam ceritanya. Bahkan pada akhirnya kebudayaan menjadi titik awal kenapa muncul konflik perasaan antara ketiga tokoh utamanya.

Kenalan dengan Tokoh-Tokohnya

Jujur saja, saya merasa tokoh yang paling menonjol adalah tokoh Rinai. Perempuan yang tengah dilema memilih antara Lamba atau Wanua. Karakternya, dia bisa memikirkan matang sebelum memutuskan, dia gampang gamang dan pasti butuh waktu agak lama sampai dia yakin, dan yang paling mengganggu ketika cerita akan diakhiri, Riani ini seolah-olah menjadi perempuan yang jinak-jinak merpati. Saat itu dia sudah dihadapkan harus memilih, tapi entah kenapa Rinai mengulur sedemikian rupa. 

Tokoh Lamba dan Wanua tidak meninggalkan kesan buat saya. Mereka ada untuk menjadi lawan konflik Rinai, dan penulis hanya membuat dua karakter ini mempunyai perbedaan, kayak siang dan malam. Wanua dibentuk sebagai pemuda yang berprofesi wartawan, berambut gondrong, dan lebih urakan. Sedangkan Lamba jadi sosok pengusaha muda, klimis, dan anak penurut.

Tidak ada pendalaman karakter untuk Lamba dan Wanua. Adanya mereka hanya untuk mengikuti alur cerita yang dibuat maju-mundur. Maju - mengetengahkan proses Rinai berkompromi dengan perasaannya ketika dua sahabat dekatnya menginginkan hubungan lebih dari sahabat. Mundur - menyibak awal mula mereka (Rinai - Lamba - Wanua) bertemu, kedekatan persahabatan, bahkan menjabarkan kronologis awal mula adanya perang dingin.

Apakah novel Pertanyaan Kepada Kenangan menarik?

Bagi saya, ini novel ringan yang berisi. Roman dikawinkan dengan kebudayaan. Pembaca akan dapat dramanya, akan dapat juga wawasannya. Setelah membaca novel ini, kita akan sadar ternyata banyak PR bagi kita sebagai warga Indonesia untuk mengenal negeri sendiri yang luasnya dari Sabang sampai Merauke, dengan memiliki kebudayaan yang beraneka ragam.

Jika saya harus memberikan nilai, saya berikan 3 bintang dari 5 bintang.

Demikian ulasan kali ini, terakhir dari saya, jaga terus kesehatan dan tetap membaca buku!

***

Catatan: 

  • Dua kali kehilangan orang yang sama, jauh lebih menyakitkan daripada memiliki orang yang salah lebih dari sekali. - 8
  • Cinta tidak pernah menyalahkan siapa pun dan apa pun, tetapi manusia selalu saja menyalahkan banyak hal atas nama cinta. - 32