[Resensi] Ubur-Ubur Lembur - Raditya Dika


Judul: Ubur-Ubur Lembur
Penulis: Raditya Dika
Editor: Windy Ariestanty
Penerbit: GagasMedia
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal buku: viii + 232 halaman
ISBN: 9789797809157
Harga: Rp66.000 

Ada yang tidak tahu sosok Raditya Dika? Keterlaluan. Saya jelaskan sedikit, beliau ini cowok tulen bertubuh pendek (katanya sering diejek demikian) tapi dia multitalenta. Seperti pandangannya tentang profesi yang ia geluti dan ia tuturkan di bab Ubur-Ubur Lembur, Raditya Dika berangkat dari seorang blogger di blog kambingjantan.com dan tidak mau berhenti sampai di situ. Seperti profesi formal lainnya ada istilahnya naik jabatan. Namun, menjadi blogger tidak ada istilah naik jabatan. Sifatnya bukan vertikal, dan Dika sadar jika blogger hanya punya jalan mengembangkan karier secara horizontal, seperti menjadi penulis buku, penulis naskah, sutradara atas naskahnya, dan paling berani menjadi bintang film untuk naskah yang ditulis dan dia sutradarai (terkesan rakus, memang).

Perkenalan saya dengan buku Dika dimulai tahun 2015 dengan membaca dua buku sekaligus; Marmut Merah Jambu dan Koala Kumal (saya sempat meresensi di blog lama: bukuguebaca.blogspot.com). Lalu, buku terbarunya tahun 2018 ini berjudul Ubur-Ubur Lembur pun saya lahap karena saya tahu bagaimana kocak dan serunya kisah-kisah yang disajikan Dika. Masih dengan konsep sama, memadukan komedi dan kisah pribadi, Dika mencoba memberikan hiburan untuk pembacanya. Apakah kisah pribadinya penting? Pertanyaan yang seharusnya tidak ditanyakan jika kalian membaca Prakata terlebih dahulu. Dika mendapatkan pencerahan ketika bertemu komedian Australia saat ia menghadiri Ubud Writters & Readers Festival di Bali, “Gue baru sadar, dengan membicarakan hal yang penting, gue bisa kembali menulis dengan lancar karena gue merasa apa yang gue tulis ini harus dibaca oleh orang banyak.” Intinya, siapa pun engkau saat ini, jika menganggap dirimu sama pentingnya, apa yang kau lakukan akan menjadi penting, di luar dari penilaian orang lain. Nilai penting ini yang kemudian bakal menggerakkan kita melakukan lebih banyak dari yang bisa kita lakukan.

Di Ubur-Ubur Lembur, Dika menghidangkan 14 kisah pribadi dengan rasa yang beraneka. Saya pilihkan tiga terbaik dan berkesan versi saya; Di Bawah Mendung Yang Sama, Tempat Shooting Horor, dan Ubur-Ubur Lembur. Apakah yang lainnya tidak menarik? Bukan, melainkan bakal jadi panjang ceritanya di ulasan kali ini. Kalian siap baca ulasan yang panjang banget lebih dari ini?

Kisah bertajuk Di Bawah Mendung Yang Sama memiliki rasa cerita yang mengharu dan condong ke sedih. Dika menceritakan sahabat India-nya (Avirbhav ‘Kathu’) yang tinggal di dekat rumah. Sahabatan sejak kecil yang pertemuannya disaksikan hujan, berpisah ketika kelulusan SD dengan drama di bianglala Dufan, lalu setelah mereka dewasa akhirnya ketemu kembali di Jakarta. Pertemuan kedua kali ini punya cerita bagi keduanya, mengingat keduanya sama-sama sudah dewasa yang dalam obrolan dan reaksi pun bukan sekadar ‘main-main’. Kata ‘brother’ yang berarti saudara tidak sebatas kata yang lancar dilafalkan, melainkan Dika tunjukkan dengan menjadi sahabat terbaik dalam menerima Kathu kembali di Indonesia. Banyak cara yang dilakukannya untuk membuktikan itu semua. Sampai pada akhirnya Kathu harus kembali ke India, ikatan perasaan mereka bukan lagi seperti pertemanan antara orang Indonesia dan orang India, melainkan sudah berubah menjadi ikatan keluarga. Perpisahan kali ini pun sama beratnya bagi keduanya namun kehidupan masing-masing harus terus melaju, dan lagi-lagi disaksikan hujan.


Lalu, saya merasa ikut merasa takut tatkala membaca pengalaman Dika melakukan syuting untuk film Hangout (tahun 2017). Dia yang pada awalnya tidak percaya hal mistis (semua ada penjelasan logisnya) meski beberapa kali diceritakan kejadian janggal yang dialami kru lain selama syuting (pada bagian ini terkesan si Dika ini sombong banget sama hantunya), akhirnya dia kena tulah sendiri, digangguin mahluk tak kasat mata. Dan sewaktu berakhir Dika benar-benar melihat sosok anak kecil berwarna putih di semak-semak, saya malah pengen teriak, “Syukurin Lu!!!!”

Lain juga suasana kisah yang diberi tajuk Ubur-Ubur Lembur. Pada bagian ini pembahasan menjadi serius dan intim. Lho? Sebab Dika seakan curhat mengenai kehidupan dewasanya terkait karir yang digeluti. Dika ternyata lulus jurusan finance di Adelaide University dan sempat bekerja di perusahan media. Dia juga pengalaman ‘telak’ sewaktu menjadi orang baru di tempat kerja, dan pengalaman ini menyadarkan tentang makna bekerja di-bos-in orang. Dika pun memutuskan untuk membukukan tulisan di blognya dan karyanya itu dipinang penerbit GagasMedia.

“Gue melihat orang yang bekerja kantoran tapi nggak sesuai dengan minat mereka itu seperti seekor ubur-ubur lembur. Lemah, lunglai, hanya hidup mengikuti arus. Lembur sampai malam, tapi nggak bahagia. Nggak menemukan sesuatu yang membuat hidup mereka punya arti.” (hal. 226)

Ubur-Ubur Lembur menjadi catatan Dika yang pembahasannya lebih dewasa. Dari kacamata dia, hal yang terjadi dan ia alami punya makna dan hikmah. Saya akhirnya menyimpulkan (entah salah atau benar) jika pikiran anak-anak penuh kemurnian dan kepolosan, sedangkan pikiran dewasa penuh keluasan dan kebijaksanaan (seharusnya begitu). Dengan menuliskan sama saja mengingat kembali, dan dengan mengingat kembali kita seperti membaca ilmu dari ingatan kita. Wajarlah jika kita banyak merenung maka kebijaksanaan kita pun bertambah (semoga).

Saya termasuk pembaca yang belum tahu alasan Dika memilih judul buku-bukunya dengan kata jenis hewan. Sebut saja Kambing Jantan, Cinta Brontosaurus, Babi Ngesot, Marmut Merah Jambu, Manusia Setengah Salmon, Koala Kumal, dan buku terbarunya Ubur-Ubur Lembur. Apakah karena unyu? Atau karena ia penyukai binatang? Ada yang tahu alasannya?


Sejauh saya membaca buku Ubur-Ubur Lembur, saya kagum sama sosok Dika. Terlepas dari multitalenta yang dimiliki dan ia kembangkan hingga pantaslah dirinya digolongkan sebagai orang sukses dengan kehidupan dan pilihannya, saya mengakui jika Dika juga manusia biasa yang punya pengalaman beragam, susah-senang, bahagia-kecewa, berharap-tak terpenuhi, mencintai-jarang dicintai (uhk!). Namun, sebagai manusia biasa, Dika sudah membuktikan dirinya bisa menjadi gemilang berkat kerja keras. Lalu, saat ini mari kita pun berkaca, kita sama seperti manusia lainnya, dan bukan tidak mungkin kita pun bisa menggapai bintang yang kita mau.

Akhirnya, saya memberikan nilai 4/5 untuk buku yang bikin pembaca merasakan campur-aduk perasaan.

[Resensi] Resign! - Almira Bastari


Judul: Resign!
Penulis: Almira Bastari
Editor: Claudia Von Nasution
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Ketiga, Februari 2018
Tebal buku: 288 halaman
ISBN: 9786020380711
Harga: Rp68.000 


Mau mengundurkan diri saja kok ujiannya banyak (hal. 40)

Kalimat di atas bisa dikatakan inti dari cerita Resign yang dikemas oleh Alvira Bastari dengan menggabungkan cerita komedi dan cerita roman. Tigran Putra Pramudiwirja (34) adalah sosok manajer di kantor konsultan yang menyeramkan bagi bawahannya. Selain omogannya yang suka nyeblak, dia juga gemar marah, egois, dan kelewat perfeksionis. Bawahan yang jadi korbannya adalah Andre, Karenina, Alranita, Carlo, dan yang bergabung paling akhir, Sandra.

Tempat kerja dengan gaji yang cukup tidak serta merta membuat para kacung kampret (cungpret) merasa betah. Dengan mempunyai atasan yang menyebalkan, mereka sepakat melakukan taruhan siapa yang paling terakhir resign harus mentraktir makan di tempat mahal. Masalahnya, si Tigran ini selalu bisa menggagalkan usaha-usaha para cungpret melakukan interview, negosiasi letter of offer, dan usaha lainnya supaya bisa segera resign. Lalu, bagaimana nasib taruhan mereka dan siapa pula yang akhirnya jadi yang terakhir resign?

Membaca novel Resign memberikan hiburan khas karyawan. Berkutat dengan deadline pekerjaan, pengajuan cuti, interaksi sesama karyawan, dan tentu saja menghadapi si bos yang galak. Bastari sukses menyajikan kesemuanya dengan gaya bercerita yang tidak bertele-tele, juga deskripsi dunia konsultan yang mumpuni. Sehingga pembaca mudah sekali masuk ke cerita dan membayangkan jadi penonton di tengah-tengah para cungpret. Tidak salah jika novel ini masuk lini metropop karena kisahnya jakarta-an sekali.

Ritme kerja di Jakarta berbeda dengan daerah lain. Faktor lingkungan mempengaruhi paling besar. Misalkan, jam kerja yang lebih panjang akibat tambahan lembur karena bisnis Jakarta harus cepat. Dan saya juga menyoroti kehidupan karyawan di sana, yang menanggalkan haha-hihi bersama teman demi deadline pekerjaan. Imbasnya, lingkungan karyawan menjadi sempit; rumah, kantor, dan bioskop. Yup, di novel resign ini membuka rahasia soal hiburan buat karyawan yang biasa pulang larut, menonton bioskop. Selain hiburan, juga alternatif menghindari jalan macet pada jam pulang kerja.

Karena latarnya kantor, novel ini pun menyindir situasi dalam dunia kantor. Misalkan, perlunya fokus ketika lembur agar pekerjaan segera selesai, atau soal kebiasaan karyawan yang gemar bergosip ketika jam kerja. Banyak juga nasihat tak langsung untuk pekerja seperti pentingnya dedikasi, pentingnya memberikan hasil kerja yang baik, dan ada banyak lagi. Intinya novel ini berbobot dan pas dibaca karyawan. Selain jadi hiburan, juga jadi renungan.

Sisi roman di novel ini bakal bikin pembaca gemas dan senyum-senyum sendiri. Tigran yang galak suka sekali bikin Rara emosi. Sebenarnya yang salah hanya soal penyampaian Tigran yang kurang baik. Namun, Tigran merasa benar dan ia akan menulikan telinga ketika ditentang bawahannya. Ini hanya percikan-percikan asmara yang kemudian mengerucut pada kesadaran, "apakah ini cinta?". Karena keduanya enggan terus terang, keduanya malah lebih sering berseteru. Saya hampir tidak suka ketika cerita digiring ke suasana roman yang kental, saya belum rela perseteruan itu dituntaskan begitu saja, dan itu tidak terjadi. Komedi plus roman masih berlangsung sampai akhir cerita dan kalian akan merasa senang karena sudah membaca cerita yang nggak hanya bikin fresh, tapi juga memotivasi.

Novel Resign ini seperti jadi perwakilan dari banyak situasi menjadi karyawan. Suka-duka, susah-senang, dibahas dengan ringan dan disematkan kepada tokoh-tokoh yang sangat hidup. Terjawab juga jika cerita di sini bukan cerita yang diangkat dari kisah nyata. Kalau pun terasa nyata, berkat penulis yang mengangkat dunia pekerjaan yang digelutinya. Sehingga penulis berhasil membangun cerita di kantor konsultan secara bulat.

Akhirnya, saya memberikan nilai 5/5 untuk dedikasi Alranita sebagai cungpret di bawah bimbingan bos Tigran yang mengerikan.


*****

Manusia tidak suka bekerja-, tapi manusia selalu menghabiskan empat belas jam untuk bekerja (hal. 6).

Kategori experienced itu untuk yang sudah bekerja lima tahun (hal. 8).

"Lo jangan kebanyakan lembur kali, Ra. Kapan punya pacarnya?" (hal. 13).

Lembur itu mindset. Kalo ngerjainnya fokus, kamu cuma perlu waktu sebentar kok (hal. 28).

Selalu selangkah lebih maju (hal. 32).

Lembur itu jangan maraton seperti sinetron (hal. 39).

Nggak semua itu bisa dinilai dengan uang (hal. 62).

Namun yang namanya anak buah, sebebal apa pun tetap manusia, yang punya batas sabarnya sendiri jika terus-terusan tersakiti (hal. 63).

Karena orang cuma bisa lihat tampak luarnya saja (hal. 72)

Kita itu harus mengeksplorasi dunia (hal. 76).

Sangat menyebalkan ketika orang yang seharusnya dibantu malah bersikap tidak ingin dibantu (hal. 172).

Seburuk-buruknya dimarahi, lebih menyakitkan kalau dianggap tidak bisa membereskan hal sepele (hal. 173).

Kalo lo lagi kerja, ya kerja yang benar. Lagi nggak disuruh kerja, ya nggak usah sok kerajinan. Nanti disuruh kerja under pressure, malah ngeluh! (hal. 187).

Menang dalam hidup adalah ketika aku bisa menemukan sebuah humor dalam setiap situasi (hal. 241).

Masih muda mah digas saja (hal. 246).

Nggak selamanya bola itu mundur, Ra. Begitu juga dengan masa muda (hal. 247).

Dedikasi dalam pekerjaan itu penting. Best effort saja tidak cukup (hal. 277).

[Resensi] Madre - Dee Lestari


Judul: Madre (novelet)
Penulis: Dee Lestari
Penyunting: Sitok Srengenge
Penerbit: Penerbit Bentang
Cetakan: Pertama, Juni 2015
Tebal buku: v + 46 halaman
ISBN: 9786022911036
Harga: Rp49.000 (via bukabuku.com )

Tidak semua hal bisa diukur dengan uang. Sering kali ada nilai yang lebih besar dari sekadar ukuran rupiah. Cara pandang ini yang kemudian ingin ditegaskan Dee Lestari dalam noveletnya yang bertajuk Madre.

Tansen Roy Wuisan, pemuda berdarah india dan manado, terkejut ketika dirinya terdaftar sebagai ahli waris dari kakek yang sudah meninggal, Tan Sin Gie. Kakek ini merupakan pemilik toko roti legendaris Tan de Bakker yang kemudian berganti nama menjadi Toko Roti Tan, toko roti yang sudah mati suri selama lima tahun. Tansen tidak kenal kakek ini dan namanya saja baru ia tahu ketika pengacara keluarga Tan mengkonfirmasi. Juga warisan tersebut terasa konyol karena hanya berupa setoples adonan roti yang dinamai Madre, dari bahasa spanyol yang artinya Ibu. Jelas Tansen menolak menerimanya karena dia merasa tidak punya bakat menggunakan biang roti dan justru berpikir biang roti itu akan lebih berguna jika berada di tangan Pak Hadi, karyawan lama Pak Tan. Selain warisan yang diterima, silsilah keluarga Tansen pun berubah hanya dalam seceritaan. Tansen merasa ingin menertawakan skenario hidupnya yang penuh kejutan.

Gadis muda pengusaha roti Fairy Bread bernama Meilan Tanuwidjaja tertarik membeli biang roti Madre dengan harga tinggi setelah ia membaca artikel tentang Madre di blog Tansen. Berbeda dengan Pak Hadi yang keberatan atas tawaran Mei namun bukan haknya untuk menolak, Tansen justru sangat tertarik dengan tawaran itu karena harga yang ditawarkan Mei merupakan realitas. Sampai pada akhirnya ketika pesta perpisahan digelar, Tansen melihat kalau Madre bukan hanya biang roti bagi karyawan lama Tan de Bakker, melainkan sudah seperti keluarga. Tansen akhirnya memutuskan untuk memiliki Madre dan menghidupkan Tan de Bakker meski harus mengalami adaptasi besar-besaran mengingat pekerja yang sudah sepuh dan pemasaran roti yang sudah harus mengikuti zaman.

Melalui Madre, Dee mengingatkan kita untuk mulai melihat sesuatu dengan cara pandang baru, bukan diukur dengan nilai uang. Terkadang sesuatu itu lebih bernilai bagi orang lain karena muatan sejarah dan kenangannya. Jika kita mengukur segalanya dari uang, bisa-bisa kita bersikap merendahkan sesuatu karena melihat sesuatu itu ‘murah’. Dengan perubahan cara pandang ini kita akan lebih menghargai milik orang lain sesederhana apa pun itu. Madre yang secara kasat mata berupa percampuran air, tepung, fungi saccharumyses exiguus, dan lactobacillus, ternyata memiliki nilai tinggi bagi Tansen dan Mei. Bagi Tansen, Madre adalah jantung bagi Tan de Bakker, dan Tan de Bakker adalah kehidupan bagi Bu Sumi, Bu Cory, Bu Dedeh, Pak Joko, dan Pak Hadi. Sedangkan di mata Mei, Madre bisa menebus kesalahan di masa kecilnya yang sudah membunuh biang roti milik kakeknya.


Skill dalam menekuni profesi menjadi satu dari banyak faktor yang akan membuat kita betah mengerjakan pekerjaan terlepas sesuai minat atau tidak. Dee menegaskan hal tersebut berbarengan dengan konsekuensi pilihan. Manusia hidup dihadapkan banyak pilihan dan setiap pilihan harus dipertanggungjawabkan. Diwakili karakter Tansen yang akhirnya memilih Madre ketimbang kebebasan menjalani hidup, membuatnya harus belajar dari nol demi mendapatkan skill yang baik untuk kepentingan jangka panjang pilihannya. Begitu juga Mei, memilih mengelola bisnis roti padahal ia menyukai hidup bebas yang dianut Tansen. Pilihannya itu diemban sepenuh hati dengan selalu memastikan melakukan pekerjaan dengan usaha maksimal.

Saya menemukan pelajaran untuk memiliki jiwa dan pikiran yang besar dalam menerima konsep hidup yang bisa berubah, sesuai atau tidak sesuai yang kita harapkan. Dan akhirnya saya memberi nilai 4/5 untuk kisah Tansen dan Mei.


Motivasi Meresensi Buku Gramedia


Hal paling membahagiakan buat blogger buku adalah mendapatkan buku baru gratis. Selain mengurangi biaya buat beli buku, koleksi juga makin bertambah. Walaupun kadang timbunan selalu lebih banyak dibandingkan buku yang dibaca. Ini dosa umum buat kalangan blogger buku.

Saya mau berbagi pengalaman salah satu cara menambah koleksi buku gratis karena kemarin saya mendapatkan dua novel bagus secara cuma-cuma. Jadi, setiap kali saya meresensi buku dengan logo Gramedia, saya akan share link-nya di twitter dengan mencantumkan tagar #ResensiPilihan. Dan secara berkala, setiap minggunya, akun @bukugpu akan memilih link resensi buku gramedia yang jadi #ResensiPilihan.


Kebetulan resensi buku Twinwar, Dwipatra yang saya posting keluar sebagai yang terpilih. Otomatis admin akan mem-publish resensi itu di blog tumblr mereka.

Selain itu, mereka akan meminta kita menentukan lima judul buku gramedia, dan akan dipilih dua judul yang akan dijadikan hadiah. Untuk hadiah atas resensi kemarin, saya dikirimkan dua buku keren.




Terima kasih Gramedia :)

Jadi.... ayo ikutan juga meresensi buku Gramedia dan jangan lupa sertakan tagar #ResensiPilihan. Siapa tahu kalian juga beruntung mendapatkan dua novel keren yang jadi hadiahnya.

[Giveaway] Giveaway Cinta Buku

Tiba juga di bulan Februari, bulan yang identik dengan cinta-cintaan. Hemm, jadi siapa nih di antara kalian yang ikut merayakan bulan cinta ini? Saya sendiri tidak ikutan perayaan begituan. Namun, saya mau ambil bagian dengan memberikan cinta saya sebagai pembaca buku dan blogger buku dengan membagikan buku bukan baru, yang harus saya keluarkan dari koleksi di kosan. Temanya #giveawaycintabuku.

Nah, penasaran buku apa saja yang akhirnya harus saya berikan? Sekali lagi saya terangkan, buku-bukunya bukan buku baru. Oke, saya sudah menyiapkan dua paket buku untuk dua pemenang.



Lalu, berikut ini syarat-syaratnya:

  • Harus punya alamat di Indonesia
  • Follow blog saya via GFC
  • Harus follow akun twitter saya; @adindilla dan silakan share informasi giveaway ini di twitter dengan ngasih tagar #giveawaycintabuku. Sekali saja cukup kok.
  • Tulis pada kolom komentar di bawah dengan format: nama lengkap - domisili - akun twitter kamu
  • Periode giveaway tanggal 12 - 16 Februari 2018. Pemenang ditentukan diundi dan diumumkan tanggal 19 Februari 2018
So, ditunggu partisipasi kalian!

UPDATE PEMENANG


Sudah tanggal 19 Februari saja. Itu artinya saya sudah harus mengumumkan pemenang #giveawaycintabuku yang sudah ditutup pas hari Jumat kemarin. Setelah direkap ada 31 peserta yang ikut dan 1 peserta yang gugur karena komentarnya di luar tanggal periode. Jumlah yang banyak untuk 'giveaway biasa' di blog saya dan pastinya saya merasa sangat terharu.

Sayang sekali saya hanya punya dua paket buku saja yang akan saya berikan kepada dua pemenang. Lalu, pemenang ini saya pilih secara diundi dengan dibantu web random.org. Penasaran siapa pemenangnya. Yuk, liat di bawah ini!


Selamat, kalian jadi pemenang di #giveawaycintabuku !!!

Untuk pemenang, silakan kirim data diri kalian lewat DM di twitter atau email ke hapudincreative(at)gmail(dot)com

Buat yang belum beruntung, jangan kecewa. Doakan saja supaya saya konsisten membuat giveaway setiap bulan. Saya tunggu kalian di giveaway selanjutnya ya!

******

[Resensi] A Beautiful Mess - Rosi L. Simamora


Judul: A Beautiful Mess
Penulis: Rosi L. Simamora
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Kedua, Januari 2018
Tebal buku: 336 halaman
ISBN: 9786020313870
Harga: Rp75.000 (via bukabuku.com - sebelum diskon)

Terasa menyenangkan sekali bisa membaca novel dengan cerita bagus. Karya Rosi ini termasuk salah satunya. Dia menggabungkan kisah cinta, seksualitas, hubungan orangtua-anak, dan kebudayaan di daerah Timur - Timika, di dalam novel metropop yang identik dengan kehidupan metropolitan. Rasa puas menyelesaikan ceritanya makin lengkap dengan pengetahuan yang didapat.

Freyanka Alyra, si tokoh utama, melarikan diri dari masa lalu kelam ke daerah pedalaman. Ia tinggal di resort yang diurus oleh tangan kanan ayahnya, Pablo Neruda Parulian Purba. Ada perjanjian dengan ayahnya yang mengharuskan Freya bekerja di resort itu. Namun, beberapa waktu setelah tiba di situ, Freya masih main-main. Lian harus ekstra usaha untuk merubah sifat Freya agar lebih bertanggung jawab.

Sebagai novel yang dilabeli ‘Novel Dewasa’, sudah pasti akan ditemukan deskripsi-deskripsi mesum yang bikin gerah. Dan seksualitas pada novel ini mengingatkan saya pada seksualitas di film Fifty Shades of Grey, liar dan tak terkendali. Namun tenang saja, cerita cinta masih mendominasi. Kisahnya bertambah seru karena Freya harus terlibat urusan cinta dengan tiga pria; Mahara Andhyka, Parulian, dan Patar Marhasak Purba.


Hubungan orangtua-anak juga ditampilkan melalui hubungan Freya dan ayahnya, Richard Hutagaol. Keduanya tak akur. Namun, Richard selalu menunjukkan dirinya ada dan bisa membantu, meski Freya selalu menyimpulkan hal berbeda tentang kebaikkan ayahnya itu. Freya menganggap ayahnya perhitungan dalam banyak hal. Nyatanya ia selalu memperhatikan anaknya tanpa diketahui. Momen ini yang bikin hati saya menghangat.

Lalu, novel ini menggunakan latar tempat tak biasa, Timika. Sebenarnya ragu menyebut nama tempatnya, sebab-kayaknya saya yang kurang teliti-tidak ditemukan penyebutan nama daerah tempat resort berada. Kesimpulan itu saya peroleh dari daerah asal Patung Bis dan koteka berada. Dua benda tadi menjadi unsur budaya lokal dalam novel ini. Penulis tak lupa menyisipkan cerita awal mula Patung Bis dibuat untuk mendalami kenapa harga patung bisa mahal.



Saya menyukai novel ini karena saya suka dengan perubahan sifat Freya dan karakter bulat Lian. Freya yang selama ini hidup penuh kemudahan, mendadak harus bertanggung jawab atas perjanjian dengan ayahnya. Perubahan ini diceritakan dengan detail dan pelan-pelan sehingga kita akan ikut merasakan emosi transisinya. Sedangkan Lian digambarkan sosok pria matang, pendiam, dan pekerja keras. Dia tidak banyak omong tetapi akan melakukan apa pun jika itu layak dilakukan. Seperti ketika dia membereskan gudang patung untuk menyelamatkan harga diri Freya di mata ayahnya. Lian tidak menuntut terima kasih. Justru dia membuka pintu lainnya agar Freya memahami tujuan ayahnya menyuruh dia bekerja.


Novel ini menggunakan diksi campuran antara puitis-tidak puitis. Lebih banyaknya tidak puitis dalam mendeskripsikan alur yang terus maju. Diksi puitis baru digunakan penulis ketika mengolah kalimat penegasan emosi. Itu cara penyampaian yang baik sebab dengan begitu pembaca akan lebih mendalami kisah dan konflik-konfliknya.

Akhirnya, saya memberikan nilai 4/5 untuk keberhasilan Rosi mengawinkan beberapa unsur dalam novel metropop sehingga unsur-unsur tadi bisa dipahami dengan cara yang seru.

[Resensi] The Hate U Give (Benci Yang Kau Tanam) - Angie Thomas


Judul: The Hate U Give (Benci Yang Kau Tanam)
Penulis: Angie Thomas
Penerjemah: Baromah Ruziati
Penyunting: Mery Riansyah
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal buku: 488 halaman
ISBN: 9786020381305
Harga: Rp99.000 (via bukabuku.com - sebelum diskon)

Novel pertama dari Angie Thomas ini memang sudah terkenal karena wira-wiri di beberapa situs buku dengan komentar-komentar positif. Di informasi itu juga dikatakan jika novel ini mengangkat isu rasisme antara orang kulit putih dan orang kulit hitam.

Starr Carter, gadis berkulit hitam menyaksikan sahabatnya, Khalil, ditembak polisi. Kasus ini menjadi sorotan media nasional karena ada unsur tindakan rasisme. Yang lebih parah, pelakunya adalah polisi yang seharusnya tidak melakukan tindakan itu. Dalam penyelidikannya, Starr harus bersaksi. Proses bersaksi inilah yang kemudian diulik oleh penulis dalam memikat pembaca. Berat sekali untuk menyuarakan kebenaran yang berasal dari orang kulit hitam, menjadi fokus Angie menjalankan alur ceritanya.

Tema besar di buku ini memang mengenai fenomena rasisme yang terjadi di Amerika. Penulis memberikan gambaran kepada pembaca bagaimana orang-orang berkulit hitam berjuang menghadapi stereotip orang kulit hitam dan lingkungannya yang dikenal kacau. Penulis tidak memihak antara kulit hitam atau kulit putih dengan menghadirkan tokoh perwakilan dua kubu tersebut dalam karakter baik, tidak semuanya buruk. Angie seolah hanya ingin memperlihatkan jika di Amerika pernah ada kasus rasisme.

Novel The Hate U Give juga tidak meninggalkan tema lainnya sehingga novel ini tergolong masih ringan dibaca. Unsur percintaan pun diselipkan melalui karakter Starr dan Chris. Keduanya berbeda warna kulit dan keduanya sepakat itu bukan masalah yang harus dimasalahkan. Beberapa bagian akan membuat kita ikut tersipu. Tema komedi pun mewarnai keluarga Carter melalui kegemasan tokoh Sekani, adik Starr, yang kerap mengingatkan uang satu dolar untuk siapa pun yang mengucapkan kata umpatan. Selain itu, Daddy pun tipe ayah yang bisa melucu terutama jika menggoda Starr dan pacarnya. Ada juga tema persahabatan yang menguras emosi antara Starr, Maya, Hailey, DeVante, dan Kenya. Banyak hal yang diceritakan Angie mengenai hubungan mereka dan konflik-konflik khas remajanya.

Dan menurut saya, tema keluarga di novel ini lebih banyak dibandingkan tema lainnya. Kita akan melihat bagaimana menjadi orangtua yang baik untuk anak-anak. Di sini tidak melulu diceritakan menjadi orangtua itu mudah. Apalagi ketika harus menghadapi sifat egois dari anak yang sudah remaja. Tetapi, saya pastikan menjadi orangtua harus lebih kuat, harus lebih tegas, dan harus lebih bisa dibandingkan anak-anaknya.

Tokoh favorit saya tentu saja Lisa, Momma-nya Starr. Saya melihat dia sebagai sosok ibu yang terbaik. Dia bisa menempatkan diri secara tepat dan utuh. Ada kalanya dia terlihat menyebalkan, tapi sikap dia untuk kebaikan semua. Ada kalanya dia terlihat lembut perhatian, dan itu dilakukan dia untuk memberikan tempat nyaman buat anak-anaknya. Beberapa bagian menjadi sangat emosional jika menyangkut kasih sayang orangtua dan anak.

Momma menggebrak meja, dan aku terlonjak. “Tutup mulutmu!” teriaknya. Dia berbalik, air mata mengaliri wajahnya. “Khalil bukan sekadar teman main baginya. Khalil putranya, kaudengar? Putranya!” Suara Momma serak. “Dia mengandung anaknya, melahirkan anak itu. Dan kau tidak berhak menghakiminya.” (hal.102).

“Aku tak peduli kalaupun itu masalah.” Momma menatapku. “Dia tidak akan menjalaninya sendirian.” (hal.104)

Akhirnya, saya memberikan nilai 4/5 untuk novel debut yang beberapa kali membuat saya berdebar dengan akhir ceritanya. Saya merekomendasikan buku ini sebab banyak nilai luhur yang bisa dicontoh.

[Resensi] Mata di Tanah Melus - Okky Madasari


Judul: Mata di Tanah Melus
Penulis: Okky Madasari
Editor: Anastasia Mustika W.
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Januari 2018
Tebal buku: 192 halaman
ISBN: 9786020381329
Harga: Rp59.000 (via bukabuku.com - sebelum diskon)

Saya pernah membaca buku karya Okky Madasari yang judulnya '86'. Novel dengan konflik suap yang sudah membudaya di Indonesia dari masyarakat ekonomi rendah hingga masyarakat ekonomi atas. Tema novelnya terbilang serius karena hanya segelintir penulis yang mau mengangkat tema kritik sosial dalam karyanya dan konsisten di zona itu. Namun, untuk karya terbaru Okky di tahun 2018 ini, ia seperti sudah melakukan manuver dengan menghadirkan karya bergenre novel anak. Genre yang belum pernah ia jamah dan ini seperti jadi tantangan untuk Okky dan pembaca. Saya sebagai pembaca tertantang untuk menikmati cerita anak yang memang sebelumnya penulis tak menyentuh sisi ini di novel-novel sebelumnya. Yang pasti, novel sebelumnya dan novel anak ini akan memiliki perbedaan yang mencolok. Dan menurut keterangan di bagian penulis pada halaman akhir buku, Mata di Tanah Melus merupakan cerita pertama dari serial petualangan anak yang Okky bikin.

Novel Mata di Tanah Melus menceritakan tentang Matara, anak berusia dua belas tahun, yang ikut melakukan perjalanan ke daerah Belu bersama Mamanya setelah hubungan antara Mama dan Papanya tidak harmonis. Persoalan utama suami-istri itu perihal keuangan. Keduanya adalah penulis cerita, hanya berbeda format. Mama menulis novel, sedangkan Papanya menulis kolom politik di koran. Keharmonisan keluarga Mata surut saat Papa sudah tidak bekerja dan Mama sadar keluarganya tak bisa mengandalkan keuangan dirinya yang bukan tipe penghasilan bulanan.

Mata sebenarnya merasa tidak antusias dengan perjalanan kali ini. Apalagi tujuan mereka daerah asing yang jelas-jelas tidak bisa diduga keadaannya. Dimulai dari kejadian mobil sewaan Mama menabrak sapi dan harus ganti rugi dua puluh juta, kesialan tidak berhenti menimpa mereka. Ditambah mimpi sapi-sapi tersebut mengganggu di tidur Mata.

Suatu waktu Mama dan Mata berteduh saat hujan deras setelah mereka melakukan upacara izin masuk daerah Belu dan mereka justru diminta pulang ke tempat asal. Begitu membuka mata, Mata mendapati pemandangan padang rumput hijau yang luas dan sejak itu Mata dinyatakan tersesat. Petualangan Mata dimulai dari kampung Melus. Keinginan untuk bertemu Mama menjadi tujuan Mata melakukan banyak petualangan.

Sebuah terobosan baru bagi Okky yang kerap mengulik tema-tema kritik sosial dan memilih menyajikan cerita anak yang dibumbui hal-hal ajaib. Keinginan Okky terpenuhi dan novel Mata di Tanah Melus memang pas untuk dibaca oleh anak-anak. Kita akan disuguhi perpaduan kisah yang sederhana, petualangan, mitos, dan perseteruan antara dua golongan orang.

Untuk memahami kisah Mata, kita perlu menguatkan pikiran jika di buku ini Okky bermain dengan dua dunia yang sifatnya paralel. Dunia nyatanya adalah daerah Belu, sedangkan dunia paralelnya adalah Negeri Melus. Ini penting agar kita tidak repot memahami jalan cerita yang pada awal-awal buku akan bikin syok.

Lalu, bumbu ajaib yang saya katakan di awal, menjadi nostalgia buat pembaca akan khayalan aneh-aneh yang sering dibayangkan pada masa anak-anak. Kita pasti pernah melihat awan yang bentuknya mirip banyak benda. Di novel ini pun Mata melihat kelinci-kelinci dan anak perempuan yang meloncat-loncat riang di awan.Selain itu, kita akan berkenalan dengan mahluk-mahluk ajaib seperti Ratu Kupu-Kupu, Dewa Buaya, dan Laka Lorak si Ibu Kehidupan.

Latar tempat juga dipenuhi hal-hal menakjubkan misal padang rumput hijau luas yang disebut Fulan Fehan, Kerajaan Kupu-Kupu, rumah kaktus, lautan yang muncul dan surut tiba-tiba, hutan kaktus yang lebat, dan masih banyak imajinasi-imajinasi lainnya yang akan membuat otak kita ikut memproyeksikan seperti apa Negeri Melus itu.

Pada novel ini ternyata Okky menyelipkan kritik sosial terhadap dua kegiatan yang mengundang banyak efek negatif, yaitu perburuan binatang tertentu (di novel ini binatangnya adalah buaya) dan eksploitasi sumber daya alam (Gunung Lakaan) yang tujuannya memperkaya diri sendiri atau golongan. Kita diingatkan kembali jika kegiatan tersebut merusak banyak tatanan kehidupan yang seharusnya kita jaga untuk diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Akhirnya, saya memberi nilai 3 dari 5 sebab saya masih merasa novel ini belum terasa khas anak-anak dalam penyajiannya. Baik secara kosakata, diksi, ataupun petualangannya. Atau, disebabkan oleh konflik orangtua yang terlalu vokal karena dimunculkan di awal dan otomatis menyedot daya tarik pembaca sebelum tahu cerita ajaibnya sebenarnya akan digiring ke arah mana.