[Resensi] Sakura di Langit Osaka - Arizu Kazura



Judul: Sakura di Langit Osaka

Penulis: Arizu Kazura

Editor: Cicilia Prima

Penerbit: Grasindo

Terbit: Oktober 2017, cetakan pertama

Tebal buku: vi + 242 hlm.

ISBN: 9786024524098

***

Naya Wijaya - Pernah disakiti, hatinya dilukai, harapannya dipatahkan, hingga membuatnya sulit membuka hati dan percaya kepada laki-laki, menaruh kebencian yang mendalam kepada laki-laki pemilik mata dengan tatapan tajam- yang pantang menyerah dalam mendapatkan hatinya- itu sejak bertemu.

Nishimura Tetsuya - Pernah dikhianati, dikecewakan dan dipermalukan di depan orang banyak karena gagal menikah, hingga membuat dirinya enggan jatuh cinta dan lebih menyukai hidup sendiri, menaruh rasa kepada wanita pemilik senyum cantik ebrlesung pipi- yang ingin dimilikinya- itu ketika wajah cantiknya berada dalam frame kameranya.

Mereka bertemu di bawah langit musim semi. Berawal dari pertemuan yang tidak menyenangkan saat sakura sedang bermekaran hingga berubah menjadi dirindukan, tiba-tiba keduanya ingin jatuh cinta lagi. Mereka ingin bahagia lagi. Tapi, mampukah keduanya saling melengkapi? Menutup luka lama dengan kebahagiaan yang sekarang dirasa? Atau malah sebaliknya, pertemuan itu adalah awal bagi hadirnya luka baru yang lebih menyiksa?

***

Saya beli novel Sakura di Langit Osaka karya Arizu Kazura saat gramedia.com bikin bazar murah dan hanya dengan harga 6.000,-. Kovernya yang didominasi warna pink, persis warna kelopak bunga sakura, terkesan 'perempuan' banget. Alasan ini yang bikin saya agak malu kalo harus membaca novel ini di luar kosan.

Kover ini juga mengecoh saya mengetahui kalo penulis Arizu Kazura ini ternyata seorang penulis laki-laki. Saya pikir penulisnya perempuan lho! Saya baru tahu kalau nama asli penulis adalah Aris Kurniawan ketika baca profil penulis di halaman paling belakang.

Novel Sakura di Langit Osaka adalah noval roman, dan membaca novel roman yang paling dicari adalah alurnya yang dirajut dengan konflik-konflik pasangan kekasih. Sebab novel roman pasti berkutat di masalah sepasang kekasih, yang ragam masalahnya banyak banget. Konflik yang saya maksud sebenarnya bisa dan sering kita temukan di novel yang lain, karya penulis lain. Gara-gara ini, penulis novel roman harus bisa mengemas ceritanya dengan lebih mengesankan pembaca sehingga akan terus diingat karyanya.

Unsur novel roman kurang lebih begini: perasaan suka, jatuh cinta, cemburu, butuh perhatian, masa lalu, komunikasi romantis, restu, pernikahan impian. Kebanyakan novel roman isinya sekitar itu. Dan yang bikin saya memilih baca novel Sakura di Langit Osaka karena berharap akan mendapatkan cerita yang punya unsur salah satunya.

Naya, si tokoh utama perempuan, akan pergi ke Osaka, Jepang, untuk urusan kerja. Usianya yang sudah 27 tahun, dikhawatirkan oleh ibunya. Terbayang, kontrak 3 tahun di Osaka, dan ketika pulang ke Indonesia usianya sudah 30 tahun, belum menikah. Tapi Naya meyakinkan Ibunya jika sudah ketemu pasangan yang tepat, dia akan segera mengakhiri masa lajangnya.

Setibanya Naya di Osaka, dia justru bertemu pria menyebalkan, Nishimura Tetsuya. Pertemuan mereka terus berlanjut ke pertemuan lainnya, dan tetap hanya bikin Naya kesal saja. Namun bergulirnya waktu, siapa sangka perasaan bisa berubah. Tetsuya mulai mengisi hari-hari Naya dengan perhatian, petikan gitar, dan perlakuan romantis. Yuri, sahabat Naya, ikut senang karena kehadiran Naya merubah banyak kebiasaan Tetsuya.

Tapi kemudian 'Dia' yang berasal dari masa lalunya muncul kembali di tengah-tengah. Mencoba merekonsiliasi hubungan yang sudah rusak, mengais kemungkinan-kemungkinan bagi mereka untuk merajut asmara seperti dulu. 'Dia' bukan hanya ada di sisi Naya, tapi ada 'Dia' juga di sisi Tetsuya.

Tanda Tanya Besar Masa Lalu dan Dia

Saya akui fungsi prolog di novel ini cukup baik, dengan menyebutkan petunjuk yang samar dan membuat pembaca bertanya-tanya, bakal sukses bikin pembaca membuka halaman novel selanjutnya. Percakapan Naya dan Ibunya di prolog halaman 4, memancing rasa penasaran saya. Disitu disinggung kejadian pilu Naya pada tujuh tahun lalu, dan disangkutpautkan dengan 'Dia', yang entah siapa.

"Apa begitu sulit untuk membukanya dan membiarkan laki-laki lain mengisi kekosongan di dalamnya? Sudah tujuh tahun lho, Nduk. Apakah selama itu juga perasaanmu masih sama kepadanya?" (hal. 4).

"Tentang aku yang tidak bisa jatuh cinta dan membuka hati untuk laki-laki lain, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan siapa pun. Termasuk dia yang Ibu pikirkan. Aku bahkan sudah lupa. Aku tidak mengingatnya. Jadi, bagaimana bisa seseorang yang sudah tidak ada di pikiranku menghalangiku untuk jatuh cinta lagi?" (hal. 4).

Isue yang Masih Eksis

Dalam novel ini diangkat isu-isu yang eksis di kehidupan sehari-hari, dan masih menjadi bahan diskusi yang panjang. Misalnya soal usia ideal perempuan untuk menikah, dan soal adanya pandangan kemapanan seorang laki-laki sebagai kriteria pasangan membahagiakan. Dua isu ini tidak begitu banyak disinggung, tapi lumayan membekas ketika kita membaca bagian itu.

Untuk isu usia ideal menikah lumayan menohok karena pandangan ini disampaikan dari sisi seorang ibu. Kita sebagai anak tidak bisa mengatur perasaan ibu terkait sudut pandangnya. Tapi kita harus tahu perasaan ibu yang prihatin jika pada usia kita yang cukup untuk menikah, kita belum juga memijak fase itu. Dan langkah tepat untuk meluruskan perbedaan pendapat ini ya dengan komunikasi yang baik dan santun. Seorang ibu pada akhirnya akan memahami kondisi kita, karena dalih mereka menyinggung usia ideal menikah hanya untuk mengingatkan anaknya.

Sedangkan pembahasan soal kemapanan sebagai pilihan pasangan tepat, hanya disampaikan sepintas oleh Yuri ketika memberikan saran kepada Naya untuk tidak membuang kesempatan memiliki Tetsuya. Apalagi keseluruahn tokoh di novel ini digambarkan memiliki kondisi ekonomi tengah dan atas. Sehingga saya tidak menemukan pembanding apa resikonya memiliki pasangan biasa dan pasangan mapan.

Rasa Novel Karya Ilana Tan

Dari segi penceritaan dan penokohan, saya merasakan rasa novel ini tuh mirip novel karya Ilana Tan. Saya memang baru membaca satu judul karya Ilana Tan yang Autum in Paris, namun saya bisa menyebutkan apa saja kemiripan antara novel ini dengan novel Ilana Tan.

Pertama, latar kisah sama-sama di luar negeri. Dan setau saya ada juga karya Ilana Tan yang latarnya di Jepang, yakni novel Winter in Tokyo. Musim pada akhirnya memiliki peran penting untuk membangun hubungan romantis antar tokoh-tokohnya. Jika pada Winter in Tokyo memakai musim salju, di novel ini memakai musim semi dan gugur, pada saat bunga sakura berkembang indah sampai pada saat bergugurannya.

Kedua, tokoh-tokoh yang dikarang penulis merupakan orang-orang dewasa yang latar belakangnya bukan ekonomi bawah sekali. Profesi atau latar pribadi mereka cukup baik sehingga ekonomi bukan jadi unsur cerita yang fital yang membangun alurnya. Di novel ini disebutkan profesi kantor konstruksi. Kita pasti tahu kemakmuran orang-orang yang bekerja di perusahaan konstruksi, apalagi jika perusahaan tersebut sampai menangani proyek luar negeri.

Ketiga, tema 'benci jadi cinta' menjadi benang merah yang masih dipakai kedua penulis untuk merajut kisah romantisnya. Ciri paling mencolok, pada awal kisah akan dimulai dengan pertengkaran-pertengkaran kecil. Semakin ke belakang, kedua tokoh makin menguat memiliki perasaan suka, perasaan kagum, perasaan ketergantungan satu sama lain, dan berujung 'aku suka kamu, kamu suka aku'.

Keempat, diksi yang formal sekali. Apalagi jika sudah menggunakan kata 'aku, kau, kamu'. Ditambah tidak ada penggunaan kata-kata gaul, akan membuat novel terasa lancar alurnya tapi kaku. Kalimat-kalimat percakapan di novel ini pun lebih ke percakapan tulisan, bukan lisan, sebab komposisi kalimat dan penggunaan kosa katanya begitu formal.

"Bagaimana? Apa kau yakin kau sudah melupakanku sepenuhnya?" (hal. 178)

Kelima, kover novel ini mirip dengan kover novel Winter in Tokyo. Saya sampai menyandingkan kover keduanya, dan setuju jika mirip sekali.




Apa Kesan Setelah Membaca Novel Sakura di Langit Osaka?

Seru. Pasangan yang awalnya tidak saling suka, seiring berjalannya waktu, mereka jadi saling cinta. Di novel ini proses perubahan perasaan Naya dan Tetsuya dijabarkan pelan-pelan, tidak tergesa-gesa, sehingga pembaca tidak dibuat kaget dengan perubahan yang tiba-tiba.

Kurang puas karena ada bagian-bagian tertentu yang mau tidak mau harus disingkat sedemikian rupa agar novel harus segera diakhiri. Misalnya, kepulangan Naya ke Indonesia, dan masa penyembuhan Tetsuya pasca mengalami kecelakaan di lokasi proyek.

Memilih kontrak 3 tahun di Osaka, Jepang, jelas menjadi tantangan penulis mengemas kisah tokoh-tokohnya, karena penulis harus bisa memangkas waktu, memberikan dinamika konflik, bahkan harus memetakan kapan dimulai, kapan memuncak, dan kapan kisah harus diselesaikan. 

Tetapi untuk novel Sakura di Langit Osaka ini menurut saya sudah cukup baik dieksekusi penulis. Dan kalo harus memberi nilai, saya beri 3 bintang dari 5 bintang.

Karena novel ini sebuah sekuel, saya makin penasaran dengan novel sebelumnya, Sekelopak Bunga Sakura. 

Sekian ulasan saya untuk novel Sakura di Langit Osaka, terakhir, jaga kesehatan dan selamat membaca buku!

[Resensi] Larutan Senja - Ratih Kumala


Judul: Larutan Senja

Penulis: Ratih Kumala

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Januari 2017, cetakan pertama

Tebal buku: vi + 126 hlm.

ISBN: 9786020338156

***

Dia membuat larutan antara siang dan malam. Larutan yang akan menjadikan siapa pun terpikat; 'larutan senja' begitu dia menyebutnya. Dia berpikir sambil bergumul denngan racikannya di laboratorium, menggumam-gumam sendiri mengenai penemuannya kali ini.

"Pertama-tama... rasa senja tidak manis seperti siang dan tidak pahit seperti malam. Senja memiliki rasa: hangat." Dia meneteskan beberapa ciaran rasa. " Lalu warna... bukan terang seperti siang, bukan hitam seperti malam... terlalu pekat."

Kali ini dia kembali mencampurteteskan beberapa cairan lain, cairan warna.

"Ada lagi... masih kurang sesuatu, ah... ya... aku tahu. Senja harus menimbulkan sebuah perasaan. Bukan perasaan gembira seperti siang atau perasaan gundah seperti malam."

Dia meneteskan cairan perasaan. Lalu larutan itu menimbulkan semacam ledakan kecil, peletik api keluar dari sana. Selesai sudah: 'larutan senja'.

Dia tahu, saat dia membuat larutan itu, selamanya dia harus tutup mulut. Menjaga sebongkah rahasia dan tak boleh bercerita. Karena jika bocor, maka tuhan akan mencuri larutan itu dari dia guna memperkaya mainan-mainan ciptaannya yang dinamakan 'dunia'.

***

Setelah cukup puas menikmati buku Wesel Pos, saya menjajal buku lainnya karya Ratih Kumala, dan kali ini berupa kumpulan cerita/KumCer. Buku ini mencolok lantaran warna dominan merah kekuningan khas senja, seolah menantang untuk dibaca. Saya? Ya Beranilah!

Awal akan membaca, ada sedikit keraguan lantaran saya jarang menemukan cerpen yang menarik untuk dinikmati. Sejauh ini saya masih mengunggulkan buku kumcer Kuda Terbang Maria Pinto (Linda Christanty), Rahasia Selma (Linda Christanty), dan Kupu-Kupu Bersayap Gelap (Puthut EA) sebagai bacaan kumcer menarik.

Menurut saya cerpen menarik itu yang ditulis dengan diksi lugas, mengambil tema cerita keseharian, dan ada muatan pesan membangun untuk pembacanya. Ini yang saya temukan pada beberapa cerpen di ketiga buku yang saya sebutkan tadi sehingga bisa dibilang saya memfavoritkan ketiga bukunya.

Buku Larutan Senja ini memiliki 14 cerita pendek dengan ragam tema sehingga usai membaca semua ceritanya, kita akan sadar jika buku kumcer begini punya warna-warni yang tidak bikin bosan.

Tema-Tema yang Menyedot Perhatian

Keempat belas cerita di buku ini bisa dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan tema. Tema Mistis, kita bisa menemukan di cerpen Paradji, Purnama di Borneo, Larutan Senja, Obral Peti Mati, dan Gin-Gin dari Singaraja.

Paradji menceritakan profesi dukun yang dituduh penyebab kematian seorang warga hingga si paradji ini dihakimi. Fitnah keji ini yang akhirnya berujung sumpah dendam di masa depan. Cerita Purnama di Borneo mengangkat soal peri yang ada di hutan kalimantan, yang suka menggoda pria agar dinikahi tapi ujungnya terhalang restu. Ketika si pria dikembalikan ke dunianya, dia akan mengalami mimisan hingga meluah sampai ke titik meninggalnya.

Larutan Senja menjadi judul besar untuk kumcer ini, memaparkan Dia membuat ramuan yang kerap hasilnya itu dibeli oleh tuhan untuk mengayakan mainannya, dunia. Karena prestasi dunia yang meningkat, tuhan kerap dipuji dan disanjung oleh yang lain. Ini yang membuat Dia kesal sehingga ketika ia berhasil membuat larutan Senja, larutan ini disembunyikan dari tuhan. Tapi tuhan ternyata bisa membuat duplikasinya. Tuntutan yang tidak terpenuhi membuat Dia menuangkan larutan gelap pekat ke dunia, dan jadi bencana.

Lalu kisah Gin-Gin dari Singaraja menyebut makna tradisi ngaben di Bali. Pertemuan si tokoh dengan Gin-Gin justru memperjelas soal tradisi ngaben sebagai upacara memulangkan kembali roh. Dan cerita Obral Peti Mati mengisahkan penjual peti mati yang sedang sepi pembeli dan berharap peti mati di depan rumahnya bergerak pada malam hari sebab itu tanda peti mati tersebut akan terjual. Lalu pada satu malam ada empat peti mati yang bergerak. Kematian pertama, seorang ayah. Kematian kedua, seorang janda kembang pelakor. Kematian ketiga, seorang rentenir yang meresahkan. Dan kematian keempat tidak pernah diduganya.

Tema Sejarah memiliki lintasan yang lebih luas karena melingkupi sisi agama, sejarah dunia, hingga sejarah negara kita, Republik Indonesia. Kita bisa menemukannya di judul-judul berikut ini: Dalu-Dalu, Natch Westen, Anakku Terang Laksana Burung, dan Radio Kakek.

Dalu-Dalu menjadi cerita yang kurang saya sukai karena membahas soal Lekra, dimana saya tidak tahu Lekra itu apa. Kemudian saya coba cari di google dan ketemu ini!

Lembaga Kebudajaan Rakjat atau dikenal dengan akronim Lekra, merupakan organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia. Lekra didirikan atas inisiatif D.N. Aidit, Nyoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta pada tanggal 17 Agustus 1950, Lekra mendorong seniman dan penulis untuk mengikuti doktrin realisme sosialis.

Netch Westen menjadi cerita drama yang dibalut sejarah karena mengisahkan keluarga yang terpisah di Jerman Barat dan Jerman Timur pada masa awal-awal tembok Berlin. Pada masa itu ada ketimpangan di antara dua wilayah. Kalau sekarangnya, mungkin sama keadaannya dengan dua wilayah Korea Utara dan Korea Selatan. Perpisahan yang terjadi itu, tidak dapat diprediksi kapan akan berakhir. Dan proses keluar dari wilayah itu harus menghadapi banyak birokrasi. Sehingga beberapa orang memilih untuk mengendap-endap menyebrangi tembok, tapi kebanyakan berakhir mati ditembak.

Sisi agama justru kental sekali akan kita temukan di cerita Anakku Terbang Laksana Burung. Kisah ini kurang lebih menuturkan ulang kisah Nabi Isa AS atau kisah Yesus, dan diceritakan dari sudut pandang Maryam, Ibunya.

Hampir sama dengan latar cerita Dalu-Dalu, Radio Kakek menceritakan kejadian tragis pada masa dulu dimana sorang kakek, sekaligus imam mesjid, dituduh menyembunyikan pejuang kemerdekaan. Sampai akhirnya tokoh aku mengintip eksekusi orang-orang yang dituduh di kebun kecil.

Tema Drama Kehidupan lebih kaya, dan dapat kita jumpai di cerita-cerita: Shizophrenia, Tahi Lalat di Punggung Istriku, Wanita Berwajah Penyok, Pada Sebuah Gang Buntu, Buroq.

Cerita Shizophrenia mengisahkan seorang psikiater yang memanipulasi pasiennya yang bergaya sebagai intel. Tapi kegiatan psikiater ini justru diawasi ketat oleh dokter lain. Selain drama, dibalut juga sisi seksual, bisa dibaca pada cerita Tahi Lalat di Punggung Istriku, yang membahas suami yang memiliki fetis akan tahi lalat istrinya. Dan ketika tahi lalat itu menghilang, gairah pasangan ini meredup cepat.

Orang stres kembali dibahas ketika penulis menjabarkan kisah Wanita Berwajah Penyok yang mengalami disabilitas sejak lahir, diduga akibat ia merupakan hasil janin yang gagal diaborsi. Kehidupannya terkurung di ruang sempit dekat kuburan. Temannya hanya bulan, matahari, dan pantulan wajahnya di genangan air. Lalu kisah Pada Sebuah Gang Buntu, penulis membahas kehidupan suami yang kedapatan jajan di tempat prostitusi saat istrinya baru saja melahirkan anak kedua. Keanyeban hubungan mereka dimulai sejak kehamilan itu. Menurut pengakuan si suami, kebutuhan rohaninya tidak terpenuhi maksimal.

Dan cerita pamungkas di buku ini berjudul Buroq. Mengisahkan seorang pemuda yang berprofesi sebagai tukang tato yang bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW sedang mengendarai buroq. Walau kisahnya dibuat selang -seling dengan seorang bocah yang juga memimpikan Nabi Muhammad SAW. Pada ujung ceritanya, kita akan sepakat kebulatan soal latar belakang si pemuda tersebut.



Kesan Membaca Buku Ini?

Oya, halaman di dalam buku ini memiliki rona warna senja yang unik, yang bikin buku ini berbeda dari buku yang lain. Dan kesan setelah menuntaskan keempat belas ceritanya, saya sangat puas, terhibur, tercerahkan, dan lumayan mendapatkan pengalaman kegetiran hidup dari tokoh-tokoh yang dirancang Ratih Kumala.

Jika saya harus menilai, buku ini saya kasih 3 bintang dari 5 bintang. 

Demikian ulasan saya, terakhir, selamat membaca buku!

[Resensi] Wesel Pos - Ratih Kumala



Judul: Wesel Pos

Penulis: Ratih Kumala

Editor: Mirna Yulistianti

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Juni 2018, cetakan pertama

Tebal buku: vi + 100 hlm.

ISBN: 9786020387116

***

Ada dua jenis orang yang hidup di Jakarta. Pertama adalah orang sakti, mereka adalah orang yang akan bertahan hidup sebab 'ilmu' mereka sudah tinggi. Kedua adalah orang sakit, yang akan mati ditelan kekalahan di kota ini. Elisa datang ke Jakarta membawaku, sebab di atas tubuhku tertulis alamat kakaknya yang selama ini mengiriminya uang melalui aku, si Wesel Pos. Apakah dia akan menjadi orang sakti atau orang sakit? Sungguh tipis perbedaan menjadi sakti dan sakit.

***

Ratih Kumala sebagai penulis mulai saya ketahui sejak gaung novel Tabula Rasa beredar di media sosial karena waktu itu buku ini akan difilmkan. Film Tabula Rasa akhirnya rilis pada bulan September 2014. 

Beruntungnya saya berjodoh dengan karya ratih Kumala ketika toko buku online gramedia.com mengobral beberapa buku menarik dengan harga sangat terjangkau. Dan saat itu saya membeli beberapa judul, dan di antaranya ada dua buku karya Ratih Kumala: Wesel Pos dan Larutan Senja, kedua buku ini saya beli hanya dengan harga masing-masing 5.800,-, murah banget cuy!. Anggap saja ini memang sudah saatnya saya berkenalan dengan karya Ratih Kumala.

Kali ini saya mau mengulas novel tipis berjudul Wesel Pos. Novel ini menceritakan sudut pandang wesel pos yang dibawa ke Jakarta oleh tokoh Elisa untuk mencari kakak laki-lakinya yang sudah dua tahun tidak pernah pulang tapi masih mengirimkan uang lewat wesel, sekaligus untuk mengabarkan kepada kakaknya kalau Ibu sudah meninggal.

Dari Purwodadi ke Jakarta jadi perjalanan yang menarik bagi Elisa. Namun, Jakarta ternyata tidak seramah yang dibayangkan. Begitu keras kehidupan di kota metropolitan ini. Baru saja tiba di Jakarta, Elisa harus kerampokan oleh ibu-ibu penjual kopi. Berkat bantuan polisi dan alamat kantor yang tertera di wesel, Elisa bertemu Fahri, salah satu teman Iqbal, kakaknya. Dari Fahri, kehidupan Elisa bergulir warna-warni dan tersingkap pula beberapa hal yang selama ini Elisa tidak ketahui.

Jakarta Bukan Kota yang Ramah

Latar cerita novel ini di Jakarta. Gambaran Jakarta yang keras begitu tampak dalam beberapa kejadian yang dialami tokoh-tokohnya. Misal, Elisa yang kerampokan, Fahri yang menjadi kurir barang haram, Mas Memet yang jadi banci dan menurut rumornya harus sampai jual diri, bahkan pemandangan kehidupan orang-orang yang tinggal di rumah susun. 

Jakarta yang keras juga menjadi berkumpulnya banyak orang dengan ragam tabiat, baik-buruk. Dijelaskan di novel ini jika di Jakarta kita tidak bisa asal menilai seseorang.

"Kamu lugu atau naif? Penjahat itu enggak melulu harus laki-laki, enggak melulu harus preman. Ibu-ibu penjahat juga banyak." (hal. 11).

Saya pertama kali menginjak Jakarta, tepatnya di Jakarta Utara, serasa sedang melakukan touring. Padahal saat itu saya ke Jakarta untuk bekerja menjaga toko sembako. Karena ada kejadian tidak mengenakan, saya kabur dan berpetualang dari Jakarta Utara ke Jakarta Pusat, lanjut ke Tanggerang. Selama perjalanan ini, saya beruntung karena mendapatkan banyak bantuan. Walau saat itu saya harus menginap di salah satu musolah di Pasar Baru. Tapi perjalanan kabur di Jakarta menjadi pengalaman yang seru banget.

Inkonsisten Soal Sudut Pandang Wesel Pos

Sudut pandang dalam novel ini diambil dari benda mati, Wesel Pos. Di awal-awal cerita, penggunaan sudut pandang ini memang efektif. Tapi semakin bergulirnya cerita, sudut pandang ini semakin tidak konsisten. Akibat dari kejadian yang dialami oleh tokoh utamanya, Elisa dan Fahri, berkembang jauh sehingga peran sudut pandang wesel ini tidak fungsi. Misalnya, ketika Fahri datang ke markas untuk mengambil barang dan menyatakan ingin berhenti jadi kurir, jadi penceritaan berubah menjadi sudut pandang orang ketiga. Karena memang harus diakui jika wesel pos ini tidak melekat terus dengan tokoh-tokohnya, sehingga banyak sekali bagian cerita yang berubah sudut pandang.

Menurut saya, jika sudut pandang ini dirubah ke sudut pandang orang ketiga pun tidak masalah. Karena pengaruh sudut pandang wesel pos tidak berarti signifikan. Pemilihan ini seolah untuk membuat novelnya lebih unik dan berbeda.

Rasa Film Televisi (FTV)

Alur novel Wesel Pos ini maju dan bergulir lumayan cepat. Berkat gaya bercerita yang lugas dan jelas, saya bisa menikmati alurnya seolah sedang menonton film televisi atau FTV. Ratih Kumala berhasil membuka semua pertanyaan soal perjalanan Elisa di Jakarta dengan pelan-pelan dan rapi. Pembaca terus dibuat penasaran dengan apa yang akan di alami Elisa. Misal, apa yang akan terjadi setelah Elisa kerampokan, bagaimana dia menemukan kakaknya yang menurut informasi Fahri sudah 2 tahun tidak bekerja di perusahaan itu, dan bagaimana nasib Elisa selanjutnya setelah pencariannya ke Jakarta tidak sesuai harapan.

Ending novel Wesel Pos ini cukup terbuka lebar jika akan dibuat sekuel. Kehidupan Elisa akan lebih pelik setelah kejadian tragis yang menimpa Fahri. Dan tentu saja kisah roman Elisa ini berpotensi besar dijadikan novel sekuel, kira-kira Elisa akan bertemu siapa lagi selama di Jakarta ini.

Nah, jika kita perhatikan di belakang kover novel ini, ada kode rate 18+ yang tentu saja artinya novel ini memiliki muatan alur cerita yang pantasnya dibaca oleh pembaca dewasa. Dalam benak saya, rate tersebut menyiratkan adegan vulgar semata. Ketahuan nih kalo sempit banget pemahaman saya, taunya ada adegan indehoy aja.

Tetapi di novel ini justru adegan vulgarnya minim sekali. Langsung mengelus dada, menghela nafas, yah huft! Rupanya yang dimaksud muatan dewasa dalam novel ini lebih ke konteks kehidupan banci dan transaksi narkoba. Dua hal ini jelas belum pantas dibaca oleh pembaca remaja atau anak-anak, sehingga peringatan rate ini sudah tepat.

Apakah novel Wesel Pos karya Ratih Kumala ini menarik?

Secara keseluruhan saya puas sekali bisa membaca cerita Elisa dan Fahri di novel ini. Tidak perlu pusing memahami ceritanya karena alurnya bergulir lancar bak aliran air di sungai pada musim hujan. Eh, tapi kan suka ada banjir bandang? Iya, di novel ini juga ada bagian yang bikin tegang, pas penyergapan Fahri itu, anggap aja itu banjir bandangnya, hehe.

Jika mesti saya nilai, saya akan kasih 4 bintang dari 5 bintang. Perkenalan yang manis bukan? Makanya novel selanjutnya yang akan saya baca pun masih karya Ratih Kumala, sebuah kumpulan cerita berjudul Larutan Senja. Nantikan ya resensinya. 

Sekian ulasan dari saya, terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!

[Resensi] The Hen Who Dreamed She Could Fly - Hwang Sun-Mi



Judul: The Hen Who Dreamed She Could Fly

Penulis: Hwang Sun-Mi

Penerjemah: Dwita Rizki

Editor: Harum Sari, Dian Pranasari

Penerbit: Penerbit BACA

Terbit: November 2020, cetakan pertama

Tebal buku: x + 214 hlm.

ISBN: 9786026486523

***

Dari balik kandang, seekor ayam petelur yang menamai dirinya sendiri Daun selalu menyaksikan kehidupan keluarga halaman yang penuh kebahagiaan. Ayam Betina mengerami telur. Beber-bebek berbaris menuju bendungan. Anjing Tua yang selalu kalah ketika berebut makanan dengan Ayam Jantan. Daun ingin berhenti menjadi ayam petelur. Daun ingin keluar, bebas, dan menjadi ibu; bertelur dan mengeraminya.

Tatkala kesempatan keluar kandang tiba, Daun harus berhadapan dengan penolakan keluarga halaman dan ancaman Musang lapar yang hendak menerkam. Hidup di luar kandang tidak semudah yang daun bayangkan. Namun Daun berhasil menetaskan Jambul Hijau, seekor anak bebek yang berbeda dengan bebek-bebek di halaman.

The Hen Who Dreamed She Could Fly adalah dongeng indah yang menguatkan tekad untuk memupuk impian. Sebuah kisah tentang bersikap penuh kasih sayang, keberanian, pengorbanan, dan tulus mencintai tanpa membeda-bedakan. Begitu diterbitkan, The Hen Who Dreamed She Could Fly langsung mencuri perhatian pembaca Korea. Berada di daftar buku terlaris selama sepuluh tahun berturut-turut dan menginspirasi film animasi terpopuler dalam sejarah Korea.

***

Novel ini tergolong fabel. Menurut KBBI, fabel adalah 
cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang (berisi pendidikan moral dan budi pekerti). Ditulis oleh penulis berasal dari Korea dan novel ini laris diterjemahkan ke banyak bahasa.

Premisnya, seekor ayam betina petelur yang memiliki keinginan untuk punya kehidupan seperti ayam betina umumnya: mengerami telur, menyaksikan anaknya menetas, dan bisa menikmati kehidupan normal bersama anak-anaknya. Tapi sebagai ayam petelur, dia meradang setiap kali melihat telurnya diambil majikan dan entah diapakan. Keinginan ini yang membuat gairah hidupnya menurun, diliputi kesedihan.

Begitu ada kesempatan untuk keluar kandang, Daun si ayam petelur ini, menghadapi banyak kesulitan: diincar Musang si Pemangsa, ditolak oleh keluarga halaman, tidak punya sarang, dan kelaparan. Tapi mimpinya yang bikin Daun kuat. Sampai akhirnya dia menemukan sebuah telur dan mengeraminya. Bahagia membuncah karena impiannya terwujud. Namun begitu menetas, yang lahir ternyata anak bebek liar. Ini tantangan baru, dia akhirnya punya anak, tapi bebek yang dipelihara ayam betina tetaplah bebek.

Dongeng Petualangan

Cerita apa pun, jika ada unsur petualangan, menurut saya selalu menarik. Ada nilai perjuangan, latihan kesabaran, dan pendewasaan, yang membuat petualangan itu bernilai lebih. Walau karakter di novel ini adalah hewan, namun nilai yang selipkan pada kisahnya relevan untuk kehidupan manusia. 

Petualangan yang saya maksud tentu saja perjalanan Daun menemukan sarang baru, pelariannya mencari sarang aman untuk anaknya, dan pertemuannya dengan kebanyak kejadian yang menegangkan ketika jadi sasaran si Musang. Saya yakin kisah petualangan hewan begini akan menarik perhatian anak-anak jika orang tua bersedia menceritakannya. Hitung-hitung menanamkan nilai-nilai kebaikan sejak dini, hehe.

Kemasan Sederhana Tapi Memikat

Karena ini cerita fabel, penulis mengemas kisahnya dengan diksi sederhana. Alur cerita, kejadian-kejadian, dan konflik yang dibangun penulis tidak menyimpang dari kewajaran prilaku hewan. Penilaian ini yang membuat buku ini disajikan apa adanya. Saya menyebut demikian karena beberapa kali saya menemukan cerita hewan yang prilakunya manusia banget, misal kelinci menggunakan ponsel, anjing menggunakan sepeda, atau hewan lain yang melakukan aktifitas manusia atau menggunakan fasilitas manusia. Tidak keliru sebenarnya, tapi menurut saya berlebihan.

Dengan kemasan sederhana tapi memikat ini, pembaca jadi belajar bagaimana prilaku hewan tertentu. Misal hewan bebek yang suka berkelompok, ayam jantan yang kadang superior, dan musang yang punya naluri memangsa. Lumayan bukan untuk nambah wawasan soal hewan-hewan.

Ada Bawang-Bawangnya

Dulu sekali, saya pernah membaca buku fabel, dan kebanyakan memiliki jalan cerita yang mencerahkan. Misal, cerita Tokek mengejek Semut yang mengumpulkan makanan setiap hari. Begitu musim hujan dan banjir, Semut punya persediaan makanan sedangkan Tokek kelaparan. Akhir cerita Semut berbagi makanan dengan Tokek. 

Namun di buku ini cerita dibuat kental dengan emosi sedih. Apalagi menjelang akhir kisah, Daun harus merelakan Bebek Jambul Hijau pergi bersama kelompoknya untuk melanjutkan perjalanan migrasi. Alasan jadi momen sedih karena kedekatan yang terbangun antara Daun dan Bebek Jambul Hijau sudah seperti ikatan ibu dan anak. Dan perpisahan ibu dan anak selalu menjadi titik paling menyedihkan, apalagi di kehidupan manusia.

Bermimpi, Berjuang, Ikhlaskan

Ketiga pesan ini begitu terasa di dalam kisah Daun. Bermimpi; Daun mengajarkan untuk memiliki impian setinggi dan semutahil mungkin. Jika itu bisa membuat kita bahagia. tidak salah jika dicoba dulu. Berjuang: Dalam mewujudkan impian yang besar tadi, dibutuhkan usaha yang lebih besar dan lebih giat. Jangan harap akan menemukan jalan mudah, sebab setiap proses mencapai sesuatu akan ditemukan kerikil-kerikil yang mesti dihadapi. Ikhlaskan: Setelah melalui proses panjang untuk mewujudukan impian besar kita, apa pun hasilnya, kita mesti memiliki hati yang luas untuk proses terakhir, mengikhlaskan hasil yang sudah kita upayakan, apa pun ujungnya.

Sekian ulasan saya, terakhir, jaga kesehatan dan selamat membaca buku!

[Resensi] Rapijali #1: Mencari - Dee Lestari



Judul: Rapijali #1; Mencari

Penulis: Dee Lestari

Editor: Dhewiberta H., Jia Effendi

Penerbit: Penerbit Bentang

Terbit: Mei 2021, cetakan keempat

Tebal buku: xvi + 352 hlm.

ISBN: 9786022917724

***

Ping merasa telah memiliki segala yang ia butuhkan. Dunianya yang damai di Pantai Batu Karas, rumahnya yang penuh alat musik di tepi Sungai Cijulang, seorang sahabat terbaik, serta kakek yang menyayanginya. Namun, diam-diam Ping menyimpan kegelisahan tentang masa depannya yang buram. Bakat musiknya yang istimewa tidak memiliki wadah, dan ia tidak berani bercita-cita.

Hidup Ping jungkir balik ketika ia harus pindah ke Jakarta dan tinggal bersama keluarga calon gubernur. Ping mesti menghadapi sekolah baru, kawan-kawan baru, dan tantangan baru. Mungkinkah ia menemukan apa yang hilang selama ini? Dan, apakah Ping siap dengan yang ia temukan? Bahwa, hidupnya ternyata tidak sesederhana yang ia duga.

***

Nama Dee Lestari mulai dikenal ketika saya baca series Supernova. Walau nggak rampung series tersebut, tapi buku lainnya pun sempat saya cicipi, seperti novel Perahu Kertas, kumcer Madre, dan kumcer Filosofi Kopi. Buku sebelum Rapijali ini, Aroma Karsa, tidak rampung juga dengan alasan tertentu.

Bagi saya, novel Dee selalu punya rasa yang enak. Misal di Perahu Kertas, saya menikmati keluesan Dee meramu kisah anak muda dalam narasi yang lincah. Sedangkan di series Supernova, saya cukup terkesima dengan detail-detail pengetahuan yang saya tahu itu semua hasil riset yang nggak main-main.

Dan giliran menikmati Rapijali ini, saya terperanjat kaget dengan diksi dan isi novelnya. Ini persis ketika saya baca Aroma Karsa. Ada rasa tidak enak. Entah dibagian mananya. Dan saya butuh sedikit paksaan untuk menyelesaikan novel ini.

Rapijali sendiri mengisahkan remaja perempuan bernama Ping yang tinggal di Pantai Batu Karas, Pangandaran, bersama kakeknya, Yuda Alexander. Karena sudah kelas tiga SMA, ada kegelisahan mau kemana setelah lulus, mengingat kondisi ekonomi kakeknya yang sulit untuk membiayai kuliah. Sedangkan sahabatnya, Oding, yang peselancar andalan Batu Karas, punya peluang luas untuk jadi atlit.

Takdir lain menyeret Ping pergi ke Jakarta dan tinggal dengan keluarga calon gubernur, Pak Guntur. Di sini kisah barunya dimulai. Dia bertemu kawan baru; Inggil, Rakai, Buto, Jemi, dan Lodeh. Dia menemukan dunia musik; band, kompetisi, dan pengalaman belajar musik. Tapi tabir itu masih rapi tersembunyi rapat, entah kapan akan terungkap.

Musik Bukan 'Sesuatu' yang Dekat

Tema musik yang kali ini dibawa Dee, bukan tema yang dekat dengan saya. Saya hanya penikmat nada dan lagu, bukan pemain musik, jadi detail musik yang ada di novel ini terasa begitu jauh. Bahkan lagu-lagu yang disebutkan pun, tidak familiar. Saya memang tidak begitu suka lagu luar negeri karena bahasa inggris saya lemah. Ini alasan pribadi semata kenapa saya tidak bisa menikmati temanya.

Dunia musik yang coba disampaikan pun, tidak membuat saya takjub sebagai pengetahuan baru. Karena saya tidak bisa merasakan kalau itu menarik. Misal, kemampuan Ping sebagai perfect picth tidak membuat saya melihat Ping sebagai remaja istimewa. Di novel Rapijali ini, kemampuan itu hanya dianalisa sebagai bakat tok, bukan sebagai kemampuan yang membuat Ping gemilang dan melakukan sesuatu yang besar.

Kayaknya persoalan tema ini jadi alasan sama kenapa saya tidak bisa menikmati novel Dee sebelumnya, Aroma Karsa, yang mengambil tema indera penciuman. Kemampuan istimewa soal indera ini bukan hal yang dekat, bahkan sepanjang hidup saya, rasanya belum pernah bertemu dengan orang yang memiliki kemampuan ini. Sehingga saya kesulitan untuk dibuat takjub oleh tokoh-tokohnya.

Rajutan Kisah Ping yang Berwarna

Latar pantai di novel ini mengingatkan saya pada series Outer Banks yang baru-baru ini selesai saya tonton season 2-nya. Saya membayangkan tokoh Oding sebagai John B dan tokoh Ping sebagai Kiara. Pemandangan pantai, Rumah Makan Mang Acep, dan Sungai Cijulang terbayang memiliki nuansa kuning keemasan seperti warna senja dan fajar. Dan kulit para tokohnya lebih gelap terpanggang matahari, khas orang-orang yang tinggal di pesisir. Menarik bukan?




Alasan kenapa saya bisa menyelesaikan sampai halaman terakhir, karena alur maju yang membawa Ping ke dunia baru, Jakarta, yang lebih luas daripada Pantai Batu Karas. Pertanyaan, "Bagaimana nasib Ping di Jakarta dan bagaimana ia akan tahu rahasia besarnya?" menjadi motor yang membuat saya tidak bosan baca cerita Ping. Ada dua konflik yang dihadapi Ping yang bikin saya lanjut baca; konflik dengan keluarga Pak Guntur (Sarnita dan Ardi) dan konflik perjalanan band-nya. Kedua konflik ini memberi warna pada kisah hidup Ping.

Tokoh-Tokohnya Belum Mengkilap

Ping mendadak gagap budaya karena hijrah dari daerah pantai ke kota metropolitan. Dia juga harus adaptasi dengan kebiasaan orang kaya selama tinggal di keluarga Pak Guntur. Selain bakat musik, Ping ditampilkan sebagai sosok gadis remaja yang gugup dan segan. 

Oding, pemuda peselancar, sosok khas anak pantai yang hidup di tengah keluarga sederhana. Di novel ini belum tergali dia pemuda yang bagaimana sebab belum banyak konflik yang melibatkan Oding. Kecuali konflik pribadi, ketika dia harus menerima kepergian Ping ke Jakarta, padahal mereka sudah sepakat untuk terus jadi sahabat masa kecil.

Rakai tipikal pemuda cerdas yang tidak nakal, tidak cupu juga. Anak band sejati, yang baik ke semua orang, termasuk ke Ping dan Jemi. Dan dia bisa jadi sosok yang akan membawa konflik asmara hingga merusak pertemanan di band. Ini kemungkinan saya semata ya.

Inggil merupakan sosok gadis remaja yang rendah diri karena harus berdiri di tengah lingkungan sekolah orang kaya. Punya obsesi jadi anak pintar, sebab sisi keuangan bukan andalannya agar bisa bertahan di lingkungan sekolah elit.

Jemima menjadi sosok kebalikan dari Ping. Lahir dari keluarga kaya, punya fisik cantik, dan punya otak yang cerdas. Bisa dibilang bintangnya sekolah. 

Buto digambarkan remaja yang punya badan bongsor. Anak dari keluarga yang kaya. Dan di novel ini dia belum dijelaskan punya konflik apa. Sejauh ini hanya ada sedikit ketegangan antara dia dan Rakai soal band saja.

Semua tokoh di novel ini belum tergali mendalam. Mungkin karena novel ini merupakan series pertama jadi konflik yang tersebar pun masih kecil-kecil. Porsi paling besar dari novel ini masih di tokoh Ping. Tokoh lainnya belum bersinar terang.

Sebatas Remahan Kue

Saat pre-order novel ini selesai dan beberapa orang sudah menerima fisik novelnya, geger kalau kover yang diiklankan berbeda dengan yang dicetak. Rupa-rupanya banyak yang tidak tau kalau Rapijali ini akan menjadi series. Pembaca banyak yang merasa dibohongi oleh penerbit.

Terlepas dari kegaduhan itu, karena Rapijali ini jadi series membuat buku pertamanya ini serasa buku perkenalan saja. Konflik yang dimuat baru sebatas remahan kue. Dan saking kecilnya remahan, sampai akhirnya beberapa rasa tidak tertangkap indera. Misalnya, kegaduhan kempanye pemilihan gubernur tidak tergambarkan seperti yang biasanya terjadi di kehidupan nyata. Kesibukan tim Pak Guntur tidak cukup terceritakan dengan detail. Ketegangan dan persaingan dua kubu tidak tampak.

Lainnya yang kurang, kisah kehidupan Oding dan keluarganya langsung redup. Saya tidak tahu bagaimana keseharian Oding setelah Ping ke Jakarta. Saya tidak tahu nasib rumah Ping di Cijulang diurus oleh siapa. Intinya, Dee belum menceritakan kondisi orang-orang terdekat Ping di Cijulang, termasuk anggota band D'Brehoh lainnya.

Apakah Novel Rapijali #1 Mencari ini menarik?

Di luar kekurangan yang saya utarakan sebelumnya, series pertama Rapijali ini menarik. Buktinya saya bisa tamat membaca padahal sebelumnya saya kesulitan menyelesaikan baca novel. Novel ini ditutup dengan pintu besar yang penuh tanda tanya. Saya berharap bisa segera punya dan baca novel Rapijali #2 Menjadi, untuk mengetahui perjalanan Ping di Rapijali Band, dan mengetahui apa yang akan terjadi dengan rahasia besar Ping soal keluarganya.

Sekian resensi kali ini, terakhir, selamat membaca buku!



[Resensi] Seni Hidup Bersahaja - Shunmyo Masuno



Judul: Seni Hidup Bersahaja

Penulis: Shunmyo Masuno

Penerjemah: Susi Purwoko

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (GPU)

Terbit: September 2019, cetakan kedua

Tebal buku: xvi + 208 hlm.

ISBN: 9786020631967

***

    Dengan pelajaran yang jelas, praktis, dan mudah diterapkan, Shunmyo Masuno memanfaatkan kebijakan yang telah berusia berabad-abad untuk mengajari kita menyederhanakan hidup dan menemukan kebahagiaan di tengah pusaran dunia modern.

    Temukan caranya ... Bangun lima belas menit lebih dini di pagi hari dapat membuat kita merasa tidak terlalu sibuk. Menjejerkan sepatu dengan rapi setelah melepasnya dapat menertibkan pikiran kita. Mengatupkan kedua tangan dapat meredakan rasa tersakiti dan konflik. Meletakan sendok garpu setiap kali setelah menelan makanan dapat membantu kita merasa lebih bersyukur atas apa yang kita miliki. Menanam bunga dan menyaksikannya tumbuh dapat mengajari kita untuk menerima perubahan. Pergi ke luar untuk menyaksikan matahari terbenam bisa membuat setiap hari terasa seperti perayaan.

    Dengan melakukannya setiap hari, kita akan belajar menemukan kebahagiaan bukan dengan mencari pengalaman luar biasa, tetapi dengan membuat perubahan kecil dalam hidup kita serta membuka diri kita pada perasaan damai dan ketenangan batin yang baru.

***

    Dengan membaca 100 praktik harian yang disampaikan penulis dalam buku ini, cukup membuat saya terbuka dengan kebiasaan baru karena 100 praktik tersebut bukan sesuatu yang sukar dikerjakan. Sebenarnya mudah saja, asal kita ada kemauan untuk berubah. Dan hampir semua praktik yang disampaikan adalah kegiatan sehari-hari kita. Lalu yang membuatnya berbeda adalah bagaimana kita merenungkan dan bagaimana kita memaknai aktifitas tersebut.

100 praktik tadi dibagi menjadi empat bagian besar sebagai berikut; 

1) 30 cara untuk membugarkan "diri-saat-ini"

Pada bagian pertama ini, pembaca akan dikenalkan pada tahap mempersiapkan diri meliputi fisik dan pikiran. Makanya pada tahap awal ini kita akan diajak untuk mengosongkan pikiran, bernafas dengan lebih pelan-pelan, duduk meditasi, dan mencari kata-kata motivasi. Shunmyo seperti sedang membersihkan jiwa pembaca sebelum diisi oleh praktik lainnya. Ini tahap menyiapkan wadah agar menjadi bersih dulu.

2) 30 cara untuk mengilhami kepercayaan-diri dan keberanian untuk hidup

Tahap kedua ini, pendekatannya jadi lebih dalam kepada personal pembaca. Shunmyo mencoba menguatkan jiwa pembaca dari sisi jiwa dan pikiran dengan membuka pandangan kita pada keadaan yang tengah dihadapi saat ini, seperti: nikmatilah pekerjaan, mengamati perubahan, memelihara pikiran yang lentur, dan menunggu peluang yang tepat.

Shunmyo tidak mengajak kita merubah keadaan. Dia tidak menyuruh kita mengganti pekerjaan, tidak menyuruh kita mengganti aktifitas, justru dia membesarkan hati kita untuk menikmati apa yang sedang kita kerjakan dan yang kita punya. Dia hanya merubah cara kita memaknai dan menikmati semua itu.

3) 20 cara untuk meredakan kebingungan dan kecemasan

Langkah naik selanjutnya, Shunmyo menyelami pikiran pembaca yang terbentuk oleh lingkungan dan dia ingin membenarkan hal itu. Bingung dan cemas merupakan hal normal dialami manusia. Tapi akan lebih normal jika kadarnya benar. Dan Shunmyo menyoroti bagaimana memperbaiki hubungan kita dengan orang lain. Karena orang lain bagian dari lingkungan, dan lingkungan sangat besar pengaruhnya sebagai sumbu pemicu kebingungan dan kecemasan. 

Beberapa praktik yang disodorkan adalah melayani orang, jangan terpaku pada benar dan salah, jangan terperangkap dalam kata-kata, dan menghargai semua orang yang datang ke hadapan kita.

4) 20 cara untuk menjadikan setiap hari adalah hari yang terbaik

Tahap terakhir ini merupakan sentuhan pamungkas dimana kita diminta untuk menikmati setiap hari yang kita lalui. Karena ukuran paling pendek untuk merasakah kehidupan hanya diukur dalam satu hari. Makanya penting sekali untuk memiliki hari yang baik. Shunmyo menyarankan kepada kita untuk: bersyukur setiap hari meski hari paling biasa, menjadi positif, mengamati perubahan musim, dan membuat persiapan.

Obat untuk Pengembangan Diri

    Menurut saya adanya pembagian tersebut agar pembaca bisa memilih akan membaca bagian praktik mana dulu, yang pada saat ini paling dibutuhkan si pembaca. Sehingga pembaca tidak harus membaca berurutan dari 1 sampai 100 praktik itu. Ibaratnya kita sedang sakit, yang pertama dilakukan adalah menganalisa sakit apa, sehingga kita bisa menentukan obat apa yang perlu diminum.

    Selain itu, setiap praktik dinarasikan dengan singkat. Shunmyo bukan orang yang bertele-tele sehingga penjelasannya ringkas dan spesifik.

    Tujuan dari buku ini adalah mengembangkan karakter seseorang menjadi lebih sederhana, lebih tertib, dan lebih bahagia, dengan cara-cara yang sederhana sejalan dengan ajaran Zen

***

Catatan:

  • Mendapatkan banyak barang bukanlah kebebasan. Yang penting adalah mendapatkan pola pikir untuk menggunakan benda-benda dengan bebas. (Hal. 29)
  • Kesederhanaan adalah soal menyingkirkan apa yang tidak bermanfaat... Pelit adalah hidup bersama benda-benda yang bernilai rendah. (Hal. 31)
  • Bekerja keraslah untuk menyelesaikan apa yang perlu diselesaikan hari ini. Maka keberuntungan akan datang. (Hal. 61)
  • Pikiran yang lentur akan menerima perubahan dan tidak melekat pada masa lalu. (Hal. 95)
  • Hidup secara sadar dimulai dengan tidur dini, bangun dini. (Hal. 97)
  • Ketika bekerja keras dengan kepala, hati, dan tubuh, kita pasti tumbuh lebih kuat. (Hal. 111)
  • Persis karena dikhianati oleh harapan seperti itulah kita mengalami kesusahan. (Hal. 127)
  • Dalam soal menyampaikan niat kita yang sesungguhnya, tindakan akan bicara lebih keras daripada kata-kata. (Hal. 132)
  • ... dengan berfokus pada kebaikan orang lain, kita bisa menciptakan relasi yang indah. (Hal. 137)
  • Membangun satu relasi yang penuh makna akan lebih memperkaya dibandingkan mengumpulkan seratus koneksi yang tidak penting. (Hal. 139)
  • Tetapi komentar negatif harus dilupakan dengan cepat. (Hal. 149)
  • Ketegasan pengambilan keputusan adalah soal memiliki kemampuan untuk memercayai diri sendiri. (Hal. 155)