Resensi Novel Freeter, Membeli Rumah - Arikawa Hiro


Judul:
Freeter, Membeli Rumah

Penulis: Arikawa Hiro

Penerjemah: Ribeka Ota

Editor: Francisca Ratna

Desain sampul: Chyntia Yaneta

Penerbit: Penerbit Haru

Terbit: November 2021

Tebal: 400 hlm.

ISBN: 9786237351863


Masyarakat memandang remeh orang yang mengundurkan diri dari pekerjaan pertamanya hanya dalam tiga bulan.

Take Seiji hengkang dari pekerjaan tetap pertamanya hanya setelah tiga bulan bekerja dengan alasan konyol—kantornya aneh. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan karena terus disindir oleh ayahnya yang kolot, Seiji terpaksa menjadi freeter, orang yang sudah tamat pendidikan wajib tetapi cuma bekerja serabutan sebagai tenaga paruh waktu. Namun, masalah demi masalah menerjang keluarganya yang sudah kacau balau bak kapal pecah. Satu-satunya cara bagi mereka untuk pulih adalah dengan membeli rumah baru dan pindah.

Hanya saja, bagaimana seorang pekerja serabutan dengan pendapatan pas-pasan itu bisa membeli rumah?

Bisakah keluarganya pulih kembali?


Take Seiji tipikal yang belum bisa bertanggung jawab. Setelah lulus kuliah, dia diterima kerja tapi hanya bertahan tiga bulan karena menurutnya cara merekrutnya aneh dan lingkungannya enggak enak. Dan sejak itu dia kesulitan mendapatkan pekerjaan tetap. Mau tidak mau ia melakukan kerja paruh waktu agar tetap punya uang untuk senang-senang. Tapi ritme dia kerja sama saja, jika ada yang membuatnya tidak suka, ia akan keluar dengan entengnya.

Suatu hari, kedatangan Ayako, kakak perempuannya yang sudah menikah dan tinggal di kota lain bersama suaminya, membuka mata Seiji tentang kondisi ibunya. Dia menjelaskan penuh emosi tentang kondisi keluarganya di lingkungan tersebut yang ternyata mengerikan. Seiji tidak sadar kalau selama ini ibu mereka dirundung oleh tetangga sekitar rumah hingga jiwa ibu tertekan dan depresi. Sudah 20 tahun ibu menyimpan beban itu sendirian.



Seiichi sebagai kepala keluarga sebagai penyebab awal mula perundungan tersebut justru menganggap remeh kondisi istrinya dan membuat Ayako geram dan marah besar. Butuh waktu bagi Ayako dan Seiji untuk menyadarkan ayah mereka pada kondisi ibu.

Merasa tidak berguna menghadapai situasi keluarga yang genting, membuat Seiji lebih giat mencari pekerjaan paruh waktu yang mempunyai upah besar. Ia pun memilih pekerjaan sebagai kuli di perusahaan konstruksi, pekerjaan berat karena mengandalkan tenaga. Tapi demi kondisi ibu, ia rela melakukannya.

Selain menabung sampai jumlahnya cukup dan melebihi uang kakaknya yang pernah diserahkan kepadanya untuk keperluan ibu, Seiji juga menargetkan untuk bisa pindah rumah. Sebab menurut dokter cara paling penting untuk menyembuhkan ibu yaitu dengan mengeluarkan beliau dari lingkungan yang membuatnya tidak nyaman. 

Pelan-pelan Seiji mulai mendewasakan diri dengan peliknya hidup. Apakah ia berhasil merubah keadaan di keluarganya?


Freeter adalah lakuran dari freelance arbeiter. Biasanya mengacu pada orang yang telah tamat pendidikan wajib, tapi tidak punya pekerjaan tetap dan melakukan pekerjaan paruh waktu saja. (hal.1)

Saya menyesal kenapa baru sekarang membaca buku ini, padahal buku ini sangat bagus, dan akan saya simpan untuk dibaca ulang ketika mood saya turun atau ketika sedang jenuh dengan pekerjaan.

Novel ini punya tema keluarga. Dikemukakan permasalahan domestik yang pasti ada di sekitar kita. Seperti anak lelaki yang sudah dewasa tapi malas bekerja. Susahnya mencari pekerjaan. Seorang ayah yang angkuh dan dingin terhadap keluarga. Tertekannya seorang ibu karena suami dan anak-anaknya tidak peka.

Sepanjang mengikuti kisah Seiji, banyak banget bagian yang cukup menyentil saya. Terutama soal kesabaran. Poin ini merupakan nilai moral yang paling banyak ditekankan penulis. Kita akan ikut belajar arti sabar dari proses Seiji dan Ayako memperjuangkan kesembuhan ibu di tengah ayah yang belum melek kondisi depresi itu ada, dan di tengah tetangga-tetangga yang seperti mengintai setiap waktu mencari kekurangan keluarga untuk bahan guncingan.

Seiji dengan sabar memastikan ibu meminum obat yang diberikan dokter. Jika terlewat, kondisi ibu akan kembali parah. Dan saat ia memercayakan tugas itu kepada ayahnya, ibu justru kecolongan tidak minum obat dan membuatnya nekat mengiris tangannya. 

Seiji juga harus bekerja keras demi target mengumpulkan uang dan membeli rumah baru. Statusnya sebagai sarjana harus ditanggalkan dulu karena pekerjaan kuli ini yang ada di depannya, dan lagian upahnya lumayan besar.

Saya suka dengan perubahan karakter tokoh-tokohnya di novel ini. Seiji menjadi pria yang dewasa dan bijaksana. Dia bahkan rela membatalkan wawancara saat itu adalah satu-satunya harapan ia mendapatkan pekerjaan tetap, demi pulang ke rumah untuk menenangkan ibunya yang kena serangan panik karena obatnya hilang. Seiji juga meredam emosinya ketika berhadapan dengan ayahnya setelah ia mendapatkan banyak nasihat dari rekan kerjanya yang hampir semuanya adalah bapak-bapak.

Seiichi sebagai ayah pun mau bahu membahu setelah pikirannya terbuka pada kondisi kesehatan istrinya. Walau masih segan mengungkapkan dengan jelas, Seiichi menunjukan perubahan besar dan membuat Seiji dan Ayako lebih tenang.

Ayako pun mulai bisa melihat sisi baik ayahnya, apalagi setelah mereka bisa mewujudkan harapan yang selama ini diperjuangkan. Padahal selama ini ayah dan Ayako selalu bersitegang.



Novel ini pun menyoroti pentingnya kesehatan mental. Depresi yang ditumpuk bertahun-tahun akan butuh waktu lebih lama untuk disembuhkan. Dan penting banget buat kita untuk bisa mengungkapkan dan bercerita apa yang kita rasakan, apa beban kita, kepada orang lain. Jangan terlalu banyak menyimpan masalah sendirian sebab akan menggerogoti kewarasan kita secara pelan-pelan. 

Banyak juga detail-detail cerita yang akan berguna untuk para pencari kerja. Misalnya soal kertas lamaran atau CV yang harus selalu diperbaharui. Jawaban wawancara yang harus lebih spesifik dan bukan template. Masih banyak tips-tips mencari kerja yang masih relevan untuk dilakukan saat ini.

Setelah membaca novel ini, saya jadi lebih sadar untuk bekerja keras penuh kesadaran dan kesabaran. Tidak reaktif pada berbagai keadaan. Dan tentu saja harus bisa memanusiakan manusia dengan melakukan kebaikan-kebaikan walau terkesan sangat kecil.

Untuk novel yang menghangatkan hati ini, saya memberikan nilai 5/5 bintang. Novel ini saya rekomendasikan untuk kalian yang merasa hampa dan kosong jiwanya padahal selama ini melakukan rutinitas keseharian. Siapa tahu dengan membaca novel ini kita bisa belajar sabar dan tentu saja bersyukur, karena kita tidak di posisi Seiji. Dengan begitu jiwa kita akan lebih berisi.

Sekian kesan saya setelah membaca buku ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku.



Resensi Novel Langit Merbabu - Rons Imawan


Judul:
Langit Merbabu

Penulis: Rons Imawan

Editor: Hutami Suryaningtyas & Dila Maretihaqsari

Sampul: Rony Setiyawan

Penerbit: Bentang Belia (PT Bentang Pustaka)

Terbit: Maret 2017, cetakan pertama

Tebal: viii + 308 hlm.

ISBN: 9786021383810


Setelah pertengkaran yang sengit itu, aku memutuskan untuk tetap menyambangi Merbabu. Tak ada yang bisa membungkam kecintaanku terhadap gunung, termasuk rengekan Langit saat memaksaku menunda keberangkatan.

Akan tetapi, ada yang lain kali ini. Di bawah langit Merbabu segalanya berubah dalam semalam. Aku benci saat firasat itu menunjukkan kuasanya lagi.

Seseorang hadir di tengah-tengah pendakianku dengan menampakkan raut berang. Aku tahu ia tak nyata, aku tahu dimensi kami tak sama, aku tahu ia membawa petaka.

Yang aku tak tahu ... siapa sosok itu sebenarnya, dan bencana apa yang akan kuhadapi sesampainya di Jakarta.


[1] Langit Merbabu

Langit dan Raras berdebat karena Langit meminta Raras untuk menunda pendakian agar mereka bisa merayakan hari ulang tahun Raras. Raras menolak sebab baginya mendaki sama dengan pulang. Pada perdebatan itu keluarlah pengakuan masing-masing mengenai perasaan yang selama ini terpendam. Tentang Langit yang merasa kecil di mata Raras jika dibandingkan dengan gunung selalu diprioritaskannya, atau tentang Raras yang merasa kecil di mata Langit sebab ia kerap ditinggalkan sendiri karena Langit sibuk dengan pekerjaannya. 

"Udah cukup. Pokoknya aku nggak bisa ngabulin permintaan kamu. Menunda kepulangan meski cuma seminggu, buat aku adalah kesalahan terbesar yang bakal aku lakuin. Hati aku udah di puncak sana, Lang, dan aku harus menyusulnya." (hal. 7).

Perdebatan selesai setelah Langit mengalah, ia akan menunggu Raras turun gunung, barulah mereka merayakan hari ulang tahun.

Raras dikenal memiliki kemampuan penglihatan untuk kejadian buruk. Saat turun gunung, Raras mendapatkan penglihatan bertemu dengan remaja tanggung berkupluk maroon yang meminta tolong karena ada temannya yang jatuh di sebuah lembah. Begitu Raras mendapatkan tubuh anak yang jatuh itu, ia dibuat kaget sebab wajah anak yang jatuh sama dengan sosok yang meminta tolong padanya. 

Pertanda lainnya, untuk memastikan perasaannya yang seperti diikuti sesuatu, Raras mengajukan untuk berhitung kepada empat temannya. Dan ia dibuat kaget sebab setelah menyebut lima, di belakangnya ada yang menyebut enam. Pada percobaan kedua, suara itu hilang digantikan suara deru nafas yang begitu jelas di belakangnya. Dan saat Raras menyorotkan lampu senter, ia melihat seraut wajah Langit yang sangat pucat. Raras makin histeris dan semakin yakin kalau ada hal buruk yang menimpa Langit.

Dengan penerbangan pertama, Raras kembali ke Jakarta, menuju rumah Langit. Raras sangat terpukul saat mendengar ucapan ibunya Langit. 

"Raras... Langit menyusul kamu beberapa jam setelah keberangkatanmu. Dia bilang kamu sudah tahu dan memastikan semua perlengkapan dan alat-alat penunjang kesehatannya sudah kalian siapkan." (hal. 34).

Dan Raras harus kehilangan Langit untuk selamanya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Langit?

[2] Sang Imam

Kesukaan mendaki gunung membawa Rahung, pemuda 27 tahun, orang Ujung Pandang, datang ke Pulau Jawa untuk menaklukan Gunung Merapi. Di Pos 2, Rahung bertemu dengan seorang seorang bapak berusia sekitar 50-an dan seorang gadis di belakangnya berusia sekitar 15 atau 16-an. Si bapak bernama Mahadri dan si gadis bernama Gawitra. Mereka hanya saling sapa tapi bagi Rahung, Gawitra sudah memikatnya.

Saat waktunya solat Maghrib, Rahung melaksanakan ibadahnya di sebuah tanah lapang. Kejadian yang bikin bulu kuduk meremang pun ia alami. Sepanjang solat, ia merasa ada yang mengikutinya di belakang. Dan begitu selesai solat, Rahung memastikan ke belakangnya dan tidak ada siapa-siapa.

Ada satu tempat disebut Pasar Bubrah, dan di situlah Rahung mendirikan tenda. Saat rebahan itulah Rahung kembali teringat paras Gawitra. Ia pun berujar dalam hati, 'Jika waktu mampu kabulkan keinginanku, akulah lelaki yang akan menjadi pendampingmu kelak.' (hal. 95).

Malam itu Rahung kembali diganggu oleh sosok perempuan yang meminta air. Ia juga mendengar suara ramai gitaran. Tapi saat dicari sumbernya, Rahung tidak menemukan pendaki lain. Gangguannya semakin kencang memperlihatkan kejadian sewaktu Gunung Merapi erupsi dan diduga perempuan itu adalah pendaki yang menjadi korban saat bencana itu melanda. Tempat tewasnya ya di Pasar Bubrah ini.

Setelah gangguan itu usai, Rahung bisa tidur sampai subuh. Dan dalam mimpinya Rahung mendengar suara Ambo (ayah) memanggil namanya. Tapi sewaktu ia solat Subuh, melalui sudut mata, Rahung bisa melihat banyak sekali gerombolan yang turun menuju ke arahnya. Rahung tahu mereka bukan manusia dan kini mereka berada di belakangnya. Saat Rahung menyudahi membaca Al-Fatihah, di belakangnya menyahut dengan 'Amin' yang sangat ramai dan kencang. Rahung terus berusaha untuk tetap fokus menyelesaikan solat walau hatinya dipenuhi ketakutan. Benar saja, mahluk lain itu kembali pergi memencar setelah Rahung mendapatkan bisikan agar ia tinggal di situ beberapa saat.

"Tinggallah di sini selama beberapa hari. Saat kamu pulang , kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan." (hal. 110).

Tiga hari Rahung berada di gunung, dan saat sudah turun gunung, tepatnya di Terminal Boyolali, Rahung mendapatkan kenyataan yang susah masuk nalar. Uang yang ia akan pakai untuk ongkos bis sudah tidak laku. Harusnya saat Rahung membuka mata di Pasar Bubrah itu tanggal 23 April 1998, tapi ternyata hari saat ia turun di Terminal Boyolali sudah tanggal 13 Mei 2013. 15 tahun berlalu begitu saja. Rahung menjual semua alat mendakinya agar ia bisa pulang ke Makasar.

Setiba di Makasar, Rahung kehilangan semuanya. Rumah orang tuanya sudah tidak ada. Ia pun mencari adik-adiknya dan beruntung ia bisa menemukan adik ketiganya, Sumi. Tentu saja Sumi kaget setengah mati mendapatkan kakaknya kembali setelah menghilang di gunung belasan tahun dan kini wujud kakaknya tidak berubah sedikit pun. Kesedihan mendalam dirasakan Rahung, apalagi ketika mendengar cerita adiknya tentang bagaimana Ambo sangat bekerja keras mencarinya dengan naik-turun gunung sampai akhirnya Ambo meninggal di gunung juga. Rahung begitu marah kepada Tuhan atas takdir yang mengurungnya di gunung dan berujung kehilangan banyak orang yang ia sayangi.

Menurut Sumi, jawaban atas takdir ini hanya bisa dicari lewat sosok Gawitra. Rahung yang sempat menceritakan pertemuannya dengan Gawitra, diminta untuk kembali menemukan gadis itu. Rahung pun kembali ke Selo, Jawa Tengah, untuk menemukan jawabannya. Dan benar saja, Gawitra yang kini sudah punya anak laki-laki, ternyata pernah mengalami hal serupa, terkurung di Gunung Kelimutu. Mahadri bukan kakeknya, sangkaan Rahung, melainkan suami Gawitra yang kini sudah meninggal.

Ada rencana Allah apa hingga Rahung harus terkurung di Gunung Merapi? Dan apa yang membuat Gawitra juga pernah terkurung di Gunung Kelimutu?



[3] Rest (in Peace) Area

Anjar sudah terpuruk selama tiga bulanan setelah mengalami kecelakaan mobil di tol yang merenggut nyawa sahabatnya. Trisha sebagai pacar masih terus berjuang mengeluarkan Anjar dari traumanya dan agar ia bisa melanjutkan hidup kembali.

Diawali dari sebuah artikel soal akan terkabulnya harapan yang diucapkan saat mengendarai mobil dengan kecepatan lebih dari 120 km/jam sambil menutup mata, Anjar dan si kembar (Harap dan Gema) mencoba melakukan hal serupa sewaktu mereka di tol menuju Sukabumi. Perjanjiannya hanya Harap dan Gema yang akan menutup mata, sedangkan Anjar akan memegang kemudi sesuai kecepatan yang disyaratkan. Tidak lebih dari 5 detik, kecepatan sampai 200 km/jam, terasa lama. Setelahnya mobil mereka hampir menabrak truk kontainer yang tiba-tiba muncul. Ketiganya syok berat dan memutuskan untuk melipir ke rest area.

Sewaktu perjalanan ke rest area, Anjar melewati lokasi kecelakaan mobil. Tampaknya penumpang di mobil itu tidak tertolong dan yang selamat hanya seorang bocah laki-laki berumur lima tahunan. Dan anehnya, Harap bisa tahu kecelakaan itu padahal tadi sedang tidur. Gema justru tidak tahu apa-apa karena tidak melihatnya.

Setelah memastikan detail kecelakaan itu antara Anjar dan Harap, mereka sadar kalau harapan mereka kemungkinan terkabul. Harap ternyata bisa tahu kecelakaan tadi karena ia membaca pikiran Anjar. Ini sesuai dengan harapan yang ia minta, agar bisa membaca pikiran orang lain, dan kini menjadi kenyataan.

Sewaktu di rest area, Gema tidak mau kalah. Ia pun mencoba membuktikan harapannya, berupa ingin sembuh dari fobia buah durian, dan setelah membahas soal buah itu tanpa menimbulkan ketakutan, Gema yakin 100% kalau fobianya sudah sembuh. Si kembar pun penasaran apakah harapan Anjar terkabul.

"Gue tahu elo ikut nutup mata waktu kita ngetes percobaan itu." (hal. 252).

"Anyway, ya, seru aja, kan, bisa lihat apa yang bakal terjadi dalam beberapa menit ke depan? Cuma beberapa menit aja dan bukan semacam vision yang bisa lihat kejadian sampai bertahun-tahun ke depan. Gue nggak ngarep bisa lihat kapan dunia kiamat kayak di film Knowing, bisa tahu kayak gimana gue mati. Atau, tahu siapa jodoh lo berdua entar. Bukan. Bukan hal semacam itu. Gue cuma pengin bisa lihat yang deket-deket aja..." (hal. 258).

Saat mereka mau meninggalkan rest area untuk mencoba sekali lagi karena tampaknya harapan Anjar belum terwujud, Anjar dikagetkan dengan bola yang menggelinding mendekatinya. Anjar melihat anak kecil pemilik bola tersebut dan dia adalah anak yang selamat pada kecelakaan yang ia lihat itu. Artinya, kecelakaan itu belum terjadi. Anjar mengajak si kembar bergegas untuk menyelamatkan penumpang di mobil tersebut.

Apakah mereka berhasil mengubah takdir kecelakaan tersebut? Apa yang sebenarnya terjadi di tol itu hingga sahabat Anjar bisa tewas?


Di buku ini ada tiga cerita yang langsung habis secara konflik. Tidak ada keterkaitan antara satu cerita dengan lainnya. Tapi saya akui, ketiganya merupakan cerita yang seru. Saya sudah berkali-kali membaca buku ini dan efeknya tetap sama: seru, menguras air mata, dan membuat jatuh cinta.

Yang bikin saya suka dengan cerita di buku ini, salah satunya karena membawa tema pegunungan. Saya yang belum pernah mendaki ke puncak gunung mana pun merasa terobati keinginannya hanya dengan membaca kisah di sini. Secara tidak langsung saya bisa merasakan aura mistis yang suka disebut-sebut orang yang pernah mendaki seperti melihat hantu yang menyerupai pendaki dan tersesat di pegunungan karena ditarik ke dunia lain. Ketika membaca bagian ini, sumpah, saya langsung merasa bergidik.

Saya pernah menyebutkan kesukaan pada tema pegunungan di ulasan buku lain yang sama-sama membahas soal pegunungan, silakan baca ulasan bukunya di sini: [Buku] Pendakian Terlarang - Arganov

Salah lainnya yang saya suka adalah soal plot twist yang dibuat penulis pada setiap ceritanya sangat mengejutkan. Ceritanya dirancang dengan rapi, menebar petunjuk yang jelas tapi memiliki pemahaman beda, lalu dibuka menjelang akhir cerita dan itu memang cukup mengejutkan saya sebagai yang baca. Harusnya sudah menduga di awal tapi tetap saja terkecoh. Misalnya soal keaslian sosok Langit yang disorot senter Raras atau soal suara Ambo yang memanggil-manggil nama Rahung. Menurut saya penulis sangat-sangat-sangat berhasil membuat kejutannya.



Konten dramatisasi juga sangat pekat di sini. Beberapa bagian akan menyentil sisi sentimental pembaca. Misalnya di cerita pertama kita akan dibuat menangis ketika sadar kalau kita sudah ditinggalkan orang tersayang. Apalagi sebelumnya kita habis melakukan tindakan egois. Penyesalan yang timbul pasti berlipat-lipat seperti penyesalan Raras yang memilih gunung dibandingkan memilih Langit. Atau bagian ketika Rahung mengamuk dan marah kepada Tuhan lantaran sedih kehilangan orang tua, saudara, dan waktu. Makin menyayat lagi saat tahu bagaimana Ambo pontang-panting mencari saat ia menghilang sampai akhir hidupnya.

Seegois itukah diri ini hingga tega meninggalkan orang-orang yang kucintai untuk kali kedua? Haruskan kekerdilan ini membunuh kebahagiaan mereka yang selama bertahun-tahun menderita karena ulahku? Benarkah ini semua hanya tentang hati hingga kuputuskan untuk menghilang lagi selamanya? (hal. 191)

Karakter yang dibuat penulis sangat hidup. Walau tidak bisa didalami secara penuh karena ceritanya lebih pendek dari novel, tapi pembaca akan tetap terkesan. Ini berkat konflik yang dihadapi mereka terlalu mengesankan. 

Banyak nilai-nilai moral yang bisa kita petik setelah membaca ceritanya. Yang saya rasakan sendiri, setelah membacanya kita akan lebih rendah hati. Kita akan lebih sadar keberadaan kekuasaan Allah SWT yang membuat skenario hebat untuk takdir setiap manusia di bumi. 

Beberapa bagian kalimat bagus di novel ini saya tandai dan hasilnya sebagai berikut:

  • Tak seorang pun sanggup menolongmu di dunia ini selain dirimu sendiri. (hal. 74)
  • Dan, hanya kesabaran yang mampu menyelamatkan kita dari seribu penyesalan. (hal. 134)

Itulah kesan saya setelah membaca buku Langit Merbabu ini dan saya sangat merekomendasikan buku ini buat pembaca siapa pun saking bagusnya. Saya memberikan nilai 5/5 bintang

Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa baca buku!