[Resensi] Sumur - Eka Kurniawan

 


Judul: Sumur

Penulis: Eka Kurniawan

Editor: Mirna Yulistianti

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Juni 2021

Tebal: 51 hlm.

ISBN: 9786020653242

Buku Sumur ini merupakan buku baru dari penulis Eka Kurniawan, tetapi bukan tulisan barunya, melainkan cerita pendek yang sempat diterbitkan di luar negeri duluan. Saat tahu ada buku ini, tidak ada pikiran mau beli karena saya memang belum pernah baca buku karya Eka Kurniawan lainnya, jadi belum ada niatan untuk baca juga. Namun satu waktu, di akun shopee saya ada saldo sisa, setelah mencari banyak buku yang seharga saldo tersebut, pilihan saya akhirnya membeli buku ini.

Lebih kaget lagi, ketika saya terima paketnya, anjir, ternyata bukunya tipis banget dan kecil. Sedikit terhibur pas beli buku ini karena saya dapat gelang tangan dengan inisial nama panggilan saya "A-D-N". Buku ini ternyata punya sampulnya juga, mungkin tujuannya agar lebih terlindungi karena ketika buku ini disimpan dengan buku lainnya, malah nggak kelihatan keberadaannya.


Buku Sumur ini berkisah tentang perjalanan Toyib dan Siti yang didera getirnya kehidupan dengan latar kampung yang kering. Nasib pilu datang karena kampung mereka kering akibat kemarau panjang. Lalu berimbas pada perseteruan rebutan air yang berujung meninggalnya ayah Siti ditangan ayah Toyib. Hubungan masa kecil mereka yang akrab berubah drastis menjadi dingin. 

Lalu nasib keduanya diuji kembali ketika Siti pergi ke kota dan Toyib harus menanggung rindu yang tidak pernah tersampaikan. Niatan ayahnya yang mengajak Toyib ke kota supaya punya kesempatan bertemu Siti, justru membuat ayahnya hanyut di sungai dan meregang nyawa. 

Hingga ujung cerita, kegetiran hubungan Toyib dan Siti tidak menemukan ujung yang seperti dongeng. Takdir mereka memang tidak untuk bersatu, apalagi memadu kasih.

Mungkin karena berupa cerita pendek, kepiluan yang ingin disampaikan penulis tidak tergali dengan sempurna sampai tahap pembaca merasa hanyut. Ujungnya, pembaca hanya diajak menyelami alur ceritanya saja. Tapi tenang, di sela kisahnya, saya justru terbawa emosi ketika ayah Toyib memutuskan untuk pergi ke kota demi membuat harapan anaknya berbinar lagi. Pilihan sebelum kepergian mereka terasa berat tapi si ayah tetap mementingkan harapan anaknya. Saya menyimpulkan jika yang diputuskan ayahnya Toyib merupakan pengorbanan sekaligus tanggung jawabnya kepada anak laki-lakinya.

Gaya bahasa yang saya temukan di sini, sudah sangat pas. Tidak sukar dipahami, justru jelas sekali, sehingga menyelesaikan buku ini tidak butuh sampai satu jam. Biasanya kalau gaya tulisannya 'nyastra' bakal bikin saya lama selesai bacanya karena butuh ekstra perhatian untuk memahami maksud narasinya. Selain itu, POV di buku ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, menyebutkan secara bebas Toyib dan Siti.

Selain tentang keluarga, buku ini juga mengedepankan sisi roman yang tragis antara Toyib dan Siti. Mereka punya rasa tapi karena masa lalu yang buruk, mereka memilih memendam sampai akhirnya tali hubung keduanya tidak bisa menyambung walau sekadar tetanggaan atau kawan masa kecil. Lalu, pesan lainnya, buku ini menyampaikan tentang, "Alangkah baiknya jika memberi dan meminta maaf menjadi hal enteng dilakukan." Andai saja Toyib dan Siti menerima masa lalunya, dan mau saling memberi dan meminta maaf, rasa-rasanya kisah mereka di sumur itu tidak menjadi begitu kelam, justru harusnya lebih romantis dan harmonis.

Saya juga ingin berikan pujian untuk kover buku cerpennya yang menurut saya sangat mempresentasikan cerita di dalamnya. Memusatkan pada setting cerita; sumur, dan warna orange - kuning yang menunjukkan musim kemarau.

Sekian ulasan saya, terakhir, selamat membaca buku!


[Resensi] Ibu Susu - Rio Johan


Judul
: Ibu Susu
Penulis: Rio Johan
Penyunting: Christina M. Udiani
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Terbit: Oktober 2017, cetakan pertama
Tebal: vi + 202 hlm.
ISBN: 9786024246921

Masih ingat betul, saya beli buku Ibu Susu ini ketika acara Gramedia Book Fair di gramedia.com. Waktu itu banyak buku yang diobral murah, buku ini saja hanya dibandrol seharga 6K, dari harga aslinya 60K.

Lantas nggak ada alasan lain selain murah tadi yang bikin saya memilih buku ini, sebab Rio Johan ini entah penulis yang mana, karena saya belum pernah membaca buku karya beliau yang lainnya. Dan kali ini, lewat buku Ibu Susu, saya akhirnya bisa berkenalan dengan beliau.

Pertama yang ingin saya singgung, perkara sampul bukunya yang didominasi warna hitam. Ada gambar seseorang yang tengkurap di ranjang, di lantainya terdapat burung yang terkapar, gelas yang tergeletak, dan seekor ular yang mendesis. Lalu ada juga matahari yang meneteskan sesuatu, yang di dalamnya terdapat seorang bayi. Dugaan saya, tetesan tadi adalah curahan air susu, sedangkan si bayi merupakan salah satu tokoh yang ada di ceritanya. Sedangkan seseorang yang tengkurap itu bisa jadi perempuan Iksa.

Bicara soal sampul, harus saya akui desainnya tidak cukup menarik untuk bikin seseorang yang melihat buku ini akhirnya pengen beli. Ditambah judul bukunya yang pendek, dan kata "Ibu Susu" membuat buku ini tidak istimewa. Mungkin karena kategori sastra, penerbit memang tidak menata buku ini semenggugah akan disasarkan kepada pembaca milenial. Seolah penerbit memang mengkhususkan diri menerbitkan buku untuk pembaca paruh baya.

Ibu Susu mengisahkan seorang Firaun Theb yang didatangi mimpi perkara air susu yang melimpah. Menurutnya mimpi ini ada kaitannya dengan mukjizat kesembuhan calon firaun masa depan, Pangeran Sem, yang tengah sakit. Dan setelah beberapa kali penafsiran dilakukan oleh orang-orang kompeten di kerajaan, akhirnya dilakukan pencarian ibu susu yang ciri-cirinya sesuai penafsiran. Dan pada akhirnya memang ditemukan ibu susu yang memiliki ciri-ciri sama sesuai perhitungan dan ramalan juru wazir. Dilemanya ketika sosok ibu susu yang dicari dan sudah ditemukan, justru memiliki penyakit serius, borokan sekujur badan hingga luka-lukanya kadang meletus, menimbulkan banjir nanah.

Keteguhan hati Firaun Theb demi melihat Pangeran Sem sembuh, dia mengabaikan banyak hal dan menoleransi banyak sisi. Titahnya agar Perempuan Iksa  atau ibu susu mengabdikan diri dengan memberikan air susunya untuk Pangeran Sem, justru harus dibayar dengan tiga permintaan. Firaun Theb tidak berkutik, dan dengan kelapangan hati dia pun mengabulkan dua permintaan Perempuan Iksa. Namun pada permintaan ketiga, Firaun Theb justru menolak dan membuat keputusan yang membuatnya terpuruk.

Bahasa sastra memang kental sekali dalam buku ini. Pun narasinya penuh dengan diksi metafora, hiperbola, yang perlu waktu untuk memahaminya. Ditambah karena settingnya di zaman firaun, istilah-istilah mengenai lokasi, ritual, nama biji-bijian, nama dewa-dewi, sangat asing sekali. Jadi memang otak kita tidak perlu bekerja keras untuk membuat kita merasa ikut di dalam ceritanya. Saya sendiri lebih berprinsip menikmati alur ceritanya.



Cerita Firaun Theb ini memperlihatkan banyak sisi. Ada bagian yang menunjukkan kepada pembaca tentang situasi pemerintahan, dalam buku ini berbentuk kerajaan, yang diisi oleh orang-orang yang baik atau yang buruk tabiatnya. Lalu ada juga bagian yang menggambarkan hubungan orang tua dan anak yang diliputi cinta. Ada sosok ibu yang merasa merana menyaksikan anaknya sakit tidak berdaya, ada juga sosok ayah yang akan melakukan apa pun demi kebaikan anaknya.

Selain itu ada juga bagian yang memperlihatkan bagian romansa. Ini tergambar jelas ketika Meth, istri Firaun Theb, merasa cemburu ketika permintaan kedua Perempuan Iksa harus dijalankan demi tujuan anaknya sembuh. Kegundahan hati perempuan tampak jelas yang dirasakan Meth, dilema memilih rasa cemburunya atau kesembuhan Pangeran Sem.

Kesan saya setelah membaca buku ini; tidak terhubung dengan ceritanya, tidak mendapatkan nilai dari pesan moralnya, tapi ceritanya dapat diterima dan dapat dinikmati. Ibaratnya, saya seperti menikmati dongeng.

 Sekian tulisan saya, terakhir, selamat membaca buku!