Mengintip Koleksi Ebook Di Google Play Book

Sudah dua bulan saya langganan paket premium Gramedia Digital. Pertimbangannya karena lebih hemat. Dengan harga 90K, saya puas membaca buku terbitan Gramedia dari yang paling baru sampai yang lawas. Namun, sebulan ini saya berhenti langganan mengingat mood baca saya sedang turun dan langkah baiknya saya meniatkan membaca buku fisik saja. Niat tinggal niat, buku fisik tak ada yang selesai dibaca. Saya masih berdalih karena sibuk sama Ujian Tengah Semester dan ngebut menunaikan tugas kuliah yang belum disetor.

Dari pada meratapi bacaan saya yang belum nambah, saya mau ajak kalian mampir ke akun google play book untuk mengintip ada ebook apa saja yang saya koleksi. 


1. COUPL(OV)E, RHEIN FATHIA
Novel roman lawas yang saya beli pas sedang suka-sukanya sama buku terbitan Bentang Pustaka. Namun, sampai hari ini saya belum membacanya.

2. STALKER, DONNA WIDJAJANTO
3. KOSONG, ADE IGAMA
4. HILANG, DANNIE FAIZAL
5. SALON TUA, CHRISTINA JUZWAR
6. MIMPI PADMA, AYU DIPTA KIRANA
7. DERING KEMATIAN, LAMIA PUTRI DAMAYANTI
8. NYAWA, VINCA CALLISTA
Ketujuh novel yang tergabung dalam series Darklit di bawah naungan penerbit Bentang Pustaka, saya beli saat momen digratiskan. Saya lupa saat itu ada perayaan apa, tapi ketujuh ebook ini bisa diunduh dengan nol rupiah.

9. A GAME OF THRONES, GEORGE R. R. MARTIN
Novel kolosal yang saya beli ebook-nya karena terpengaruh oleh series televisinya yang bagus. Dan menurut beberapa blogger buku, novel yang berseri ini patut dibaca oleh penggemar series televisinya.

10. CANNERY ROW, JOHN STEINBACK
Novel ini saya beli karena nama Eka Kurniawan sebagai penerjemah. Namun, baru beberapa lembar membaca saya harus menghentikan. Ada ketidaknyamanan yang susah dijelaskan dan saya berniat membaca ulang ketika sudah siap.

11. THE MIDNIGHT STAR, MARIE LU
12. UBUR-UBUR LEMBUR, RADITYA DIKA
Kedua buku ini saya beli saat ada diskon gede. Saya lupa diskonnya berapa. Namun, diskon gede itu berlaku hanya untuk pembelian dua buku. Sebab saat saya mau membeli buku ketiga, harganya sudah kembali normal.

13. BIG MAGIC, ELIZABETH GILBERT
Saya suka dengan buku non-fiksi yang membahas kreatifitas. Ditambah, poin kreatifitas pada buku ini berkisar dunia penulisan. Makin mantap saya harus punya dan baca buku ini.

14. STEAL LIKE AN ARTIST, AUSTIN KLEON
15. ANIMAL FARM, GEORGE ORWELL
Kedua buku ini baru banget dibeli karena Mizan Indonesia mengadakan diskon 35% di google play book. Selain saya penasaran dengan buku yang karakternya ada hewan babinya, juga buku Animal Farm ini muncul di bukunya Jakarta Sebelum Pagi - Ziggy Zezsyazeoviemazabrizkie. Sedangkan buku Austin Kleon karena membahas kreatifitas.

16. NOVELET MADRE, DEE LESTARI
Novelet ini saya beli ketika ingin belajar gaya bercerita khas Dee Lestari yang terus terang dan tidak puitis.

Itulah sederetan buku yang saya punya yang ada di akun google play book. Buku-buku tadi beberapa sudah dibaca, dan kebanyakan belum dibacanya, hehehe. Nah, mungkin kalian juga punya ebook di google play book, boleh sharing di kolom komentar. Dan kalau ada buku rekomendasi tentang kreatifitas, kalian boleh kasih tahu saya di kolom komentar juga. Ke depannya mungkin judul buku itu yang akan saya beli.

[Resensi] Warm Heart - Ullianne


Judul: Warm Heart
Penulis: Ullianne
Penyunting: Tim Editor Fiksi
Penerbit: Grasindo
Terbit: Februari 2018
Tebal buku: 150 halaman
ISBN: 9786024529055
Harga: Rp49.000 (via bukabuku.com)
Nilai: 2/5

Jangan pernah membenci saya jika saya mengulas novel kalian dengan terus terang. Saya pembaca saja, dan saya bisa menilai suka atau tidak suka terhadap bacaan saya, dengan mempertimbangkan beberapa standar pribadi. Dan jangan sekali-sekali membalik kritikan saya dengan ungkapan, "Kalo gitu, silakan tulis sendiri kisah yang bagus menurutmu!!!".

Tidak butuh waktu lama buat saya untuk bisa menuntaskan membaca novel kedua dari Ulianne ini. Novel pertamanya justru saya belum baca. Dan begitu selesai baca, saya tahu saya akan menuliskan banyak hal yang tak bagus tentang novel ini.

Saya tahu ini novel percintaan dan saya mengakui kalau kadar romannya sangat kental. Berkisah tentang gadis bernama Clara yang pulang ke Indonesia setelah menetap selama lima tahun di Singapura, dalam rangka menjauh dari laki-laki yang sudah menorehkan luka. Laki-laki itu bernama Andre, dia adalah sahabat dekatnya Clara. Ada satu kejadian penting yang terjadi antara Clara dan Andre hingga keduanya menjauh dengan memendam amarah dan tekad untuk saling melupakan. Lima tahun yang berlalu ternyata tidak membuat amarah dan tekad itu terlaksana. Keduanya justru dirundung pilu atas usaha-usaha melupakan yang justru makin memperbesar rasa rindu. Pertemuan itu kembali terjadi dan keduanya mati-matian menghindar tapi proyek kerjaan membuat mereka harus terus bersinggungan.

Konflik percintaan yang dibahas penulis terlalu diperpanjang. Lagi-lagi-lagi-lagi penulis membahas masa lalu di lima tahun kemarin, tanpa menerangkan apa yang terjadi. Saya menunggu dan penasaran dengan kejadian tersebut, dan ketika hampir mencapai akhir buku, saya harus mengelus dada. Tidak ada perpisahan yang diakibatkan oleh peristiwa besar. Jadi, mereka saling benci dan menahan amarah hanya karena takut melangkah ke babak lain dan mereka tidak berani terus terang? Sedangkan seakan-akan masalahnya lebih besar daripada itu jika dilihat bagaimana penulis mau membuka twist-nya di akhir. Saya super kecewa.

Noktah hitam muncul dari segi typo. Banyak saya temukan kata-kata yang kurang hurup atau salah hurup. Bikin gemas saja. Bukan apa-apa, Grasindo itu penerbit besar yang sudah tentu punya tim hebat dan jeli untuk sekadar memeriksa aksara. Saya malah berkesimpulan, mengejar targetkah hingga masalah typo saja bisa kelolosan. Jangan bilang, "Kan kami juga manusia biasa." Ergggggh.

Lalu, apa sih pelajaran yang bisa dipetik dari novel Warm Heart ini? Terus terang sajalah. Yap, jangan suka memendam apa yang pengen diutarakan. Jangan kebanyakan mikir nanti bagaimana. Sebab, kalau sudah terlanjur makin rumit masalahnya, kita harus memulai dari nol dan beradaptasi dengan perubahan yang terlanjur sudah dimulai. Clara dan Andre memang terlalu membiarkan masalah berkembang makin besar tanpa tahu dengan jelas masalah sebenarnya. Mereka berdua hanya mengandalkan kesimpulan pribadi saja. Dan lihat hasilnya, mereka dibelenggu masalah yang bias dan ketika takdir mendorong mereka untuk menuntaskan masalah itu, mereka harus ekstra berupaya menolerir keadaan yang sudah kaku. Betapa tidak menyenangkannya berada di kondisi demikian.

Yang jelas, novel ini juga terlalu terburu-buru. Saya bahkan sulit menentukan apa yang berkesan dari novel ini, bukan karena banyak pilihan, melainkan karena saya tidak menemukan dimana. Biar demikian, saya apresiasi karena penulis sukses menyelesaikan kedua novel hingga dipinang penerbit. Semoga sedikit ulasan ini bisa memberikan pelajaran agar di karya selanjutnya menjadi lebih baik.

[Resensi] Hai, Conchita - Marthino Andries


Judul: Hai, Conchita!
Penulis: Marthino Andries
Penyunting: Shara Yosevina
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
Terbit: Februari 2018
Tebal buku: 120 halaman
ISBN: 9786024553869
Harga: Rp38.000

Novel Hai, Conchita! jadi pengalaman kedua saya membaca karya Marthino. Sebelumnya, saya sudah membaca novelnya yang bertajuk A Love Song From Bunaken. Menurut saya, kedua novel ini punya kesamaan dari cara penulis bercerita. Fresh, muda, dan penuh komedi. Kesan ini muncul lantaran tokoh yang dipakai penulis adalah murid SMA, sehingga penulis menceritakan dengan diksi-diksi kekinian dan lincah seperti aura remaja itu sendiri.


Kali ini kita akan berkenalan dengan sosok Conchita Velasquez, atau biasa dipanggil Chita, murid SMA yang tomboi dan agresif. Awal cerita saja, kita akan disuguhkan aksi Chita membajak mobil Kopaja. Sebuah adegan yang tidak biasa tapi menarik sekali, sekaligus menegaskan karakter Chita yang tomboi, berani, dan aktif. Di adegan awal ini, kita pun akan berkenalan dengan tokoh cowok bernama Ivan Fernandez, seorang aktor sinetron muda, yang akan kita temui sepanjang babak berikutnya. Chita dan Ivan dihubungkan untuk menawarkan suasana roman, tapi saya kasih bocoran dulu, menariknya novel ini bukan pada kisah cinta-cintaannya.

Konflik pertama, perjalanan Chita menjadi aktris sinetron. Bagian ini Marthino mengingatkan pentingnya orang tua untuk membatasi anak dengan kesibukan barunya jadi aktris karena si anak masih bergelar murid sekolah. Orang tua Chita tidak melarang anaknya jadi selebriti tapi kekhawatiran sebagai orang tua, mereka membatasi Chita dengan memberi kelonggaran Chita membintangi sinetron sebanyak enam episode. Solusi menarik, karena di sini orang tua Chita tidak digambarkan sebagai sosok yang kejam, marah, dan diktator, melainkan berada di pihak yang mampu menengahi kemauan anak dan orang tua. Konflik kedua, kisah percintaan Chita dengan Ivan. Saya ragu menyebutnya sebagai konflik sebab porsi roman mereka sangat sedikit. Berkutat pada bagaimana Chita menebak perhatian Ivan, tapi dia susah membedakan apakah Ivan serius atau tidak. Apalagi ketika dia mengetahui jika Ivan ini bersikap manis juga dengan gadis lain. Karena pembawaan Chita yang tomboi, kebingungan Chita tidak menyeretnya pada perasaan galau khas kids zaman now.

Selain kedua konflik tadi, kalian harus tahu jika novel ini membuka cara pandang manusiawi dalam memperlakukan asisten rumah tangga. Diwakilkan tokoh Bi Ijah, keluarga Chita menilai jika peran asisten rumah tangga bukan sekadar melakukan pekerjaan rumah. Melainkan sebagai teman dan sebagai keluarga. Peran mereka memberikan kontribusi besar dan sebutan ‘pembantu’ rasanya kurang layak disematkan mengingat jasa besar mereka, walau maknanya sama. Menghormati mereka bisa dimulai dengan memberikan sebutan yang hormat dan terpuji. Dan prinsip ini bisa juga diaplikasikan dalam berbagai dinamika kehidupan.

Novel ini juga menyinggung mengenai cara penggunaan gawai. Fakta jika gawai menjadi barang yang sama pentingnya dengan makan dan minum, Marthino mengingatkan batasan yang seharusnya dipakai oleh pengguna. Jika gawai saja sudah smart, sudah semestinya penggunanya juga smart. Yang dianggap penting menurut novel ini adalah bagaimana kita menjadi pengguna gawai yang arif dan bijaksana. “Banyak manfaat penggunaan ponsel selama dia mampu menggunakannya secara arif dan bijaksana” (hal.13). Konsep penulisan juga ternyata berubah ketika peran gawai disisipkan dalam cerita. Bukan bentuk narasi yang memiliki banyak kalimat, melainkan bentuk unik cerita lainnya.


Pujian rasanya pas ditujukan kepada penulis untuk komedi yang digarapnya sehingga novel ini punya rasa renyah dan tentu saja berkat komedi tersebut saya bisa tersenyum membayangkan kekonyolan-kekonyolan yang ‘kok bisa begitu ya?’. Selain Chita, tokoh Bi Ijah juga menggelitik. Kepolosan khas perempuan dewasa yang sepertinya hanya lulusan SD, menambah semarak kisahnya dengan celetukkan dan gelagat yang mengejutkan. Berbeda dengan komedinya, saya tidak suka dengan kovernya yang warna backround-nya putih, plus warna tulisan judulnya yang merah-muda-sangat-pucat sehingga susah dilihatnya. Hanya saya tidak tahu yang resmi yang mana soalnya kover putih ini yang versi di Gramedia Digital, sedangkan versi Goodreads warnanya merah (atau pink?).

Terus, saya kira novel ini terlalu nge-gas untuk berakhir padahal bisa diulik lebih banyak. Rasanya kurang puas saja menikmati novel yang hanya punya halaman kurang dari dua ratus ini. Jadi, saya pun memberikan nilai 3/5 untuk pasangan Chita dan Ivan, juga saya doakan semoga Bi Ijah dan Bang Tarjo langgeng pernikahannya.

Gambar diunduh dari:
https://kabarpenumpang.com/rute-jauh-ongkos-murah-inilah-si-hijau-putih-kopaja/

[Resensi] A Love Song From Bunaken - Marthino Andries


 Judul: A Love Song From Bunaken
Penulis: Marthino Andries
Penyunting: Shara Yosevina
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
Cetakan: Maret 2018
Tebal buku: 180 halaman
ISBN: 9786024553753
Harga: Rp 48.000 (via bukabuku.com)

Pertama yang kalian perlu tahu sebelum membaca novel ini adalah label di belakangnya: novel ini dilabeli untuk usia tiga belas tahun ke atas (U13+) dan ber-genre romance comedy. Pentingnya mengetahui fakta ini agar kalian punya harapan yang terukur saat mulai membacanya. Tentu saja label tadi menunjukkan karakter novel ini secara keseluruhan. Label umur misalnya, kalian akan bertemu tokoh utama yang usianya belia. Di sini kita akan berkenalan dengan cowok dan cewek kelas dua SMA bernama Adrianus Dion dan Dessy Murni. Mereka sekelas tapi tidak akrab. Pasalnya, Adri yang berasal dari Pulau Bunaken yang kemudian merantau ke Jakarta demi bisa sekolah di tempat yang bagus, terlanjur dicap bopung alias bocah kampung. Kerap juga dia dipanggil Tarzan ketika diolok-olok oleh Arjun, pacarnya Dessy. Sehingga butuh waktu lama buat Adri menyesuaikan diri walau hasil akhirnya tidak seperti kisah upik abu, yang mendadak dilimpahi keberuntungan besar. Label umur pun mempengaruhi konflik yang disajikan penulis. Dan karena lebih banyak mengambil latar di sekolah, novel ini pun punya konflik seputar kehidupan murid. Sebut saja, adaptasi murid baru, kompetisi cinta monyet, dan yang paling banyak dibahas tentu saja kasus perundungan baik secara verbal maupun tindakan.

Berbicara tentang konflik perundungan, penulis seolah ingin menyampaikan cara menghadapi dan bertahan dari tindakan perundungan tanpa bantuan pihak luar. Adri mencontohkan dengan berprinsip kenakalan tidak boleh dibalas kenakalan. Melainkan dia tunjukkan dengan kebaikan-kebaikan yang sudah menjadi nilai hidupnya yang dia bawa dari didikan ibunya sewaktu di Pulau Bunaken. Apakah boleh melawan jika dirasa perundungannya keterlaluan? Penulis membolehkan melakukannya tapi dengan syarat kontrol kesadaran dan emosi sehingga perlawanan itu tepat sasaran dan tidak menimbulkan efek buruk lainnya.

Novel ini juga menyentuh banyak dinamika masalah yang ada di seputar remaja. Tentang pencarian jadi diri remaja yang kerap mengabaikan keluarga karena memilih lebih eksis dengan teman sekolah, tentang persaingan sesama teman sekolah yang imbasnya melakukan cara apa pun tanpa mengindahkan caranya salah atau benar, tentang penggunaan narkoba di kalangan remaja, dan yang membuat saya kaget, novel ini juga membahas sisi gelap pergaulan bebas remaja yang sampai ke ranah seksualitas.

Label Romance Comedy pun tepat disematkan di novel ini sebab kita bakal diajak ketawa mengikuti kisah Adri dan Dessy yang menghibur. Perbedaan karakter antara Adri yang kampungan dan Dessy yang anak kota, dengan sangat baik diolah penulis menjadi humor lewat sindiran atas kesenjangan ekonomi, miskomunikasi atas penggunaan bahasa daerah, dan tentu saja adu gengsi untuk mengaku saling suka. Untuk humornya, penulis konsisten menjaga tone-nya sampai babak akhir dan cara ini tentu saja berhasil menciptakan rasa bahagia terhibur sepanjang proses membacanya. Dan jangan khawatir, humor yang dihadirkan tidak mengaburkan format novel menjadi buku humor yang beredar di pasaran, melainkan masih pakai pakem format novel dalam bercerita.

Cerita romannya pun terasa manis dan pas kadarnya. Saya menyimpulkan demikian karena melihat betapa kompleks muatan novel ini sehingga setiap unsurnya mendapatkan porsi masing-masing. Juga bukan tipe kisah roman yang kental dengan drama, melainkan roman segar khas anak SMA.Sehingga tarik-ulur perasaan yang dipendam oleh Adri dan Dessy semakin membuat saya gemas, sekaligus berharap penulis tidak menggiring ke drama yang super romantis. Dan harapan saya terkabul, sampai akhir cerita, Adri dan Dessy masih lucu.

Saya pun merasa harus mengatakan ketidaksukaan saya pada perkembangan karakter Adhi dan Dessy ketika usia mereka di angka dua puluh lima tahun. Perseteruan mereka di masa lalu yang belum selesai, masih membuntuti saat mereka bertemu kembali di pulau Bunaken. Dan cara keduanya tidak menyukai pertemuan itu ditampilkan dengan dialog dan tingkah yang sama persis seperti perseteruan mereka sewaktu SMA. Kekonyolan itu seharusnya berubah drastis menjadi reaksi yang dewasa dan elegan. Pengaruhnya adalah saya tidak bisa membayangkan tokoh Adri dan Dessy dalam sosok dewasanya, atau katakan saja imajinasi saya terjebak di sosok remaja mereka.



Selain perkembangan karakter yang disayangkan, saya pun merasa jika latar Pulau Bunaken dan unsur tradisional yang dimiliki tidak digali dengan aduhai. Semua dinyatakan dalam narasi berupa informasi semata. Misal, fakta Pulau Bunaken dan suasananya, juga macam-macam menu khas Bunaken. Padahal secara foto yang saya intip di google, lingkungan Pulau Bunaken begitu indah.Setidaknya, menurut saya, keberhasilan membawa latar ke cerita, bisa diukur dari tergugah atau tidaknya pembaca untuk pergi ke lokasi.

Saya juga mengapresiasi kover novelnya yang kece. Perpaduan warna yang beragam (warna-warni) dalam ilustrasi gabungan simbol-simbol penting dalam kisahnya, tidak membuat mata jadi pusing. Simbol-simbol yang saya maksud adalah pantai, karang laut, senar gitar, pohon kelapa, dan dua sosok laki-laki dan perempuan yang mewakili Adri dan Dessy. Jadi, akhirnya saya memberikan nilai 4/5 untuk humor segar antara Adri dan Dessy.

Gambar diunduh dari:
http://www.gocelebes.com/taman-laut-nasional-bunaken/

3 Alasan Penting Menulis Resensi Buku

Entah angin apa yang membuat saya memutuskan ikut serta di giveaway yang digagas Erick Paramata di blognya: eparamata.com Namun, saya melihat semangat saya itu sebagai ajang menantang diri untuk belajar menulis dengan lebih baik.


Yakin nggak ngiler sama hadiah bukunya? Saya pengenlah sama hadiahnya. Buku Raditya Dika yang paling baru dengan tajuk Ubur-Ubur Lembur adalah hadiah yang bakal dikasih sama si penyelenggara. Walau pun saya sudah baca versi ebook, saya nggak nolak nerima hadiah fisiknya. Rakus amat lu! Eits! Asal tahu saja meminjamkan buku ke orang lain itu amal juga. Saya suka sekali meminjamkan buku ke rekan kerja atau ke adik saya yang masih SMP. Nggak mungkin kan saya meminjamkan buku berupa ebook, itu sama aja minjemin ponselnya.

Jadi, tantangan giveaway ini adalah membuat artikel dengan tema "Ceritakan alasan kenapa yang kamu tulis di blog itu penting." Saya sampai putar otak untuk mengerucutkan maksud yang ingin saya ceritakan dan harus punya kaitan dengan temanya. Berat juga, mengingat saya belum pernah memikirkan sebelumnya alasan kenapa saya mau repot-repot menulis resensi buku dan mengemasnya dengan semenarik mungkin. Setelah merenung beberapa saat, saya pun merumuskan alasan saya menganggap penting resensi buku yang saya tulis di blog ini, dalam tiga alasan.


Alasan 1: Saya suka baca buku dan saya punya hak penuh tahu perasaan saya ketika membaca satu judul buku. Semacam jurnal, blog ini bakal jadi rekam jejak buku apa saja yang sudah saya baca. Pastinya dengan bocoran perasaan apa yang saya rasakan saat itu, dan apa yang saya tangkap dari kisahnya. Bukan sepuluh buku yang sudah saya baca, tapi banyak, dan kemampuan otak saya mengenali kenangan membaca buku tidak sehebat kalian (mungkin). Makanya, penting-penting-penting-penting menulis resensi buku agar kelak di umur saya yang ke berapa, bisa membaca hasil ulasan tadi dan mengingat beberapa kenangan yang menyertainya. Kenangan yang bagaimana yang dimaksud? Satu judul buku nggak hanya punya cerita yang ditulis penulisnya, tetapi ada cerita lain yang langsung terkoneksi dengan pembaca. Seperti cerita bagaimana punya buku itu, cerita alasan mau beli buku itu, cerita jatuh-bangun menyelesaikan membacanya lantaran dibarengi momen besar dalam hidup, dan tentunya masih banyak cerita lainnya yang dialami pembaca, utamanya saya. Semua kenangan itu tak penting buat kalian, tapi SANGAT PENTING buat saya.

Alasan 2: Resensi buku itu hasil latihan menulis, dan latihan itu langkah mewujudkan mimpi untuk menulis cerita sendiri. Bukannya banyak sekali penulis yang sudah lebih dulu berkarya memberikan nasihat kepada calon penulis untuk jangan berhenti latihan menulis. Dan resensi buku yang saya bikin juga dasar dari nasihat itu. Saya menuliskan ulasan buku karena sedang latihan menulis sekaligus belajar membedah karya orang lain. Semakin banyak membaca karya penulis lain dan membedahnya lewat ulasan, seperti sedang mengisi amunisi untuk karya sendiri kelak. Jelas, alasan kedua ini pun membuat resensi buku yang saya tulis punya label penting. Penting juga buat kalian untuk membaca ulasan buku yang saya buat dalam rangka mengenal karya penulis yang sudah terbit, dan silakan dikomentari buat perbaikkan.


Alasan 3: Resensi buku di blog jadi tanda saya eksis selaku manusia introvert. Kepala saya terlalu penuh dengan keraguan dan pikiran antara harus begini-begitu, yang ujung-ujungnya membuat saya lebih banyak mengurungkan kehendak. Buat orang sekitar, mereka nggak lihat apa aktifitas menarik yang saya lakukan. Membaca buku adalah kegiatan yang tenang dan diam. Dan ini pula yang membuat peran dan posisi saya tambah tenggelam di antara rekan kerja dan lingkungan sekitar. Namun, menulis resensi di blog membuat saya eksis bagi beberapa orang. Walaupun orang tersebut tidak menjumpai langsung. Setidaknya saya bersyukur ketika ada yang membaca ulasan buku saya, apalagi sampai berkomentar, artinya masih ada yang memperhatikan kalau sosok saya itu ada.

Nah, itu alasan kenapa resensi buku yang saya tulis di blog ini penting. Kesimpulannya, isi blog saya itu mewakili sejarah, proses, dan pengakuan. Saya kira banyak di antara blogger yang alasannya serupa. Dan silakan sharing di kolom komentar ya.

Demikian tulisan ini saya buat untuk sharing dan sebagai syarat ikut syarat giveaway:

https://eparamata.com/2018/02/22/review-giveaway-ubur-ubur-lembur-raditya-dika/

Gambar diunduh dari: https://www.behance.net/gallery/62689895/UNE-HISTOIRE