Tampilkan postingan dengan label marthino andries. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label marthino andries. Tampilkan semua postingan

Maret 09, 2018

[Resensi] Hai, Conchita - Marthino Andries


Judul: Hai, Conchita!
Penulis: Marthino Andries
Penyunting: Shara Yosevina
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
Terbit: Februari 2018
Tebal buku: 120 halaman
ISBN: 9786024553869
Harga: Rp38.000

Novel Hai, Conchita! jadi pengalaman kedua saya membaca karya Marthino. Sebelumnya, saya sudah membaca novelnya yang bertajuk A Love Song From Bunaken. Menurut saya, kedua novel ini punya kesamaan dari cara penulis bercerita. Fresh, muda, dan penuh komedi. Kesan ini muncul lantaran tokoh yang dipakai penulis adalah murid SMA, sehingga penulis menceritakan dengan diksi-diksi kekinian dan lincah seperti aura remaja itu sendiri.


Kali ini kita akan berkenalan dengan sosok Conchita Velasquez, atau biasa dipanggil Chita, murid SMA yang tomboi dan agresif. Awal cerita saja, kita akan disuguhkan aksi Chita membajak mobil Kopaja. Sebuah adegan yang tidak biasa tapi menarik sekali, sekaligus menegaskan karakter Chita yang tomboi, berani, dan aktif. Di adegan awal ini, kita pun akan berkenalan dengan tokoh cowok bernama Ivan Fernandez, seorang aktor sinetron muda, yang akan kita temui sepanjang babak berikutnya. Chita dan Ivan dihubungkan untuk menawarkan suasana roman, tapi saya kasih bocoran dulu, menariknya novel ini bukan pada kisah cinta-cintaannya.

Konflik pertama, perjalanan Chita menjadi aktris sinetron. Bagian ini Marthino mengingatkan pentingnya orang tua untuk membatasi anak dengan kesibukan barunya jadi aktris karena si anak masih bergelar murid sekolah. Orang tua Chita tidak melarang anaknya jadi selebriti tapi kekhawatiran sebagai orang tua, mereka membatasi Chita dengan memberi kelonggaran Chita membintangi sinetron sebanyak enam episode. Solusi menarik, karena di sini orang tua Chita tidak digambarkan sebagai sosok yang kejam, marah, dan diktator, melainkan berada di pihak yang mampu menengahi kemauan anak dan orang tua. Konflik kedua, kisah percintaan Chita dengan Ivan. Saya ragu menyebutnya sebagai konflik sebab porsi roman mereka sangat sedikit. Berkutat pada bagaimana Chita menebak perhatian Ivan, tapi dia susah membedakan apakah Ivan serius atau tidak. Apalagi ketika dia mengetahui jika Ivan ini bersikap manis juga dengan gadis lain. Karena pembawaan Chita yang tomboi, kebingungan Chita tidak menyeretnya pada perasaan galau khas kids zaman now.

Selain kedua konflik tadi, kalian harus tahu jika novel ini membuka cara pandang manusiawi dalam memperlakukan asisten rumah tangga. Diwakilkan tokoh Bi Ijah, keluarga Chita menilai jika peran asisten rumah tangga bukan sekadar melakukan pekerjaan rumah. Melainkan sebagai teman dan sebagai keluarga. Peran mereka memberikan kontribusi besar dan sebutan ‘pembantu’ rasanya kurang layak disematkan mengingat jasa besar mereka, walau maknanya sama. Menghormati mereka bisa dimulai dengan memberikan sebutan yang hormat dan terpuji. Dan prinsip ini bisa juga diaplikasikan dalam berbagai dinamika kehidupan.

Novel ini juga menyinggung mengenai cara penggunaan gawai. Fakta jika gawai menjadi barang yang sama pentingnya dengan makan dan minum, Marthino mengingatkan batasan yang seharusnya dipakai oleh pengguna. Jika gawai saja sudah smart, sudah semestinya penggunanya juga smart. Yang dianggap penting menurut novel ini adalah bagaimana kita menjadi pengguna gawai yang arif dan bijaksana. “Banyak manfaat penggunaan ponsel selama dia mampu menggunakannya secara arif dan bijaksana” (hal.13). Konsep penulisan juga ternyata berubah ketika peran gawai disisipkan dalam cerita. Bukan bentuk narasi yang memiliki banyak kalimat, melainkan bentuk unik cerita lainnya.


Pujian rasanya pas ditujukan kepada penulis untuk komedi yang digarapnya sehingga novel ini punya rasa renyah dan tentu saja berkat komedi tersebut saya bisa tersenyum membayangkan kekonyolan-kekonyolan yang ‘kok bisa begitu ya?’. Selain Chita, tokoh Bi Ijah juga menggelitik. Kepolosan khas perempuan dewasa yang sepertinya hanya lulusan SD, menambah semarak kisahnya dengan celetukkan dan gelagat yang mengejutkan. Berbeda dengan komedinya, saya tidak suka dengan kovernya yang warna backround-nya putih, plus warna tulisan judulnya yang merah-muda-sangat-pucat sehingga susah dilihatnya. Hanya saya tidak tahu yang resmi yang mana soalnya kover putih ini yang versi di Gramedia Digital, sedangkan versi Goodreads warnanya merah (atau pink?).

Terus, saya kira novel ini terlalu nge-gas untuk berakhir padahal bisa diulik lebih banyak. Rasanya kurang puas saja menikmati novel yang hanya punya halaman kurang dari dua ratus ini. Jadi, saya pun memberikan nilai 3/5 untuk pasangan Chita dan Ivan, juga saya doakan semoga Bi Ijah dan Bang Tarjo langgeng pernikahannya.

Gambar diunduh dari:
https://kabarpenumpang.com/rute-jauh-ongkos-murah-inilah-si-hijau-putih-kopaja/

Maret 07, 2018

[Resensi] A Love Song From Bunaken - Marthino Andries


 Judul: A Love Song From Bunaken
Penulis: Marthino Andries
Penyunting: Shara Yosevina
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
Cetakan: Maret 2018
Tebal buku: 180 halaman
ISBN: 9786024553753
Harga: Rp 48.000 (via bukabuku.com)

Pertama yang kalian perlu tahu sebelum membaca novel ini adalah label di belakangnya: novel ini dilabeli untuk usia tiga belas tahun ke atas (U13+) dan ber-genre romance comedy. Pentingnya mengetahui fakta ini agar kalian punya harapan yang terukur saat mulai membacanya. Tentu saja label tadi menunjukkan karakter novel ini secara keseluruhan. Label umur misalnya, kalian akan bertemu tokoh utama yang usianya belia. Di sini kita akan berkenalan dengan cowok dan cewek kelas dua SMA bernama Adrianus Dion dan Dessy Murni. Mereka sekelas tapi tidak akrab. Pasalnya, Adri yang berasal dari Pulau Bunaken yang kemudian merantau ke Jakarta demi bisa sekolah di tempat yang bagus, terlanjur dicap bopung alias bocah kampung. Kerap juga dia dipanggil Tarzan ketika diolok-olok oleh Arjun, pacarnya Dessy. Sehingga butuh waktu lama buat Adri menyesuaikan diri walau hasil akhirnya tidak seperti kisah upik abu, yang mendadak dilimpahi keberuntungan besar. Label umur pun mempengaruhi konflik yang disajikan penulis. Dan karena lebih banyak mengambil latar di sekolah, novel ini pun punya konflik seputar kehidupan murid. Sebut saja, adaptasi murid baru, kompetisi cinta monyet, dan yang paling banyak dibahas tentu saja kasus perundungan baik secara verbal maupun tindakan.

Berbicara tentang konflik perundungan, penulis seolah ingin menyampaikan cara menghadapi dan bertahan dari tindakan perundungan tanpa bantuan pihak luar. Adri mencontohkan dengan berprinsip kenakalan tidak boleh dibalas kenakalan. Melainkan dia tunjukkan dengan kebaikan-kebaikan yang sudah menjadi nilai hidupnya yang dia bawa dari didikan ibunya sewaktu di Pulau Bunaken. Apakah boleh melawan jika dirasa perundungannya keterlaluan? Penulis membolehkan melakukannya tapi dengan syarat kontrol kesadaran dan emosi sehingga perlawanan itu tepat sasaran dan tidak menimbulkan efek buruk lainnya.

Novel ini juga menyentuh banyak dinamika masalah yang ada di seputar remaja. Tentang pencarian jadi diri remaja yang kerap mengabaikan keluarga karena memilih lebih eksis dengan teman sekolah, tentang persaingan sesama teman sekolah yang imbasnya melakukan cara apa pun tanpa mengindahkan caranya salah atau benar, tentang penggunaan narkoba di kalangan remaja, dan yang membuat saya kaget, novel ini juga membahas sisi gelap pergaulan bebas remaja yang sampai ke ranah seksualitas.

Label Romance Comedy pun tepat disematkan di novel ini sebab kita bakal diajak ketawa mengikuti kisah Adri dan Dessy yang menghibur. Perbedaan karakter antara Adri yang kampungan dan Dessy yang anak kota, dengan sangat baik diolah penulis menjadi humor lewat sindiran atas kesenjangan ekonomi, miskomunikasi atas penggunaan bahasa daerah, dan tentu saja adu gengsi untuk mengaku saling suka. Untuk humornya, penulis konsisten menjaga tone-nya sampai babak akhir dan cara ini tentu saja berhasil menciptakan rasa bahagia terhibur sepanjang proses membacanya. Dan jangan khawatir, humor yang dihadirkan tidak mengaburkan format novel menjadi buku humor yang beredar di pasaran, melainkan masih pakai pakem format novel dalam bercerita.

Cerita romannya pun terasa manis dan pas kadarnya. Saya menyimpulkan demikian karena melihat betapa kompleks muatan novel ini sehingga setiap unsurnya mendapatkan porsi masing-masing. Juga bukan tipe kisah roman yang kental dengan drama, melainkan roman segar khas anak SMA.Sehingga tarik-ulur perasaan yang dipendam oleh Adri dan Dessy semakin membuat saya gemas, sekaligus berharap penulis tidak menggiring ke drama yang super romantis. Dan harapan saya terkabul, sampai akhir cerita, Adri dan Dessy masih lucu.

Saya pun merasa harus mengatakan ketidaksukaan saya pada perkembangan karakter Adhi dan Dessy ketika usia mereka di angka dua puluh lima tahun. Perseteruan mereka di masa lalu yang belum selesai, masih membuntuti saat mereka bertemu kembali di pulau Bunaken. Dan cara keduanya tidak menyukai pertemuan itu ditampilkan dengan dialog dan tingkah yang sama persis seperti perseteruan mereka sewaktu SMA. Kekonyolan itu seharusnya berubah drastis menjadi reaksi yang dewasa dan elegan. Pengaruhnya adalah saya tidak bisa membayangkan tokoh Adri dan Dessy dalam sosok dewasanya, atau katakan saja imajinasi saya terjebak di sosok remaja mereka.



Selain perkembangan karakter yang disayangkan, saya pun merasa jika latar Pulau Bunaken dan unsur tradisional yang dimiliki tidak digali dengan aduhai. Semua dinyatakan dalam narasi berupa informasi semata. Misal, fakta Pulau Bunaken dan suasananya, juga macam-macam menu khas Bunaken. Padahal secara foto yang saya intip di google, lingkungan Pulau Bunaken begitu indah.Setidaknya, menurut saya, keberhasilan membawa latar ke cerita, bisa diukur dari tergugah atau tidaknya pembaca untuk pergi ke lokasi.

Saya juga mengapresiasi kover novelnya yang kece. Perpaduan warna yang beragam (warna-warni) dalam ilustrasi gabungan simbol-simbol penting dalam kisahnya, tidak membuat mata jadi pusing. Simbol-simbol yang saya maksud adalah pantai, karang laut, senar gitar, pohon kelapa, dan dua sosok laki-laki dan perempuan yang mewakili Adri dan Dessy. Jadi, akhirnya saya memberikan nilai 4/5 untuk humor segar antara Adri dan Dessy.

Gambar diunduh dari:
http://www.gocelebes.com/taman-laut-nasional-bunaken/