[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]
Judul: Utang Dan Sampah Sesudah Pesta
Penulis: Mikhael N. Naibaho
Editor: Afrianty P. Pardede
Desain sampul: Gofar Amar
Penerbit: Elex Media Komputindo
Terbit: Juni 2025
Tebal: viii + 192 hlm.
ISBN: 9786230071027
Tag: batak, bapak, keluarga, adat
Novel ini membahas soal keresahan Tona sebagai kepala keluarga yang tidak ingin dua anaknya menjadi budak. Pikiran ini muncul gara-gara Orang Asing yang datang ke Siborongborong mengucapkannya. Sejak itu pikiran Tona berlarian dan ia mendapatkan banyak wawasan baru.
Dia jadi pemikir yang beda dengan kebanyakan orang. Koyai, istrinya, sangat terkejut. Selalu ada beda pendapat. Tona berpikiran mendalam, Koyai belum cukup mampu memahami. Perdebatan kadang selalu muncul dan bisa kapan pun meledak.
Ide besarnya adalah bagaimana seorang Tona membawa perubahan kepada masyarakat Batak agar mereka sadar kalau kemiskinan mereka dibikin oleh keputusan sendiri. Isu paling disorot tentang pesta pernikahan yang dibiayai dengan hutang akibat permintaan sinamot yang mahal. Awal mula kemiskinan itu datang ya karena memaksakan diri, padahal adat aslinya tidak menuntut dengan perayaan besar. Ditambah paham masyarakat tentang 'banyak anak banyak rejeki' yang justru melanggengkan kemiskinan secara turun temurun.
Tapi jika melawan arus adat, tahu sendiri tekanannya seperti apa. Beruntung Tona memiliki kawan yang berpikiran terbuka seperti Gokma. Kawannya ini pemilik Buku Lapo, yang kemudian dijadikan tempat berdiskusi soal apa pun, paling sering membahas soal pemerintah yang belum becus mengatur negara.
Saya suka ceritanya karena sudut pandangnya menggunakan pria yang sudah jadi kepala keluarga. Di tengah tuntutan menafkahi keluarga, Tona justru dibuat pusing dengan semangatnya memperbaiki diri dan keluarga. Dan novel ini tidak menyodorkan keserbamudahan karena Tona yang berubah malah menimbulkan banyak masalah. Satu momen dia membikin istrianya marah dan Koyai pulang ke rumah orang tuanya. Makin sedih hati Tona karena kekeliruannya.
Banyak isu negara yang disinggung. Tapi banyak juga pelajaran soal keluarga yang disodorkan. Yang paling mengena itu soal pentingnya kematangan seseorang sebelum memutuskan menikah. Dan benar juga kalau pelajaran setelah menikah itu jarang diberikan, kebanyakan hanya membahas soal pentingnya melaksanakan pernikahan. Padahal kehidupan setelah pernikahan justru lebih dinamis dan menantang.
Tona dan Koyai adalah pasangan suami istri yang romantis dengan kadar pas. Naik turun hubungan mereka sebagai pasangan dan orang tua untuk kedua anaknya sangat menggemaskan. Kadang bikin kesal, lebih banyak bikin saya mesem-mesem. Mereka punya pikiran yang polos meski berusaha lebih cerdas agar keluarga mereka naik taraf.
Ada fenomena joget-joget yang disinggung di sini. Pilihan masyarakat kampung untuk mendapatkan uang lebih cepat dan mudah tapi tetap berdampingan dengan resiko pengabaian kepada keluarga. Efeknya angka perceraian naik. Kekinian banget isu yang dibawakan.
Penggalan cerita yang mengesankan saya adalah keberhasilan Tona mendirikan rumah di tanah yang dibeli sendiri dan dia persembahkan kepada istrinya, Koyai. Benar-benar mengharukan. Apalagi jika mengingat kalau mereka harus keluar dari kontrakan yang sudah lama mereka tempati. Dari sini saya belajar kalau jadi laki-laki harus bekerja keras untuk keluarga. Contohnya Tona, dia melakukan beberapa pekerjaan dan terus mengasah ilmu pertukangannya demi mewujudkan impian memiliki rumah sendiri walau sederhana. Jangan malas dan jangan gampang menyerah dengan keadaan.
Secara keseluruhan novel ini sangat menarik. Konflik yang dibawa sangat dekat dengan kita. Menampilkan tokoh-tokoh yang berasal dari masyarakat biasa. Dan walau banyak sindiran kepada pemerintah, ceritanya dibikin ringan. Beberapa bagian malah bikin saya ketawa.
Nah sekian kesan saya setelah membaca novel Utang Dan Sampah Sesudah Pesta. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!
***
Kutipan-Kutipan
- Langkah pertama memang selalu berat (p.6)
- Pernikahan hanya topeng untuk menormalisasi perbudakan (p.7)
- Semua yang berlebihan selalu membawa kerusakan (p.13)
- Hidup bukan tentang seberapa banyak uangmu, tapi bagaimana nasibmu yang telah tertulis (p.14)
- Ini yang kukatakan sebelum kau menikah. Kau harus mempersiapkan mental, pemikiran dan iman (p.23)
- Orang-orang kota sekarang ingin hidup di desa, kita ingin hidup seperti orang kota. Itu yang membuat hidup terasa berat (p.28)
- Rezeki itu gabungan dari kerja keras, kecerdasan, dan keberanian (p.31)
- Kejahatan di sekitar kita terjadi karena tidak adanya kepedulian (p.37)
- Kalau kau yakin, lakukan. Kalau kau ragu, lupakan. Jangan lama-lama terlarut, masih banyak mimpi yang bisa kau wujudkan jadi kenyataan (p.41)
- Pemikiran bagus itu harus diikuti sikap yang optimis (p.46)
- Jika kebahagiaanku diukur dengan punya uang, maka seumur hidup aku tidak akan bahagia (p.63)
- Perjalanan hidup mengajarkanku, ada yang harus direlakan hilang dan ada yang harus dipertahankan mati-matian (p.96)
- Pikiranmu menentukan apa yang kau bicarakan, yang kau bicarakan membentuk sikapmu, sikapmu membentuk karaktermu, dan karaktermu menentukan nasibmu (p.104)
- Ada kemudahan, ada kesulitan. Berjalanlah. Sesekali berhenti. Sesekali mundur, tapi jangan ubah tujuan hanya karena merasa tidak mampu. Ubah tujuan, jika memang untuk ditingkatkan. Jangan menurunkan standar (p.107)
- Bunuh diri dan berbuat jahat pada manusia lain adalah kesalahan berpikir (p.112)
- Cara terbaik bagi orang miskin untuk bertahan hidup adalah menyadari dia miskin dan tidak bertindak seperti orang kaya. Tidak perlu berutang untuk hidup seperti orang yang berpunya. Jalani hidup apa adanya (p.113)
- Jika uang memang bisa mengatur segalanya, maka orang yang tidak kompeten mengatur masyarakat, akan bisa menjadi pejabat sebab ia dapat posisi karena banyak uang (p.140)
- Kalau mau kayak, usahakan kekayaan. Jangan cari kekayaan, tapi mau bijak juga. Akhirnya nanti satu pun nggak dapat (p.145)
- Jika hanya bekerja keras tanpa ada rencana dan strategi, itu akan sia-sia atau hasilnya jauh di bawah harapan (p.146)
- Atas nama mengikuti zaman, kami dengan cepat mengubah budaya. Melakukan improvisasi. Yang semakin hari, bergerak semakin jauh. Adat sepertinya telah kehilangan esensinya (p.171)
- Semakin banyak pengetahuan, akan semakin banyak kesedihan (p.173)
- Setiap orang memiliki perjuangan hidup masing-masing. Nilai perjuangan hidup seseorang berbeda dengan orang lain. Tidak ada tolok ukur yang valid untuk perjuangan itu dan tak bisa digeneralisir (p.184)
- Hidup mengikuti pendapat orang banyak, itulah yang membuat kami miskin lintas generasi (p.184)