Judul: Happiness Without Money
Penulis: Koike Ryunosuke
Penerjemah: Yuditha Savka
Penyunting: Yoke Yuliana
Penerbit: M&C! (PT Gramedia Pustaka Utama)
Terbit: Mei 2021, cetakan pertama
Tebal: iii + 149 hlm.
ISBN: 9786230305061
Buku Happiness Without Money ini membahas soal bagaimana kita bisa meraih kebahagiaan dengan cara menggunakan uang secara tepat. Walau judul buku ini ada kata 'tanpa uang', penulis justru mengingatkan jika kita mustahil mengejar kebahagiaan tanpa menggunakan uang. Koike sendiri adalah seorang biksu yang menjalankan hidup sederhana, namun sederhana itu bukan tanpa uang melainkan menggunakan uang untuk hal tepat dengan cara yang tepat.
Pembahasan pertama di buku ini mirip dengan pembahasan di buku The Life-Changing Magic of Tidying Up yang ditulis Marie Kondo. Soal kepemilikan barang. Semakin banyak barang yang kita miliki, semakin hidup kita tidak bahagia. Memiliki benda berarti paling sedikit ada dua tanggung jawab yang menempel ke pemiliknya; menjaga agar tidak hilang (ketakutan) dan merawatnya (kewajiban). Dan semakin banyak benda yang dipunya, semakin banyak pula ketakutan dan kewajiban tadi. Solusi untuk kepemilikan benda ini adalah dengan membuangnya. Jangan bingung, di bab awal buku ini akan diberikan tips membuang barang agar kita tidak begitu menderita dalam prosesnya.
Ada alasan kenapa kita bisa mempunyai banyak barang yaitu karena kita serakah. Sifat serakah ini ternyata punya asal yaitu keinginan. Dan penulis menyebut jika keinginan itu bentuk dari penderitaan. Karena kita merasa menderita, kita berusaha mati-matian untuk meredakan penderitaan itu dengan memenuhi keinginan tadi. Bahayanya, keinginan manusia itu tidak terbatas. Setelah keinginan standar dipenuhi, muncul keinginan baru yang lebih besar, bahkan seiring waktu bisa menginginkan sesuatu lebih ekstrim. Dan kunci menuju kebahagiaan yang utama adalah memotong keinginan tadi menjadi sewajarnya.
Ada istilah 3D Keserakahan yaitu demand, desire, dan drive. Perubahan dari kebutuhan menjadi dorongan ini yang membuat kita dibutakan oleh banyaknya keinginan.
Kebanyakan orang awalnya menginginkan sesuatu karena membutuhkannya. Dengan kata lain, "demand". Namun, rasa kebutuhan itu semakin menyimpang dan mereka menginginkan jeda "derita senang" yang lebih besar sebelum kemudian perlahan-lahan menjadi semakin ketagihan oleh stimulasi "derita". Ini adalah desaire, keinginan. Kemudian, desire itu semakin menyimpang dan akhirnya mereka dikendalikan total oleh "derita" sehingga akhirnya menjadi drive, dorongan yang tidak bisa dikendalikan. (hal. 44).
Menurut penulis ada 3 sikap yang bisa dilakukan atas sifat keserakahan yaitu:
- Merealisasikan sesuai keinginan.
- Melarikan diri dan menggantinya dengan rangsangan keinginan lain.
- Menekan rasa ingin tersebut.
Penjelasan ketiga sikap ini akan dikupas di bukunya. Pembahasannya benar-benar menarik, apalagi diberikan contohnya juga.
Yang paling menyentil saya adalah soal habbit saya yang suka membeli novel baru hanya karena ingin, padahal novel itu entah akan dibaca atau enggak di masa depan. Novel yang menumpuk secara samar-samar menimbulkan penyesalan walau saya alihkan dengan dalih kalau buku itu sesutau yang positif. Kasus ini bisa jadi contoh kebahagiaan semu sebab di dalam hati paling mendalam menimbun novel bukannya membuat bahagia secara penuh tetapi justru menimbulkan rasa negatif yang kemudian ditutup-tutupi.
Saya paling suka dengan bab empat yang berisi Cara Menggunakan Uang Agar Menjadi Bahagia. Di sini ditegaskan kalau penjelasan buku ini bukan mendorong orang untuk pelit. Ketika kita bersikap pelit, kita sebenarnya sudah memutuskan untuk tidak bahagia sekali pun ujungnya kita bisa menumpuk uang. Penulis justru lebih senang jika kita membuang uang dengan cara memberikan hadiah kepada orang lain karena tindakan ini akan membikin kita merasa lega.
Gara-gara membaca buku ini saya pun termotivasi untuk lebih bisa mengendalikan uang di lingkaran keinginan yang tak berujung. Harus bisa membuat prioritas antara kebutuhan dan keinginan. Tujuannya tentu saja kita harus bisa bahagia ketika sedang ada uang, dan tetap baik-baik saja ketika tidak punya uang.
Berikut beberapa kutipan-kutipan menarik di buku ini:
- Bagaimana pendapat orang lain mengenai kita atau bagaimana orang lain melihat kitalah yang menyebabkan lahirnya penderitaan tersebut (hal. 11).
- Menjadi pelit saat tidak punya uang dan tiba-tiba menjadi bermewahan saat memiliki uang banyak itu yang namanya dipermainkan uang dan hati kita akan lelah (hal. 121).
- Orang modern semuanya memiliki penderitaan berupa kesepian dan untuk menyembuhkannya, mereka membuang uang dan waktu untuk telepon genggam dan media sosial (hal. 128)
Saya sangat merekomendasikan buku ini dibaca siapa pun untuk bahan reminder kita soal uang. Dan sekian ulasan saya untuk buku ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!
[ Saking sukanya dengan isi buku ini saya berencana membaca ulang dan tentu saja ulasan ini akan saya update dengan insight baru dari bacaan ulang nanti ]
Kalo gak butuh uang rasanya mustahil, tapi jangan sampai kita yang di perbudak oleh uang, ujung"nya boros dan membeli barang"yg gak penting dan malahan nyesel di akhir,emang bener sih pakai uang secara bijak,padahal saya sendiri juga masih suka gitu :D
BalasHapusIya, Mbak, bijak menggunakan uang jadi seperti tantangan. Soalnya di zaman sekarang, segala-gala diukur dan dinilai dengan uang. Susah pisan belajar soal uang ini.
Hapus