Resensi Novel 23:59 - Brian Khrisna


Judul:
23:59

Penulis: Brian Khrisna

Penyunting: Juliagar R. N.

Ilustrasi isi: Dalila Arrumaisha

Sampul: ORKHA CREATIVE

Penerbit: MediaKita

Terbit: Januari 2023

Tebal: iv + 232 hlm.

ISBN: 9789797946692

Novel 23:59 ini menceritakan hubungan Ami dan Raga yang sudah terjalin dua tahunan harus kandas. Raga memutuskan hubungan mereka tanpa penjelasan dan itu membuat Ami sangat patah hati.

Perasaan Ami hancur. Dia berusaha mencari tahu alasan kenapa Raga memilih pergi tapi tidak berhasil. Selama patah hati itu tak terbilang berapa kali dia menangis, berapa kali dia berusaha mengakhiri hidup. Beruntung Ami memiliki teman-teman dan keluarga yang memperhatikan dan menjaganya agar hal buruk tidak dilakukannya.

Ami mencoba move on dengan menerima Aransyah sebagai kekasih. Tetapi selama itu pula ia tidak bisa melupakan Raga. Walau Ami masih meradang dengan hubungan masa lalunya, Aransyah bersabar untuk terus di sisi Ami dan menerima semua perlakuan Ami yang belum sepenuhnya menganggapnya ada.

Athif, sahabat Raga, tahu betul apa alasan Raga pergi dan membiarkan Ami menderita begitu. Sebagai orang luar, Athif tidak bisa mencampuri masalah di antara keduanya. Bahkan di saat Ami dan Aransyah bertunangan, Athif tidak membuka mulut meski Ami mendesaknya.

Dua hari menjelang pernikahan, Ami bertekad untuk menyudahi meratapi nasib kegagalan hubungannya dengan Raga. Foto polaroid dan gelang manik-manik sejumlah 24 membawa Ami pada momen ajaib dan di sanalah dia menemukan jawaban apa yang membuat hubungannya dengan Raga tidak berhasil.

Membaca novel ini sangat mengaduk emosi. Banyak bagian cerita yang membuat saya sedih. Tema novel ini adalah tentang patah hati dan memaafkan masa lalu. Pasti banyak banget pembaca yang akan relate dengan kisah Ami dan Raga.

Saya sendiri punya pengalaman serupa, diputuskan tanpa penjelasan. Setahun saya merasa sakit di dada dan sulit tidur. Biar bisa istirahat, saya harus minum Antimo. Awalnya satu pil, makin lama tidak berhasil, dan sampai saya harus minum empat pil agar bisa tidur. Saat itu mau minum lima pil tapi saya diingatkan oleh kenalan seorang apoteker jika itu beresiko.

Saya baru benar-benar bisa ikhlas setelah setahun berlalu dan waktu itu saya memaksakan diri menemui dia untuk mengatakan maaf jika selama dengan saya dia tidak bahagia sampai akhirnya memutuskan pergi begitu saja. Pertemuan kurang dari lima menit itu berhasil membuat saya bisa move on sampai hari ini.

Menurut saya, ketika ingin mengakhiri hubungan, please, beri closure yang tuntas. Jika ada yang harus dijelaskan, tolong beri kesempatan untuk menjelaskan. Jangan sekali-sekali membiarkan salah satu pasangan menebak-nebak ada apa, siapa yang salah, dan sebenarnya ada masalah apa. Ibaratnya begini, selama berhubungan kita pelan-pelan mengikat benang ke sepuluh jari masing-masing. Lalu saat putus, ada dua benang di dua jari yang tertinggal tidak diputuskan. Mau berapa tahun pun kejadian itu, bagi salah satu pasangan akan menjadi beban yang belum selesai. Ini yang membuat susah untuk memulai dengan orang lain karena masih ada ikatan yang belum dituntaskan.

Eh, saya malah curhat, hehe. Tapi memang betul, berada di posisi Ami itu tidak enak. 


Secara penceritaan penulis, saya suka, karena runut dan utuh sehingga rasa dan emosi ceritanya sampai ke saya sebagai pembaca. Sedikit kekurangan, di sini banyak sekali paragraf narasi yang agak panjang. Bahkan untuk adegan dramatis pun dipangkas dengan narasi saja. Sayang sekali memang, padahal bisa makin membuat nangis kejer kalau part itu dibikin adegan. Contohnya ketika Ami marah, kesal, dan mencaci maki Raga, penulis merangkum dalam narasi, tidak ada detail caci maki Ami seperti apa.

Building karakter di novel ini cukup baik, terutama tokoh Ami dan Raga. Mungkin karena keduanya tokoh utama jadi karakter mereka menonjol. Walau pun tokoh Raga baru benar-benar akan kita kenali setelah mulai ketengah buku. 

Di awal buku kita akan kenal Ami sebagai gadis yang sendu akibat patah hati. Walau dulunya dia sangat cemerlang tapi setelah diputuskan Raga, karakternya menjadi mendung. Bagian cemerlang ini yang tidak saya rasakan, tahu-tahu sudah jadi gadis yang memprihatinkan.

Sedangkan Raga akan dikenalkan di awal sebagai pemuda yang berengsek karena membuat Ami menderita. Pengecut karena pilihan sikapnya untuk menunda penjelasan kepada Ami. Saya geram sekali saat tahu begitu. Tetapi setelah membaca momen ajaib itu, saya jadi ikut bersimpati. Sebagai lelaki, kita akan memperjuangkan sesuatu yang kita sukai dengan maksimal. Tetapi ada waktunya kita berhenti karena tahu kalau dipaksakan akan menimbulkan banyak ketidakbahagiaan. Ibaratnya, keinginan hidup itu enggak melulu akan terpenuhi, dan kadang kita harus berkorban untuk hal baik yang lebih banyak.

Untuk tokoh Athif sendiri cukup menyita perhatian. Awalnya saya kira dia akan punya momen penting di masalah Ami dan Raga, tetapi ternyata peran dia memang hanya sebagai katalisator bagi kedua sahabatnya itu.

Ada bagian yang tidak digali penulis yaitu bagaimana orang tua Ami menghadapi anaknya yang patah hati. Walau ibunya Ami sering menyumpahi Raga, tapi itu belum menunjukkan sisi orang tua dalam menghadapi anaknya yang dirundung pilu. Akan lebih pilu lagi jika ada bagian yang memaparkan sama terlukanya ayah dan ibunya Ami melihat anaknya yang putus harapan karena seorang Raga.

Oya, novel ini juga tergolong bacaan dewasa dan pembaca harus terbuka dengan sesuatu yang tabu. Sebab ada pernyataan yang menjelaskan kalau Ami dan Raga melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Secara terselubung penulis menganggap hal itu bukan masalah besar. Tapi bisa jadi untuk beberapa orang bagian ini tidak sependapat.


"Aku memang menyesal karena pada akhirnya kita enggak bisa bersama seperti semua rencana kita dulu, tapi untuk satu hal itu, enggak. Aku gak menyesal." (hal.152)

Secara keseluruhan, novel ini berhasil membuat saya sedih mengikuti kisah Ami dan Raga. Dan novel ini saya rekomendasikan buat pembaca yang suka cerita romansa tapi punya kisah yang bikin pengen nangis.

Oya, jangan lupa juga mendengarkan lagu dari Andre Mastijan yang judulnya Khianatiku.


Sekian ulasan novel ini, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!


2 komentar:

  1. Kalau baca novel atau nonton film tentang patah hati suka nelongso mas, apalagi ketika putus sedang sayang"nya dan pergi tanpa kejelasan, sakitnya minta ampun, yg bikin penasaran karena gak ada alasan atau kejelasan putusnya karena apa,..kata nya mencintai seseorang itu harus siap menerima juga sakitnya,...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener, Mbak, nelangsanya parah, haha. Alasan kenapa mereka bisa putus sebenarnya karena alasan klise dan sering terjadi pada beberapa pasangan. Cuman kalau saya kasih tahu, nanti enggak seru pas baca novelnya.

      Peribahasa yang harusnya dipahami siapa pun, tapi begitu jadi yang mengalami, malah peribahasa ini enggak mempan. Saking meradangnya patah hati, hehe.

      Hapus