Tampilkan postingan dengan label romantis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label romantis. Tampilkan semua postingan

Januari 08, 2024

Resensi Novel Paris: Aline - Prisca Primasari

Dulu, Gagas Media termasuk penerbit yang kreatif dengan karyanya yang enggak ada matinya. Banyak buku bagus yang diterbitkan. Salah satu series yang terkenal adalah series Setiap Tempat Punya Cerita a.k.a STPC. Kalau mengintip di goodreads, totalnya ada enam buku. Dan novel Paris: Aline ini adalah buku pertamanya.



Judul: Paris: Aline

Penulis: Prisca Primasari

Editor: eNHa

Sampul: Jeffri Fernando

Ilustrasi isi: Diani Apsari

Penerbit: Gagas Media

Terbit: 2012, cetakan pertama

Tebal: x + 214 hlm.

ISBN: 9797805778

RINGKASAN

Aline Ofelif yang patah hati gara-gara pria yang ditaksirnya malah jadian dengan perempuan lain. Melalui pecahan porselen ia dipertemukan dengan pria yang misterius bernama Sena. Terlalu banyak tanda tanya mengenal Sena. Selain Sena, ada Kak Ezra yang lebih dulu dikenal Aline dan menunjukkan perhatian-perhatian. 

Kira-kira kepada siapa Aline akan menambatkan hatinya?

RESENSI

Menurut saya novel ini terasa manis, plus suasana romantis didukung penuh oleh lokasi cerita yaitu Paris. Saya lumayan takjub sih dengan awal mula pertemuan Aline dan Sena yang terhubung lewat pecahan porselen dan lokasi yang dipilih pun enggak biasa, monumen pemakaman. Rada ngeri-ngeri sedap ya, takut ketemu hantu, itu juga yang dialami Aline ketika menyanggupi janjiannya.

Selain itu saya juga memikirkan kira-kira Aline lebih pas berpasangan dengan Sena atau Kak Ezra. Jujur saja Kak Ezra ini sosok misterius tapi bisa diandalkan, dia bahkan menunjukkan bentuk perhatiannya dengan tindakan, bukan kata-kata saja, rela menemani Aline menunggu Sena datang dengan alasan mengamati sebuah gedung.

Yang mengganjal buat saya justru pada keputusan hati Aline yang naksir Sena padahal Sena itu menyebalkan dan seingat saya tidak banyak perhatian dan persinggungan antara keduanya. Bagaimana rasa sayang itu bisa muncul, bahkan mengalahkan perlakuan perhatian Kak Ezra yang nyata-nyata diterima Aline sejak ia tiba di Paris.

Kejadian Sena yang ditawan oleh pasangan Poussin juga membingungkan karena Sena itu bukan anak kecil harusnya dia bisa lebih tegas dengan hidupnya ketimbang memikirkan keluarga yang bukan siapa-siapanya. Istilahnya, dia lebih memikirkan kondisi keluarga orang lain dibandingkan kekhawatiran keluarganya sendiri. Dan apa yang dilakukan pasangan Poussin itu sudah tergolong kriminal, harusnya gampang dilaporkan ke polisi, tapi lagi-lagi Sena memberikan alasan yang menurut saya belum kuat kenapa dia memilih bertahan ditawan. 



Selain sisi romansa yang disajikan penulis, saya juga bersimpati dengan Sevigne Devereux, sahabat Aline, yang tengah berjuang dengan cita-citanya menjadi penulis. Kerasa banget kesulitan yang dihadapi dia, terutama mewujudkan keinginannya untuk menerbitkan karya. Selain itu, pilihan dia menjadi penulis juga dipandang sebelah mata oleh keluarganya. Tentu ini jadi pukulan keras dimana keluarga harusnya menjadi pilar pendukung utama tapi justru jadi penghambat utama. Huft!


"...Dia melihat salah satu tulisanku dan bilang semua itu tidak ada gunanya, buang-buang waktu, sampah..." (hal. 114)


Untuk sudut-sudut Kota Paris yang ditampilkan dalam cerita ini lebih variatif, tidak memilih yang ikonik banget yaitu Menara Eifel. Kita akan diajak ke Monumen Pemakaman Place de la Bastille, Museum Cluny, Beaumarchais Boulangerie, Kediaman Victor Hugo, Pemakaman Pere Lachaise, dan sudut-sudut Kota Paris lainnya yang dilewati oleh Aline atau pun tokoh lainnya. Ini memberikan wawasan baru buat pembaca soalnya beberapa novel yang mengambil setting di kota terkenal biasanya hanya menonjolkan lokasi ikonik saja tanpa mengajak berjalan-jaln lebih luas.

Gaya menulis Kak Prisca Primasari terbilang runut dan detail. Saya menikmati sekali diksi-diksi yang dirangkai penulis sehingga bisa membayangkan kelembutan, keromantisan, dan kehangatan kisah Aline dan Sena selama di Paris.

Penokohan di novel ini belum membuat saya suka dengan salah satunya. Karakter Aline Ofelif secara umum saya kutip seperti yang dituturkan oleh Sena, "Pikiran sempit, nggak percaya diri, tapi sok kuat. Melankolis tidak pada tempatnya. Suka berjibaku pada hal-hal tidak penting." Meski begitu, karakter Aeolus Sena pun tidak lebih baik dari Aline. Dia kurang tegas memilih keputusan, suka meremehkan hal-hal penting, dan kurang bertanggung jawab. Sedangkan Kak Ezra terlalu penutup dan lebih pemendam perasaan sehingga dia kena salip oleh Sena, hehe.



Kover novel Paris; Aline ini jadi template baku untuk series STPC ini. Warna dasar yang kalem dengan gambar vector di kasih judul yang bold. Dan yang paling keren, buku ini juga memberi postcard dengan ilustrasi yang cakep banget.

Novel Paris: Aline ini merupakan buku ketiga karya Kak Prisca Primasari yang saya baca. Sebelumnya saya pernah membaca Heartwarming Chocolate dan Kastil Es & Air Mancur Yang Berdansa.

Kesimpulannya, novel Paris: Aline ini kuat di bagian romantisnya dan bikin saya bernostalgia dengan kejayaan Penerbit Gagas Media yang kerap menerbitkan buku-buku jatuh cinta. Ceritanya sangat enak dinikmati dan pas untuk pecinta cerita cinta-cintaan.

Sekian ulasan saya untuk novel ini, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!


September 29, 2023

Resensi Novel 23:59 - Brian Khrisna


Judul:
23:59

Penulis: Brian Khrisna

Penyunting: Juliagar R. N.

Ilustrasi isi: Dalila Arrumaisha

Sampul: ORKHA CREATIVE

Penerbit: MediaKita

Terbit: Januari 2023

Tebal: iv + 232 hlm.

ISBN: 9789797946692

Novel 23:59 ini menceritakan hubungan Ami dan Raga yang sudah terjalin dua tahunan harus kandas. Raga memutuskan hubungan mereka tanpa penjelasan dan itu membuat Ami sangat patah hati.

Perasaan Ami hancur. Dia berusaha mencari tahu alasan kenapa Raga memilih pergi tapi tidak berhasil. Selama patah hati itu tak terbilang berapa kali dia menangis, berapa kali dia berusaha mengakhiri hidup. Beruntung Ami memiliki teman-teman dan keluarga yang memperhatikan dan menjaganya agar hal buruk tidak dilakukannya.

Ami mencoba move on dengan menerima Aransyah sebagai kekasih. Tetapi selama itu pula ia tidak bisa melupakan Raga. Walau Ami masih meradang dengan hubungan masa lalunya, Aransyah bersabar untuk terus di sisi Ami dan menerima semua perlakuan Ami yang belum sepenuhnya menganggapnya ada.

Athif, sahabat Raga, tahu betul apa alasan Raga pergi dan membiarkan Ami menderita begitu. Sebagai orang luar, Athif tidak bisa mencampuri masalah di antara keduanya. Bahkan di saat Ami dan Aransyah bertunangan, Athif tidak membuka mulut meski Ami mendesaknya.

Dua hari menjelang pernikahan, Ami bertekad untuk menyudahi meratapi nasib kegagalan hubungannya dengan Raga. Foto polaroid dan gelang manik-manik sejumlah 24 membawa Ami pada momen ajaib dan di sanalah dia menemukan jawaban apa yang membuat hubungannya dengan Raga tidak berhasil.

Membaca novel ini sangat mengaduk emosi. Banyak bagian cerita yang membuat saya sedih. Tema novel ini adalah tentang patah hati dan memaafkan masa lalu. Pasti banyak banget pembaca yang akan relate dengan kisah Ami dan Raga.

Saya sendiri punya pengalaman serupa, diputuskan tanpa penjelasan. Setahun saya merasa sakit di dada dan sulit tidur. Biar bisa istirahat, saya harus minum Antimo. Awalnya satu pil, makin lama tidak berhasil, dan sampai saya harus minum empat pil agar bisa tidur. Saat itu mau minum lima pil tapi saya diingatkan oleh kenalan seorang apoteker jika itu beresiko.

Saya baru benar-benar bisa ikhlas setelah setahun berlalu dan waktu itu saya memaksakan diri menemui dia untuk mengatakan maaf jika selama dengan saya dia tidak bahagia sampai akhirnya memutuskan pergi begitu saja. Pertemuan kurang dari lima menit itu berhasil membuat saya bisa move on sampai hari ini.

Menurut saya, ketika ingin mengakhiri hubungan, please, beri closure yang tuntas. Jika ada yang harus dijelaskan, tolong beri kesempatan untuk menjelaskan. Jangan sekali-sekali membiarkan salah satu pasangan menebak-nebak ada apa, siapa yang salah, dan sebenarnya ada masalah apa. Ibaratnya begini, selama berhubungan kita pelan-pelan mengikat benang ke sepuluh jari masing-masing. Lalu saat putus, ada dua benang di dua jari yang tertinggal tidak diputuskan. Mau berapa tahun pun kejadian itu, bagi salah satu pasangan akan menjadi beban yang belum selesai. Ini yang membuat susah untuk memulai dengan orang lain karena masih ada ikatan yang belum dituntaskan.

Eh, saya malah curhat, hehe. Tapi memang betul, berada di posisi Ami itu tidak enak. 


Secara penceritaan penulis, saya suka, karena runut dan utuh sehingga rasa dan emosi ceritanya sampai ke saya sebagai pembaca. Sedikit kekurangan, di sini banyak sekali paragraf narasi yang agak panjang. Bahkan untuk adegan dramatis pun dipangkas dengan narasi saja. Sayang sekali memang, padahal bisa makin membuat nangis kejer kalau part itu dibikin adegan. Contohnya ketika Ami marah, kesal, dan mencaci maki Raga, penulis merangkum dalam narasi, tidak ada detail caci maki Ami seperti apa.

Building karakter di novel ini cukup baik, terutama tokoh Ami dan Raga. Mungkin karena keduanya tokoh utama jadi karakter mereka menonjol. Walau pun tokoh Raga baru benar-benar akan kita kenali setelah mulai ketengah buku. 

Di awal buku kita akan kenal Ami sebagai gadis yang sendu akibat patah hati. Walau dulunya dia sangat cemerlang tapi setelah diputuskan Raga, karakternya menjadi mendung. Bagian cemerlang ini yang tidak saya rasakan, tahu-tahu sudah jadi gadis yang memprihatinkan.

Sedangkan Raga akan dikenalkan di awal sebagai pemuda yang berengsek karena membuat Ami menderita. Pengecut karena pilihan sikapnya untuk menunda penjelasan kepada Ami. Saya geram sekali saat tahu begitu. Tetapi setelah membaca momen ajaib itu, saya jadi ikut bersimpati. Sebagai lelaki, kita akan memperjuangkan sesuatu yang kita sukai dengan maksimal. Tetapi ada waktunya kita berhenti karena tahu kalau dipaksakan akan menimbulkan banyak ketidakbahagiaan. Ibaratnya, keinginan hidup itu enggak melulu akan terpenuhi, dan kadang kita harus berkorban untuk hal baik yang lebih banyak.

Untuk tokoh Athif sendiri cukup menyita perhatian. Awalnya saya kira dia akan punya momen penting di masalah Ami dan Raga, tetapi ternyata peran dia memang hanya sebagai katalisator bagi kedua sahabatnya itu.

Ada bagian yang tidak digali penulis yaitu bagaimana orang tua Ami menghadapi anaknya yang patah hati. Walau ibunya Ami sering menyumpahi Raga, tapi itu belum menunjukkan sisi orang tua dalam menghadapi anaknya yang dirundung pilu. Akan lebih pilu lagi jika ada bagian yang memaparkan sama terlukanya ayah dan ibunya Ami melihat anaknya yang putus harapan karena seorang Raga.

Oya, novel ini juga tergolong bacaan dewasa dan pembaca harus terbuka dengan sesuatu yang tabu. Sebab ada pernyataan yang menjelaskan kalau Ami dan Raga melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Secara terselubung penulis menganggap hal itu bukan masalah besar. Tapi bisa jadi untuk beberapa orang bagian ini tidak sependapat.


"Aku memang menyesal karena pada akhirnya kita enggak bisa bersama seperti semua rencana kita dulu, tapi untuk satu hal itu, enggak. Aku gak menyesal." (hal.152)

Secara keseluruhan, novel ini berhasil membuat saya sedih mengikuti kisah Ami dan Raga. Dan novel ini saya rekomendasikan buat pembaca yang suka cerita romansa tapi punya kisah yang bikin pengen nangis.

Oya, jangan lupa juga mendengarkan lagu dari Andre Mastijan yang judulnya Khianatiku.


Sekian ulasan novel ini, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!