Tampilkan postingan dengan label Penerbit GagasMedia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penerbit GagasMedia. Tampilkan semua postingan

Juli 30, 2025

Novel Let Go - Windhy Puspitadewi

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]


Judul: Let Go

Penulis: Windhy Puspitadewi

Editor: Widyawati Oktavia

Desain sampul: Mira Tazkia

Penerbit: GagasMedia

Terbit: Januari 2009, cetakan pertama

Tebal: viii + 244 hlm.

ISBN: 9797803821

Tag: teenlit, sekolah, persahabatan, impian, kehilangan


Novel Let Go menceritakan murid SMA kelas X bernama Caraka Pamungkas yang terkenal bebal di tahun pertamanya. Demi membuatnya berubah, dia diharuskan membantu keberlangsungan majalah sekolah Veritas bersama Sarah, Nadya, dan Nathan. 

Perbedaan karakter membuat mereka mengalami banyak dinamika. Sarah yang rapuh, Nadya yang serba bisa, Nathan si paling pintar, dan Raka yang sering bertindak tanpa berpikir dulu, menemukan makna baru persahabatan. Rahasia dan masalah masing-masing mulai dikenali. 

Tapi takdir punya cara untuk mendewasakan mereka walau itu menyedihkan.

***



Novel Let Go tergolong novel teenlit. Anak sekolah dan masalah-masalah  yang biasa ditemui jadi perpaduan yang menarik jadi sebuah kisah. Masalah yang dihadapi belum dikategorikan berat tapi konflik yang muncul cukup membuat emosi saya naik-turun.

Sarah yang dikenal lembut dan rapuh kesulitan untuk menolak permintaan orang lain meski harus mengorbankan impiannya. Belum lagi soal berdamai dengan perasaannya yang tertolak. Nathan yang pintar dan dingin memilih menyerah dengan kesehatannya karena ia tidak punya alasan kenapa harus melanjutkan hidup setelah ibunya meninggal. Nadya yang serba bisa akhirnya kena batunya saat semua yang dia usahakan justru jadi berantakan hanya karena dia ingin dianggap hebat sehingga lupa mengukur diri dan lupa meminta tolong. Sedangkan Raka masih terikat masa lalu dan belum berdamai dengan kehilangan.

Saya suka dengan perkembangan mereka menjadi lebih bijaksana. Dan prosesnya cukup seru diikuti. Ada salah paham, ada cemburu, ada pura-pura tidak peduli, dan ada perseteruan. Dan kedewasaan mereka terasa normal, bukan berubah seperti orang dewasa ya.

Penceritaan penulis juga cukup ringan. Beberapa bagian bakal bikin gemas, beberapa bagian bikin kesal, dan di ujung cerita bakal dibikin nangis. Dan emosi yang ingin dibagikan sangat tersampaikan kepada saya.

Secara penokohan pun sangat baik. Walau pusat cerita ada di empat murid, penulis bisa menggambarkan karakternya dengan hidup bagi masing-masingnya sehingga saya bisa mengenali tokoh-tokohnya dengan baik. 

Dari novel ini saya belajar mengenai proses berdamai dengan kehilangan itu tidak mudah tetapi harus dilakukan. Yang hidup harus terus hidup, yang mati biar menyisakan kenangan terbaik. Jangan sampai kehilangan membuat kita kehilangan lebih banyak, terutama waktu.

Secara keseluruhan saya suka dengan cerita novel ini karena membawa saya ke masa SMA dengan masalah-masalahnya. Dan saya tidak menduga kalau di akhir novel ini bakal bikin menangis. Ngomongin kehilangan itu memang enggak pernah enak tapi kita harus selalu siap mengalaminya.

Saya merekomendasikan novel ini untuk pembaca muda yang ingin belajar masalah-masalah apa yang biasa muncul pas di SMA. Atau untuk pembaca yang sudah melewati masa SMA sebagai momen nostalgia, hehe.

Sekian ulasan saya untuk novel Let Go ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!

***

Kutipan-Kutipan

  • Orang yang nggak bisa menghargai dirinya sendiri, enggak akan pernah bisa menghargai orang lain (p. 98)
  • Orang yang menyukai dirinya sendiri apa adanya dan nggak pernah berusaha jadi orang lain adalah orang yang sangat keren (p. 137)


Januari 08, 2024

Resensi Novel Paris: Aline - Prisca Primasari

Dulu, Gagas Media termasuk penerbit yang kreatif dengan karyanya yang enggak ada matinya. Banyak buku bagus yang diterbitkan. Salah satu series yang terkenal adalah series Setiap Tempat Punya Cerita a.k.a STPC. Kalau mengintip di goodreads, totalnya ada enam buku. Dan novel Paris: Aline ini adalah buku pertamanya.



Judul: Paris: Aline

Penulis: Prisca Primasari

Editor: eNHa

Sampul: Jeffri Fernando

Ilustrasi isi: Diani Apsari

Penerbit: Gagas Media

Terbit: 2012, cetakan pertama

Tebal: x + 214 hlm.

ISBN: 9797805778

RINGKASAN

Aline Ofelif yang patah hati gara-gara pria yang ditaksirnya malah jadian dengan perempuan lain. Melalui pecahan porselen ia dipertemukan dengan pria yang misterius bernama Sena. Terlalu banyak tanda tanya mengenal Sena. Selain Sena, ada Kak Ezra yang lebih dulu dikenal Aline dan menunjukkan perhatian-perhatian. 

Kira-kira kepada siapa Aline akan menambatkan hatinya?

RESENSI

Menurut saya novel ini terasa manis, plus suasana romantis didukung penuh oleh lokasi cerita yaitu Paris. Saya lumayan takjub sih dengan awal mula pertemuan Aline dan Sena yang terhubung lewat pecahan porselen dan lokasi yang dipilih pun enggak biasa, monumen pemakaman. Rada ngeri-ngeri sedap ya, takut ketemu hantu, itu juga yang dialami Aline ketika menyanggupi janjiannya.

Selain itu saya juga memikirkan kira-kira Aline lebih pas berpasangan dengan Sena atau Kak Ezra. Jujur saja Kak Ezra ini sosok misterius tapi bisa diandalkan, dia bahkan menunjukkan bentuk perhatiannya dengan tindakan, bukan kata-kata saja, rela menemani Aline menunggu Sena datang dengan alasan mengamati sebuah gedung.

Yang mengganjal buat saya justru pada keputusan hati Aline yang naksir Sena padahal Sena itu menyebalkan dan seingat saya tidak banyak perhatian dan persinggungan antara keduanya. Bagaimana rasa sayang itu bisa muncul, bahkan mengalahkan perlakuan perhatian Kak Ezra yang nyata-nyata diterima Aline sejak ia tiba di Paris.

Kejadian Sena yang ditawan oleh pasangan Poussin juga membingungkan karena Sena itu bukan anak kecil harusnya dia bisa lebih tegas dengan hidupnya ketimbang memikirkan keluarga yang bukan siapa-siapanya. Istilahnya, dia lebih memikirkan kondisi keluarga orang lain dibandingkan kekhawatiran keluarganya sendiri. Dan apa yang dilakukan pasangan Poussin itu sudah tergolong kriminal, harusnya gampang dilaporkan ke polisi, tapi lagi-lagi Sena memberikan alasan yang menurut saya belum kuat kenapa dia memilih bertahan ditawan. 



Selain sisi romansa yang disajikan penulis, saya juga bersimpati dengan Sevigne Devereux, sahabat Aline, yang tengah berjuang dengan cita-citanya menjadi penulis. Kerasa banget kesulitan yang dihadapi dia, terutama mewujudkan keinginannya untuk menerbitkan karya. Selain itu, pilihan dia menjadi penulis juga dipandang sebelah mata oleh keluarganya. Tentu ini jadi pukulan keras dimana keluarga harusnya menjadi pilar pendukung utama tapi justru jadi penghambat utama. Huft!


"...Dia melihat salah satu tulisanku dan bilang semua itu tidak ada gunanya, buang-buang waktu, sampah..." (hal. 114)


Untuk sudut-sudut Kota Paris yang ditampilkan dalam cerita ini lebih variatif, tidak memilih yang ikonik banget yaitu Menara Eifel. Kita akan diajak ke Monumen Pemakaman Place de la Bastille, Museum Cluny, Beaumarchais Boulangerie, Kediaman Victor Hugo, Pemakaman Pere Lachaise, dan sudut-sudut Kota Paris lainnya yang dilewati oleh Aline atau pun tokoh lainnya. Ini memberikan wawasan baru buat pembaca soalnya beberapa novel yang mengambil setting di kota terkenal biasanya hanya menonjolkan lokasi ikonik saja tanpa mengajak berjalan-jaln lebih luas.

Gaya menulis Kak Prisca Primasari terbilang runut dan detail. Saya menikmati sekali diksi-diksi yang dirangkai penulis sehingga bisa membayangkan kelembutan, keromantisan, dan kehangatan kisah Aline dan Sena selama di Paris.

Penokohan di novel ini belum membuat saya suka dengan salah satunya. Karakter Aline Ofelif secara umum saya kutip seperti yang dituturkan oleh Sena, "Pikiran sempit, nggak percaya diri, tapi sok kuat. Melankolis tidak pada tempatnya. Suka berjibaku pada hal-hal tidak penting." Meski begitu, karakter Aeolus Sena pun tidak lebih baik dari Aline. Dia kurang tegas memilih keputusan, suka meremehkan hal-hal penting, dan kurang bertanggung jawab. Sedangkan Kak Ezra terlalu penutup dan lebih pemendam perasaan sehingga dia kena salip oleh Sena, hehe.



Kover novel Paris; Aline ini jadi template baku untuk series STPC ini. Warna dasar yang kalem dengan gambar vector di kasih judul yang bold. Dan yang paling keren, buku ini juga memberi postcard dengan ilustrasi yang cakep banget.

Novel Paris: Aline ini merupakan buku ketiga karya Kak Prisca Primasari yang saya baca. Sebelumnya saya pernah membaca Heartwarming Chocolate dan Kastil Es & Air Mancur Yang Berdansa.

Kesimpulannya, novel Paris: Aline ini kuat di bagian romantisnya dan bikin saya bernostalgia dengan kejayaan Penerbit Gagas Media yang kerap menerbitkan buku-buku jatuh cinta. Ceritanya sangat enak dinikmati dan pas untuk pecinta cerita cinta-cintaan.

Sekian ulasan saya untuk novel ini, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!


Oktober 11, 2021

[Resensi] Let It Be love - Vilda Sintadela


Judul: Let It Be Love

Penulis: Vilda Sintadela

Editor: Mita M. Supardi & Tesara Rafiantika

Penerbit: GagasMedia

Terbit: November 2015, cetakan pertama

Tebal: viii + 260 hlm.

ISBN: 9797808467

***

Ariana, seorang desainer furniture yang selalu mengandalkan dirinya sendiri atas nama kemandirian, telah lama bersembunyi dari cinta. Meski diam-diam, ia berharap, suatu hari, seseorang akan menyelamatkannya dari rasa kesepian. Mempertemukannya dengan cinta yang nyata.

Ahda, seorang seniman rupa yang tak pernah menganggap cinta benar-benar ada. Tak banyak celah dalam hatinya untuk diselusupi rasa. Meski ada kalanya logika dan hatinya seakan tak sejalan, mencoba membuka ruang untuk rasa yang tak sepenuhnya ia percayai.

Keduanya bertemu. Namun, cinta tak ubahnya sebuah seni yang mereka geluti. Yang terkadang tampak rumit, sekaligus menantang. Yang memerlukan kesabaran untuk memahami dan menyelesaikannya. Sementara, Ariana dan Ahda adalah dua orang yang telah lama tak terlalu berharap banyak pada cinta.

Lalu, akankah cinta selalu punya cara mempertemukan meski mereka berlari menjauhinya?

***

Di twitter saya sempat mengatakan kalo saya kayaknya perlu membaca buku yang ringan-ringan saja karena sedang banyak pikiran. Dan setelah menyelesaikan membaca novel Traveline Past karya Luna Torashyngu, saya melanjutkan membaca novel Let It Be Love ini.

Pilihan saya tepat. Novel ini ringan dan menghangatkan hati selama proses membacanya. Saya seperti sedang bernostalgia dengan ciri khas novel dari Penerbit GagasMedia yang heartwarming, lembut, menenangkan, dan tidak meledak-ledak.

Novel ini mengisahkan seorang Ariana, berusia 25 tahun, yang sibuk bekerja sebagai desain furnitur. Urusan cinta bagi dia ada di urutan bawah. Namun karena proyeknya, dia harus bekerjasama dengan sebuah bengkel. Disitulah Ariana bertemu dengan Ahda, pemuda tukang berbakat yang jarang bicara, kalo bicara langsung ke poinnya.

Hubungan keduanya berkembang seiring proyek yang dikerjakan. Ariana mengenal lebih dalam sosok Ahda, seorang seniman, yang baginya menyimpan keunikan dan perbedaan, jika dibandingkan dengan Damar, sosok lelaki yang dikenalkan Maya untuknya.

Dinamika hubungan mereka seru diikuti lantaran keduanya saling suka tapi enggan mengungkapkannya. Sehingga apa yang mereka rasakan harus menunggu jeda dan liku-liku sebelum akhirnya menemukan kesimpulan yang jelas. Perjalanan mereka inilah yang kadang membuat saya merasa tergelitik sendiri. Apalagi ketika babak muncul orang-orang ketiga yang membuat keduanya merasa cemburu.

Roman yang dibawa penulis bukan roman yang meledak-ledak atau ekspresif. Ini cocok bagi pembaca dewasa karena karakter dewasa pada tokoh-tokohnya sangat relate. Ahda tau menghadapi Ariana yang pemalu untuk mengungkapkan perasaannya. Begitu pun Ariana paham menghadapi sosok Ahda yang kaku. Yang membuat salut lagi, tokoh Damar dan Renggani diberikan karakter dewasa dalam menghadapi gebetan yang ternyata tidak bisa mereka miliki. 

Sehingga konflik-konflik yang muncul tidak membuat pembaca membenci salah satu tokoh yang ada. Justru kita akan diajak untuk mengiyakan cara-cara mereka menghadapi masalah percintaan yang bikin gemes ini. Kita akan bergumam sendiri, "Oh iya, memang begini harusnya."


Porsi latar tempat di novel ini cukup membangun untuk menunjang karakter tokoh sehingga meninggalkan kesan yang mendalam bagi pembaca. Bandung menjadi latar yang membangun karakter Ariana si pekerja keras. Bali menjadi latar yang membangun karakter Ahda si seniman yang dewasa, kaku, dan tenang. Sedangkan Paris menjadi transisi sejenak bagi Ahda untuk meyakinkan perasaannya kepada Ariana.

Simbolisasi karakter di novel ini juga mengesankan saya. Ariana digambarkan sebagai bunga teratai atau lotus. Sedangkan Ahda digambarkan sebagai petrichor, atau aroma lembab tanah seusai hujan turun. Simbolisasi ini diramu dengan apik kepada alur cerita sehingga memiliki peranan penting untuk kisah Ariana dan Ahda.

Kebudayaan Bali, ilmu desain, dan tempat wisata yang disisipkan penulis juga tidak kebanyakan. Sangat cukup menjadi wawasan baru bagi pembaca sekaligus menjadi ornamen penting dan berwarna untuk merajut kisah tokoh utama. Saya cukup menikmati pengetahuan baru yang dibawa penulis dalam novelnya ini.

Keseruan dan kehangatan yang ditularkan novel ini membuat saya berani memberikan nilai 4 bintang dari 5 bintang. Karakter Ariana dan Ahda jadi kandidat pasangan romantis karakter novel.

Terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku ya!

September 05, 2021

[Resensi] Satu Kisah Yang Tak Terucap - Guntur Alam



Judul: Satu Kisah Yang Tak Terucap

Penulis: Guntur Alam

Editor: Idha Umamah

Penerbit: GagasMedia

Terbit: Februari 2016, cetakan pertama

Tebal: x + 242 hlm.

ISBN: 9797808556

***

Jika aku berbagi rahasia paling rahasia, bisakah kau memastikan hatimu akan tetap miliku?

Laki-laki itu tampak asing di mata Ratna, tetapi tak sulit jatuh cinta kembali kepadanya. Dialah yang menuliskan nama mereka di pohon cinta yang melegenda di Pulau Kemaro. Tempat yang mengabadikan kisah cinta Putri Fatimah dan Pangeran Tan Bu An.

Pulau di timur Kota Palembang itu pulalah yang menjadi saksi kisah Ratna dan Lee, belasan tahun silam. Dulu maupun sekarang, binar itu masih sama. Namun, sebuah cemas bersarang dan Ratna tak kuasa mengusirnya.

Mungkin saja semua masih bisa sama saat hanya jarak yang memisahkan mereka. Hanya saja, sejauh mana kau bisa bertahan dalam sebuah rahasia dari orang yang kau cinta?

Ratna dan Lee. Bagaimana jika kisah mereka seperti legenda Putri Melayu dan Pangeran Negeri Tionghoa di Pulau Kemaro? Bahwa cinta sejati tak selamanya berakhir bahagia...

***

Ini adalah novel series Indonesiana kedua dari penerbit GagasMedia yang akhirnya bisa saya selesaikan setelah beberapa lama menjadi timbunan. Kalau bisa teriak, kayaknya timbunan bakal merengek, "Pembacaku yang baik, please, bacalah daku!" Mengabaikan pengandaian rengekan buku-buku di rak, saya masih merasakan kekentalan tema budaya di novel ini, meski dalam karya Guntur Alam ini kita akan diajak mendekat ke kebudayaan warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Palembang.

Novel Satu Kisah Yang Tak Terucap ini mengisahkan pasangan Ratna dan Lee, teman-tetangga-masa kecil, yang kembali bertemu setelah 15 tahun berpisah. Ratna tetap di Palembang, sedangkan Lee pindah sekeluarga ke Jakarta. Lee kembali karena mengikuti permintaan Omanya yang merencanakan perjodohan dirinya dengan Ratna. Lee merasa ini hal baik yang patut dicoba setelah tiga tahun lamanya dia merasa kecewa atas insiden pacarnya selingkuh dengan perempuan lain.

Namun ketika Lee bertemu dengan Ratna, dia mendapati Ratna bukan sosok yang dulu dia kenal. Ratna lebih pendiam dan sering kesal kepadanya. Lee tidak tahu kalau Ratna sama merindukannya namun ada satu rahasia yang belum pernah dia ungkap kepada siapa pun.

Isu-Isu Yang Mewarnai

Pada novel Satu Kisah Yang Tak Terucap ini ada beberapa isu yang disinggung penulis walaupun kadarnya tidak banyak. Pertama, mengenai diskriminatif terhadap keturunan Tionghoa pada masa orde baru. Sampai-sampai bagi mereka, nama china harus diganti dengan nama indonesia, percakapan pun dilarang menggunakan bahasa ibu, perayaan agama mereka pun tidak boleh dilakukan terang-terangan sehingga mereka merayakan Imlek secara sembunyi-sembunyi.

Kedua, dipaparkan pula legenda Pangeran Tan Bun An yang hendak meminang Putri Fatimah, putri Raja Sriwijaya. Syarat pinangan itu, Pangeran Tan Bun An harus menyerahkan maskawin pernikahan sebesar sembilan guci emas. Orang tua Pangeran Tan Bun An tidak dapat hadir tapi mereka mengirimkan sembilan guci yang saat dibuka berisi sawi busuk. Pangeran kecewa lalu dengan kesal dia melemparkan guci-guci tersebut ke Sungai Musi. Pada saat di guci terakhir, kakinya tersandung dan guci pecah memperlihatkan emas batangan. Pangeran tidak paham kalo sawi busuk dalam guci digunakan untuk mengelabui perompak agar emas-emas itu aman.

Dengan perasaan sedih, pangeran melompat ke dalam sungai bermaksud mengambil kembali guci-guci berisi emas tadi. Tetapi pangeran tidak juga muncul. Tersiarlah kabar kalau pengeran tenggelam di sungai ke telinga Putri Fatimah. Tanpa berpikir panjang, Putri Fatimah bergegas ke sungai dan dia pun berucap, "Bila kelak ada tanah kering muncul di tengah Sungai Musi, itulah makamku dan makam Tan Bun An." Putri menceburkan diri ke sungai dan tidak pernah kembali. 

Inilah legenda di balik keberadaan Pulau Kemaro. Nama 'Kemaro' sendiri dalam bahasa Melayu Palembang berarti kemarau.

Ketiga, orientasi seksual lesbi dan gay. Orientasi lesbi dibahas ketika pada satu hari Lee yang kembali ke apartement pacarnya, Michel, justru mendapati pacarnya itu tengah memadu kasih dengan seorang perempuan, Luna. Dari insiden ini, Lee sangat kecewa terhadap pacarnya yang sudah empat tahun menemaninya. Lalu orientasi gay dituturkan ketika Lee lulus SMA dan diajak oleh Jounatan ke kelab, mereka sampai melakukan hal terlarang itu. Kegiatan seksual (lesbi dan gay) dalam novel ini masih terbilang aman karena disinggung sangat sedikit, bisa dibilang sebagai bumbu saja. Bahkan kejadian Lee dan Jou itu lumayan mengagetkan saya karena tidak dibahas sedikit pun pengalaman ini. Tau-tau menjelang akhir cerita, penulis memaparkan hal ini.

Keempat, kekerasan seksual. Ini isu yang sudah saya duga akan muncul ketika penulis terus mengulur keputusan Ratna untuk menerima Lee. Padahal keduanya sudah secara terang-terangan saling menyukai, namun gara-gara rahasia ini keduanya tidak kunjung menemukan titik temu. Mereka justru lebih banyak bertengkar karena banyak berprasangka.

Yang mengecewakan saya, kekerasan seksual yang dialami Ratna sangat tidak jelas. Setelah penulis mengulur dari awal sampai menjelang cerita, begitu adegan Ratna mengungkapkan apa yang terjadi dan apa rahasianya, penulis tidak memuat dengan detail cerita sebenarnya. Bahkan tidak dibahas apa yang terjadi, kapan kejadiannya, dan siapa pelakunya.

"Siapa dia, Na? Siapa?" Tangis Ratna masih keras. Dia terguncang. (hal. 218)

Penulis lebih fokus menyimpan itu sebagai rahasia besar Ratna. Dan lebih mengherankan lagi, apa yang dialami Ratna tidak diketahui keluarganya. Ratna berubah sejak itu, tapi saya tidak bisa habis pikir kekuatan mental seperti apa yang dimiliki Ratna kok bisa begitu kuat menghadapi kejadian buruk itu.

Cinta Segitiga Lagi

Seperti novel Pertanyaan Kepada Kenangan karya Faisal Oddang, pada novel ini pun kembali diangkat kisah roman cinta segitiga. Ada Lee, Ratna, dan Samuel. Tokoh ketiga ini muncul sekitar pertengahan buku, untuk memberi konflik cemburu bagi Lee yang tidak ada kemajuan dengan Ratna.

Dari ketiga tokoh yang bermain rasa cinta, saya tidak terkesan oleh salah satunya. Lee termasuk pria berkarakter menawan. Dia setia dan perhatian. Namun, dia sesekali suka berpikir pendek untuk membuat keputusan sehingga jika keadaan mendukung dia akan melewatkan banyak kesempatan asmaranya. Misal, ketika Ratna mengaku tidak setuju dengan perjodohan, Lee hampir bergegas kembali ke Jakarta. Atau ketika Ratna sudah mengungkapkan rahasianya, Lee menjauh dan dia pun sempat berpikir kembali ke Jakarta.

Tokoh Ratna yang mengalami trauma akibat kekerasan seksual tidak membuat saya simpati. Sebab narasi yang dibuat penulis membentuk Ratna ini sudah dalam kondisi stabil. Dia menolak Lee, tapi gestur dan harapannya menginginkan Lee. Dan ketidakjelasan ini tidak dinarasikan dengan kejadian kekerasan seksual. 

Sedangkan tokoh Samuel merupakan tokoh paling utuh, saya rasa. Sebab alasan dia mengejar dan memperhatikan Ratna cukup beralasan. Dia juga cukup baik merespon reaksi Ratna ketika terang-terangan menginginkan Ratna.

Oya, di novel ini kita akan dibawa ke masa sekolah mereka. Alur yang disajikan penulis berupa alur maju-mundur. Masa lalu dibahas untuk menegaskan seberapa dekat hubungan Lee dan Ratna sehingga ketika mereka bertemu kembali, pembaca akan merasakan kontrasnya. Sedangkan masa lalu Ratna dan Samuel untuk mengungkapkan siapa sosok yang dekat dengan Ratna setelah Lee pindah ke Jakarta.

Apakah Novel Satu Kisah Yang Tak Terucap ini menarik?

Bagi saya, selama ada nilai kebudayaan, itu menjadi wawasan menarik. Kisah romannya tidak memang mengesankan, tapi latar ceritanya (budaya, tradisi, sejarah) cukup menutupi kekurangan itu. Dan judul novel Satu Kisah Yang Tak Terucap ini belum cukup memuaskan saya untuk memahami 'satu kisah' yang dimaksud oleh penulis. 

Nah, jika saya nilai secara pribadi novel Satu Kisah Yang Tak Terucap ini, maka saya akan beri nilai 3 bintang dari 5 bintang.

September 02, 2021

[Resensi] Pertanyaan Kepada Kenangan - Faisal Oddang



Judul: Pertanyaan Kepada Kenangan

Penulis: Faisal Oddang

Editor: Jia Effendi & Tesara Rafiantika

Penerbit: GagasMedia

Terbit: Januari 2016, cetakan pertama

Tebal buku: xii + 188 hlm.

ISBN: 979780853X

***

Di Makasar, dan barangkali di tempat kau sekarang membaca kisah ini; kenangan sering kali datang bukan pada waktu dan tempat yang tepat. Rinailah Rindu, perempuan Jawa itu memandang Pantai Losari sekali lagi. Mengenang rencana pernikahannya yang karam tiga tahun silam. Namun, bukan kehilangan itu yang ia sesali, melainkan mengapa dia kembali? Tanya itulah yang menuntut jawaban pada kisah yang seharusnya telah usai.

Kehilangan telah mebuat Rinai mengerti bahwa manusia tidak pernah memiliki apa pun, bahkan perasaannya sendiri. Ia bersetuju dengan keadaan, bahwa Wanua, laki-l;aki Bugis itulah harapan baru baginya. Lamba, bangsawan Toraja yang pernah mematahkan hatinya, hanya perlu berakhir sebagai kenangan.

Sayangnya, terkadang hati dan ingatan tak selalu sejalan. Rinai tak ingin terluka lagi, tetapi kali ini, apakah takdir akan berbaik hati pada cinta juga kebahagiannya?

***

Dalam series Indonesiana, penerbit GagasMedia mengabarkan kepada pembaca kisah yang dibalut kental kebudayaan. Tujuannya agar kisah yang disajikan kepada pembaca bukan melulu kisah roman semata yang disisipkan konflik ala-ala sinetron. Bisa jadi series Indonesiana ini adalah bentuk komitmen penerbit bersikap nasionalis dengan kembali mengangkat tema budaya kepada masyarakat.

Novel Pertanyaan Kepada Kenangan merupakan salah satu judul dalam series Indonesiana, yang ditulis oleh penulis novel Puya ke Puya, Fasial Oddang. Novel Puya ke Puya sendiri begitu saya puji karena memiliki cerita menarik. Kesamaan dua novel ini menyinggung budaya yang ada di Tana Toraja, Rambu Solo, menyemayamkan orang meninggal agar rohnya naik ke Puya, surga. Ritual ini merupakan ritual paling mahal karena bisa menghabiskan uang ratusan juta, bahkan milyar.

Kegagalan Pernikahan Karena Beda Budaya

Konflik pertama yang diberikan penulis ke pembaca berupa kandasnya hubungan Rinai dan Lamba karena adat yang berbeda. Proposal pernikahan yang diajukan Lamba kepada mamanya, ditentang lantaran ritual Rambu Solo kematian papanya belum digelar. Tidak boleh ada perayaan kebahagian sebelum selesai perayaan kedukaan. Dan bagi keluarga Lamba, pantang menentang adat.

Rinai nelangsa. Selain gagal menikah, pertemanan dia dengan dua orang, Lamba dan Manua, berubah.  Karena diketahui kemudian kalau Manua selama ini menyimpan perasaan suka kepada Rinai. Kedekatan bak keluarga, berubah jadi dingin dan membuat mereka asing satu sama lain.

Cinta Segitiga Anak Manusia

Dalam catatan awal, Faisal menganggap proyek novel Pertanyaan Kepada Kenangan ini seperti proyek istirahat setelah ia menyiapkan novel Puya ke Puya yang menurutnya lebih rumit. Tema roman menjadi pilihan yang menyenangkan baginya dan Faisal memilih konflik cinta segitiga.

Bentuk cinta segitiga sudah menjadi bahan novel yang banyak diangkat oleh penulis lain, namun dasarnya tema roman tidak ada matinya, yang ditunggu oleh pembaca tentu saja bagaimana penulis mengeksekusi konflik cinta segitiga ini. 

Dan menurut saya, akhir kisah Rinai - Lamba - Wanua ini belum begitu jelas arahnya. Saya sampai bingung, ini si Rinai jadinya pilih siapa?


Di dalam saku kemejaku, kotak berwarna gusi pemberian Lamba barangkali telah menunggu jawaban pula. Kotak itu belum kubuka sejak kami pulang dari Bukit Sion. Isinya utuh. Di dalam dadaku, cinta buat Wanua juga belum ada yang membukanya. Isinya utuh. (hal. 185)

Toraja, Makasar, dan Kekayaannya

Kebudayaan Toraja dan Makasar digali sangat mendalam oleh penulis. Termasuk tempat wisata, sejarah kota, dan kesenian, diracik menjadi bumbu cerita yang makin menguatkan konflik antara tokoh-tokoh yang ada, dan itu bukan sekadar tempelan biar ada tema budaya. Misalnya: Rambu Solo, Kete Kesu, Pantai Losari, Tongkonan, Tau-Tau, Fort Roterdam, dan masih banyak lainnya.

Tau-tau (replika mayat) - sumber gambar dari filckr.com

Menurut saya penulis berhasil menjadikan kebudayaan menjadi pelengkap dalam ceritanya. Bahkan pada akhirnya kebudayaan menjadi titik awal kenapa muncul konflik perasaan antara ketiga tokoh utamanya.

Kenalan dengan Tokoh-Tokohnya

Jujur saja, saya merasa tokoh yang paling menonjol adalah tokoh Rinai. Perempuan yang tengah dilema memilih antara Lamba atau Wanua. Karakternya, dia bisa memikirkan matang sebelum memutuskan, dia gampang gamang dan pasti butuh waktu agak lama sampai dia yakin, dan yang paling mengganggu ketika cerita akan diakhiri, Riani ini seolah-olah menjadi perempuan yang jinak-jinak merpati. Saat itu dia sudah dihadapkan harus memilih, tapi entah kenapa Rinai mengulur sedemikian rupa. 

Tokoh Lamba dan Wanua tidak meninggalkan kesan buat saya. Mereka ada untuk menjadi lawan konflik Rinai, dan penulis hanya membuat dua karakter ini mempunyai perbedaan, kayak siang dan malam. Wanua dibentuk sebagai pemuda yang berprofesi wartawan, berambut gondrong, dan lebih urakan. Sedangkan Lamba jadi sosok pengusaha muda, klimis, dan anak penurut.

Tidak ada pendalaman karakter untuk Lamba dan Wanua. Adanya mereka hanya untuk mengikuti alur cerita yang dibuat maju-mundur. Maju - mengetengahkan proses Rinai berkompromi dengan perasaannya ketika dua sahabat dekatnya menginginkan hubungan lebih dari sahabat. Mundur - menyibak awal mula mereka (Rinai - Lamba - Wanua) bertemu, kedekatan persahabatan, bahkan menjabarkan kronologis awal mula adanya perang dingin.

Apakah novel Pertanyaan Kepada Kenangan menarik?

Bagi saya, ini novel ringan yang berisi. Roman dikawinkan dengan kebudayaan. Pembaca akan dapat dramanya, akan dapat juga wawasannya. Setelah membaca novel ini, kita akan sadar ternyata banyak PR bagi kita sebagai warga Indonesia untuk mengenal negeri sendiri yang luasnya dari Sabang sampai Merauke, dengan memiliki kebudayaan yang beraneka ragam.

Jika saya harus memberikan nilai, saya berikan 3 bintang dari 5 bintang.

Demikian ulasan kali ini, terakhir dari saya, jaga terus kesehatan dan tetap membaca buku!

***

Catatan: 

  • Dua kali kehilangan orang yang sama, jauh lebih menyakitkan daripada memiliki orang yang salah lebih dari sekali. - 8
  • Cinta tidak pernah menyalahkan siapa pun dan apa pun, tetapi manusia selalu saja menyalahkan banyak hal atas nama cinta. - 32

Januari 12, 2021

[EBook] Happily Ever After - Winna Efendi

 



Judul: Happily Ever After

Penulis: Winna Efendi

Editor: Jia Effendi

Penerbit: GagasMedia

Terbit: 2016, cetakan kelima

Tebal: x + 358 hlm.

ISBN: 9787807702

    Novel ini menceritakan tentang kehidupan Lulu yang didera masalah keluarga dan persahabatan di usia SMA-nya. Kehidupan bahagia Lulu berubah ketika sahabat dekatnya, Karin, menjadi pacar Ezra, yang pada saat itu berstatus pacar. Otomatis hubungan Lulu dan Ezra berakhir. Sejak itu Lulu kehilangan sahabat dan pacar. Selain itu Lulu dibuat kaget sekaligus sedih ketika ayahnya didiagnosa mengidap kanker stadium akhir. Hari-harinya yang diisi dengan dongeng-dongeng, seketika berubah menjadi kesedihan, ketakutan, kekesalan, bahkan kebingungan. Dan Lulu mulai mengerti jika dalam kehidupan ada kalanya menemukan akhir yang tidak bahagia.

    Secara garis besar novel ini menggali perasaan anak yang menghadapi orang tua yang mengidap penyakit serius, yaitu kanker. Penulis berhasil menggambarkan perubahan keseharian keluarga Lulu yang awalnya begitu harmonis, penuh canda tawa dan petualangan, secara tiba-tiba dilingkupi ketakutan kehilangan dan kesedihan yang luar biasa. Dan menariknya penyakit kanker yang dibahas di novel ini bukan sekadar tempelan semata untuk membuat kisahnya tragis. Penulis justru mengenalkan kanker ini lebih banyak, termasuk pendiagnosaan, proses pengobatan, dan bahkan efek-efek yang dialami oleh pengidapnya.

    Penyakit kanker sebenarnya salah satu penyakit serius yang kerap dipakai penulis di beberapa cerita roman, tetapi keunggulan novel ini justru memperlihatkan bagaimana perubahan dalam keluarga jika ada salah satu anggota yang mengidap penyakit ini. Sehingga pembaca dibuat hanyut oleh perubahan situasi di dalam keluarga yang mau tidak mau harus menyesuaikan dengan prioritas yang berubah. Misalnya Lulu harus menemani ayahnya berkunjung ke rumah sakit sementara ibunya mengganti posisi ayah mengurus usaha. Kolaborasi yang harus dijalankan mereka karena bisa dikatakan salah satu kaki dalam keluarga sedang rusak, sementara keluarga harus tetap prima.

    Membaca tuntas novel ini membuat saya ingat dengan novel Winna Efendi lainnya yang pernah saya baca, Refrain. Pada kedua novel ini terlihat jika penulis mempunyai gaya bercerita yang detail dan romantis. Namun kalau harus jujur, saya sedikit terganggu dengan gaya bercerita yang terlalu detail karena di novel ini disebut banyak hal, banyak keadaan, banyak penekanan yang terkesan diulang-ulang. Misalnya penggambaran kedekatan Lulu dan Karin yang disebut di banyak halaman, padahal pembaca sudah sangat paham kedekatan persahabatan mereka sebelum akhirnya berseteru. Atau ketika penulis mengulang-ulang kedekatan Lulu dan ayahnya terhadap kebiasaan membaca buku cerita atau dongeng. Yang akhirnya membuat saya harus men-skip beberapa paragraf yang sudah diindikasi merupakan pengulangan.

    Ada yang membuat saya kurang greget ketika membaca novel ini yaitu ketika saya sudah mengikuti perjalanan Lulu menemani ayahnya berjuang melawan penyakitnya yang terasa melelahkan, harus ditutup dengan kepergian yang tidak dramatis sama sekali. Proses Lulu menghadapi kepergian ayahnya tidak menimbulkan simpati saya sebab pada bagian ini terasa dibuat sangat singkat. Cerita secara terburu-buru bergulir pindah pada urusan Lulu dan Elliot. Wait! Siapa Eli?

    Menurut saya inti cerita novel ini adalah bagaimana menghadapi kehilangan orang yang kita sayangi, terlebih adalah orang tua. Namun proses move on-nya dieksekusi penulis dengan mudah saja. Padahal saya membayangkan kesedihannya sama dengan ketika menonton video klip dari lagu Bidadari Surga yang dibawakan Siti Nurhaliza. Persamaannya adalah sama-sama ditinggal pergi seorang ayah.

    Kalau ngomongin tokoh-tokoh di novel ini, saya tidak bisa memilih mana yang jadi favorit. Baik Lulu atau pun Eli, keduanya tidak meninggalkan kesan. Tidak juga dengan Karin atau Ezra. Alasannya, tidak ada ada tokoh yang menginspirasi, mungkin karena karakter yang dipakaikan ke tokoh-tokohnya terlalu biasa. Lulu: gadis SMA yang tidak populer dan sampai cerita berakhir tetap tidak berkembang, melankolis dan introvert. Elliot: Penyuka fotografi. Bahkan saya tidak tahu seramah dan semenarik apa Eli yang membuat dia tampak akrab dengan banyak orang di rumah sakit. Karin: tokoh protagonis yang dibentuk oleh keadaan. Ezra: mantan pacar Lulu yang punya style musisi tapi tidak cukup banyak penggambaran sosoknya bergelut di musik.

    Kalau membaca ulasan tokoh di atas, saya tampaknya tidak puas dengan karakter yang dipakaikan penulis untuk tokohnya. Saya selalu mengukur 'tokoh yang menarik itu yang membuka mindset baru' daripada jalan pikiran orang pada umumnya. Jadi, di atas itu merupakan penilaian personal saya, jika berbeda, itu hal biasa.

    Lalu, hikmah yang bisa diambil dari cerita Happily Ever After ini adalah untuk menghargai waktu dan kesempatan. Selagi sehat, pergunakan sehatnya untuk hal-hal baik dan menyenangkan. Sebab waktu yang sudah berlalu, nggak bisa diminta balik.

    Terakhir dari ulasan saya, jaga kesehatan dan terus membaca buku!



Januari 08, 2021

[Resensi] My Other Half - Cyndi Dianing Ratri


Judul:
My Other Half

Penulis: Cyndi Dianing Ratri

Editor: Tesara Rafiantika

Penerbit: GagasMedia

Terbit: 2016, cetakan pertama

Tebal: viii + 168 hlm.

ISBN: 9787808599

Novel ini menceritakan kesedihan Adinda yang secara mendadak mendapatkan kabar kalau saudara kembarnya, Aninda, meninggal karena penyakit kanker. Kemarahannya melebar menyinggung banyak kesedihan di masa lalu, dimana kehidupannya berubah total sejak keputusan orang tuanya untuk bercerai. Sejak perceraian itu, Adinda diasuh ayahnya, sedangkan Aninda diasuh ibunya. Mereka yang saudara kembar dipisahkan, dan berakhir pada titik perpisahan yang tidak akan ada kesempatan lain untuk bertemu kembali.

Secara keseluruhan, cerita novel ini dapat diikuti dengan lancar. Di beberapa bagian, penulis bisa membuat saya hanyut dalam kisah sedih yang dialami dan dirasakan Adinda. Apalagi jika sudah menyangkut perpisahan yang rasanya bagi siapa pun tidak adil untuk diterima, apalagi untuk dipahami. Mungkin juga karena tema besar novel ini adalah keluarga, sehingga bagi saya sendiri sangat mudah menerima kisah si kembar yang harus dipisah kematian.

Novel ini juga punya suasana suram. Sejak awal pembaca diajak untuk menyelami perasaan Adinda yang tidak sempat mengucapkan perpisahan kepada saudara kembarnya. Dan sampai akhir cerita, aura suram itu tetap melekat. Penulis yang mencoba menghadirkan keceriaan di ujung kisahnya, tetap tidak berhasil mengusir rasa sedih yang dari awal sudah dibangun. 

Apakah kemudian kisah di novel ini menjemukan?

Menurut saya tidak, sebab fondasi dari novel ini berangkat dari rasa sedih itu. Penulis seperti sedang menggali perasaan manusia pada umumnya ketika dihadapkan pada perpisahan. Bagaimana kita bisa menerima kenyataan atas kepergian seseorang yang kita sayangi. Bagaimana kita bisa menerima jika di balik perpisahan ada hikmah yang bisa diambil. Bagaimana kita bisa kembali melanjutkan hidup pasca terpuruk dipaksa perpisahan. Novel ini memang menekankan tentang move on dari kesedihan.

Rajutan kisah si kembar ini dikemas dengan plot campuran, maju dan mundur. Plot maju lebih mengeksplorasi Adinda menerima kenyataan, sedangkan plot mundurnya berfokus pada penjelasan kejadian masa lalu yang membuat Adinda sebegitu sedihnya. Yang menarik lagi, flashback di novel ini diceritakan melalui bagian tulisan diary yang ditulis Aninda, dibaca Adinda. Sehingga pembaca bisa paham perasaan yang dirasakan baik Anin atau Dinda.

Hal lain yang menjadi catatan saya adalah gaya bercerita penulis yang menurut saya masih kurang lues untuk menyajikan cerita dengan karakter dewasa. Pada awalnya saya kira si kembar ini berusia remaja. Tetapi tak lama kemudian saya mendapati fakta kalau Adinda dan Aninda ini sudah bekerja, mereka bukan anak sekolah. Saya mendapatkan kesan mereka masih sekolah karena gaya bahasa yang begitu rapi dan santun, ditambah minim sekali informasi dunia kerja pada karakter di novel ini. Hampir keseluruhan novel ini diisi penjelasan tentang kesedihan dan keadaan keluarga di sekitar si tokoh.

Pelajaran yang kemudian bisa diambil setelah membaca tuntas novel ini adalah keluarga merupakan harta paling berharga, tempat kita kembali pulang setelah mengalami banyak prahara di luar rumah. Jadi, berusahalah terus menciptakan keharmonisan di tengah keluarga, sebab keluarga yang kondusif akan membentuk kepribadian yang baik untuk anggota keluarga.

***

Alhamdulillah, saya kembali belajar menulis resensi lagi, walau saya akui masih sangat kaku dan masih sangat bertele-tele. Semoga ini langkah awal untuk memulai mengaktifkan kembali blog buku ini.

Terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!




Februari 27, 2018

[Resensi] Ubur-Ubur Lembur - Raditya Dika


Judul: Ubur-Ubur Lembur
Penulis: Raditya Dika
Editor: Windy Ariestanty
Penerbit: GagasMedia
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal buku: viii + 232 halaman
ISBN: 9789797809157
Harga: Rp66.000 

Ada yang tidak tahu sosok Raditya Dika? Keterlaluan. Saya jelaskan sedikit, beliau ini cowok tulen bertubuh pendek (katanya sering diejek demikian) tapi dia multitalenta. Seperti pandangannya tentang profesi yang ia geluti dan ia tuturkan di bab Ubur-Ubur Lembur, Raditya Dika berangkat dari seorang blogger di blog kambingjantan.com dan tidak mau berhenti sampai di situ. Seperti profesi formal lainnya ada istilahnya naik jabatan. Namun, menjadi blogger tidak ada istilah naik jabatan. Sifatnya bukan vertikal, dan Dika sadar jika blogger hanya punya jalan mengembangkan karier secara horizontal, seperti menjadi penulis buku, penulis naskah, sutradara atas naskahnya, dan paling berani menjadi bintang film untuk naskah yang ditulis dan dia sutradarai (terkesan rakus, memang).

Perkenalan saya dengan buku Dika dimulai tahun 2015 dengan membaca dua buku sekaligus; Marmut Merah Jambu dan Koala Kumal (saya sempat meresensi di blog lama: bukuguebaca.blogspot.com). Lalu, buku terbarunya tahun 2018 ini berjudul Ubur-Ubur Lembur pun saya lahap karena saya tahu bagaimana kocak dan serunya kisah-kisah yang disajikan Dika. Masih dengan konsep sama, memadukan komedi dan kisah pribadi, Dika mencoba memberikan hiburan untuk pembacanya. Apakah kisah pribadinya penting? Pertanyaan yang seharusnya tidak ditanyakan jika kalian membaca Prakata terlebih dahulu. Dika mendapatkan pencerahan ketika bertemu komedian Australia saat ia menghadiri Ubud Writters & Readers Festival di Bali, “Gue baru sadar, dengan membicarakan hal yang penting, gue bisa kembali menulis dengan lancar karena gue merasa apa yang gue tulis ini harus dibaca oleh orang banyak.” Intinya, siapa pun engkau saat ini, jika menganggap dirimu sama pentingnya, apa yang kau lakukan akan menjadi penting, di luar dari penilaian orang lain. Nilai penting ini yang kemudian bakal menggerakkan kita melakukan lebih banyak dari yang bisa kita lakukan.

Di Ubur-Ubur Lembur, Dika menghidangkan 14 kisah pribadi dengan rasa yang beraneka. Saya pilihkan tiga terbaik dan berkesan versi saya; Di Bawah Mendung Yang Sama, Tempat Shooting Horor, dan Ubur-Ubur Lembur. Apakah yang lainnya tidak menarik? Bukan, melainkan bakal jadi panjang ceritanya di ulasan kali ini. Kalian siap baca ulasan yang panjang banget lebih dari ini?

Kisah bertajuk Di Bawah Mendung Yang Sama memiliki rasa cerita yang mengharu dan condong ke sedih. Dika menceritakan sahabat India-nya (Avirbhav ‘Kathu’) yang tinggal di dekat rumah. Sahabatan sejak kecil yang pertemuannya disaksikan hujan, berpisah ketika kelulusan SD dengan drama di bianglala Dufan, lalu setelah mereka dewasa akhirnya ketemu kembali di Jakarta. Pertemuan kedua kali ini punya cerita bagi keduanya, mengingat keduanya sama-sama sudah dewasa yang dalam obrolan dan reaksi pun bukan sekadar ‘main-main’. Kata ‘brother’ yang berarti saudara tidak sebatas kata yang lancar dilafalkan, melainkan Dika tunjukkan dengan menjadi sahabat terbaik dalam menerima Kathu kembali di Indonesia. Banyak cara yang dilakukannya untuk membuktikan itu semua. Sampai pada akhirnya Kathu harus kembali ke India, ikatan perasaan mereka bukan lagi seperti pertemanan antara orang Indonesia dan orang India, melainkan sudah berubah menjadi ikatan keluarga. Perpisahan kali ini pun sama beratnya bagi keduanya namun kehidupan masing-masing harus terus melaju, dan lagi-lagi disaksikan hujan.


Lalu, saya merasa ikut merasa takut tatkala membaca pengalaman Dika melakukan syuting untuk film Hangout (tahun 2017). Dia yang pada awalnya tidak percaya hal mistis (semua ada penjelasan logisnya) meski beberapa kali diceritakan kejadian janggal yang dialami kru lain selama syuting (pada bagian ini terkesan si Dika ini sombong banget sama hantunya), akhirnya dia kena tulah sendiri, digangguin mahluk tak kasat mata. Dan sewaktu berakhir Dika benar-benar melihat sosok anak kecil berwarna putih di semak-semak, saya malah pengen teriak, “Syukurin Lu!!!!”

Lain juga suasana kisah yang diberi tajuk Ubur-Ubur Lembur. Pada bagian ini pembahasan menjadi serius dan intim. Lho? Sebab Dika seakan curhat mengenai kehidupan dewasanya terkait karir yang digeluti. Dika ternyata lulus jurusan finance di Adelaide University dan sempat bekerja di perusahan media. Dia juga pengalaman ‘telak’ sewaktu menjadi orang baru di tempat kerja, dan pengalaman ini menyadarkan tentang makna bekerja di-bos-in orang. Dika pun memutuskan untuk membukukan tulisan di blognya dan karyanya itu dipinang penerbit GagasMedia.

“Gue melihat orang yang bekerja kantoran tapi nggak sesuai dengan minat mereka itu seperti seekor ubur-ubur lembur. Lemah, lunglai, hanya hidup mengikuti arus. Lembur sampai malam, tapi nggak bahagia. Nggak menemukan sesuatu yang membuat hidup mereka punya arti.” (hal. 226)

Ubur-Ubur Lembur menjadi catatan Dika yang pembahasannya lebih dewasa. Dari kacamata dia, hal yang terjadi dan ia alami punya makna dan hikmah. Saya akhirnya menyimpulkan (entah salah atau benar) jika pikiran anak-anak penuh kemurnian dan kepolosan, sedangkan pikiran dewasa penuh keluasan dan kebijaksanaan (seharusnya begitu). Dengan menuliskan sama saja mengingat kembali, dan dengan mengingat kembali kita seperti membaca ilmu dari ingatan kita. Wajarlah jika kita banyak merenung maka kebijaksanaan kita pun bertambah (semoga).

Saya termasuk pembaca yang belum tahu alasan Dika memilih judul buku-bukunya dengan kata jenis hewan. Sebut saja Kambing Jantan, Cinta Brontosaurus, Babi Ngesot, Marmut Merah Jambu, Manusia Setengah Salmon, Koala Kumal, dan buku terbarunya Ubur-Ubur Lembur. Apakah karena unyu? Atau karena ia penyukai binatang? Ada yang tahu alasannya?


Sejauh saya membaca buku Ubur-Ubur Lembur, saya kagum sama sosok Dika. Terlepas dari multitalenta yang dimiliki dan ia kembangkan hingga pantaslah dirinya digolongkan sebagai orang sukses dengan kehidupan dan pilihannya, saya mengakui jika Dika juga manusia biasa yang punya pengalaman beragam, susah-senang, bahagia-kecewa, berharap-tak terpenuhi, mencintai-jarang dicintai (uhk!). Namun, sebagai manusia biasa, Dika sudah membuktikan dirinya bisa menjadi gemilang berkat kerja keras. Lalu, saat ini mari kita pun berkaca, kita sama seperti manusia lainnya, dan bukan tidak mungkin kita pun bisa menggapai bintang yang kita mau.

Akhirnya, saya memberikan nilai 4/5 untuk buku yang bikin pembaca merasakan campur-aduk perasaan.

Oktober 21, 2016

[Resensi] Kastil Es & Air Mancur Yang Berdansa - Prisca Primasari

Judul buku: Kastil Es & Air Mancur Yang Berdansa
Penulis: Prisca Primasari
Editor: eNHa
Proofreader: Gita Romadhona
Penata letak: Wahyu Suwarni
Desain sampul: Dwi Annisa Anindhika
Penerbit: GagasMedia
Cetakan: Pertama, 2012
Tebal buku: viii + 292 halaman
ISBN: 9797805891
Harga: Rp45.000 

Seorang perempuan 28 tahun bernama Florence, kabur dari rumah karena akan dijodohkan oleh orang tuanya dengan sorang pria yang belum dia temui. Tujuannya meninggalkan Paris menuju Honflour. Selama lari tasnya rusak. Dan setelah naik kereta, seorang pemuda ijin duduk di sebelahnya. Florence mengintip tas kertas si pemuda yang berisi tas. Setelah basa-basi, tas itu pun diberikan kepada Florence dengan sedikit rasa tidak enak sebab ia tahu tas itu akan diberikan kepada seorang wanita.

Si pemuda yang belakang diketahui bernama Vinter, kelihatan bingung karena seniman yang akan ia bawa kepada temannya membatalkan tampil. Sebagai balas budi, Florence setuju menggantikan. Di rumah Zima, teman Vinter, Florence berhasil menampilkan membuat lukisan, membaca puisi, bernyanyi sambil main piano. Pada kesempatan drama akhirnya Florence gagal sebab ia sendirian. Keluar dari rumah Zima, mereka harus berpisah.

Benarkah mereka akan terpisah sedangkan Florence merasa tidak ingin berpisah dengan Vinter?


Kisah Kastil Es & Air Mancur Yang Berdansa sangat terasa romantis. Penulis menggiring kedua tokoh untuk terus berhubungan dengan cara mereka merasa saling membutuhkan. Ada sedikit salah paham di antara keduanya,tapi  itu hanya pemanis saja dan bukan satu babak yang menjadikan cerita ini memiliki klimaks. Justru saya bingung klimaksnya dimana. Sebab tidak ada bagian cerita yang tiba-tiba nilai serunya tinggi. Yang saya tangkap hanya berupa letupan yang penulis sebar di beberapa bagian. Contohnya, ketika Zima meninggal karena sakit kanker, atau ketika Florence menceritakan asmaranya dengan Jean kandas setelah ia memberikan segalanya. Bagian-bagian itu yang membuat saya terharu.

Kisah di novel ini juga dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama menceritakan masa pelarian Florence di daerah Honflour. Bagian kedua menceritakan satu bulan setelah kejadian di Honflour dan berlatar di Paris. Bagian ketiga menceritakan sosok Vinter mulai dari masa lalu hingga ia bertemu dengan Florence di kereta. Jadi, pembagian cerita seperti ini membuat semua sudut antara kedua tokoh terceritakan utuh.

Sebenarnya, di novel ini ada yang tidak saya sukai yaitu penulis terlalu banyak memberikan informasi seni; seni lukis, seni drama dan seni musik. Judul lagu, lukisan, drama, ditambah penciptanya, semua itu tidak membuat saya kenal dengan karya seni itu. Terus terang saya pun tidak merasa harus mencari tahu karena seni di negara itu tetap akan asing buat saya. Ini berlaku untuk semua novel yang saya baca. Saya akan menyebutnya sebagai pemaksaan memberikan pengetahuan, apalagi sejarah seni, yang sebenarnya bagi si pembaca tidak ada gunanya.  Itu catatan bagi saya, walau pun saya memang tidak punya hak untuk protes terhadap penulis. Tapi harus diketahui efeknya, saya akan membaca informasi itu sebagai rangkaian kalimat saja.

Sebagai pengalaman pertama saya membaca karya Prisca Primasari, saya jatuh cinta dengan gaya berceritanya yang ringan. Kalimat yang disusunnya sederhana dan lugas. Tidak saya temukan kalimat yang puitis. Dan untuk kalimat dialog, penulis membuat strukturnya seperti dialog orang berbicara pada kenyataannya. Saya mengukur keberhasilan penulis dalam bercerita dari waktu yang saya butuhkan untuk menyelesaikan membaca novel ini; 1 hari.

Tokoh utama novel ini adalah Florence dan Vinter. Florence itu gadis multitalenta dalam seni, pemberani, dan ekspresif. Sedangkan si Vinter ini condong ke sosok penyendiri, dewasa, dan rapuh karena suka menyalahkan diri sendiri untuk musibah masa lalu. Tokoh figuran yang muncul ada Zima, Celine, Didier Leroy (papa Florence), Yvonne Leroy (mamam Florence), Annalies dan masih ada beberapa lainnya yang perannya tidak lebih besar dari yang saya sebutkan.

Penokohannya sendiri sangat kuat. Florence yang ekspresif dibuktikan dengan gampangnya bagi dia untuk mengungkapkan rasa suka sama Vinter dan ketidakinginannya berpisah. Untuk Vinter, sifat menyendirinya sangat terasa. Apalagi dikatakan jika setelah musibah yang menimpa adik kembarnya, Vinter kerap melukai diri untuk mengalihkan rasa sakit perasaan dalam bentuk menyayat tangan. Di tambah, profesi Vinter sebagai pemahat es, membuat Vinter ini makin terasa dingin.

Kalau menilai kover bukunya, ini terlalu feminim. Sudah warna backround-nya biru telur asin yang lembut, ada juga bunga-bunga di bagian pojok, dan gambar bola kaca yang berisi entah bangunan apa. Masih menyambung dengan cerita di dalamnya, mungkin masalahnya karena saya pembaca pria sehingga sedikit malu kalau harus membawanya ke tempat umum.

Pesan yang paling tersirat dalam cerita Florence dan Vinter adalah untuk menjadi lebih baik dengan berdamai dengan masa lalu, menyayangi diri sendiri, dan tentu saja menyayangi sesama. Disinggung sekilas, jika kita akan lebih bahagia ketika kita bisa memberi lebih banyak kepada yang lain.

Rating dari saya: 3/5


Catatan:
  • “Kereta seindah apapun tidaklah berguna bila tidak mempunyai kuda yang menariknya. Lama-lama akan terbengkalai dan terpendam salju. Sama halnya dengan manusia, yang tidak akan bertahan lama bila tidak ada yang mendukung atau mendampinginya; betapapun hebatnya, mereka pasti akan terlupakan.” [hal. 41]
  • Tentu saja karena saat itu aku bodoh... perasaan tergila-gila selalu membuatmu bodoh. [hal. 89]
  • Ada hal-hal yang semakin mustahil diraih ketika dia malah amat mengharapkannya. [hal. 186]
  • “Masa lalu tidaklah penting. Orang yang punya masa lalu buruk belum tentu akan menjadi pribadi yang buruk juga. Semua tergantung pilihan hidup. [hal. 226]
  • “Hidup terus berjalan,” kata Zima jengkel. “Tidak akan ada peri yang datang padamu. Hanya kau satu-satunya orang yang dapat membuat dirimu bahagia.” [hal. 273]

Maret 27, 2016

[Resensi] After Rain - Anggun Prameswari



Judul buku : After Rain
Penulis : Anggun Prameswari
Penyunting :Ayuning
Proofreader: Jia Effendie
Desain dan ilustrasi sampul : Levina Lesmana
Penata letak :Landi A. Handwiko
Penerbit : GagasMedia
Terbit : 2014 (cetakan keenam)
Ukuran buku : viii + 324 hlm; 13 x 19 cm
ISBN : 9797806596

Mungkin aku dibutakan oleh cinta, sebab akalku dikacaukan olehmu. Seberapa banyak pun aku meminta, kau takkan memilihku.

Inikah yang kau sebut cinta?

Menunggumu bukan pilihan. Izinkan aku meninggalkanmu, dengan serpihan hati yang tersisa. Dan jika ternyata dia yang ada di sana, sama-sama menanggung keping-keping hati yang berhamburan, saat kami saling menyembuhkan-salahkah itu?

Review. Sebenarnya buku ini sudah saya pinjam dari rekan kantor sudah lama sekali. Sempat membaca beberapa bab di awal namun mentok kembali. Dan keinginan membaca buku ini muncul kembali setelah membaca review novel Perfect Pain dari salah satu blogger buku (saya lupa nama blognya, pas sedang blogwalking).

Di review tersebut disebutkan jika penulis memunculkan genre baru; Romance Depresi. Karena genre inilah saya langsung membabat After Rain.

Bercerita mengenai proses move on seorang perempuan 26 tahun bernama Serenade Senja. Ia menjalin hubungan dengan rekan kerjanya yang juga cinta pertamanya; Bara, selama sepuluh tahun. Namun Bara ini bukan tipe pria yang loveable, sebab dia sudah beristri dan beranak; Anggi-Lily. Hubungan mereka yang tersembunyi terusik oleh satu pertanyaan saja.

“Kalau aku memintamu memilih aku atau Anggi, siapa yang kau pilih?”After Rain, 19.
Jawabannya, Bara memilih Lily. Otomatis Seren terluka dan merasa terpuruk. Sepuluh tahun menunggu Bara, berakhir dengan pilihan yang tidak sesuai keinginannya.

Seren memilih resign dari tempat kerja dan memilih menjadi guru di sekolah tempat Nola, keponakan Kean yang merupakan sahabat baik Seren. Dan di sinilah ia bertemu kedua kalinya dengan Elang, pria bersorot mata tajam. Pertemuan pertama terjadi di Panti Asuhan. Sayangnya, saat itu Seren hanya melihat Elang sepintas saja.

Bagaimanakah Seren menyembuhkan luka hatinya? Lalu takdir apa yang mempertemukan Seren, Bara dan Elang?

Plot. POV. Gaya bercerita. Secara garis besar, plot-nya menggunakan plot maju. Ada sih beberapa bagian yang kilas balik menceritakan bagaimana Seren dan Bara ketemu, percakapan soal awal mula Seren kerja di tempat kerja yang sama dengan Bara, bagaimana dialog ketika Bara menceritakan mengenai perjodohannya. Namun bagian kilas balik tersebut porsinya sangat sedikit dan dibuat beda dengan jelas melalui penggunaan font yang berbeda. Jadi saya menganggapnya kilas balik itu hanya sisipan cerita saja agar gambaran jalan cerita lebih jelas.

Cerita dipaparkan dari sudut pandang orang pertama. Sehingga kemampuan penulis terungkap jelas dalam menyelami tokoh ‘Aku’ ini. Dan saya menilainya, penulis berhasil menggunakan POV-nya.

Saya memiliki pendapat sendiri mengenai gaya bercerita penulis ini. After Rain yang memiliki genre romance, memang berhasil menghadirkan unsur percintaan. Biar pun harus diawali dengan kesedihan yang dalam, saya masih menganggap ending-nya sangat romance banget.

Lalu saya harus jujur jika genre tersebut sepertinya berpengaruh terhadap penyampaian cerita. Kalau saya menganalogikan dengan gambar grafik, novel ini bercerita dengan datar dan tenang. Mungkin tepatnya mendayu-dayu. Ada kesan penulis menggunakan cara tersebut sebagai jalan memaparkan dan menggali sebanyak mungkin rasa sedih yang dialami Seren; kebodohan, kesedihan, kerapuhan dan ketidakbisaan menerima keputusan. Dan lagi-lagi ini sukses. Namun jangan salahkan jika saya harus meloncat beberapa kalimat di setiap paragrafnya.

Karakter yang muncul di novel ini sangat hidup. Serenade Senja; perempuan dewasa yang masih mengagungkan cinta, susah move on, pemikir dan menyukai pendidikan. Tokoh utama ini semacam ulat yang berubah menjadi kepompong. Yang awalnya begitu susah melupakan Bara, kelamaan menjadi kuat dan mampu memutuskan yang terbaik bagi dirinya. Proses perubahan inilah yang saya sukai dari karakter Seren. Semacam proses penyembuhan hati dari luka masa lalu.

Bara; pria berkeluarga pecinta anak, tidak tegas, egois dan bukan pria bertanggung jawab. Karater Bara ini menjadi antagonis. Sebab apa yang dilakukannya di mata saya keliru sekali. Tidak adil mengikat perempuan tanpa dimiliki. Dan usianya yang sudah kepala tiga, rasanya tidak pantas memiliki keegoisan sangat tinggi yang lebih mementingkan perasaan dan keamanan rumah tangganya saja. Wajar kan seandainya saya kurang suka dengan Bara?

Elang; semacam malaikat dan bersifat cool. Ini sangat disayangkan sekali, sebab karakternya sangat tidak tergali. Baik dari sisi kelam luka hatinya yang terdahulu maupun dari kelegaan hatinya setelah menemukan rumah baru. Saya menduga karena penulis terlalu fokus pada tokoh Seren sehingga posisi Elang ini kurang perhatian. Padahal dari segi peran, seharusnya Elang memiliki porsi yang sama besar karena menyangkut akhir penyembuhan luka hati Seren.

Kean; sahabat terbaik dan dapat diandalkan. Mungkin ini menjadi gambaran jika kebanyakan perempuan pasti memiliki satu atau lebih sahabat seperti Kean ini. Yang bisa diandalkan dalam kondisi apa pun.

Bagian favorit. Saya sendiri tidak paham kenapa menyukai adegan yang ada di halaman 231. Tiga kalimat yang menurut saya sangat dramatis. Kejadiannya ketika Bara mencium bibir Seren dan Seren merasa ciuman itu sudah berubah rasanya.
“Cukup, Bara. Cukup.”
“Seren, kenapa?”
“Aku nggak bisa.”
Petik-petik. Saya menangkap benang merah jika mencintai seseorang butuh kepastian mutlak. Jika iya, perjuangkan dan dapatkan. Jika tidak, tolong untuk dilepaskan agar bisa menemukan bahagia di lain suasana.

Cuplikan.
  • Senyum adalah perhiasaan terbaik yang mempercantik wanita (14).
  • Biasanya orang punya kualitas mengajar , akan punya kemampuan storry telling yang bagus (85).
  • Kita semua punya pilihan, Cuma kadang kita malas melihat kemungkinan yang ada (90)
  • Semakin lo cinta sama seseorang, semakin besar ketergantungan lo sama dia (194).
  • Patah hati bukan vonis mati (189).
  • Mengajar itu seni. Seni mendidik manusia tanpa perlu terasa seperti mendidik (240).
  • Tapi kita perlu melakukan hal yang sulit, agar hidup ke depannya lebih gampang (240).
  • Lelaki dinilai bagaimana dia bisa bertanggung jawab atas apa yang dia sudah lakukan (291).

Final. Rating. Novel ini pas dibaca ketika hujan dan oleh pencari bacaan romance yang ada drama-dramanya. Akhirnya saya memberikan rating 4 dari 5.

Penulis. ANGGUN PRAMESWARI. After Rain adalah novel debut Anggun Prameswari. Sebelumnya, cewek gemini yang juga pecinta bulan purnama ini, sering menulis cerpen di banyak media nasional. Selain menulis, kesehariannya diisi dengan mengajar Bahasa inggris di SMP-SMA Harapan Bangsa, Tangerang. 

Anggun bisa dihubungi di; 
@mbakanggun (twitter), 
mbak.anggun (at)gmail (dot)com.

Puisi "Serenade Senja"


Aku menemukanmu di sana. Tersenyum dan berbinar. Seakan seisi dunia percaya. Kau gembira, kau bahagia. Matamu mata kesedihan. Mataku pun dulu begitu. Jadi, siapa yang mau kau tipu.

Di senja ini, duduklah di sini. Rebahkan kepala, dan isi hati. Matahari berjanji kembali. Jadi, cukup, jangan tangisi. Ada aku di sini, menemani.

(Puisi ada di halaman 323)