Tampilkan postingan dengan label faisal oddang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label faisal oddang. Tampilkan semua postingan

September 02, 2021

[Resensi] Pertanyaan Kepada Kenangan - Faisal Oddang



Judul: Pertanyaan Kepada Kenangan

Penulis: Faisal Oddang

Editor: Jia Effendi & Tesara Rafiantika

Penerbit: GagasMedia

Terbit: Januari 2016, cetakan pertama

Tebal buku: xii + 188 hlm.

ISBN: 979780853X

***

Di Makasar, dan barangkali di tempat kau sekarang membaca kisah ini; kenangan sering kali datang bukan pada waktu dan tempat yang tepat. Rinailah Rindu, perempuan Jawa itu memandang Pantai Losari sekali lagi. Mengenang rencana pernikahannya yang karam tiga tahun silam. Namun, bukan kehilangan itu yang ia sesali, melainkan mengapa dia kembali? Tanya itulah yang menuntut jawaban pada kisah yang seharusnya telah usai.

Kehilangan telah mebuat Rinai mengerti bahwa manusia tidak pernah memiliki apa pun, bahkan perasaannya sendiri. Ia bersetuju dengan keadaan, bahwa Wanua, laki-l;aki Bugis itulah harapan baru baginya. Lamba, bangsawan Toraja yang pernah mematahkan hatinya, hanya perlu berakhir sebagai kenangan.

Sayangnya, terkadang hati dan ingatan tak selalu sejalan. Rinai tak ingin terluka lagi, tetapi kali ini, apakah takdir akan berbaik hati pada cinta juga kebahagiannya?

***

Dalam series Indonesiana, penerbit GagasMedia mengabarkan kepada pembaca kisah yang dibalut kental kebudayaan. Tujuannya agar kisah yang disajikan kepada pembaca bukan melulu kisah roman semata yang disisipkan konflik ala-ala sinetron. Bisa jadi series Indonesiana ini adalah bentuk komitmen penerbit bersikap nasionalis dengan kembali mengangkat tema budaya kepada masyarakat.

Novel Pertanyaan Kepada Kenangan merupakan salah satu judul dalam series Indonesiana, yang ditulis oleh penulis novel Puya ke Puya, Fasial Oddang. Novel Puya ke Puya sendiri begitu saya puji karena memiliki cerita menarik. Kesamaan dua novel ini menyinggung budaya yang ada di Tana Toraja, Rambu Solo, menyemayamkan orang meninggal agar rohnya naik ke Puya, surga. Ritual ini merupakan ritual paling mahal karena bisa menghabiskan uang ratusan juta, bahkan milyar.

Kegagalan Pernikahan Karena Beda Budaya

Konflik pertama yang diberikan penulis ke pembaca berupa kandasnya hubungan Rinai dan Lamba karena adat yang berbeda. Proposal pernikahan yang diajukan Lamba kepada mamanya, ditentang lantaran ritual Rambu Solo kematian papanya belum digelar. Tidak boleh ada perayaan kebahagian sebelum selesai perayaan kedukaan. Dan bagi keluarga Lamba, pantang menentang adat.

Rinai nelangsa. Selain gagal menikah, pertemanan dia dengan dua orang, Lamba dan Manua, berubah.  Karena diketahui kemudian kalau Manua selama ini menyimpan perasaan suka kepada Rinai. Kedekatan bak keluarga, berubah jadi dingin dan membuat mereka asing satu sama lain.

Cinta Segitiga Anak Manusia

Dalam catatan awal, Faisal menganggap proyek novel Pertanyaan Kepada Kenangan ini seperti proyek istirahat setelah ia menyiapkan novel Puya ke Puya yang menurutnya lebih rumit. Tema roman menjadi pilihan yang menyenangkan baginya dan Faisal memilih konflik cinta segitiga.

Bentuk cinta segitiga sudah menjadi bahan novel yang banyak diangkat oleh penulis lain, namun dasarnya tema roman tidak ada matinya, yang ditunggu oleh pembaca tentu saja bagaimana penulis mengeksekusi konflik cinta segitiga ini. 

Dan menurut saya, akhir kisah Rinai - Lamba - Wanua ini belum begitu jelas arahnya. Saya sampai bingung, ini si Rinai jadinya pilih siapa?


Di dalam saku kemejaku, kotak berwarna gusi pemberian Lamba barangkali telah menunggu jawaban pula. Kotak itu belum kubuka sejak kami pulang dari Bukit Sion. Isinya utuh. Di dalam dadaku, cinta buat Wanua juga belum ada yang membukanya. Isinya utuh. (hal. 185)

Toraja, Makasar, dan Kekayaannya

Kebudayaan Toraja dan Makasar digali sangat mendalam oleh penulis. Termasuk tempat wisata, sejarah kota, dan kesenian, diracik menjadi bumbu cerita yang makin menguatkan konflik antara tokoh-tokoh yang ada, dan itu bukan sekadar tempelan biar ada tema budaya. Misalnya: Rambu Solo, Kete Kesu, Pantai Losari, Tongkonan, Tau-Tau, Fort Roterdam, dan masih banyak lainnya.

Tau-tau (replika mayat) - sumber gambar dari filckr.com

Menurut saya penulis berhasil menjadikan kebudayaan menjadi pelengkap dalam ceritanya. Bahkan pada akhirnya kebudayaan menjadi titik awal kenapa muncul konflik perasaan antara ketiga tokoh utamanya.

Kenalan dengan Tokoh-Tokohnya

Jujur saja, saya merasa tokoh yang paling menonjol adalah tokoh Rinai. Perempuan yang tengah dilema memilih antara Lamba atau Wanua. Karakternya, dia bisa memikirkan matang sebelum memutuskan, dia gampang gamang dan pasti butuh waktu agak lama sampai dia yakin, dan yang paling mengganggu ketika cerita akan diakhiri, Riani ini seolah-olah menjadi perempuan yang jinak-jinak merpati. Saat itu dia sudah dihadapkan harus memilih, tapi entah kenapa Rinai mengulur sedemikian rupa. 

Tokoh Lamba dan Wanua tidak meninggalkan kesan buat saya. Mereka ada untuk menjadi lawan konflik Rinai, dan penulis hanya membuat dua karakter ini mempunyai perbedaan, kayak siang dan malam. Wanua dibentuk sebagai pemuda yang berprofesi wartawan, berambut gondrong, dan lebih urakan. Sedangkan Lamba jadi sosok pengusaha muda, klimis, dan anak penurut.

Tidak ada pendalaman karakter untuk Lamba dan Wanua. Adanya mereka hanya untuk mengikuti alur cerita yang dibuat maju-mundur. Maju - mengetengahkan proses Rinai berkompromi dengan perasaannya ketika dua sahabat dekatnya menginginkan hubungan lebih dari sahabat. Mundur - menyibak awal mula mereka (Rinai - Lamba - Wanua) bertemu, kedekatan persahabatan, bahkan menjabarkan kronologis awal mula adanya perang dingin.

Apakah novel Pertanyaan Kepada Kenangan menarik?

Bagi saya, ini novel ringan yang berisi. Roman dikawinkan dengan kebudayaan. Pembaca akan dapat dramanya, akan dapat juga wawasannya. Setelah membaca novel ini, kita akan sadar ternyata banyak PR bagi kita sebagai warga Indonesia untuk mengenal negeri sendiri yang luasnya dari Sabang sampai Merauke, dengan memiliki kebudayaan yang beraneka ragam.

Jika saya harus memberikan nilai, saya berikan 3 bintang dari 5 bintang.

Demikian ulasan kali ini, terakhir dari saya, jaga terus kesehatan dan tetap membaca buku!

***

Catatan: 

  • Dua kali kehilangan orang yang sama, jauh lebih menyakitkan daripada memiliki orang yang salah lebih dari sekali. - 8
  • Cinta tidak pernah menyalahkan siapa pun dan apa pun, tetapi manusia selalu saja menyalahkan banyak hal atas nama cinta. - 32

Januari 22, 2017

[Buku] Puya Ke Puya, Faisal Oddang

Judul: Puya Ke Puya
Penulis: Faisal Oddang
Penyunting: Christina M. Udiani
Ilustrasi: Pramoe Aga
Perancang sampul: Teguh Erdyan
Penata letak: Dadang Kusmana
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia 
Terbit: 2015
Tebal buku: xii + 218 halaman
ISBN: 9789799109507
Harga: Rp50.000 

Penilaian bagus terhadap novel Puya Ke Puya ini, sudah saya tahu dari lama. Selain membawa rasa lokal, masyarakat Toraja, novel ini menggali banyak sisi kehidupan. Berangkat dari kematian Rante Ralla yang mengharuskan anak sulungnya, Allu Ralla, menggelar upacara kematian, cerita digiring ke berbagai lini. Puya sendiri maknanya alam tempat menemui Tuhan (hal.3).

Upacara kematian atau yang disebut Rambu Solo, bisa menelan ratusan juta untuk melaksanakannya. Allu Ralla yang seorang mahasiswa, mempunyai pikiran yang lebih terbuka. Apakah adat harus membebani? Pertanyaan ini yang akhirnya memutuskan Allu untuk tidak menggelar perayaan rambu solo.

Pikirannya itu ditentang oleh pamannya. Kegigihan melawan adat yang membebani kalah oleh cinta pertama. Allu yang didesak menikahi Malena, menelan semua idealismenya. Ia menjual tanah warisan, ia mencuri jasad bayi, dan ia menjadi pemuda yang berbeda. Selain konflik yang disulut upcara rambu solo, Puya Ke Puya menambahkan konflik besar tentang penambangan nikel yang dilakukan di Toraja.

Saya sangat puas dengan eksekusi cerita yang dilakukan penulis. Ia membuat semua ketegangan yang disusun pada awal cerita, luruh di akhir. Proses menebarkan banyak masalah yang dikuliti di awal cerita, membuat saya sendiri sangat penasaran akan ada kejadian apa lagi. Misalnya, kasus pembunuhan Rante Ralla. Awalnya saya sangat penasaran dengan pelaku dan motifnya. Penyelesaian yang dilakukan Faisal sungguh menjawab. Tapi tidak sampai disitu saja. Berikutnya, bagaimana perasaan keluarga Rante Ralla, Allu Ralla dan Tina Ralla? Ini jadi klimaks tersendiri dan itu mendebarkan. Masih banyak konflik lainnya yang lebih seru.

Puya Ke Puya menggunakan sudut pandang yang berbeda. Faisal mengombinasikan sudut pandang roh leluhur, Rante Ralla, Allu Ralla, dan Maria Ralla. Yang patut diapresiasi adalah ide membuat perpindahan sudut pandang yang tidak ribet. Penulis mengakali dengan tanda bintang yang konsisten menunjukkan itu jatah sudut pandang siapa. Tanda bintang satu (*) untuk Rante Ralla, tanda bintang dua (**) untuk Allu Ralla, dan tanda bintang tiga (***) untuk Maria Ralla.

Untuk plot sendiri, Puya Ke Puya memakai plot campuran. Dominan masa lalu, berupa kilas balik masing-masing tokoh. Keuntungannya, pembaca dibuat penasaran dengan awal cerita, dan diberikan jawaban sepanjang perjalanan membaca hingga akhir.

Penokohan sendiri sangat kuat. Sebagai pemilik sudut pandang (Rante Ralla, Allu Ralla, Maria Ralla) sudah dikemas apik. Rante Ralla sebagai sosok ayah, diperlihatkan jalan pikirannya yang bijak, meski pun beberapa sisi ada bagian yang kolot. Allu Ralla sebagai pemuda berpendidikan dan masih muda mengalami banyak gejolak. Bisa dikatakan ia sosok yang labil dan itu dimaklumi karena dipengaruhi banyak faktor di sisi luar. Maria Ralla sebagai adik Allu yang meninggal semasa belum tumbuh gigi, pikirannya sangat sederhana. Walau di cerita dikatakan adanya pertumbuhan yang dialami Maria, sampai usia 17 tahun, Maria masih jadi sosok yang tidak mengenal tulisan dan berpikir sebatas pengetahuan yang ia lihat, ia dengar dan ia rasakan.

Karena banyak sisi kehidupan yang digali penulis, Puya Ke Puya memiliki pesan yang banyak sesuai konflik yang diperlihatkan. Namun, secara umum, Puya Ke Puya mengajak pembaca untuk melakukan sesuatu dengan cara yang baik agar hasilnya baik.

Sepanjang novel ini akan ditemukan banyak istilah lokal masyarakat Toraja. Penulis menggandengkannya dengan penjelasan bahasa indonesia sehingga tidak perlu catatan kaki. Membuat fokus pembaca tidak melebar kemana-kemana.

Catatan saya justru pada kovernya yang terlalu sederhana. Jika diperhatikan, gambar siluet orang yang sedang menaiki tangga, sangat memiliki kaitan dengan cerita. Ibarat orang yang sedang melakukan perjalanan menuju Puya.


Rating dari saya: 4/5