[Resensi] Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis - Rusdi Mathari


Judul: Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis
Penulis: Rusdi Mathari
Penyunting: Syafawi Ahmad Qadzafi
Penerbit: Buku Mojok
Terbit: Cetakan pertama, Januari 2019
Tebal: viii + 115 halaman
ISBN: 9786021318805
Harga: Rp56.000,-

[ Ngebaca ] Setelah sekian lama akhirnya saya bisa menulis resensi buku lagi. Sebenarnya sejak awal tahun ini, saya sempat membaca empat judul buku. Sayangnya, saya kehilangan kemampuan menulis resensinya. Alhasil, blog ini sempat kosong artikel resensi buku, dan saya hanya menyempatkan membuat tulisan curhat receh.

Buku yang tuntas saya baca terakhir ini berupa buku kumpulan cerita. Punya dua puluh tiga cerita yang dikemas ringkas, bahkan menurut saya terlalu ringkas. Memiliki kesamaan tema, pelajaran hidup yang islami. Maka jangan heran jika cerita di dalamnya lebih banyak mengisahkan kisah Nabi Muhammad, kisah para sahabat, bahkan penceritaan kembali kisah yang ditulis di Al-Quran.

Fitnah adalah cerita pembuka yang mencoba mengingatkan pembaca bahaya dari fitnah. Dikisahkan ada seseorang yang mendatangi Abu Nawas untuk meminta maaf karena pernah melakukan fitnah. Abu Nawas mengatakan sebaiknya dilupakan saja dan tidak perlu diungkit, apalagi diumbar. Orang itu bersikap keras kepala. Maka Abu Nawas meminta orang itu untuk mengoyak bantal dan mengeluarkan isinya. Setelah selesai, Abu Nawas kembali meminta orang itu untuk memasukkan lagi isi bantal tadi. Yang terjadi, bantal yang dirusak tadi dapat diperbaiki. Namun tidak akan pernah menjadi seperti semula. Begitu juga dengan kepercayaan. Sekalinya dirusak, tidak akan seperti sedia kala meski sudah dimaafkan.

Cerita lainnya sekaligus bagian yang diambil menjadi judul buku ini adalah cerita Kambing. Mengisahkan Nabi Nuh as. yang hendak menanam pohon, didatangi seekor kambing istimewa. Kambing tadi berkaki lima, bermata tiga, dan mulutnya mencong. Nabi Nuh as. mengatakan jika kambing tadi jelek. Lalu kambing tadi bersuara, "Hai Nuh, rupaku memang jelek, dan menurutmu aku mungkin juga mahluk tidak berguna. Tidak bisa berbuat apa-apa sepertimu, tapi apakah kamu lupa wahai manusia berguna?" Nuh bertanya, "Lupa tentang apa?" Kemudian dijawablah oleh kambing, "Penciptaku dan penciptamu sama."

Mendengar itu Nabi Nuh as. bersimpuh memohon ampunan sambil menangis. Dia menyadari telah bersikap sombong. Merasa paling sempurna dan merasa paling berguna. Dan ada dua versi yang menyebutkan lamanya Nabi Nuh as. bersimpuh, 200 tahun dan 300 tahun.

Cerita lainnya juga memiliki  khas sama, cerita yang islami. Yang memiliki pesan kebaikan untuk kemanusiaan. Seperti dalam cerita Nasrani, kisah di dalamnya memberi pesan untuk saling tolong menolong meski tidak seagama. Bukan mempersulit atau menghina. Kisah ini memaparkan bagaimana Nabi Muhammad memperlakukan tamu umat Nasrani yang hendak melakukan ibadah di mesjid Nabawi. Nabi memberikan kesempatan kepada mereka untuk melakukan misa di sayap mesjid lainnya. Begitu juga dalam kisah lain, ketika umat muslim diperangi kaum kafir Quraisy, Nabi memerintahkan umatnya untuk meminta suaka ke Negus di Ethiopia yang merupakan pemeluk agama Nasrani. Dan umat muslim diterima dan diperlakukan dengan sangat baik. Cerita ini mencubit kejadian yang ada di dalam negeri mengenai larangan membangun gereja yang dilakukan umat Islam di salah satu kota. Padahal, tidak ada satu ayat pun atau ajaran Nabi Muhammad yang menganjurkan melarang pembangunan tempat ibadah agama lain. Penulis menganggap peristiwa ini sebagai ironi.

Cerita lainnya yang terdapat dalam buku ini adalah azazil, maut, cathala, agama, gereja, muhammad, perayaan, aladin, kakbah, khidir, pezina, anjing, bidah, tahun baru, ilmu, burung, adab, rasis, minoritas dan membunuh.

Membaca kesemua ceritanya, selain menyadarkan pembaca akan nilai kebaikan yang islami, juga menjadi renungan sudah seberapa baik kita bersikap terhadap sesama. Dan buku ini memberikan pemahaman baru mengenai kemanusiaan yang harus dilandasi nilai kebaikan seperti yang diajarkan agama.

Ibarat air hujan, buku ini membasahi kembali kegersangan hati dan batin saya akibat kontaminasi kemajuan zaman. Saya mengaku semakin autis dengan kehadiran teknologi diujung jari. Sehingga asupan kebajikan ke dalam hati berkurang banyak. Dan buku ini bisa menjadi alternatif untuk menggali, mengingat, dan bahkan membetulkan diri kita yang mulai jauh dari nilai kebaikan agama.