Tampilkan postingan dengan label trissella. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label trissella. Tampilkan semua postingan

Agustus 14, 2024

Resensi Novel Remedies - Trissella

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]


Judul:
Remedies

Penulis: Trissella

Editor: Dwi Ratih Ramadhany

Sampul: Orkha Creatives

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Oktober 2023

Tebal: 264 hlm.

ISBN: 9786020673509


Review

Gerry memendam rasa bersalah atas kehancuran keluarganya. Bunda lumpuh akibat kecelakaan saat dibonceng olehnya. Ayahnya menceraikan Bunda dan pergi karena kondisi Bunda yang tidak memungkinkan menjalankan perannya sebagai istri. Di susul Bunda memutuskan mengakhiri hidupnya. Beban ini terlalu berat. Gerry meninggalkan dunia Polo Air. Ia mulai merokok. Dan sejak kepergian Bunda, ia dihantui mimpi buruk setiap memejamkan mata.

Beruntung ia bertemu dengan Retha, salah satu teman sekolahnya dulu, yang kini satu sekolah dengannya. Pembawaan Retha yang cerewet dan berisik membuat Gerry antipati, meski sesekali ia bersyukur berada di dekatnya karena suara bawelnya bisa meredam suara gemuruh di otaknya. Peran Niko dan Farhan, teman sekelasnya, pun sangat membantu Gerry melewati masa-masa beratnya itu.

Setelah berbulan-bulan tidak ada kabar, bahkan ketika Bunda dimakamkan juga tidak hadir, Ayah Gerry muncul di hidupnya lagi. Rasa kangen dan marah bercampur. Mimpi buruk Gerry makin-makin bertambah. 

Novel ini membawa tema remaja dengan konflik anak yang jadi korban atas keputusan keliru dari orang dewasa. Perceraian itu umum di masyarakat, tapi sangat lucu sekali ketika Ayah Gerry tidak muncul saat Bunda meninggal karena waktu itu berbarengan dengan calon istrinya yang habis operasi usus buntu. Jelas ini keputusan paling salah bagi seorang ayah untuk anaknya yang sedang butuh-butuhnya didampingi.

Saya juga belum jelas kenapa Bunda memilih mengakhiri hidupnya padahal ia sadar kalau mereka hanya hidup berdua saja; Bunda dan Gerry. Pikiran pendek ini yang saya sebut keputusan paling salah juga. Karena sosok Bunda pernah mengucapkan sesadar-sadarnya kalau mereka akan melanjutkan hidup berdua sampai tua nanti. 

Gerry yang masih belum berdamai dengan masa lalunya membutuhkan dukungan dari orang sekitar. Ia beruntung memiliki Tante Nisa dan Om Irfan yang begitu peduli sampai-sampai mereka rela bergantian pulang kerja cepat agar Gerry tidak sendirian di rumah. Beruntung juga Gerry memiliki teman sekelas seperti Niko dan Farhan yang mau mengerti dengan misteri hidupnya dan tidak kepo. 

Dua orang dengan masalah serupa pasti akan terkoneksi secara perasaan. Ini yang membuat Gerry perlahan-lahan bisa akur dengan Retha yang menurutnya sangat menggangu. Yang membedakan keduanya, Retha sudah lebih bisa mengendalikan diri atas luka hatinya akibat perceraian orang tua, sedangkan Gerry masih bergulat dengan perasaan menyalahkan diri sendiri untuk keputusan perceraian orang tuanya.  


Plot | POV | Gaya Bercerita | Penokohan

Secara keseluruhan novel ini menggunakan alur maju dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Sepanjang ceritanya kita akan diajak mengikuti perkembangan Gerry yang dibantu Retha untuk berdamai dengan masa lalu. Dan ternyata prosesnya tidak mudah. Emosi kita bakal diaduk-aduk. Saya pun sampai hampir menangis di beberapa bagian, terutama kalau Gerry sedang terpuruk dan menyalahkan diri sendiri untuk semua kehilangan yang dialaminya.

Kak Trissella merajut ceritanya dengan diksi yang tidak bertele-tele. Ketika momen dramatis bisa dibuat dengan apik. Yang jadi ganjalan saya justru di lelucon para tokohnya yang susah dinikmati. Ini selera sih, saya lebih suka kekonyolan itu munculnya dari adegan para tokoh, bukan dari ucapan candaan.

Untuk para tokoh yang dimunculkan sudah sangat hidup dan membawa peran yang saling terkait. Gerry sebagai tokoh utama digambarkan beraura gelap, tertutup, dan ketus. Saya bersimpati dan mengerti kenapa Gerry bisa sebegitu memilukannya. Dan perubahan yang dialami Gerry pun cukup memuaskan karena penulis membangun hal itu dengan sangat sabar, tidak ujug-ujug berubah akibat satu momen. Retha sebagai tokoh utama kedua pun punya peran penting sebagai pembanding atas masalah yang dihadapi tokoh utamanya. Tipikal remaja yang cerewet, kepo, dan penuh empati. Perbedaan warna karakter ini yang membuat hubungan keduanya menarik diikuti. Dan bisa dibilang tipis sekali sisi romansa yang mau dibangun penulis, tapi saya sendiri masih samar melihatnya. 

Tokoh yang patut diacungi jempol tentu saja untuk Tante Nisa dan Om Irfan. Mereka pasangan yang tulus banget memperhatikan keponakan. Berusaha memahami Gerry yang sedang di fase susah diprediksi, secara emosi dan mentalnya belum stabil dan solid. Apalagi cara mereka berbicara dengan Gerry yang tidak menghakimi, tidak menyudutkan, tidak menambah beban pikiran, dan justru kelihatan sekali keduanya begitu bijak menghadapi remaja. Mereka sangat hati-hati sekali bersikap di depan Gerry.

Tambah meriah saja ceritanya dengan kemunculan teman-teman Gerry; Niko dan Farhan. Duo yang memahami posisi sebagai teman baik, tidak mau mengorek masalah Gerry, justru memahami situasi. Mereka lebih memilih menunggu Gerry yang mengutarakan dibandingkan harus kepo. Selain mereka, ada juga Reno (kakaknya Retha) dan Kendra (teman Retha).



Petik-Petik

Membaca novel ini membuat saya makin yakin kalau mental anak bisa dilihat dari kondisi di rumahnya. Jika keluarganya harmonis, akan lebih besar kemungkinannya membentuk mental dan sikap anak lebih baik. Tetapi jika orang tuanya tidak harmonis, anak-anaknya pasti akan terpengaruh, mental dan sikapnya bisa buruk.

Satu lagi, seberat apa pun masalah yang menimpa kita, semuanya harus dihadapi. Kalau kita merasa tidak sanggup berjuang sendirian, minta tolong orang sekitar kita. Saya yakin dan sudah membuktikan sendiri kalau di sekitar kita itu ada banyak orang-orang baik yang bakal membantu kita asal kita mau bercerita. 


Penutup

Saya ingin berterima kasih kepada Kak Trissella yang sudah menghadiahi saya novel bagus ini. Dan saya mohon maaf ternyata proses bacanya tidak cukup mulus sehingga baru saya ulas sekarang.

Oya, ini pengalaman kedua saya membaca buku Kak Trissella. Sebelumnya saya sudah membaca karya lainnya berjudul Heart Reset.

Saya merekomendasikan novel ini untuk kalian yang pengen nangis dan membayangkan gimana terlukanya ketika kita kehilangan orang tua tapi kita belum siap. Ada bagian-bagian ketika Gerry meratapi nasibnya dan itu makin bikin saya mengingat kalau saya harus lebih berusaha berbakti kepada orang tua mumpung mereka masih sehat.

Nah, sekian ulasan novel kali ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



Desember 28, 2017

[Buku] Heart Reset - Trissella

Judul: Heart Reset
Penulis: Trissella
Penyunting: Puspa Sari Ayu Yudha
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Maret 2017
Tebal buku: 192 halaman
ISBN: 9786020338817
Harga: Rp 50.000 (via bukabuku.com, sebelum diskon)

Bukan, ini bukan tentang siapa yang dicintai lebih lama dan siapa yang bersamanya lebih lama. Ini tentang siapa yang berani mengambil risiko untuk mempertahankan perasaannya, apa pun yang terjadi. Tentang seberapa kuat dia menahan keegoisan agar yang lain bisa bahagia meski tak bersamanya. (Hal. 184-185)

Novel Heart Reset menceritakan tentang seorang gadis SMA bernama Anaya yang diam-diam menyukai teman sejak kecilnya, Dipta. Perasaannya tak terbalas sebab Dipta menyukai Airin yang justru berpacaran dengan Billy. Anaya menjadi saksi kegalauan Dipta yang patah hati yang justru membuatnya lebih sakit hati lagi. Di lain waktu, muncul Abi, cowok yang sejak dulu menyukai Anaya. Apakah Anaya akan tetap memilih Dipta atau justru memilih Abi?

Novel ini berhasil membuat saya sesak nafas. Kisah asmaranya kental, bahkan kadar getirnya membuat saya mengelus dada. Secara garis besar novel Heart Reset mengangkat konflik cinta bertepuk sebelah tangan. Ada banyak faktor penyebabnya: seseorang itu menyukai orang lain, seseorang itu terjebak di area friendzone, seseorang itu gengsi untuk berterus terang.

Penyebab tadi tidak pernah terungkap dan membuat kisah Dipta, Ayana. Dan Abi bertambah seru. Bagian paling menohok dada saya, ketika Dipta melepas Anaya untuk sekolah di luar negeri. Pada bagian ini sangat dramatis, merasa sangat kehilangan setelah dia pergi. Juga ketika Anaya bertekad menyerah atas perasaannya kepada Dipta.

“Gue mau ngelupain dia, tapi rasanya sakit. Gue mau nyerah, tapi nggak mau sakit kayak gini,” racau Anaya. (Hal. 105)

Menurut saya, penulis sukses menyajikan kisah teenlit yang dramatisnya pas. Interaksi antar tokoh tidak dibuat berlebihan. Dan saya menangkap sisi kedewasaan pada tokoh-tokohnya meski usia mereka masih usia SMA.

Diksi yang dipakai pun enak dibaca karena kesederhanaan, keringkasan, dan keefisiensian kalimat dalam menarasikan suatu kondisi atau peristiwa. Saya tidak mendapati kalimat yang bertele-tele. Untung buat saya, tidak ribet mamahami jalan cerita yang mengusung alur maju ini.

Jujur, saya tidak menyukai kovernya. Gambarnya terlalu kaku, pemilihan jenis hurupnya terlalu tegas, padahal saya merasakan cerita yang hangat di dalamnya. Dibutuhkan ilustrasi yang lebih lembut mengingat sudut pandang yang dipakai dominan dari seorang gadis (Anaya), isi cerita berupa kisah cinta yang miris, dan ada babak bahagia setelah perjalanan panjang mengeja hati.

Saya pun punya catatan ketidaklogisan satu bagian cerita di halaman 25. 110 detik lampu merah itu terbilang lama, namun disana diceritakan dengan pengucapan satu kalimat, 110 detik itu selesai. Bila saya keliru tentang ini, silakan dikoreksi.

Berbicara tokoh utama, di novel ini kita akan dipertemukan dengan tokoh Anaya, Dipta, dan Abi. Anaya adalah gadis yang sabar memendam perasaan dan rasa sakit di hati, tulus, dan feminim. Dipta tampil jadi sosok pemuda baik-baik, pengecut karena tidak berani mengungkapkan isi hati dan pikirannya, dan egois. Sedangkan Abi sosok yang urakan, berandal, dewasa, perhatian, dan bertanggung jawab. Kekurangan pada penokohan dalam novel ini terletak pada sedikitnya penulis menarasikan ciri-ciri fisik setiap tokoh. Sampai cerita selesai, saya masih bingung menggambarkan sketsa muka-muka mereka.

Selain ketiga tokoh tadi, ada Airin dan Billy yang porsi diceritakannya sedikit, ada teman-teman tongkrongan Abi: Rio dan Dika, dan ada Editha (sepupu Dipta).

Dari novel ini, pembaca akan mendapatkan pelajaran untuk selalu bisa jujur. Apa pun hasil dari tindakan jujur itu yang kemudian harus dihadapi. Percayalah, setiap masalah selalu ada jalan keluarnya. Bukan justru bersikap takut sebelum berperang. Karena sikap begini malah menambah rumit masalah.

Saya menyukai novel ini dan saya belajar kedewasaan dan kebesaran hati dari tokoh Abi. Saya memberi nilai 4/5 untuk novel ini.

Catatan:
  • Persahabatan lawan jenis, salah satunya pasti menyimpan perasaan lebih. Kalau beruntung, perasaannya berbalas (Hal. 36)
  • Lelaki sejati akan menempati janji apa pun yang terjadi (hal. 58)
  • Tiap pertemuan pasti berakhir pada perpisahan (Hal. 77)