Tampilkan postingan dengan label Penerbit Grasindo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penerbit Grasindo. Tampilkan semua postingan

Maret 16, 2025

Resensi Novel Tuhan Maha Romantis - Nurunala

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]



Judul: Tuhan Maha Romantis

Penulis: Nurunala

Editor: Trian Lesmana

Penerbit: Grasindo

Terbit: Juli 2023

Tebal: 200 hlm.

ISBN: 9786020530208

Tag: romansa, religi

Sinopsis

Setelah lima tahun berlalu, Rijal dan Laras kembali bertemu di acara bebukuan. Rijal kini sudah jadi penulis. Laras sengaja menempuh perjalanan dari New Zealand ke Indonesia untuk menemuinya. 

Pertemuan mereka penuh perasaan campur aduk. Kenangan waktu kuliah dulu kembali menyeruak. Termasuk perasaan suka yang selama ini diendapkan oleh keduanya karena agama mengaturnya. Rijal seperti menemukan kebahagian yang sudah lama menghilang. Namun Laras menemukan cincin dijari Rijal yang artinya kepulangannya ke Indonesia akan jadi sia-sia. Rijal sudah bertunangan, itu faktanya.

Mungkinkah takdir kali ini mengatur keduanya bersatu? Atau keduanya harus belajar mengikhlaskan perasaannya melebur?



Resensi

Nurunala adalah penulis yang kalau menerbitkan buku saya pasti usahakan akan membelinya. Sebelum membaca novel ini saya sudah membaca novel lainnya: Festival Hujan, Janji Untuk Ayah, dan Seribu Wajah Ayah

Yang membuat saya suka dengan karya-karya penulis karena novel-novelnya mengangkat tema keluarga terutama tentang sosok Ayah. Saya tipikal orang yang gampang banget terharu kalau membaca kisah soal orang tua. 


Masa Lalu Yang Datang Lagi Pada Waktu Yang Tidak Tepat

Siapa sih yang enggak senang saat kembali bertemu dengan orang yang pernah kita sayang. Begitu juga dengan Rijal yang akhirnya bertemu lagi dengan Laras setelah lima tahun tidak ada kabar. Perasaan suka kembali berkembang dan ternyata tidak berubah walaupun sudah lama tidak jumpa. Rijal berharap besar kali ini perasaannya akan tersampaikan.

Lima tahun bukan waktu yang sebentar, pasti ada banyak hal yang sudah berubah. Rijal sudah jadi penulis. Rijal juga sudah bertunangan dan seminggu lagi bakal menikah. Fakta ini yang membuat Laras meredam semua harapannya. 

Konflik ini yang mencoba digali penulis lebih dalam. Dan karena novel-novel penulis selalu memiliki dasar agama islam, saya semakin penasaran bakal dikasih jalan keluar apa untuk kepelikan situasi yang dihadapi Rijal dan Laras.


Sisi Romantis Dari Keluarga Harmonis

Di novel ini juga digambarkan latar belakang keluarga Rijal yang bikin saya mengakui kalau, "Siapa orang tua kita juga turut menentukan siapa kita." Ayahnya Rijal adalah kepala sekolah, ibunya adalah guru bahasa inggris. Sudah pasti pendidikan jadi hal penting yang diajarkan mereka kepada anak. Dan bukan soal sisi intelektual saja yang diajarkan, tetapi sisi moral dan nilai religi juga dipenuhi mereka.

Rijal tumbuh jadi pemuda yang baik dan santun karena besar dalam keluarga yang harmonis. Kedekatannya dengan sosok ayah membuat saya iri. Dia bisa curhat dan meminta solusi kepada ayahnya untuk hal-hal yang rasanya susah dilakukan anak laki-laki kepada ayahnya seperti asmara. Pendapat saya ini karena saya bukan salah satunya yang bisa begitu. 

Karena latar belakang orang tua Rijal sebagai pendidik, keduanya pun begitu dihormati di lingkungan sekitar. Terutama oleh mereka-mereka yang pernah diajar oleh orang tua Rijal. Kebaikan yang dilakukan orang tua Rijal banyak membantu di kemudian hari. Misalnya saat ibunya Rijal pingsan, Teh Zaenab yang seorang bidan membantu mengurus agar siuman. Dan saat mau diberikan bayaran, Teh Zaenab menolak dengan santun karena ia pernah merasakan kebaikan dari orang tua Rijal.


Dinamika Masa Perkuliahan

Kehidupan perkuliahan lumayan banyak dibahas di sini. Menggunakan sudut pandang Rijal, kita diajak ikut bagaimana ia berkenalan dengan kawan baru, bertemu pertama kali dengan gadis pujaan, dan terlibat dalam kegiatan jurusan yang lumayan menyita waktu.

Saya sangat suka dengan penggambaran kegiatan Petang Puisi. Dimana setiap jurusan berlomba membawakan deklamasi puisi secara kreatif dengan menggabungkan dekorasi dan musik-musik latar. Dan gara-gara novel ini, saya jadi tahu puisi berjudul Sajak Pertemuan Mahasiswa karya W.S. Rendra. Puisi yang menyinggung dan menggugat soal wakil rakyat di pemerintah yang membuat kebijakan-kebijakan tapi tidak mewakili rakyat.


Keputusan Jodoh Yang Membuat Kesal

Dari beberapa novel penulis yang saya baca, ending novel ini yang paling tidak saya suka. Mungkin buat beberapa orang kelihatan romantis tapi buat saya itu miris. Saya yakin kalau tidak spolier pun, pembaca bakal tahu ending kisah Rijal dan Laras ini dari sampul novelnya yang sederhana tapi cantik dengan perpaduan warna biru di langit dan hamparan hijau rerumputan.

Tinggal menghitung hari akan menikah tapi dibatalkan, itu yang bikin saya kurang suka dengan keputusan ini. Rasanya membatalkan pertunangan bukan perkara mudah karena ini melibatkan perasaan dan nama baik keluarga besar. Ini pertunangan dan bukan pacaran. Kabar pernikahan sudah menyebar kemana-mana lho. Si pihak laki-laki harus bertanggung jawab kepada keluarga si perempuan. Dan yang lebih tidak saya sukai, yang menyampaikan pembatalan ini hanya ibunya saja. Si laki-laki justru sibuk mempersiapkan keberangkatannya ke luar negeri mengejar cinta pertamanya. Gila nggak sih keputusan ini!!!


Kita mencintai seseorang karena kita memilih untuk mencintainya. Rasa yang indah ini memang anugerah Allah, tapi diri sendirilah yang memegang kontrol penuh atas perasaan yang membuncah dalam dada. (hal. 91)

Mungkin ada yang berpendapat, "Daripada menikahi perempuan yang tidak dicintai dan tidak bahagia, bukankah lebih baik sejak dini diakhiri." Saya setuju dengan ini tapi kenapa kalau belum move on dari masa lalu harus melakukan lamaran kepada perempuan lain. Padahal di sini Rijal tidak dalam kondisi terdesak untuk melakukan itu. Dan saat dia memutuskan untuk melamar perempuan lain artinya dia siap menerima tanggung jawab itu. 

Sebelum kehadiran Laras, hubungannya dengan Aira baik-baik saja. Hanya karena Laras kemudian datang, niat menikah tergerus juga. Harusnya sikap pria enggak begini kan?

Keberatan saya lainnya, saya tidak menemukan nilai luar biasa dari seorang Laras yang kemudian diperjuangkan sebegitunya oleh Rijal. Rijal menyukai Laras karena cantik, solehah, dan baik. Tapi ini juga ada di diri Aira, tunangannya. Aira malah lebih banyak berinteraksi dengan Rijal dan ibunya dibandingkan Laras. Lalu yang membuat timbangan Laras lebih besar untuk dipilih ketimbang Aira itu apa, penulis tidak memberikan itu sehingga saya simpulkan kalau Rijal berjuang hanya karena Laras cinta pertama. Ini jadi pilihan ending novel yang dangkal buat saya. 


Simpulan

Romansa yang berdiri di atas agama selalu menginspirasi. Sosok Rijal jadi gambaran teladan bagaimana pria bersikap saat pertama kali merasakan jatuh cinta kepada lawan jenis. Terlepas dari ending novel yang mengecewakan, novel ini punya nilai-nilai moral yang secara penyampaian tidak menggurui. Novel ini saya rekomendasikan untuk pembaca muda sebagai pengingat kalau romantis itu bukan melulu dengan pacaran.

Sekian ulasan saya untuk novel Tuhan Maha Romantis. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!

***


  • Soal kebahagiaan, seringkali yang lebih penting bukan sedang apa atau di mana, melainkan dengan siapa. (hal. 18)
  • Kita harus selalu menjaga api optimisme tetap menyala. Harapan, yang akan membikin kita punya kemauan untuk terus bergerak. Kadang, masalahnya bukan di 'mampu atau tidak mampu', tapi 'mau atau tidak mau'. (hal. 19)
  • Dan sebaik-baik ilmu adalah yang membuat kita semakin dekat sama Allah (hal. 20)
  • Setiap perpisahan, seikhlas apa pun kita menerimanya, selalu saja menyisakan kehampaan (hal. 21)
  • Esensi dakwah adalah menjadikan kesalehan pribadi menjadi kesalehan kolektif atau kesalehan masyarakat. Oleh karena itu, yang enggak kalah penting dari menjadi hebat adalah menghebatkan sekitar kita. (hal. 28)
  • Ada dua hal yang membuat kita hari ini berbeda dengan kita bertahun-tahun yang akan datang: buku yang kita baca dan orang-orang yang kita temui. Buku yang kita baca akan membentuk pola pikir kita, orang-orang terdekat kita akan membentuk karakter kita. (hal. 67)
  • Satu-satunya cara menghilangkan rasa takut adalah dengan menghadapinya (hal. 68)
  • Pemberani itu adalah orang yang takut juga sebenarnya, tapi tetap melakukannya (hal. 73)
  • Kadang kita perlu mengabaikan kalimat-kalimat negatif yang menghampiri kita, bahkan ketika teriakan itu diucapkan oleh diri kita sendiri. (hal. 74)
  • Mencintai itu, bukan cuma soal rasa suka atau ketertarikan. Bukan cuma soal kekaguman. Lebih dari itu, mencintai itu sebuah keputusan. Keputusan besar. (hal. 115)
  • Bukankah perjuangan dan pengorbanan adalah satu keniscayaan bila kita ingin menggapai kebahagiaan. (hal. 119)

Februari 04, 2025

Resensi Novel Janji Untuk Ayah oleh Nurunala

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]



Judul: Janji Untuk Ayah

Penulis: Nurunala

Editor: Trian Lesmana

Desain sampul: Sukutangan

Penerbit: Grasindo

Terbit: Agustus 2024

Tebal: iv + 188 hlm.

ISBN: 9786020531090

Tag: keluarga, pendakian



SINOPSIS

Novel Janji Untuk Ayah mengisahkan pemuda bernama Gilang Satria Bahari yang pada kepulangan rutin mingguannya dari Kota Bogor ke Leuwibatu, ia mendapatkan kabar kalau ibunya meninggal karena covid. Tidak ada tanda, tidak ada belasungkawa, tidak bisa menyolati untuk terakhir kali, jenazah ibunya dibawa mobil ambulan untuk dimakankan.

Kehilangan yang begitu mendadak itu membuat hidupnya limbung dan hampa. Tidak ada lagi alasan kenapa dia harus hidup sedangkan satu-satunya orang yang dia punya sudah tidak ada. Gilang dan ibunya pendatang di Leuwibatu dan selama ini ibunya rapat menutup soal asal muasal mereka.

Sebuah alamat di Banyuwangi menjadi petunjuk yang ditinggalkan ibunya sebelum tiada. Gilang yakin di sana ada jawaban soal siapa ayahnya dan cerita bagaimana ibunya bisa memutuskan tinggal di Bogor, berjuang membesarkan dirinya. Gilang memutuskan melakukan perjalanan dari Bogor ke Banyuwangi dengan motor Supranya. Dia tidak tahu apa yang akan ditemuinya di alamat itu tapi Gilang perlu nama kakeknya untuk disematkan di nisan ibunya.



ULASAN

Novel ini bergenre drama keluarga membahas hubungan anak dan orang tua. Dimana anak laki-laki kehilangan ibunya dan kemudian mencari ayahnya. Penulis berhasil merajut ceritanya penuh emosional. Pada beberapa bagian berhasil membuat mata saya berkaca-kaca. 

Konflik utama novel ini mengenai pencarian jati diri seorang anak yang tidak tahu asal muasalnya. Sepanjang hidup dia hanya kenal sosok ibu dan tidak tahu sedikit pun tentang ayah dan keluarga besarnya. Dan pencarian alamat di Banyuwangi menjadi momen berharga Gilang belajar soal kehidupan dari rentetan kejadian yang ia alami sendiri atau pun dari cerita-cerita orang yang ia temui.

Di sini juga disinggung soal perlawanan warga Wanirejo terhadap pemimpin daerah yang akan melakukan penggusuran warga demi pertambangan. Kasus ini banyak ditemui dimana orang-orang berkuasa memberi ijin untuk proyek tambang tanpa memikirkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Warga yang diiming-imingi uang ganti rugi akan jadi korban. Uang seberapa banyaknya pun pasti akan habis. Dan ketika itu terjadi, tanah yang harusnya jadi tempat bergantung sudah raib.

Penulis membeberkan perjalanan Gilang dari Bogor ke Banyuwangi dengan penuh liku-liku. Tapi yang paling berkesan untuk saya ada dua momen. Pertama, saat dia kehilangan motor beserta perbekalan. Rasanya saya ikut terbawa nelangsa. Tidak tahu lagi harus melakukan apa. Ingin membatalkan ke Banyuwangi tapi sayang sudah sejauh itu, mau balik ke Bogor pun rasanya tidak pantas. Kedua, saat Gilang melakukan pendakian ke Puncak Merbabu. Saya selalu terkesan dengan cerita-cerita pendakian. Mungkin karena itu salah satu keinginan saya yang belum terwujud hingga saat ini.

Novel ini kaya dengan pembelajaran hidup. Banyak banget nasihat-nasihat yang dituturkan penulis tanpa menggurui. Mungkin karena dibalut dalam pengalaman para tokoh yang ada di sini jadinya saya begitu legowo memahami maknanya. Nilai agama islam juga begitu terasa di sini namun penulis membawakanya dengan apik membaur pada alur cerita.

Ending cerita dieksekusi dengan bijak walaupun untuk saya pribadi itu pilihan yang berat. Tujuan dia menemukan nama kakeknya yang akan ditulis di batu nisan makam ibunya sudah jadi ujung yang cukup. Dia memilih tidak melakukan konfrontasi dengan ayahnya. Dia menerima semua jalan hidup yang disusun Tuhan. 

Perubahan sosok Gilang yang di awal perjalanan menggebu, bingung, tidak tahu bakal bagaimana jika ia bertemu ayahnya, akhirnya berubah seiring perjalanan panjang yang dia lalui. Dia belajar banyak hal dan memetik kebijaksanaan. Saya kira ini pelajaran buat siapa pun, pengalaman hidup selalu bisa mematangkan karakter seseroang.

Novel ini jadi novel ketiga yang saya baca dari penulis dan saya selalu suka dengan karyanya karena ditulis dengan diksi yang tidak bertele-tele, porsinya pas ketika harus menggali kedalaman emosi, dan sokongan drama keluarga menjadikan rasa kisahnya menghangatkan hati dan penuh keharuan.

Kekurangan novel ini hanya satu, kovernya tidak menarik. Poin ini saya ungkapkan juga di ulasan novel Seribu Wajah Ayah. Terlalu sederhana dan suram. Rasanya isi cerita yang begitu menyentuh belum terwakilkan dengan kovernya yang berwarna hijau dan menampilkan sosok Gilang yang menggendong ransel naik gunung. Mungkin jika latarnya diganti dengan pemandangan di Puncak Merbabu, novel ini bakal lebih dilirik pembaca.

Dari novel ini saya belajar soal penerimaan terhadap takdir yang sudah ditetapkan Allah SWT. Banyak hal dari hidup yang kita pertanyakan terutama bagian yang tidak menyenangkan. Kenapa saya harus lahir? Kenapa saya harus memiliki orang tua yang sekarang? Kenapa orang tua miskin? Kenapa saya harus lelah-lelah memperjuangkan hidup sedangkan yang lain bisa kelihatan senang-senang saja? Dan novel ini memberi contoh bagaimana cara menerima semua keluhan tadi dan gugatan kita atas hidup yang sedang kita jalani.

Secara keseluruhan, saya begitu menikmati kisah perjalanan Gilang yang penuh drama dan pelajaran hidup dalam novel ini. Dan bagi siapa pun yang ingin merenungkan kembali makna keluarga terutama tentang ayah dan ibu, novel ini bisa jadi rekomendasi untuk dibaca.

Nah, sekian ulasan saya untuk novel Janji Untuk Ayah ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



Catatan:

  • Kita merasa takut bukan karena tidak bisa. Kita merasa takut karena tidak biasa (hal. 50)
  • Kalau tak bisa buat orang bahagia, paling tidak jangan sakiti hatinya (hal. 61)
  • Hidup yang damai, dimulai dengan menerima hal-hal yang enggak bisa kita ubah (hal. 77)
  • Kita punya tujuan besar, tapi kita breakdown tujuan itu jadi langkah-langkah yang lebih kecil. Langkah-langkah yang mudah dicapai (hal. 80)
  • Sesuatu bernilai tinggi bukan hanya karena bentuknya. Tetapi juga perjuangan untuk mendapatkannya (hal. 86)
  • Dalam hidup ini, seenggaknya kita harus punya tiga hal ini: kebebasan untuk memilih, keberanian untuk menggeleng, dan nyali untuk melawan (hal. 90)
  • Kita kita memang harus berjalan sendiri, tanpa punya banyak pilihan. Tapi, percayalah, tak pernah ada manusia yang benar-benar sendiri (hal. 96)
  • Hidup itu sebenarnya sederhana, yang hebat-hebat cuma tafsirannya (hal. 117)
  • Setahu saya, rasa takut tidak akan membuat kematian berhenti datang. Rasa takut justru membuatmu berhenti hidup (hal. 124)
  • Untung rugi dalam hidup, menurutku, adalah tentang seberapa optimal kita menggunakan waktu yang Tuhan kasih (hal. 130)
  • Momen ketika kita kehilangan segalanya, kadang adalah momen untuk menemukan diri sendiri (hal. 148)

November 12, 2021

[EBook] Seribu Wajah Ayah - Nurun Ala

gambar diunduh dari google playbook, diedit

Judul: Seribu Wajah Ayah

Penulis: Nurun Ala

Editor: Yayi Dewintya & Indah Sipahutar

Penerbit: Grasindo

Terbit: Maret 2020

Tebal: 144 hlm.

ISBN: 9786020522678

***

Malam ini, kamu dipaksa untuk menengok ke belakang sampai lehermu pegal. Kamu dipaksa untuk berkejar-kejaran dengan waktu untuk kembali memunguti potongan masa lalu. Beragam ekspresi wajah ayahmu seketika hadir membayang: bahagia, sedih, bangga, marah, murung, kecewa, dan aneka ekspresi lain yang kamu terlalu lugu untuk mendefinisikannya. Meskipun begitu, kamu yakin betul, masih banyak wajah yang ia sembunyikan di hadapanmu. Juga, yang tak benar-benar kamu perhatikan karena kamu terlalu asyik dan sibuk dengan duniamu. Ada sesal di sana, tentang ketulusan yang kamu campakkan. Tentang rindu yang dibawa pergi. Tentang budi yang tak sempat—dan memang tak akan pernah—terbalas. Seribu wajah ayah sekalipun yang kamu kenang dan ratapi malam ini, tak ‘kan pernah mengembalikannya.

***

Novel Seribu Wajah Ayah menceritakan tentang tokoh utamanya 'Kamu', berusia 22 tahun, yang berduka mendalam karena tidak bisa berada di sisi sang ayah ketika ajal menjelang. Kamu ada di luar negeri sedang menempuh kuliah S2 sehingga baru bisa sampai rumah di hari ke-2 setelah ayah dimakamkan.

Dari penuturan Om-nya kamu tahu bagaimana merindunya sang ayah, tapi sang ayah tidak ingin mengganggu kuliahmu sehingga memilih memendamnya seorang diri. Kamu semakin sedih karena tahu sang ayah pernah tidak mendukung kepergianmu ke luar negeri.

Album foto di kamar ayah yang berisi 10 lembar foto, merekam perjalanan kamu dari kecil sampai dewasa. 10 lembar foto yang menguak segala pelajaran yang diberikan ayah kamu. Dan setelah menapaki 10 lembar foto, kamu harus memilih meratapi kesedihan yang meluluhlantakkan hatimu atau memilih melanjutkan kehidupan dengan berdamai dengan masa lalu.

Novel ini tuh ibarat air yang menyiram kembang hampir mati di pot. Dari prolognya saja saya sudah dibuat berkaca-kaca karena muncul ketakutan yang sama dengan tokoh 'kamu', takut kehilangan ayah sebelum membahagiakannya.

Kemudian berjalannya cerita, dari 10 lembar foto itu kita akan mendapatkan banyak pelajaran hidup yang dipraktikan sang ayah bersama anak laki-lakinya itu. Pelajaran hidup yang beliau berikan itu sesuai dengan masalah yang muncul seiring pertumbuhan si anak. Disampaikan dengan lembut dan hati-hati sesuai ajaran agama Islam.

Pada saat usia SD, si anak yang tidak pernah mendapatkan gambaran sosok ibunya, bereaksi kesal, takut, sedih, bingung, ketika dia mendapatkan tugas membuat puisi dengan tema ibu, dan mesti dibacakan untuk ibunya. Ekspresi si ayah ketika melihat anaknya begitu, dia cuma bisa memeluk anaknya itu dengan erat, sambil menahan luapan emosi sedih tak terkira. Akhirnya, si anak dibawa ke makam ibunya. Malam itu mereka berdua membahas dan menyelesaikan puisi tentang ibu yang akan dibacakan pada esok hari.

Pada saat SMP, si anak mulai mengenal pergaulan. Sampai pada saat kelulusan, si anak pulang larut malam dengan mengendap-endap. Ternyata si ayah memergoki dengan wajah kecewa. Si ayah marah tapi bukan yang meledak-ledak. Justru dia ajak si anak berbicara dari hati ke hati. Si ayah ingin si anak lebih bertanggung jawab dengan semua yang dilakukannya.

"Ayah dan ibu takut, enggak bisa menjaga dan mendidik titipan Allah dengan baik. Takut sekali. Karena pasti diminta pertanggungjawaban nanti. Bapak dan ibu enggak mau jadi orang tua yang durhaka. Perasaan takut itu mulai hilang waktu kamu balita, TK, SD, dan seterusnya-makin pudar. Ayah senang sekali, kamu enggak pernah melakukan yang aneh-aneh" (hal. 72)

Dan di usia SMA, dimana si anak mulai merasakan jatuh cinta, kembali si ayah memberikan nasihat sebagai bentuk kewaspadaan dia terhadap kemungkinan buruk yang banyak dilakukan remaja ketika jatuh cinta.

"Setiap orang bisa jatuh cinta, kapan saja, pada siapa saja. Tapi, kalau mencintai itu beda. mencintai itu, enggak mudah. Setidaknya, kita butuh dua hal. Kemantapan hati dan kemampuan. Ayah mulai menaksir ibumu berbulan-bulan sebelum menikah. Hati ayah sudah mantap. Tapi, waktu itu ayah merasa belum punya cukup kemampuan untuk membahagiakan ibu. Maka, ayah menyiapkan diri dulu sampai ayah mampu, baru berani mengungkapkan perasaan ayah dan keinginan ayah menikahi ibu." (hal. 84)

Konflik besarnya adalah ketika si anak dengan egois melanjutkan kuliah S2 di luar negeri padahal saat itu ayahnya menginginkan agar si anak dekat dengannya. Justru ketika debat itu si anak sampai membentak ayahnya untuk yang pertama kalinya. Bahkan si anak menyebut keinginan ayahnya sebagai sikap kekanak-kanakan. Kesedihan luar biasa dirasakan si ayah sampai sakit karena menanggung rindu selama anaknya berada jauh.

Cerita mengenai ayah-anak ini dibawakan dengan narasi sederhana tapi sangat tepat sasaran untuk dipahami pembaca. Dengan menggunakan sudut pandang orang kedua makanya muncul tokoh 'kamu' membuat ceritanya begitu dekat dengan pembaca. Alur yang dipakai dominasi alur mundur untuk kilas balik setiap perjalanan hidup yang sudah dilalui ayah-anak ini.

Membaca buku ini kita akan merasakan kemiripan dengan buku Sabtu Bersama Bapak karya Adhitya Mulya. Sama-sama membahas soal sosok ayah dan kebaikannya. Sama-sama menggunakan benda untuk menyampaikan masa lalu dan pelajaran hidup. Kalau di novel Sabtu Bersama Bapak menggunakan rekaman video, sedangkan di novel Seribu Wajah Ayah ini menggunakan foto.

Kekurangan novel ini hanya satu, kovernya yang menurut saya terlalu biasa dan condong ke buram. Saya menilai demikian karena mengakui cerita di novel ini tuh cemerlang dan berbobot. Sayang saja kalau banyak pembaca menilai kovernya biasa sehingga bikin urung membaca ceritanya.

Dari novel ini saya belajar jika orang tua adalah prioritas utama dalam segala hal. Kita sebagai anak harus merendahkan hati ketika ada perbedaan pendapat. Melihat dari sudut pandang mereka dulu, baru menilai. Sebab, ketika kita kehilangan mereka, saat itu juga kita akan sadar sebanyak apapun yang sudah kita lakukan nggak pernah sebanding dengan cinta mereka. Saya beruntung masih memiliki ayah dan ibu, tapi saya sudah membayangkan jika mereka nggak ada nanti, saya nggak tau hidup saya akan sekacau apa. Saya pasti bakal merasa ada lubang besar di dada yang nggak akan pernah bisa ditutup oleh apapun.

Untuk novel yang menguras air mata ini saya memberikan nilai 5 bintang dari 5 bintang. Saya merekomendasikan buat semua pembaca untuk membaca buku ini sebab nilai-nilai hidup di dalamnya akan membuat kita seperti terlahir kembali.



Agustus 29, 2021

[Resensi] Sakura di Langit Osaka - Arizu Kazura



Judul: Sakura di Langit Osaka

Penulis: Arizu Kazura

Editor: Cicilia Prima

Penerbit: Grasindo

Terbit: Oktober 2017, cetakan pertama

Tebal buku: vi + 242 hlm.

ISBN: 9786024524098

***

Naya Wijaya - Pernah disakiti, hatinya dilukai, harapannya dipatahkan, hingga membuatnya sulit membuka hati dan percaya kepada laki-laki, menaruh kebencian yang mendalam kepada laki-laki pemilik mata dengan tatapan tajam- yang pantang menyerah dalam mendapatkan hatinya- itu sejak bertemu.

Nishimura Tetsuya - Pernah dikhianati, dikecewakan dan dipermalukan di depan orang banyak karena gagal menikah, hingga membuat dirinya enggan jatuh cinta dan lebih menyukai hidup sendiri, menaruh rasa kepada wanita pemilik senyum cantik ebrlesung pipi- yang ingin dimilikinya- itu ketika wajah cantiknya berada dalam frame kameranya.

Mereka bertemu di bawah langit musim semi. Berawal dari pertemuan yang tidak menyenangkan saat sakura sedang bermekaran hingga berubah menjadi dirindukan, tiba-tiba keduanya ingin jatuh cinta lagi. Mereka ingin bahagia lagi. Tapi, mampukah keduanya saling melengkapi? Menutup luka lama dengan kebahagiaan yang sekarang dirasa? Atau malah sebaliknya, pertemuan itu adalah awal bagi hadirnya luka baru yang lebih menyiksa?

***

Saya beli novel Sakura di Langit Osaka karya Arizu Kazura saat gramedia.com bikin bazar murah dan hanya dengan harga 6.000,-. Kovernya yang didominasi warna pink, persis warna kelopak bunga sakura, terkesan 'perempuan' banget. Alasan ini yang bikin saya agak malu kalo harus membaca novel ini di luar kosan.

Kover ini juga mengecoh saya mengetahui kalo penulis Arizu Kazura ini ternyata seorang penulis laki-laki. Saya pikir penulisnya perempuan lho! Saya baru tahu kalau nama asli penulis adalah Aris Kurniawan ketika baca profil penulis di halaman paling belakang.

Novel Sakura di Langit Osaka adalah noval roman, dan membaca novel roman yang paling dicari adalah alurnya yang dirajut dengan konflik-konflik pasangan kekasih. Sebab novel roman pasti berkutat di masalah sepasang kekasih, yang ragam masalahnya banyak banget. Konflik yang saya maksud sebenarnya bisa dan sering kita temukan di novel yang lain, karya penulis lain. Gara-gara ini, penulis novel roman harus bisa mengemas ceritanya dengan lebih mengesankan pembaca sehingga akan terus diingat karyanya.

Unsur novel roman kurang lebih begini: perasaan suka, jatuh cinta, cemburu, butuh perhatian, masa lalu, komunikasi romantis, restu, pernikahan impian. Kebanyakan novel roman isinya sekitar itu. Dan yang bikin saya memilih baca novel Sakura di Langit Osaka karena berharap akan mendapatkan cerita yang punya unsur salah satunya.

Naya, si tokoh utama perempuan, akan pergi ke Osaka, Jepang, untuk urusan kerja. Usianya yang sudah 27 tahun, dikhawatirkan oleh ibunya. Terbayang, kontrak 3 tahun di Osaka, dan ketika pulang ke Indonesia usianya sudah 30 tahun, belum menikah. Tapi Naya meyakinkan Ibunya jika sudah ketemu pasangan yang tepat, dia akan segera mengakhiri masa lajangnya.

Setibanya Naya di Osaka, dia justru bertemu pria menyebalkan, Nishimura Tetsuya. Pertemuan mereka terus berlanjut ke pertemuan lainnya, dan tetap hanya bikin Naya kesal saja. Namun bergulirnya waktu, siapa sangka perasaan bisa berubah. Tetsuya mulai mengisi hari-hari Naya dengan perhatian, petikan gitar, dan perlakuan romantis. Yuri, sahabat Naya, ikut senang karena kehadiran Naya merubah banyak kebiasaan Tetsuya.

Tapi kemudian 'Dia' yang berasal dari masa lalunya muncul kembali di tengah-tengah. Mencoba merekonsiliasi hubungan yang sudah rusak, mengais kemungkinan-kemungkinan bagi mereka untuk merajut asmara seperti dulu. 'Dia' bukan hanya ada di sisi Naya, tapi ada 'Dia' juga di sisi Tetsuya.

Tanda Tanya Besar Masa Lalu dan Dia

Saya akui fungsi prolog di novel ini cukup baik, dengan menyebutkan petunjuk yang samar dan membuat pembaca bertanya-tanya, bakal sukses bikin pembaca membuka halaman novel selanjutnya. Percakapan Naya dan Ibunya di prolog halaman 4, memancing rasa penasaran saya. Disitu disinggung kejadian pilu Naya pada tujuh tahun lalu, dan disangkutpautkan dengan 'Dia', yang entah siapa.

"Apa begitu sulit untuk membukanya dan membiarkan laki-laki lain mengisi kekosongan di dalamnya? Sudah tujuh tahun lho, Nduk. Apakah selama itu juga perasaanmu masih sama kepadanya?" (hal. 4).

"Tentang aku yang tidak bisa jatuh cinta dan membuka hati untuk laki-laki lain, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan siapa pun. Termasuk dia yang Ibu pikirkan. Aku bahkan sudah lupa. Aku tidak mengingatnya. Jadi, bagaimana bisa seseorang yang sudah tidak ada di pikiranku menghalangiku untuk jatuh cinta lagi?" (hal. 4).

Isue yang Masih Eksis

Dalam novel ini diangkat isu-isu yang eksis di kehidupan sehari-hari, dan masih menjadi bahan diskusi yang panjang. Misalnya soal usia ideal perempuan untuk menikah, dan soal adanya pandangan kemapanan seorang laki-laki sebagai kriteria pasangan membahagiakan. Dua isu ini tidak begitu banyak disinggung, tapi lumayan membekas ketika kita membaca bagian itu.

Untuk isu usia ideal menikah lumayan menohok karena pandangan ini disampaikan dari sisi seorang ibu. Kita sebagai anak tidak bisa mengatur perasaan ibu terkait sudut pandangnya. Tapi kita harus tahu perasaan ibu yang prihatin jika pada usia kita yang cukup untuk menikah, kita belum juga memijak fase itu. Dan langkah tepat untuk meluruskan perbedaan pendapat ini ya dengan komunikasi yang baik dan santun. Seorang ibu pada akhirnya akan memahami kondisi kita, karena dalih mereka menyinggung usia ideal menikah hanya untuk mengingatkan anaknya.

Sedangkan pembahasan soal kemapanan sebagai pilihan pasangan tepat, hanya disampaikan sepintas oleh Yuri ketika memberikan saran kepada Naya untuk tidak membuang kesempatan memiliki Tetsuya. Apalagi keseluruahn tokoh di novel ini digambarkan memiliki kondisi ekonomi tengah dan atas. Sehingga saya tidak menemukan pembanding apa resikonya memiliki pasangan biasa dan pasangan mapan.

Rasa Novel Karya Ilana Tan

Dari segi penceritaan dan penokohan, saya merasakan rasa novel ini tuh mirip novel karya Ilana Tan. Saya memang baru membaca satu judul karya Ilana Tan yang Autum in Paris, namun saya bisa menyebutkan apa saja kemiripan antara novel ini dengan novel Ilana Tan.

Pertama, latar kisah sama-sama di luar negeri. Dan setau saya ada juga karya Ilana Tan yang latarnya di Jepang, yakni novel Winter in Tokyo. Musim pada akhirnya memiliki peran penting untuk membangun hubungan romantis antar tokoh-tokohnya. Jika pada Winter in Tokyo memakai musim salju, di novel ini memakai musim semi dan gugur, pada saat bunga sakura berkembang indah sampai pada saat bergugurannya.

Kedua, tokoh-tokoh yang dikarang penulis merupakan orang-orang dewasa yang latar belakangnya bukan ekonomi bawah sekali. Profesi atau latar pribadi mereka cukup baik sehingga ekonomi bukan jadi unsur cerita yang fital yang membangun alurnya. Di novel ini disebutkan profesi kantor konstruksi. Kita pasti tahu kemakmuran orang-orang yang bekerja di perusahaan konstruksi, apalagi jika perusahaan tersebut sampai menangani proyek luar negeri.

Ketiga, tema 'benci jadi cinta' menjadi benang merah yang masih dipakai kedua penulis untuk merajut kisah romantisnya. Ciri paling mencolok, pada awal kisah akan dimulai dengan pertengkaran-pertengkaran kecil. Semakin ke belakang, kedua tokoh makin menguat memiliki perasaan suka, perasaan kagum, perasaan ketergantungan satu sama lain, dan berujung 'aku suka kamu, kamu suka aku'.

Keempat, diksi yang formal sekali. Apalagi jika sudah menggunakan kata 'aku, kau, kamu'. Ditambah tidak ada penggunaan kata-kata gaul, akan membuat novel terasa lancar alurnya tapi kaku. Kalimat-kalimat percakapan di novel ini pun lebih ke percakapan tulisan, bukan lisan, sebab komposisi kalimat dan penggunaan kosa katanya begitu formal.

"Bagaimana? Apa kau yakin kau sudah melupakanku sepenuhnya?" (hal. 178)

Kelima, kover novel ini mirip dengan kover novel Winter in Tokyo. Saya sampai menyandingkan kover keduanya, dan setuju jika mirip sekali.




Apa Kesan Setelah Membaca Novel Sakura di Langit Osaka?

Seru. Pasangan yang awalnya tidak saling suka, seiring berjalannya waktu, mereka jadi saling cinta. Di novel ini proses perubahan perasaan Naya dan Tetsuya dijabarkan pelan-pelan, tidak tergesa-gesa, sehingga pembaca tidak dibuat kaget dengan perubahan yang tiba-tiba.

Kurang puas karena ada bagian-bagian tertentu yang mau tidak mau harus disingkat sedemikian rupa agar novel harus segera diakhiri. Misalnya, kepulangan Naya ke Indonesia, dan masa penyembuhan Tetsuya pasca mengalami kecelakaan di lokasi proyek.

Memilih kontrak 3 tahun di Osaka, Jepang, jelas menjadi tantangan penulis mengemas kisah tokoh-tokohnya, karena penulis harus bisa memangkas waktu, memberikan dinamika konflik, bahkan harus memetakan kapan dimulai, kapan memuncak, dan kapan kisah harus diselesaikan. 

Tetapi untuk novel Sakura di Langit Osaka ini menurut saya sudah cukup baik dieksekusi penulis. Dan kalo harus memberi nilai, saya beri 3 bintang dari 5 bintang.

Karena novel ini sebuah sekuel, saya makin penasaran dengan novel sebelumnya, Sekelopak Bunga Sakura. 

Sekian ulasan saya untuk novel Sakura di Langit Osaka, terakhir, jaga kesehatan dan selamat membaca buku!

Agustus 20, 2020

Unboxing: Novel 5CM. Aku, Kamu, Samudra, dan Bintang-Bintang - Donny Dhirgantoro


Na, na, na, na, na...

Bacanya pakai senandung, terserah kalian yo!

Jadi, salah satu buku yang pernah bikin saya nangis adalah novel 5cm, yang ditulis Donny Dhirgantoro. Adegannya, pas di Gunung Mahameru ketika ada salah satu dari lima yang mengalami cedera. Itu beneran meresap ke jantung sampai saya nangis dan berhasrat pengen naik gunung. Apalah daya, keinginan nggak semua langsung dikabulkan. Sampai sekarang belum juga terwujud pengen naik gunung. Semoga aja bisa terwujud sebelum saya mati kelak.

Lalu, ketika ada kabar PO untuk buku sekuelnya, yang dikasih judul 5CM. Aku, Kamu, Samudra, dan Bintang-Bintang, saya memaksakan merogoh kantong untuk ikutan beli.

Harga asli bukunya Rp.115.000, sedangkan di program PO Gramedia ini ada diskon 20% jadi Rp.92.000,-. Lumayan banget bukan?!

Nah, ini juga jadi pengalaman pertama saya membeli buku PO di Gramedia pakai WA. Jadi kalau kita mau ongkirnya kecil atau tanpa ongkir, bisa banget pesannya lewat WA Gramedia yang tokonya terdekat dengan rumah kita.

Kalau nggak salah ada di akun twitter Gramedia yang memberikan link nomor WA Gramedia. Siapa tahu Gramedia di kota kalian sudah termasuk yang menyediakan layanan ini.

Untuk PO buku sekuel 5CM ini, saya baru dapat kabar pas tanggal 17 Agustus kemarin, kalau bukunya sudah siap di toko buku. Dan saya sendiri baru bisa ambil bukunya di tanggal 18 Agustus sepulang kerja.

Sekarang... buku sudah di tangan dan sudah dibaca juga beberapa halaman.

Terima kasih Gramedia Cipto Cirebon atas responsif-nya. Pelayanannya sangat membantu mengurangi ongkir, hehehe.

September 27, 2018

[Resensi] Friendzone: Lempar Kode, Sembunyi Hati - Alnira


Judul: Friendzone: Lempar Kode, Sembunyi Hati
Penulis: Alnira
Penyunting: Tim Editor Fiksi
Desain sampul: Aqsho Zulhida
Penerbit: Grasindo
Terbit: April 2018
Tebal buku: 310 halaman
ISBN: 9786024528423
Nilai: 4/5

Ini kali pertama saya membaca karya dari seorang Alnira yang menurut data profilnya sudah menerbitkan delapan judul novel, termasuk yang ini. Penulis baru (atau bukan baru-baru banget) yang produktif sekali ternyata.

Lagi, saya membaca novel roman yang tema utamanya friendzone. Permasalahan temanya seputar kebimbangan merubah status teman ke pacar. Tokoh utamanya Dira dan Ransi. Mereka bagian dari sekumpulan pertemanan sejak SMA: Angga, Maya, Wisnu, Okta. Dira sadar kalau dia suka Ransi yang suka ngasih kode romantis. Sayangnya si Ransi nggak pernah terus terang dan hanya main kode-kodean. Pernah Dira iseng menegaskan maksud Ransi, eh malah dikatain kegeeran. Berikutnya dia malas bahas kepastian. Dan si Ransi masih nggak berubah. Dalam permasalahan roman ini Dira yang lebih banyak makan hati.

Subkonflik lainnya, Maya suka Angga, tapi Angga jadiannya sama Okta. Wisnu suka Maya, Mayanya pacaran sama yang lain. Subkonflik yang cukup ampuh mempermanis konflik utamanya biar nggak jadi membosankan. Eh, tapi membaca konflik utamanya aja nggak bakal bosan. Jaminan. Malah seru.

Berikut catatan yang saya bikin setelah membaca tuntas bukunya: 
  1. Saya ngiri sama pertemanan mereka yang solid. Walau setelah mereka beranjak dewasa, mereka masih menyempatkan diri berkabar dan berkumpul untuk update keadaan terbaru. Ah, pokoknya beda banget sama saya dan sahabat-sahabat SMA yang kemudian sibuk dengan dunia masing-masing.
  2. Saya mendapatkan pelajaran penting tentang cara memperhatikan perempuan hingga apa saja yang mesti dipersiapkan untuk menghalalkannya. Dewasa banget pesan moralnya.
  3. Banyak prinsip hidup dari masing-masing tokoh yang bisa dipetik. Cukup untuk menjadi pengingat dalam hal kebaikan.

Pengen banyak berkomentar tapi mendadak kaku. Jadi, saya sudahi saja dulu. Semoga saya punya kesempatan membaca buku karya Alnira lainnya.

Maret 11, 2018

[Resensi] Warm Heart - Ullianne


Judul: Warm Heart
Penulis: Ullianne
Penyunting: Tim Editor Fiksi
Penerbit: Grasindo
Terbit: Februari 2018
Tebal buku: 150 halaman
ISBN: 9786024529055
Harga: Rp49.000 (via bukabuku.com)
Nilai: 2/5

Jangan pernah membenci saya jika saya mengulas novel kalian dengan terus terang. Saya pembaca saja, dan saya bisa menilai suka atau tidak suka terhadap bacaan saya, dengan mempertimbangkan beberapa standar pribadi. Dan jangan sekali-sekali membalik kritikan saya dengan ungkapan, "Kalo gitu, silakan tulis sendiri kisah yang bagus menurutmu!!!".

Tidak butuh waktu lama buat saya untuk bisa menuntaskan membaca novel kedua dari Ulianne ini. Novel pertamanya justru saya belum baca. Dan begitu selesai baca, saya tahu saya akan menuliskan banyak hal yang tak bagus tentang novel ini.

Saya tahu ini novel percintaan dan saya mengakui kalau kadar romannya sangat kental. Berkisah tentang gadis bernama Clara yang pulang ke Indonesia setelah menetap selama lima tahun di Singapura, dalam rangka menjauh dari laki-laki yang sudah menorehkan luka. Laki-laki itu bernama Andre, dia adalah sahabat dekatnya Clara. Ada satu kejadian penting yang terjadi antara Clara dan Andre hingga keduanya menjauh dengan memendam amarah dan tekad untuk saling melupakan. Lima tahun yang berlalu ternyata tidak membuat amarah dan tekad itu terlaksana. Keduanya justru dirundung pilu atas usaha-usaha melupakan yang justru makin memperbesar rasa rindu. Pertemuan itu kembali terjadi dan keduanya mati-matian menghindar tapi proyek kerjaan membuat mereka harus terus bersinggungan.

Konflik percintaan yang dibahas penulis terlalu diperpanjang. Lagi-lagi-lagi-lagi penulis membahas masa lalu di lima tahun kemarin, tanpa menerangkan apa yang terjadi. Saya menunggu dan penasaran dengan kejadian tersebut, dan ketika hampir mencapai akhir buku, saya harus mengelus dada. Tidak ada perpisahan yang diakibatkan oleh peristiwa besar. Jadi, mereka saling benci dan menahan amarah hanya karena takut melangkah ke babak lain dan mereka tidak berani terus terang? Sedangkan seakan-akan masalahnya lebih besar daripada itu jika dilihat bagaimana penulis mau membuka twist-nya di akhir. Saya super kecewa.

Noktah hitam muncul dari segi typo. Banyak saya temukan kata-kata yang kurang hurup atau salah hurup. Bikin gemas saja. Bukan apa-apa, Grasindo itu penerbit besar yang sudah tentu punya tim hebat dan jeli untuk sekadar memeriksa aksara. Saya malah berkesimpulan, mengejar targetkah hingga masalah typo saja bisa kelolosan. Jangan bilang, "Kan kami juga manusia biasa." Ergggggh.

Lalu, apa sih pelajaran yang bisa dipetik dari novel Warm Heart ini? Terus terang sajalah. Yap, jangan suka memendam apa yang pengen diutarakan. Jangan kebanyakan mikir nanti bagaimana. Sebab, kalau sudah terlanjur makin rumit masalahnya, kita harus memulai dari nol dan beradaptasi dengan perubahan yang terlanjur sudah dimulai. Clara dan Andre memang terlalu membiarkan masalah berkembang makin besar tanpa tahu dengan jelas masalah sebenarnya. Mereka berdua hanya mengandalkan kesimpulan pribadi saja. Dan lihat hasilnya, mereka dibelenggu masalah yang bias dan ketika takdir mendorong mereka untuk menuntaskan masalah itu, mereka harus ekstra berupaya menolerir keadaan yang sudah kaku. Betapa tidak menyenangkannya berada di kondisi demikian.

Yang jelas, novel ini juga terlalu terburu-buru. Saya bahkan sulit menentukan apa yang berkesan dari novel ini, bukan karena banyak pilihan, melainkan karena saya tidak menemukan dimana. Biar demikian, saya apresiasi karena penulis sukses menyelesaikan kedua novel hingga dipinang penerbit. Semoga sedikit ulasan ini bisa memberikan pelajaran agar di karya selanjutnya menjadi lebih baik.

Oktober 14, 2016

[Resensi] San Francisco - Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Segar, itu yang saya rasakan membaca novel ini. Banyak keunggulan yang dimunculkan penulis sehingga membaca menjadi kegiatan yang dinamis. Pengetahuan musik pun menjadi bobot yang menambah pengetahuan pembaca, saya.

Judul: San Francisco
Penulis: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Editor: Septi Ws
Desain sampul: Teguh
Ilustrator isi: Tim Desian Broccoli
Penata isi: Tim Desain Broccoli
Penerbit: PT Grasindo
Terbit: Juli 2016
Tebal buku: iv + 220 halaman
ISBN: 9786023755929
Harga buku: Rp60.000 

Satu-satunya yang menarik dari cowok bernama Ansel adalah badannya yang tinggi, kegemarannya akan musik klasik, dan senar-senar harpa di ujung jarinya. Ansel bekerja di Suicide Prevention Center, bertugas mengangkat telepon, hingga akhirnya ia menemukan hal menarik yang baru: Rani – gadis dari negeri asing yang mengiris nadi setiap dua hari sekali.

Sekarang sebagian besar kehidupan Ansel berputar di sekitar Rani. Dan, Ansel bertanya-tanya apakah pertemuan mereka di Golden Gate Bridge San Francisco adalah takdir, atau sekedar kesialan? Karena dari sini, mobil kabel yang membawa kisah mereka bisa saja menanjak terus hingga setengah jalan menuju bintang, atau justru terjebak dalam kabut di atas perairan biru dan berangin San Francisco.

***

Jujur saja, saya merasa jalan cerita pada novel ini dibuat buram oleh ‘pritilan’ mengenai musik klasik dan informasi di dalamnya, entah kisah penciptaan musiknya, atau kisah hidup si penciptanya. Sehingga benang merah yang seharusnya menonjol, tidak begitu saya rasakan. Emm, tepatnya, saya seharusnya mendapatkan banyak momen berkesan dari alur yang diciptakan. Singkat saja, novel ini sebenarnya soal tokoh punya pacar – ketemu tokoh lain yang punya pacar –merasakan rasa sayang – memilih akan bagaimana. Itu saja, tapi bisa menjadi novel 200-an halaman karena banyak dialog tambahan. Kalau saya harus mencari momen atau adegan mana yang favorit, saya harus katakan tidak ada. Sorry...

Di penyajian ide cerita yang tidak memikat versi saya, saya harus mengakui jika penulis bercerita dengan sangat baik. Penulis seperti memilih adegan-adegan yang tidak biasa sehingga rasa yang ditimbulkan dari plot maju itu, tidak normal. Contoh adegan yang membuat saya kaget, ketika Ansel tidur di apartemen Rani kemudian bangun pagi dan mendapati di sampingnya ada sosok pemuda. Saya sempat kaget siapa si pemuda itu, dan bukannya harusnya Rani yang tertidur di samping Ansel, begitu kalau di novel-novel penulis lain, biasanya. Dan masih banyak lagi adegan yang tidak normal lainnya. Juga, diksi yang dipakai penulis sangat – sangat lugas dan saya seperti membaca novel terjemahan. Efeknya tentu saja tidak akan bosan baca sampai halaman terakhir.

Karena seri novel ini mengangkat kota istimewa yang dibalut kisah cinta, kota San Francisco tidak terkulik total, menurut saya. Hanya spot jembatan Golden Gate Bridge yang dimunculkan. Kelirunya jelas, karena musik klasik itu yang mendominasi dan hampir memenuhi objek cerita yang menghidupkan kisah Ansel dan Rani. Saya tidak kemana-kemana dan saya disuguhi musik yang tetap asing. Itu jelas masalah sebab saya harusnya membaca buku ini serasa piknik.

Saya juga perlu berterima kasih kepada penulis oleh dialog bahasa inggris yang kemudian ia terjemahkan. Sumpah, kalau pola demikian tidak dipilih oleh penulis, saya lebih memilih segera menutup novel dari pada pusing. Makanya, ini pola yang renyah dan nyaman. Thanks to you, Ziggy!

Ansel itu tidak spesial, penyuka musik klasik. Di novel ini, di mata saya, perannya hanya sebatas penyampai cerita dan salah satu benang warna yang dihubungkan dengan karakter lainnya yang lebih berkesan. Rani itu sensitif, suka putus asa, dan bisa jadi negatif thinking. Hasrat bunuh diri itu parameternya. Kok bisa sedepresi itu sehingga bunuh diri baginya sangat normal? Tokoh favorit jatuh pada Benji, serba selalu bisa, tidak egois, dewasa dengan caranya, dan tentu saja unik. Lalu tokoh samping lainnya; Ada, Gretchen, Dexter, Maria, teman-teman band Benji, punya porsi yang pas di cerita, tidak ada yang berusaha mendominasi.

Lalu menilik kovernya yang merah, ini elegan. Ah, seperti kover Roma karya Pia Devina. Tentu saja, saya suka kover-kover seri A Love Story yang lainnya juga. Terasa baru dan aman buat saya sebagai pembaca pria ketika meletakkannya di meja kerja dan bukan tidak mungkin dilihat orang lain.

Kemudian yang saya terima sebagai pesan moral di sini adalah mencintai itu tugas yang tidak bisa dibarengi egois. Tidak semua yang kita perjuangkan akan diberikan Tuhan sebagai reward. Termasuk jodoh. Seberapa kita ingin bersama si A, lalu Tuhan menulis takdir jodoh dengan si Z, maka itulah yang akan terjadi. Maka, terimalah jalan cerita hidup seaneh apa pun dengan pikiran yang luas. Di situ akan ditemukan rasa syukur jika ini bagian hidup terbaik yang dirancang Tuhan.

“Ini cuma pemikiranku saja, tapi menurutku tidak semua orang harus menikahi orang yang dicintainya, tidak semua orang harus mendapatkan pekerjaan yang sesuai untuknya, atau menjadi orang yang selalu diinginkan. Kau harus selalu ingat kalau, bahkan dalam buku cerita, setelah ‘akhir yang bahagia’, semua tokoh harus meneruskan hidup mereka. ‘Akhir yang bahagia’ itu cuma fase, dan ia akan segera berakhir.” [hal. 201]

Rating dari saya: 3/5



Catatan:
  • “Maksudku, sulit kalau dia tidak menyukai sesuatu yang merupakan fondasi seluruh kehidupanku, paham tidak? Orang-orang yang sangat berbeda bisa saja tetap hidup bersama, tapi kalau mereka bertentangan dalam hal paling dasar, sepertinya sangat sulit dijalani.” [hal. 198]
  • “Benar. Itukan seperti penyalahgunaan kekuatan. Yah, kurasa dia mau orang menyukainya bukan karena dia membuat mereka merasa seperti itu. Dia mau orang menyukainya karena mereka memang menyukainya. Tanpa alasan, tanpa syarat.” [hal. 116]
  • “Aku membentuk, menyulut, membakar, memukul, menjepit... Logam-logam yang kukerjakan mungkin menyakitiku, tapi aku juga menyakiti mereka. Yang melukaimu mungkin juga sama hancurnya denganmu. Tapi, mungkin kaliansama-sama merasakan sakit karena kalian dalam proses penciptaan sesuatu yang luar biasa. Kalaun kau memutuskan untuk mundur, kau merasa sakit dengan sia-sia.” [hal. 114]

September 29, 2016

[Resensi] Roma - Pia Devina

Jujur, novel ini tidak meninggalkan kesan yang mendalam untuk saya. Proses membaca terbilang lancar, kalau pun sempat terhenti itu karena saya mengantuk. Tapi saya mendapatkan pelajaran untuk selalu membahagiakan seorang Ibu atas perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukannya. Meskipun sebagai anak kita tidak bisa melunasi jasa Ibu.

Judul: Roma (seri A Love Story City)
Penulis: Pia Devina
Editor: Cicilia Prima
Desiner kover: Teguh
Penata isi: Putri Widia Novita
Penerbit: PT Grasindo
Terbit: Agustus 2016
Tebal buku: vi + 194 halaman
ISBN: 9786023756537
Harga: Rp55.000 

Setelah tidak bertemu hampir dua minggu karena kesibukan workshop kepenulisan, Chalinda ‘Chal’ Neomi bertemu mamanya di salah satu restoran di Bandung. Tapi mama datang tidak sendiri, ia membawa sosok pria eropa yang kemudian diketahui bernama Terenzio Lambardi. Pria ini, kata mama, akan menjadi suami ketiga mama. Kabar ini jelas menjadi badai bagi Chal. Ia masih ingat memori buruk pernikahan kedua mamanya dengan guru fisika di SMP-nya dulu. Pernikahan yang bertahan hanya tiga tahun, rusak karena suami mama melakukan KDRT.

Rencana pernikahan akan dilakukan di Roma. Itu sesuai permintaan keluarga besar Terenzio. Sedangkan syukuran kecil-kecilan akan dilakukan di Indonesia. Dan lima bulan setelah pertemuan di restoran, Chal menginjakkan kaki di kota Roma. Di bandara Fiumicino, pertama kalinya Chal bertemu Maurizio Folliero, pemuda yang menjemput. Pada hari pertama itu, Chal dan Maurizio mendengar pembicaraan dua saudara Terenzio yang mencurigakan mengenai pernikahan mamanya dan Terenzio. Chal takut sesuatu yang buruk terjadi pada mamanya. Maurizio yang pada awalnya ingin tidak peduli, akhirnya ikut membantu mencari tahu.

Berhasilkah Chal dan Maurizio mengungkap di balik maksud kedua paman Terenzio? Lalu bagaimanakah kelanjutan rencana pernikahan mamanya Chal?

*****
Saya memilih novel Roma ini karena blurb yang mengundang rasa penasaran, terutama pada bagian usaha Chal mengijinkan pernikahan mamanya untuk ketiga kali. Saya membayangkan akan saya temukan cerita yang membuat hati merasa hangat oleh konflik hubungan ibu anak, di sini diperankan Chal dan mamanya; Ermina Darra. Hasilnya, saya menemukan konflik yang saya maksud namun tidak sampai membuat saya merasakan kesan hangat tadi. Alasannya, plot yang bagus dicurangi oleh penulis dalam memaparkan setting Roma yang terlalu banyak (menurut saya).

Saya juga menyayangkan konflik percintaan Chal, yang seharusnya cinta segitiga, yang tidak tergali dengan maksimal. Karakter Ryan Watkins seharusnya diperkuat untuk menjadi saingan Maurizio dalam menaklukan hati Chal. Di buku ini, Ryan Watkins hanya muncul –kalau tidak salah- hanya dua kali. Pertama, ketika ia mengobati kaki Chal yang terkilir, yang merupakan pertemuan pertama Chal dengan Ryan. Kedua, ketika Chal pergi kembali ke BlueLeaves, kafe Ryan, untuk menghibur diri setelah berhasil mengungkapkan rasa tidak percayanya pada Terenzio dan membuat mamanya membatalkan pernikahan. Rasa persaingan itu tidak muncul dengan kuat.

Pemberian nama pada ‘hampir’ semua tokoh yang muncul di dalam cerita juga sangat mengganggu. Penulis bahkan memberikan nama pada pelayan di kafe Ryan yang muncul hanya sekali, juga pada asisten rumah tangga di rumah keluarga besar Terenzio. Pendapat saya, setiap nama tokoh yang diberikan, ada kewajiban penulis untuk menggali karakternya. Gara-gara ini saya sering terkecoh oleh nama-nama baru yang porsi kehadirannya tidak seberapa. Ditambah nama-nama Eropa yang susah saya ingat.

Lalu apa yang unggul dari novel Roma ini?

Saya suka konfliknya yang ringan. Percintaan yang digarap penulis lewat Chal dan Maurizio sangat manis. Awalnya tidak suka, kemudian suka akibat kebersamaan dan hukum mutualisme. Proses penulis mendekatkan dua karakter ini patut diacungi jempol. Apalagi saat keduanya mengelak dari perasaan aneh yang perlahan-lahan timbul.

Juga, cara penulis bercerita saya bilang mengalir. Saya tidak tersendat-sendat ketika membaca oleh kalimat-kalimat yang ambigu. Pemilihan diksi yang tepat membuat novel ini aman dilahap. Berikut penokohan yang kuat untuk karakter utamanya; Chal dan Maurizio, sudah sangat baik. Chal yang manja dan gampang panik. Maurizio yang cuek campur simpati. Perpaduan yang kemudian membuat keduanya rada alot untuk saling memahami.

Kovernya sendiri sangat memikat dalam sekali lihat. Warna merah yang dominan menjadikan Roma kelihatan menonjol, apalagi pemilihan warna putih untuk tulisan lainnya, membuat kover terlihat bersih dan kontras.

Menurut saya novel ini pas untuk pembaca yang suka dengan tema romantis berlatar kota yang romantis, salah satunya kota Roma.

Rating dari saya: 2/5



Typo:

  • Mulus-mulut = Mulus-mulus [Hal. 21]
  • Membuaku = Membuatku [Hal. 164]

Agustus 22, 2016

[Resensi] Kevin Faldey; Taxi & The City - Erike Yuliartha

Mengagumkan, satu kata dari saya untuk novel Kevin Faldey; Taxi & The City. Cerita sederhana yang mengalir, memberikan banyak pelajaran yang mungkin kita sudah lupakan. Kesederhanaan, berbakti, perjuangan, terima kasih, maaf, penghiburan, dan masih banyak kosa kata lainnya yang mewakili isi novel. Saya bersyukur dipertemukan dengan novel luar biasa ini sehingga sadar jika menjadi pribadi yang baik adalah mutlak bagian dari ‘bahagia’.

Judul: Kevin Faldey; Taxi & The City
Penulis: Erike Yuliartha
Editor: A. Ariobimo Nusantara
Asisten Editor: Fanti Gemala
Desainer cover & ilustrasi: Rio Siswono
Penata isi: Novita Putri
Terbit: September 2014
Penerbit: PT Grasindo
Tebal buku: xiii + 213
ISBN: 9786022517030
Harga: Rp 47.000

Setelah Ibu kandungnya meninggal, Ibu Tini menggantikannya. Tidak ada yang berbeda kasih sayang antara keduanya bagi Kevin. Dia bersyukur memiliki dua ibu yang hebat. Suatu hari Ibu Tini pergi dari rumah. Ayah menyimpan sesal. Kevin kehilangan. Lalu, Ayah dan Kevin memulai pencariannya menemukan Ibu dengan jadi supir taxi. Berhasilkah mereka menemukan Ibu?

Tema novel ini adalah keluarga. Lebih banyak menceritakan mengenai hubungan ayah dan anak yang diwakili Pak Arfi Bastian dan anak laki-lakinya; Kevin Faldillah. Hubungan keduanya semakin erat setelah Ibu Tini meninggalkan rumah karena satu alasan. Kerinduan pada ibu yang dirasakan Kevin tidak berkurang sedikit pun. Pak Arfi Bastian yang awalnya kerja di bengkel memutuskan jadi sopir taxi demi mencari istrinya.

“Kalau jadi sopir taxi, Ayah bisa keliling kemana-mana. Siapa tahu nanti ketemu ibumu.” [hal.21]
Sebenarnya novel ini memberikan porsi kisah cinta-cintaan Kevin dengan dua gadis. Namun porsinya yang tidak sampai seperempat buku, jadi saya menganggap itu hanya warna-warni cerita. Bukan tema kedua.

Novel ini dibagi menjadi tiga episode. Episode pertama lebih banyak menceritakan masa kecil Kevin hingga ia lulus SMA. Ada banyak babak hidup yang diungkap termasuk awal mula kehilangan Ibu Tini dan kerinduan sosok ibu yang kerap ia tangisi, pertemanannya dengan David dan Sigit, kesukaannya pada sosok Kevin Costner dan tentu saja cinta monyet pertamanya pada Nancy.

Episode kedua menceritakan masa kuliah Kevin hingga ia kerja sebagai resepsionis di salah satu hotel. Karakter pada episode ini tergali sangat baik. Kevin menjadi sosok sederhana, rendah hati dan sangat menyayangi ayahnya.

“Gaji pertamaku semua buat Ayah. Masih ada uang di tabunganku...” [hal.114]
Episode ketiga menceritakan Kevin yang telah menjadi sopir taxi. Kerinduan pada ibu dan pencariannya tidak berhenti. Kevin bertemu banyak orang dan semakin banyak ia belajar dari para penumpang. Banyak pengalaman yang dibagikan pada episode ini dan banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik.

Sepanjang membaca novel ini, pembaca akan diberikan nasihat kebaikan yang disampaikan tidak menggurui. Melainkan melalui pengalaman dari penumpang taxi yang diceritakan Ayahnya dan Kevin. Menjadikan novel ini penuh pesan moral.

Kevin Faldey sendiri menggunakan alur maju. Menceritakan tahap-tahap Kevin menjadi dewasa berkat didikan sang Ayah. Dengan gaya bahasa yang diksinya sederhana, membuat saya mudah saja menyelesaikan baca buku ini tanpa ada kendala. Sudut pandang yang dipakai orang pertama dari Kevin. Penulis juga kerap menyisipkan bagian cerita dengan PoV orang ketiga dari sosok orang lain. Solusi untuk memantapkan rasa cerita dengan membuat cerita terpapar utuh. Sedangkan setting cerita berada di kota Jakarta (sehari-hari Kevin) dan Jogjakarta (sewaktu Kevin liburan).

Kevin tidak pernah tahu, di desk resepsionis yang sedang sepi, Leona gundah karena kepergiannya. Sejak SMP dulu, ia sebenarnya sudah mulai “menaruh hati” pada Kevin, hanya saja ia tahu Kevin dekat dengan Nancy. Kini, saat waktu mempertemukan mereka kembali, rupanya Leona masih tertarik pada Kevin. Ia menyesal tak bisa menyampaikan perasaannya. Ia Cuma bisa berharap, kesempatan itu akan datang sekali lagi, suatu saat nanti. [hal.122]
Karakter-karakter yang muncul: Kevin Faldillah, Pak Arfi Bastian, Ibu Tini, Sigit, Ibu Siti, Pak Heru, Pak Yanto, Om Ary dan Istrinya, David, Nancy, Leona, Michael, Samantha, Mas Arman, Pak Yusuf, Ibu Ambar, dan penumpang lainnya yang tidak disebutkan namanya.

Novel ini saya sangat rekomendasikan dibaca siapa pun. Lantaran pesan moralnya yang baik dan memang novel ini sangat sederhana dipahami, dihayati, diikuti. Akhirnya saya memberikan rating 4 bintang dari 5 bintang.