Tampilkan postingan dengan label nurunala. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label nurunala. Tampilkan semua postingan

Maret 16, 2025

Resensi Novel Tuhan Maha Romantis - Nurunala

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]



Judul: Tuhan Maha Romantis

Penulis: Nurunala

Editor: Trian Lesmana

Penerbit: Grasindo

Terbit: Juli 2023

Tebal: 200 hlm.

ISBN: 9786020530208

Tag: romansa, religi

Sinopsis

Setelah lima tahun berlalu, Rijal dan Laras kembali bertemu di acara bebukuan. Rijal kini sudah jadi penulis. Laras sengaja menempuh perjalanan dari New Zealand ke Indonesia untuk menemuinya. 

Pertemuan mereka penuh perasaan campur aduk. Kenangan waktu kuliah dulu kembali menyeruak. Termasuk perasaan suka yang selama ini diendapkan oleh keduanya karena agama mengaturnya. Rijal seperti menemukan kebahagian yang sudah lama menghilang. Namun Laras menemukan cincin dijari Rijal yang artinya kepulangannya ke Indonesia akan jadi sia-sia. Rijal sudah bertunangan, itu faktanya.

Mungkinkah takdir kali ini mengatur keduanya bersatu? Atau keduanya harus belajar mengikhlaskan perasaannya melebur?



Resensi

Nurunala adalah penulis yang kalau menerbitkan buku saya pasti usahakan akan membelinya. Sebelum membaca novel ini saya sudah membaca novel lainnya: Festival Hujan, Janji Untuk Ayah, dan Seribu Wajah Ayah

Yang membuat saya suka dengan karya-karya penulis karena novel-novelnya mengangkat tema keluarga terutama tentang sosok Ayah. Saya tipikal orang yang gampang banget terharu kalau membaca kisah soal orang tua. 


Masa Lalu Yang Datang Lagi Pada Waktu Yang Tidak Tepat

Siapa sih yang enggak senang saat kembali bertemu dengan orang yang pernah kita sayang. Begitu juga dengan Rijal yang akhirnya bertemu lagi dengan Laras setelah lima tahun tidak ada kabar. Perasaan suka kembali berkembang dan ternyata tidak berubah walaupun sudah lama tidak jumpa. Rijal berharap besar kali ini perasaannya akan tersampaikan.

Lima tahun bukan waktu yang sebentar, pasti ada banyak hal yang sudah berubah. Rijal sudah jadi penulis. Rijal juga sudah bertunangan dan seminggu lagi bakal menikah. Fakta ini yang membuat Laras meredam semua harapannya. 

Konflik ini yang mencoba digali penulis lebih dalam. Dan karena novel-novel penulis selalu memiliki dasar agama islam, saya semakin penasaran bakal dikasih jalan keluar apa untuk kepelikan situasi yang dihadapi Rijal dan Laras.


Sisi Romantis Dari Keluarga Harmonis

Di novel ini juga digambarkan latar belakang keluarga Rijal yang bikin saya mengakui kalau, "Siapa orang tua kita juga turut menentukan siapa kita." Ayahnya Rijal adalah kepala sekolah, ibunya adalah guru bahasa inggris. Sudah pasti pendidikan jadi hal penting yang diajarkan mereka kepada anak. Dan bukan soal sisi intelektual saja yang diajarkan, tetapi sisi moral dan nilai religi juga dipenuhi mereka.

Rijal tumbuh jadi pemuda yang baik dan santun karena besar dalam keluarga yang harmonis. Kedekatannya dengan sosok ayah membuat saya iri. Dia bisa curhat dan meminta solusi kepada ayahnya untuk hal-hal yang rasanya susah dilakukan anak laki-laki kepada ayahnya seperti asmara. Pendapat saya ini karena saya bukan salah satunya yang bisa begitu. 

Karena latar belakang orang tua Rijal sebagai pendidik, keduanya pun begitu dihormati di lingkungan sekitar. Terutama oleh mereka-mereka yang pernah diajar oleh orang tua Rijal. Kebaikan yang dilakukan orang tua Rijal banyak membantu di kemudian hari. Misalnya saat ibunya Rijal pingsan, Teh Zaenab yang seorang bidan membantu mengurus agar siuman. Dan saat mau diberikan bayaran, Teh Zaenab menolak dengan santun karena ia pernah merasakan kebaikan dari orang tua Rijal.


Dinamika Masa Perkuliahan

Kehidupan perkuliahan lumayan banyak dibahas di sini. Menggunakan sudut pandang Rijal, kita diajak ikut bagaimana ia berkenalan dengan kawan baru, bertemu pertama kali dengan gadis pujaan, dan terlibat dalam kegiatan jurusan yang lumayan menyita waktu.

Saya sangat suka dengan penggambaran kegiatan Petang Puisi. Dimana setiap jurusan berlomba membawakan deklamasi puisi secara kreatif dengan menggabungkan dekorasi dan musik-musik latar. Dan gara-gara novel ini, saya jadi tahu puisi berjudul Sajak Pertemuan Mahasiswa karya W.S. Rendra. Puisi yang menyinggung dan menggugat soal wakil rakyat di pemerintah yang membuat kebijakan-kebijakan tapi tidak mewakili rakyat.


Keputusan Jodoh Yang Membuat Kesal

Dari beberapa novel penulis yang saya baca, ending novel ini yang paling tidak saya suka. Mungkin buat beberapa orang kelihatan romantis tapi buat saya itu miris. Saya yakin kalau tidak spolier pun, pembaca bakal tahu ending kisah Rijal dan Laras ini dari sampul novelnya yang sederhana tapi cantik dengan perpaduan warna biru di langit dan hamparan hijau rerumputan.

Tinggal menghitung hari akan menikah tapi dibatalkan, itu yang bikin saya kurang suka dengan keputusan ini. Rasanya membatalkan pertunangan bukan perkara mudah karena ini melibatkan perasaan dan nama baik keluarga besar. Ini pertunangan dan bukan pacaran. Kabar pernikahan sudah menyebar kemana-mana lho. Si pihak laki-laki harus bertanggung jawab kepada keluarga si perempuan. Dan yang lebih tidak saya sukai, yang menyampaikan pembatalan ini hanya ibunya saja. Si laki-laki justru sibuk mempersiapkan keberangkatannya ke luar negeri mengejar cinta pertamanya. Gila nggak sih keputusan ini!!!


Kita mencintai seseorang karena kita memilih untuk mencintainya. Rasa yang indah ini memang anugerah Allah, tapi diri sendirilah yang memegang kontrol penuh atas perasaan yang membuncah dalam dada. (hal. 91)

Mungkin ada yang berpendapat, "Daripada menikahi perempuan yang tidak dicintai dan tidak bahagia, bukankah lebih baik sejak dini diakhiri." Saya setuju dengan ini tapi kenapa kalau belum move on dari masa lalu harus melakukan lamaran kepada perempuan lain. Padahal di sini Rijal tidak dalam kondisi terdesak untuk melakukan itu. Dan saat dia memutuskan untuk melamar perempuan lain artinya dia siap menerima tanggung jawab itu. 

Sebelum kehadiran Laras, hubungannya dengan Aira baik-baik saja. Hanya karena Laras kemudian datang, niat menikah tergerus juga. Harusnya sikap pria enggak begini kan?

Keberatan saya lainnya, saya tidak menemukan nilai luar biasa dari seorang Laras yang kemudian diperjuangkan sebegitunya oleh Rijal. Rijal menyukai Laras karena cantik, solehah, dan baik. Tapi ini juga ada di diri Aira, tunangannya. Aira malah lebih banyak berinteraksi dengan Rijal dan ibunya dibandingkan Laras. Lalu yang membuat timbangan Laras lebih besar untuk dipilih ketimbang Aira itu apa, penulis tidak memberikan itu sehingga saya simpulkan kalau Rijal berjuang hanya karena Laras cinta pertama. Ini jadi pilihan ending novel yang dangkal buat saya. 


Simpulan

Romansa yang berdiri di atas agama selalu menginspirasi. Sosok Rijal jadi gambaran teladan bagaimana pria bersikap saat pertama kali merasakan jatuh cinta kepada lawan jenis. Terlepas dari ending novel yang mengecewakan, novel ini punya nilai-nilai moral yang secara penyampaian tidak menggurui. Novel ini saya rekomendasikan untuk pembaca muda sebagai pengingat kalau romantis itu bukan melulu dengan pacaran.

Sekian ulasan saya untuk novel Tuhan Maha Romantis. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!

***


  • Soal kebahagiaan, seringkali yang lebih penting bukan sedang apa atau di mana, melainkan dengan siapa. (hal. 18)
  • Kita harus selalu menjaga api optimisme tetap menyala. Harapan, yang akan membikin kita punya kemauan untuk terus bergerak. Kadang, masalahnya bukan di 'mampu atau tidak mampu', tapi 'mau atau tidak mau'. (hal. 19)
  • Dan sebaik-baik ilmu adalah yang membuat kita semakin dekat sama Allah (hal. 20)
  • Setiap perpisahan, seikhlas apa pun kita menerimanya, selalu saja menyisakan kehampaan (hal. 21)
  • Esensi dakwah adalah menjadikan kesalehan pribadi menjadi kesalehan kolektif atau kesalehan masyarakat. Oleh karena itu, yang enggak kalah penting dari menjadi hebat adalah menghebatkan sekitar kita. (hal. 28)
  • Ada dua hal yang membuat kita hari ini berbeda dengan kita bertahun-tahun yang akan datang: buku yang kita baca dan orang-orang yang kita temui. Buku yang kita baca akan membentuk pola pikir kita, orang-orang terdekat kita akan membentuk karakter kita. (hal. 67)
  • Satu-satunya cara menghilangkan rasa takut adalah dengan menghadapinya (hal. 68)
  • Pemberani itu adalah orang yang takut juga sebenarnya, tapi tetap melakukannya (hal. 73)
  • Kadang kita perlu mengabaikan kalimat-kalimat negatif yang menghampiri kita, bahkan ketika teriakan itu diucapkan oleh diri kita sendiri. (hal. 74)
  • Mencintai itu, bukan cuma soal rasa suka atau ketertarikan. Bukan cuma soal kekaguman. Lebih dari itu, mencintai itu sebuah keputusan. Keputusan besar. (hal. 115)
  • Bukankah perjuangan dan pengorbanan adalah satu keniscayaan bila kita ingin menggapai kebahagiaan. (hal. 119)

Februari 04, 2025

Resensi Novel Janji Untuk Ayah oleh Nurunala

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]



Judul: Janji Untuk Ayah

Penulis: Nurunala

Editor: Trian Lesmana

Desain sampul: Sukutangan

Penerbit: Grasindo

Terbit: Agustus 2024

Tebal: iv + 188 hlm.

ISBN: 9786020531090

Tag: keluarga, pendakian



SINOPSIS

Novel Janji Untuk Ayah mengisahkan pemuda bernama Gilang Satria Bahari yang pada kepulangan rutin mingguannya dari Kota Bogor ke Leuwibatu, ia mendapatkan kabar kalau ibunya meninggal karena covid. Tidak ada tanda, tidak ada belasungkawa, tidak bisa menyolati untuk terakhir kali, jenazah ibunya dibawa mobil ambulan untuk dimakankan.

Kehilangan yang begitu mendadak itu membuat hidupnya limbung dan hampa. Tidak ada lagi alasan kenapa dia harus hidup sedangkan satu-satunya orang yang dia punya sudah tidak ada. Gilang dan ibunya pendatang di Leuwibatu dan selama ini ibunya rapat menutup soal asal muasal mereka.

Sebuah alamat di Banyuwangi menjadi petunjuk yang ditinggalkan ibunya sebelum tiada. Gilang yakin di sana ada jawaban soal siapa ayahnya dan cerita bagaimana ibunya bisa memutuskan tinggal di Bogor, berjuang membesarkan dirinya. Gilang memutuskan melakukan perjalanan dari Bogor ke Banyuwangi dengan motor Supranya. Dia tidak tahu apa yang akan ditemuinya di alamat itu tapi Gilang perlu nama kakeknya untuk disematkan di nisan ibunya.



ULASAN

Novel ini bergenre drama keluarga membahas hubungan anak dan orang tua. Dimana anak laki-laki kehilangan ibunya dan kemudian mencari ayahnya. Penulis berhasil merajut ceritanya penuh emosional. Pada beberapa bagian berhasil membuat mata saya berkaca-kaca. 

Konflik utama novel ini mengenai pencarian jati diri seorang anak yang tidak tahu asal muasalnya. Sepanjang hidup dia hanya kenal sosok ibu dan tidak tahu sedikit pun tentang ayah dan keluarga besarnya. Dan pencarian alamat di Banyuwangi menjadi momen berharga Gilang belajar soal kehidupan dari rentetan kejadian yang ia alami sendiri atau pun dari cerita-cerita orang yang ia temui.

Di sini juga disinggung soal perlawanan warga Wanirejo terhadap pemimpin daerah yang akan melakukan penggusuran warga demi pertambangan. Kasus ini banyak ditemui dimana orang-orang berkuasa memberi ijin untuk proyek tambang tanpa memikirkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Warga yang diiming-imingi uang ganti rugi akan jadi korban. Uang seberapa banyaknya pun pasti akan habis. Dan ketika itu terjadi, tanah yang harusnya jadi tempat bergantung sudah raib.

Penulis membeberkan perjalanan Gilang dari Bogor ke Banyuwangi dengan penuh liku-liku. Tapi yang paling berkesan untuk saya ada dua momen. Pertama, saat dia kehilangan motor beserta perbekalan. Rasanya saya ikut terbawa nelangsa. Tidak tahu lagi harus melakukan apa. Ingin membatalkan ke Banyuwangi tapi sayang sudah sejauh itu, mau balik ke Bogor pun rasanya tidak pantas. Kedua, saat Gilang melakukan pendakian ke Puncak Merbabu. Saya selalu terkesan dengan cerita-cerita pendakian. Mungkin karena itu salah satu keinginan saya yang belum terwujud hingga saat ini.

Novel ini kaya dengan pembelajaran hidup. Banyak banget nasihat-nasihat yang dituturkan penulis tanpa menggurui. Mungkin karena dibalut dalam pengalaman para tokoh yang ada di sini jadinya saya begitu legowo memahami maknanya. Nilai agama islam juga begitu terasa di sini namun penulis membawakanya dengan apik membaur pada alur cerita.

Ending cerita dieksekusi dengan bijak walaupun untuk saya pribadi itu pilihan yang berat. Tujuan dia menemukan nama kakeknya yang akan ditulis di batu nisan makam ibunya sudah jadi ujung yang cukup. Dia memilih tidak melakukan konfrontasi dengan ayahnya. Dia menerima semua jalan hidup yang disusun Tuhan. 

Perubahan sosok Gilang yang di awal perjalanan menggebu, bingung, tidak tahu bakal bagaimana jika ia bertemu ayahnya, akhirnya berubah seiring perjalanan panjang yang dia lalui. Dia belajar banyak hal dan memetik kebijaksanaan. Saya kira ini pelajaran buat siapa pun, pengalaman hidup selalu bisa mematangkan karakter seseroang.

Novel ini jadi novel ketiga yang saya baca dari penulis dan saya selalu suka dengan karyanya karena ditulis dengan diksi yang tidak bertele-tele, porsinya pas ketika harus menggali kedalaman emosi, dan sokongan drama keluarga menjadikan rasa kisahnya menghangatkan hati dan penuh keharuan.

Kekurangan novel ini hanya satu, kovernya tidak menarik. Poin ini saya ungkapkan juga di ulasan novel Seribu Wajah Ayah. Terlalu sederhana dan suram. Rasanya isi cerita yang begitu menyentuh belum terwakilkan dengan kovernya yang berwarna hijau dan menampilkan sosok Gilang yang menggendong ransel naik gunung. Mungkin jika latarnya diganti dengan pemandangan di Puncak Merbabu, novel ini bakal lebih dilirik pembaca.

Dari novel ini saya belajar soal penerimaan terhadap takdir yang sudah ditetapkan Allah SWT. Banyak hal dari hidup yang kita pertanyakan terutama bagian yang tidak menyenangkan. Kenapa saya harus lahir? Kenapa saya harus memiliki orang tua yang sekarang? Kenapa orang tua miskin? Kenapa saya harus lelah-lelah memperjuangkan hidup sedangkan yang lain bisa kelihatan senang-senang saja? Dan novel ini memberi contoh bagaimana cara menerima semua keluhan tadi dan gugatan kita atas hidup yang sedang kita jalani.

Secara keseluruhan, saya begitu menikmati kisah perjalanan Gilang yang penuh drama dan pelajaran hidup dalam novel ini. Dan bagi siapa pun yang ingin merenungkan kembali makna keluarga terutama tentang ayah dan ibu, novel ini bisa jadi rekomendasi untuk dibaca.

Nah, sekian ulasan saya untuk novel Janji Untuk Ayah ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



Catatan:

  • Kita merasa takut bukan karena tidak bisa. Kita merasa takut karena tidak biasa (hal. 50)
  • Kalau tak bisa buat orang bahagia, paling tidak jangan sakiti hatinya (hal. 61)
  • Hidup yang damai, dimulai dengan menerima hal-hal yang enggak bisa kita ubah (hal. 77)
  • Kita punya tujuan besar, tapi kita breakdown tujuan itu jadi langkah-langkah yang lebih kecil. Langkah-langkah yang mudah dicapai (hal. 80)
  • Sesuatu bernilai tinggi bukan hanya karena bentuknya. Tetapi juga perjuangan untuk mendapatkannya (hal. 86)
  • Dalam hidup ini, seenggaknya kita harus punya tiga hal ini: kebebasan untuk memilih, keberanian untuk menggeleng, dan nyali untuk melawan (hal. 90)
  • Kita kita memang harus berjalan sendiri, tanpa punya banyak pilihan. Tapi, percayalah, tak pernah ada manusia yang benar-benar sendiri (hal. 96)
  • Hidup itu sebenarnya sederhana, yang hebat-hebat cuma tafsirannya (hal. 117)
  • Setahu saya, rasa takut tidak akan membuat kematian berhenti datang. Rasa takut justru membuatmu berhenti hidup (hal. 124)
  • Untung rugi dalam hidup, menurutku, adalah tentang seberapa optimal kita menggunakan waktu yang Tuhan kasih (hal. 130)
  • Momen ketika kita kehilangan segalanya, kadang adalah momen untuk menemukan diri sendiri (hal. 148)