Tampilkan postingan dengan label almira bastari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label almira bastari. Tampilkan semua postingan

Desember 24, 2024

Resensi Novel Home Sweet Loan - Almira Bastari




Judul:
Home Sweet Loan

Penulis: Almira Bastari

Desain sampul: Orkha Creative

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Februari 2022, cetakan kedua

Tebal: 312 hlm.

ISBN: 9786020658049

Tag: novel, generasi sendwich, keluarga, drama, persahabatan, romansa, metropop




Sejak novel ini banyak dibicarakan orang-orang karena difilmkan, saya pun jadi tertarik untuk segera baca. Niat saya cuma satu, pengen tahu bagaimana perjuangan Kaluna membeli rumah saat gajinya enggak seberapa. Kayaknya bakal relate banget dengan kasus saya sendiri, umur sudah enggak muda, gaji enggak gede-gede banget, tapi pengen punya rumah. Akhirnya saya langsung beli novelnya dan langsung disikat baca.

Novel ini menghadirkan empat tokoh yang sahabatan dan sekerjaan; Kaluna, Miya, Thanis, dan Danan. Walau banyak tokohnya, sudut pandang diambil dari Kaluna saja. Garis besar kisahnya soal jatuh bangun keempatnya mencari rumah impian

Kaluna sebagai tokoh utama punya masalah berat banget. Umur sudah kepala tiga, punya pacar dari keluarga berada tapi dia yang dari keluarga biasa akhirnya punya gap dengan keluarga besar, dan dia tinggal di rumah orang tua bareng dengan dua keluarga kakaknya yang masing-masing sudah punya anak satu; Kak Kamala dan Kak Kanendra.

Masalah domestik ini yang bikin saya bersimpati. Balik kerja sudah capek, datang ke rumah melihat kondisi rumah yang berantakan. Belum lagi ketemu hal sepele yang harusnya dingertiin kedua kakaknya tapi mereka cuek. Misalnya, alat makan kotor yang harusnya sudah dicuci tapi masih numpuk di dapur atau ember di kamar mandi yang dipakai tanpa dibalikin siap pakai. Belum lagi kamarnya harus digusur ke kamar pembantu demi dijadikan kamar buat keponakannya. Perihal lemari bekas yang rencananya mau dijual malah diambil kakak iparnya. Kaluna pun mung bisa sabar menahan nyeri di hati.

Ditambah punya ibu yang apa-apa selalu menyuruhnya mengerti kebutuhan kakaknya yang sudah menikah. Sumpah, siapa pun yang jadi Kaluna pasti makan hati tiap hari. Ini yang bikin Kaluna mati-matian hidup sederhana demi bisa menabung buat beli rumah agar bisa segera kabur. Ia sudah sangat sumpek dan muak dengan situasi dan kondisi di rumah.

Sementara ketiga temannya punya masalah yang memang tidak digali mendalam kecuali bagian mereka yang ikut berjuang mencari rumah impian. Thanis masalahnya dengan mertua yang ikut campur keluarga kecilnya. Miya yang punya impian jadi orang terkenal dan manajemen uangnya tidak terkontrol. Dan Danan sebagai pria, hanya berkutat mau mencari pasangan yang bisa membawanya ke kehidupan yang lebih baik.

Konflik gedenya muncul saat Kak Kanendra ceroboh memaksakan diri beli tanah yang ternyata sertifikatnya ganda. Uangnya dari pinjaman Bapak dan pinjaman online. Kaluna mau tidak mau harus terlibat untuk menyelesaikan masalah ini. Ini yang bikin dia merasa sudah capek lahir batin. Dia kerja sudah bertahun-tahun, nabung buat beli rumah sampai hidup hemat, tapi ujung-ujungnya harus dihabiskan untuk masalah keluarga. Fuck lah!

***


Saya suka dengan pesan yang dibawa novel ini: menabung dan hidup sederhana. Karena memang kita hidup bukan hanya sekarang, tapi sampai nanti kita tua. Kalau tidak direncanakan dengan baik, keuangan kita di masa depan malah berantakan. Tujuan agar hidup tua bahagia malah berubah jadi masa tua yang sengsara. Dan ceritanya kekinian juga, saat banyak anak muda sibuk flexing, novel ini jadi pengingat kalau PR kita yang muda-muda masih banyak lho soal perduitan.

Banyak contoh pengelolaan uang yang disajikan seperti melakukan budgeting dengan worksheet, menimbang antara kebutuhan dan keinginan sebelum belanja, dan beberapa trik hemat ala Kaluna salah satunya jarang jajan dengan bawa bekal.

Saya juga suka dengan cerita romansa yang disajikan. Terutama ketika Kaluna tegas kalau hubungannya dengan Mas Hansa tidak akan maju kemana-kemana dan akhirnya memutuskan untuk berhenti. Enggak kebayang gimana susahnya menyejajarkan standar hidup kita dengan orang yang kita sayangi, padahal gap-nya kelewat lebar.

Dan yang bikin gemas ya si Danan ini. Pria matang yang masalah hidupnya lebih sedikit dibandingkan masalah Kaluna, dan sudah memutuskan pilihan bakal berlabuh kemana, tapi masih nunggu momen yang pas. Dan bener juga, umur enggak menentukan seseorang sudah dewasa. Dan pria nggak bisa dipaksa dewasa kecuali atas kesadarannya. Untungnya Danan mau berubah.

Persahabatan keempatnya pun menarik karena masing-masing membawa masalah sendiri-sendiri. Hubungan mereka bukan sekadar teman yang hanya untuk haha-hihi, tapi mereka bisa sharing soal kehidupan. Jadi ketika senang bisa bareng-bareng merayakan dan ketiga galau bisa punya teman mengadu.

Di novel ini ada bagian yang bikin saya nangis yaitu pas Kaluna di telepon Kak Kamala. Kakaknya minta maaf dan bilang kalau Ibunya selalu memasak makanan kesukaan Kaluna tapi beliau segan menyuruh Kaluna pulang ke rumah. Sumpah, dramanya nonjok hati banget :(

Kesimpulannya, saya suka dengan cerita di novel ini. Relate, mengena, dan bikin mikir, "Kayaknya sudah waktunya berbenah sebelum semuanya terlambat." Dan jangan sampai duit yang mengendalikan kita tapi kita yang harus mengendalikan duit. Satu lagi, ayo berjuang lebih keras biar punya rumah.

Sekian ulasan saya untuk novel Home Sweet Loan ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa baca buku!

Februari 26, 2018

[Resensi] Resign! - Almira Bastari


Judul: Resign!
Penulis: Almira Bastari
Editor: Claudia Von Nasution
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Ketiga, Februari 2018
Tebal buku: 288 halaman
ISBN: 9786020380711
Harga: Rp68.000 


Mau mengundurkan diri saja kok ujiannya banyak (hal. 40)

Kalimat di atas bisa dikatakan inti dari cerita Resign yang dikemas oleh Alvira Bastari dengan menggabungkan cerita komedi dan cerita roman. Tigran Putra Pramudiwirja (34) adalah sosok manajer di kantor konsultan yang menyeramkan bagi bawahannya. Selain omogannya yang suka nyeblak, dia juga gemar marah, egois, dan kelewat perfeksionis. Bawahan yang jadi korbannya adalah Andre, Karenina, Alranita, Carlo, dan yang bergabung paling akhir, Sandra.

Tempat kerja dengan gaji yang cukup tidak serta merta membuat para kacung kampret (cungpret) merasa betah. Dengan mempunyai atasan yang menyebalkan, mereka sepakat melakukan taruhan siapa yang paling terakhir resign harus mentraktir makan di tempat mahal. Masalahnya, si Tigran ini selalu bisa menggagalkan usaha-usaha para cungpret melakukan interview, negosiasi letter of offer, dan usaha lainnya supaya bisa segera resign. Lalu, bagaimana nasib taruhan mereka dan siapa pula yang akhirnya jadi yang terakhir resign?

Membaca novel Resign memberikan hiburan khas karyawan. Berkutat dengan deadline pekerjaan, pengajuan cuti, interaksi sesama karyawan, dan tentu saja menghadapi si bos yang galak. Bastari sukses menyajikan kesemuanya dengan gaya bercerita yang tidak bertele-tele, juga deskripsi dunia konsultan yang mumpuni. Sehingga pembaca mudah sekali masuk ke cerita dan membayangkan jadi penonton di tengah-tengah para cungpret. Tidak salah jika novel ini masuk lini metropop karena kisahnya jakarta-an sekali.

Ritme kerja di Jakarta berbeda dengan daerah lain. Faktor lingkungan mempengaruhi paling besar. Misalkan, jam kerja yang lebih panjang akibat tambahan lembur karena bisnis Jakarta harus cepat. Dan saya juga menyoroti kehidupan karyawan di sana, yang menanggalkan haha-hihi bersama teman demi deadline pekerjaan. Imbasnya, lingkungan karyawan menjadi sempit; rumah, kantor, dan bioskop. Yup, di novel resign ini membuka rahasia soal hiburan buat karyawan yang biasa pulang larut, menonton bioskop. Selain hiburan, juga alternatif menghindari jalan macet pada jam pulang kerja.

Karena latarnya kantor, novel ini pun menyindir situasi dalam dunia kantor. Misalkan, perlunya fokus ketika lembur agar pekerjaan segera selesai, atau soal kebiasaan karyawan yang gemar bergosip ketika jam kerja. Banyak juga nasihat tak langsung untuk pekerja seperti pentingnya dedikasi, pentingnya memberikan hasil kerja yang baik, dan ada banyak lagi. Intinya novel ini berbobot dan pas dibaca karyawan. Selain jadi hiburan, juga jadi renungan.

Sisi roman di novel ini bakal bikin pembaca gemas dan senyum-senyum sendiri. Tigran yang galak suka sekali bikin Rara emosi. Sebenarnya yang salah hanya soal penyampaian Tigran yang kurang baik. Namun, Tigran merasa benar dan ia akan menulikan telinga ketika ditentang bawahannya. Ini hanya percikan-percikan asmara yang kemudian mengerucut pada kesadaran, "apakah ini cinta?". Karena keduanya enggan terus terang, keduanya malah lebih sering berseteru. Saya hampir tidak suka ketika cerita digiring ke suasana roman yang kental, saya belum rela perseteruan itu dituntaskan begitu saja, dan itu tidak terjadi. Komedi plus roman masih berlangsung sampai akhir cerita dan kalian akan merasa senang karena sudah membaca cerita yang nggak hanya bikin fresh, tapi juga memotivasi.

Novel Resign ini seperti jadi perwakilan dari banyak situasi menjadi karyawan. Suka-duka, susah-senang, dibahas dengan ringan dan disematkan kepada tokoh-tokoh yang sangat hidup. Terjawab juga jika cerita di sini bukan cerita yang diangkat dari kisah nyata. Kalau pun terasa nyata, berkat penulis yang mengangkat dunia pekerjaan yang digelutinya. Sehingga penulis berhasil membangun cerita di kantor konsultan secara bulat.

Akhirnya, saya memberikan nilai 5/5 untuk dedikasi Alranita sebagai cungpret di bawah bimbingan bos Tigran yang mengerikan.


*****

Manusia tidak suka bekerja-, tapi manusia selalu menghabiskan empat belas jam untuk bekerja (hal. 6).

Kategori experienced itu untuk yang sudah bekerja lima tahun (hal. 8).

"Lo jangan kebanyakan lembur kali, Ra. Kapan punya pacarnya?" (hal. 13).

Lembur itu mindset. Kalo ngerjainnya fokus, kamu cuma perlu waktu sebentar kok (hal. 28).

Selalu selangkah lebih maju (hal. 32).

Lembur itu jangan maraton seperti sinetron (hal. 39).

Nggak semua itu bisa dinilai dengan uang (hal. 62).

Namun yang namanya anak buah, sebebal apa pun tetap manusia, yang punya batas sabarnya sendiri jika terus-terusan tersakiti (hal. 63).

Karena orang cuma bisa lihat tampak luarnya saja (hal. 72)

Kita itu harus mengeksplorasi dunia (hal. 76).

Sangat menyebalkan ketika orang yang seharusnya dibantu malah bersikap tidak ingin dibantu (hal. 172).

Seburuk-buruknya dimarahi, lebih menyakitkan kalau dianggap tidak bisa membereskan hal sepele (hal. 173).

Kalo lo lagi kerja, ya kerja yang benar. Lagi nggak disuruh kerja, ya nggak usah sok kerajinan. Nanti disuruh kerja under pressure, malah ngeluh! (hal. 187).

Menang dalam hidup adalah ketika aku bisa menemukan sebuah humor dalam setiap situasi (hal. 241).

Masih muda mah digas saja (hal. 246).

Nggak selamanya bola itu mundur, Ra. Begitu juga dengan masa muda (hal. 247).

Dedikasi dalam pekerjaan itu penting. Best effort saja tidak cukup (hal. 277).