Tampilkan postingan dengan label okky madasari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label okky madasari. Tampilkan semua postingan

November 04, 2021

[Resensi] Mata dan Rahasia Pulau Gapi - Okky Madasari

gambar diunduh dari gramedia.com, diedit

Judul: Mata dan Rahasia Pulau Gapi

Penulis: Okky Madasari

Editor: Dwi Ratih Ramadhany

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Terbit: November 2018

Tebal: November 256 hlm.

ISBN: 9786020619385

***

Matara, yang gagal masuk ke sekolah impian, bersama orangtuanya pindah ke Pulau Gapi di wilayah timur laut kepulauan Indonesia. Kepindahan ini tak hanya membawa Matara ke tempat-tempat baru, tapi juga membawanya menyusuri waktu, menjelajahi masa lalu. Mulai dari masa ketika kapal-kapal besar pertama kali mendarat dan menjadikan pulau itu sebagai salah satu pusat dunia, masa ketika ilmuwan besar Wallace menulis surat pada Darwin dari salah satu sudut pulau itu, masa ketika bendera merah-putih telah dikibarkan di seluruh pulau tapi justru membuat pulau itu sepi dan terlupakan. Hingga masa terbaru, ketika Matara dan dua sahabatnya harus menyelamatkan pusaka-pusaka Pulau Gapi.

Mata dan Rahasia Pulau Gapi merupakan buku kedua dari kisah Mata menjelajahi Nusantara, setelah buku pertamanya, Mata di Tanah Melus. Buku selanjutnya: Mata dan Manusia Laut.

***

Ada rasa yang bercampur antara sedih, kecewa, marah, kesal, ketika Matara gagal masuk SMP favorit di Jakarta. Padahal segala usaha sudah dilakukan agar Matara tergolong anak-anak yang cerdas. Di tengah kesedihan itu, papa Matara membawa kabar kalau dia mendapatkan pekerjaan baru di luar Jawa, tepatnya di Kepulauan Maluku. Lebih spesifik di Pulau Gapi.

Di pulau itu Matara bertemu dengan kucing istimewa yang bisa bahasa manusia, Molu. Bersama kucingnya itu, Matara melakukan petualangan hebat di salah satu benteng yang sudah jadi puing-puing, hingga ia bertemu dengan si Laba-laba yang merupakan jelmaan baru dari anjing yang dipelihara Sultan

Kabar buruk tentang benteng yang akan diubah menjadi mall membuat Laba-laba marah. Sehingga dia nekat menyakiti orang yang mengusik benteng dengan gigitannya yang mematikan. Semakin orang-orang proyek berambisi, Laba-laba semakin berusaha menggagalkan. Beruntung dia dibantu oleh Matara dan Molu.

Setelah kemarin saya membaca novel anak ketiga dari series Menjelajahi Nusantara yang berjudul Mata dan Manusia Laut, rasanya kurang lengkap kalau saya meninggalkan novel keduanya ini. Dan saya bersyukur bisa membacanya novel anak ini.

Di novel ini pembaca akan diajak ke Kepulauan Maluku, tepatnya di Pulau Gapi. Dari pulau Gapi kita bisa melihat dua pulau yang berdampingan: Pulau Meitara dan Pulau Tidore. Pemandangan ini bahkan muncul di uang kertas seribu.

Ciri khas Pulau Gapi menurut novel ini adanya Gunung Gamalama dan benteng-benteng peninggalan zaman dulu. Terkait sejarah di Pulau Gapi, atau secara umum di Maluku, akan dituturkan oleh kucing bernama Molu, yang merupakan kucing istimewa karena usianya tidak pernah tua sehingga terbilang dia hewan abadi yang melintasi banyak generasi. Pada perkenalan pertama dengan Matara, Molu menceritakan banyak kisah masa lalu termasuk sejarah yang dia saksikan di Maluku ini.

Sejarah penjajahan yang dialami penduduk Maluku terdiri dari tiga fase: penjajahan Portugis, penjajahan Belanda, dan penjajahan Jepang. Beberapa masa terbilang aman ketika Sultan bisa mengendalikan kekuasaan sehingga penjajah bisa diusir dari tanah Maluku. Tapi setiap pergantian Sultan memiliki perbedaan cara memimpin. Sehingga kondisi Maluku pun berubah-ubah.

Bagian menarik dan dramatis ketika Molu menceritakan kisah hidup orang Portugis bernama Adao yang kemudian dia menikahi perempuan Pulau Gapi bernama Faida. Saat usia senja mereka, Portugis berhasil digulingkan. Banyak yang bersembunyi di benteng. Mereka sudah khawatir akan dibantai oleh pasukan Sultan. Tetapi dengan kebijaksanaan Sultan, mereka dilepaskan dan dipersilakan meninggalkan Kepulauan Maluku sebelum matahari terbenam.

Namun Adao dan Faida tidak turut serta. Mereka merasa Pulau Gapi adalah rumah mereka sehingga mereka ingin mati di pulau ini. Kebijaksanaan Sultan mengampuni mereka dengan syarat berupa pengabdian menjaga pusaka kerajaan di Danau Tolire. Sampai ajal menjelang, pasangan ini kemudian berubah menjadi buaya putih yang menjaga Danau Tolire.

Maluku sering disebut sebagai pulau seribu benteng. Menurut penelusuran saya di beberapa artikel ada beberapa bentang yangs sering disebut yaitu: Benteng Toloko (Portugis), Benteng Oranje (Belanda), Benteng Kalamata (Portugis), dan Benteng Kota Janji (Portugis). Latar benteng yang dipakai dalam novel ini lebih mendekati ke penjelasan Benteng Kota Janji sebab penjelasan mengenai benteng ini disandingkan dengan sejarah pembunuhan Sultan Khairun dan memicu pengusiran orang-orang Portugis pada masa itu. Ini relevan dengan penjelasan Molu ketika menceritakan Sultan yang kepalanya dipenggal saat diundang oleh orang-orang Portugis.

Membaca novel yang dikarang oleh Okky Madasari secara penceritaan memang sudah sangat baik. Poin-poin yang disampaikan cukup padat sehingga mudah dipahami. Apalagi penulis sudah menyesuaikan pemilihan diksi untuk menyampaikan informasi dengan sudut pandang tokoh anak. Sehingga tokoh Matara bukan terbilang anak 12 tahun yang serba tahu.

Dari novel ini kita diajak untuk mengenali sejarah melalui peninggalan pada masa lalu. Salah satunya adalah keberadaan benteng yang merupakan bagian tak terpisahkan dengan sejarah negara ini. Selain itu, penulis juga ingin mengajak kita semua untuk menyadari arti penting sejarah sehingga kita bisa sama-sama menjaga cagar budaya dengan baik. Ini berkaitan dengan konflik dalam novel ini soal mau merubah cagar budaya menjadi bangunan modern.

Untuk petualangan Matara dengan kawan barunya, Molu dan Laba-laba, saya memberikan nilai 3 bintang dari 5 bintang.

Sekian ulasan dari saya, terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!

Oktober 30, 2021

[Resensi] Mata dan Manusia Laut - Okky Madasari

gambar diunduh dari gramedia.com, diedit

Judul: Mata dan Manusia Laut

Penulis: Okky Madasari

Editor: Dwi Ratih Ramadhany

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Mei 2019

Tebal: 232 hlm.

ISBN: 9786020630281

***

Kabar di media internasional tentang manusia-manusia yang bisa menyelam di laut tanpa alat membawa Matara dan ibunya ke kepulauan Sulawesi bagian tenggara. Di kepulauan yang menjadi rumah bagi manusia-manusia laut itu, Matara berjumpa dengan Bambulo, bocah Bajo yang sejak balita sudah berenang dan menyelam di laut, layaknya seekor ikan. 

Berawal dari rasa penasaran, dua bocah itu mengarungi lautan, hal yang sesungguhnya biasa dilakukan oleh orang Bajo. Namun lautan punya irama dan aturan yang harus selalu diikuti. Kelalaian Bambulo menghadirkan bencana sekaligus petualangan menakjubkan bagi mereka. Mata dan Manusia Laut merupakan buku ketiga dari kisah Mata menjelajahi Nusantara, setelah Mata di Tanah Melus dan Mata dan Rahasia Pulau Gapi. Buku selanjutnya: Mata di Dunia Purba.

***

Novel Mata dan Manusia Laut menceritakan tentang petualangan Mata ketika dia dan ibunya berkunjung di Kecamatan Kaledupa untuk mempelajari soal cerita manusia laut. Pada satu hari ketika ada pesta budaya sedang berlangsung, Mata dan anak Bajo bernama Bambulo menelusuri lautan untuk mencapai alto, lingkaran panjang karang tempat dimana ayahnya Bambulo biasa mencari ikan. Hanya saja hari itu Bambulo melupakan pantangan yang selama ini ditaati warga Sama, dilarang berlayar pada saat bulan purnama.

Kegiatan mereka singgah di alto ternyata membawa bencana tsunami. Ombak lautan menyeret Mata dan Bambulo ke dasar samudra yang disebut Masalembo. Pada tengah perjalanan, Mata ditangkap oleh gurita raksasa. Bambulo yang terpisah justru bertemu dengan orang-orang penghuni lautan. Maka misi menyelamatkan Mata pun dimulai.

Saya pernah membaca novel anak series Menjelajahi Nusantara yang pertama berjudul Mata di Tanah Melus dan mengikuti informasi novel lainnya tetapi baru kesampaian membacanya sekarang. Salahnya lagi, saya lanjut langsung ke novel ketiga, bukan ke novel keduanya. Yah, semoga setelah ini selesai, bisa ada kesempatan membaca novel keduanya.

Masih mengenai petualangan anak bernama Matara yang melakukan perjalanan jauh bersama mamanya untuk riset buku. Matara, anak 12 tahun menjadi penegas jika novel ini ditulis untuk anak-anak. Agar lebih menarik, penulis kemudian merajut kisah petualangan sebagai bahan bakar ceritanya. Kali ini pembaca akan dibawa menyelami kedalaman samudera lautan.

Karena ceritanya untuk anak-anak, penulis membawa dongeng dengan kemasan yang memacu pembaca untuk turut berimajinasi membayangkan dunia fantasi yang dibangun. Pada novel ini saya cukup menikmati membayangkan dunia bawah laut, Masalembo, yang digambarkan sebagai sebuah perkampungan. Ada orang-orangnya, ada rumah-rumah yang dibangun dari kapal-kapal, juga ada fasilitas lainnya seperti di daratan.

Yang paling seru tentu saja membayangkan makhluk keturunan orang Masalembo dengan Dewa Laut, yang fisiknya perpaduan antara manusia dan makhluk laut. Ada yang percampuran manusia dengan gurita, percampuran manusia dengan ikan, dan ada juga percampuran manusia dengan kerang. Ketika membayangkan mereka saya justru ingat kepada tokoh utama di film Luca. Apalagi mahluk ini juga disebutkan masih usia anak-anak. 

Sudah menjadi ciri khas novel Okky Madasari, pasti akan disisipkan isu dan kritik sosial yang memberikan kita wawasan baru mengenai keadaan sosial di negeri ini. Pertama, isu lingkungan hidup terutama untuk habitat laut sangat ditekankan di novel ini. Penduduk di pulau-pulau Sulawesi Tenggara sangat menjaga kelestarian habitat laut karena mereka menyadari penghidupan utama mereka berasal dari laut. Ini tergambar pada alasan kenapa ketika bulan purnama jadi pantangan untuk memburu ikan sebab pada waktu itulah ikan-ikan bertelur. Telur inilah yang kelak menjadi penerus induk ikan yang ditangkap oleh nelayan.

Kedua, kritik pada tindakan suap yang dilakukan oleh petugas patroli kepada kapal-kapal yang berlayar. Praktik ini bukan berita baru, tapi menjadi berlawanan dengan yang dilakukan menteri yang menenggelamkan kapal-kapal luar ilegal. Pemerintah bergerak ketat, beberapa oknum bersikap longgar. Miris memang membayangkan hal ini.

Karena tokoh utamanya anak, maka penulis membatasi diksi yang dipakai sehingga kritik dan isu yang dibahas pun begitu tipis sebatas yang bisa dipahami oleh anak-anak. Padahal menurut saya isu dan kritik di novel ini lumayan populer sebagai pembahasan orang-orang dewasa. Sedangkan untuk kemampuan Okky membangun dunia fantasi dalam narasi-narasinya sudah tidak diragukan lagi. Saya begitu menikmati kisah Matara dan Bambulo ini.

Yang membuat saya agak kurang terhubung dengan cerita di novel ini adalah petualangan mereka melintasi samudera, dan ketika mereka terombang-ambing di laut, terlalu dramatik untuk dilakukan anak-anak. Momen heroik begitu bahkan jarang ditemukan pada orang dewasa. Sehingga menjadi ganjalan besar bagi saya untuk menganggap itu normal.

Karakter Matara dan Bambulo digambarkan sebagai anak polos yang kadang ingin menonjol di mata orang lain, tapi di sisi lain mereka keterbatasan pengetahuan sehingga lebih banyak mengikuti ego dan keingintahuan yang sedang besar-besarnya.

Usai membaca novel ini pembaca akan mendapatkan pesan untuk menjaga lingkungan hidup secara keseluruhan, bukan hanya habitat laut. Sebab tindakan manusia terhadap lingkungan hidup akan memiliki dampak. Jika merawat akan memberikan dampak baik, jika merusak akan membawa bencana. Tapi kadang kita lupa akan efek ini, ditutupi oleh keserakahan untuk menggerus manfaat lingkungan tersebut.

Mengikuti petualangan Matara dan Bambulo di lautan yang seru membuat saya memberikan nilai 3 bintang dari 5 bintang. Novel ini pas sekali dikenalkan kepada pembaca anak-anak.

Sekian ulasan saya, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



Februari 04, 2018

[Resensi] Mata di Tanah Melus - Okky Madasari


Judul: Mata di Tanah Melus
Penulis: Okky Madasari
Editor: Anastasia Mustika W.
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Januari 2018
Tebal buku: 192 halaman
ISBN: 9786020381329
Harga: Rp59.000 (via bukabuku.com - sebelum diskon)

Saya pernah membaca buku karya Okky Madasari yang judulnya '86'. Novel dengan konflik suap yang sudah membudaya di Indonesia dari masyarakat ekonomi rendah hingga masyarakat ekonomi atas. Tema novelnya terbilang serius karena hanya segelintir penulis yang mau mengangkat tema kritik sosial dalam karyanya dan konsisten di zona itu. Namun, untuk karya terbaru Okky di tahun 2018 ini, ia seperti sudah melakukan manuver dengan menghadirkan karya bergenre novel anak. Genre yang belum pernah ia jamah dan ini seperti jadi tantangan untuk Okky dan pembaca. Saya sebagai pembaca tertantang untuk menikmati cerita anak yang memang sebelumnya penulis tak menyentuh sisi ini di novel-novel sebelumnya. Yang pasti, novel sebelumnya dan novel anak ini akan memiliki perbedaan yang mencolok. Dan menurut keterangan di bagian penulis pada halaman akhir buku, Mata di Tanah Melus merupakan cerita pertama dari serial petualangan anak yang Okky bikin.

Novel Mata di Tanah Melus menceritakan tentang Matara, anak berusia dua belas tahun, yang ikut melakukan perjalanan ke daerah Belu bersama Mamanya setelah hubungan antara Mama dan Papanya tidak harmonis. Persoalan utama suami-istri itu perihal keuangan. Keduanya adalah penulis cerita, hanya berbeda format. Mama menulis novel, sedangkan Papanya menulis kolom politik di koran. Keharmonisan keluarga Mata surut saat Papa sudah tidak bekerja dan Mama sadar keluarganya tak bisa mengandalkan keuangan dirinya yang bukan tipe penghasilan bulanan.

Mata sebenarnya merasa tidak antusias dengan perjalanan kali ini. Apalagi tujuan mereka daerah asing yang jelas-jelas tidak bisa diduga keadaannya. Dimulai dari kejadian mobil sewaan Mama menabrak sapi dan harus ganti rugi dua puluh juta, kesialan tidak berhenti menimpa mereka. Ditambah mimpi sapi-sapi tersebut mengganggu di tidur Mata.

Suatu waktu Mama dan Mata berteduh saat hujan deras setelah mereka melakukan upacara izin masuk daerah Belu dan mereka justru diminta pulang ke tempat asal. Begitu membuka mata, Mata mendapati pemandangan padang rumput hijau yang luas dan sejak itu Mata dinyatakan tersesat. Petualangan Mata dimulai dari kampung Melus. Keinginan untuk bertemu Mama menjadi tujuan Mata melakukan banyak petualangan.

Sebuah terobosan baru bagi Okky yang kerap mengulik tema-tema kritik sosial dan memilih menyajikan cerita anak yang dibumbui hal-hal ajaib. Keinginan Okky terpenuhi dan novel Mata di Tanah Melus memang pas untuk dibaca oleh anak-anak. Kita akan disuguhi perpaduan kisah yang sederhana, petualangan, mitos, dan perseteruan antara dua golongan orang.

Untuk memahami kisah Mata, kita perlu menguatkan pikiran jika di buku ini Okky bermain dengan dua dunia yang sifatnya paralel. Dunia nyatanya adalah daerah Belu, sedangkan dunia paralelnya adalah Negeri Melus. Ini penting agar kita tidak repot memahami jalan cerita yang pada awal-awal buku akan bikin syok.

Lalu, bumbu ajaib yang saya katakan di awal, menjadi nostalgia buat pembaca akan khayalan aneh-aneh yang sering dibayangkan pada masa anak-anak. Kita pasti pernah melihat awan yang bentuknya mirip banyak benda. Di novel ini pun Mata melihat kelinci-kelinci dan anak perempuan yang meloncat-loncat riang di awan.Selain itu, kita akan berkenalan dengan mahluk-mahluk ajaib seperti Ratu Kupu-Kupu, Dewa Buaya, dan Laka Lorak si Ibu Kehidupan.

Latar tempat juga dipenuhi hal-hal menakjubkan misal padang rumput hijau luas yang disebut Fulan Fehan, Kerajaan Kupu-Kupu, rumah kaktus, lautan yang muncul dan surut tiba-tiba, hutan kaktus yang lebat, dan masih banyak imajinasi-imajinasi lainnya yang akan membuat otak kita ikut memproyeksikan seperti apa Negeri Melus itu.

Pada novel ini ternyata Okky menyelipkan kritik sosial terhadap dua kegiatan yang mengundang banyak efek negatif, yaitu perburuan binatang tertentu (di novel ini binatangnya adalah buaya) dan eksploitasi sumber daya alam (Gunung Lakaan) yang tujuannya memperkaya diri sendiri atau golongan. Kita diingatkan kembali jika kegiatan tersebut merusak banyak tatanan kehidupan yang seharusnya kita jaga untuk diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Akhirnya, saya memberi nilai 3 dari 5 sebab saya masih merasa novel ini belum terasa khas anak-anak dalam penyajiannya. Baik secara kosakata, diksi, ataupun petualangannya. Atau, disebabkan oleh konflik orangtua yang terlalu vokal karena dimunculkan di awal dan otomatis menyedot daya tarik pembaca sebelum tahu cerita ajaibnya sebenarnya akan digiring ke arah mana.

Februari 20, 2016

[Resensi] 86 - Okky Madasari



Judul buku : 86
Penulis : Okky Madasari
Ilustrasi & desain sampul : Restu Ratnaningtyas
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit : April 2014 (cetakan kedua)
Tebal buku : 256 hlm
ISBN : 9789792267693



Blurb.
Apa yang dibanggakan dari pegawai rendahan di pengadilan? Gaji bulanan, baju seragam, atau uang pensiunan?

Arimbi, juru ketik di pengadilan negeri, menjadi sumber kebanggaan bagi orangtua dan orang-orang di desanya. Generasi dari keluarga petani yang bisa menjadi pegawai negeri. Bekerja memakai seragam tiap hari, setiap bulan mendapat gaji, dan mendapat uang pensiun saat tua nanti.

Arimbi juga menjadi tumpuan harapan, tempat banyak orang menitipkan pesan dan keinginan. Bagi mereka, tak ada yang tak bisa dilakukan oleh pegawai pengadilan.

Dari pegawai lugu yang tak banyak tahu, Arimbi ikut menjadi bagian orang-orang yang tak lagi punya malu. Tak ada yang tak benar kalau sudah dilakukan banyak orang. Tak ada lagi yang harus ditakutkan kalau semua orang sudah menganggap sebagai kewajaran.

Pokoknya, 86!

Ide cerita.
Sebelum membahas soal isi novelnya, saya mau cerita bagaimana saya bisa mendapatkan novel bagus ini. Saya diberi tahu oleh rekan kantor kalau di Grage Mall Cirebon sedang ada obral buku di atriumnya. Balik kerja saya langsung berburu. Dan hasilnya saya memperoleh 3 judul novel dengan harga 40rb saja. Salah satunya novel 86 ini.

Kalau membaca blurb-nya, saya memang tidak paham konflik apa yang mendominasi cerita. Dari judulnya saja saya sudah bingung, 86 tuh nunjuk ke apaan. Yang saya tahu hanya 69 (mesum, hehe). Namun begitu mulai membaca saya mulai paham cerita merujuk pada fenomena negeri yang bukan lagi rahasia, korupsi. Melalui tokoh Arimbi, pembaca akan ditunjukkan jika korupsi ini bukan untuk para pejabat saja dan bukan untuk nominal puluhan juta atau sampai milyaran saja. Lebih luas dan halus bagaimana praktik korupsi ini berlangsung di kehidupan sehari-hari. Contohnya, pada jaman itu penumpang kereta bisa naik kereta tanpa tiket asal bayar ke petugas pemeriksa tiket. Lucunya lagi, saat Arimbi hendak menikah, persyaratan surat nikahnya pun bisa dipermudah asal ada pelicin. Ada juga praktik pungutan liar bagi pembesuk tahanan di penjara. Penulis sangat blak-blakan memberi gambaran korupsi kecil yang berlangsung di kehidupan sehari-hari. Miris.

Apa yang dipaparkan penulis memang kasus nyata. Sehingga, itulah kekuatan utama novel ini. Pembaca akan langsung hanyut sebab ceritanya memang mengena dan mudah diiyakan. Garis lurusnya, Arimbi malang melintang dengan kebodohannya yang ikut-ikutan dengan fenomena yang seharusnya ia hindari. Rakus, saya kira tidak keliru untuk menyebut sosok Arimbi. Meski sudah dibui pun, Arimbi masih menikmati praktik 86 ini. Agar lebih jelasnya bagaimana Arimbi berlari dengan kejamnya Jakarta dan dunianya, sok langsung saja berburu novelnya di toko buku terdekat.

POV. Plot. Gaya bercerita. Karakter.
Novel ini memakai POV orang ketiga. Sudah pasti pilihan aman ketika penulis ingin menjelaskan cerita dari berbagai sudut. Sebab saya menangkap apa yang dipaparkan penulis bukan melulu yang bersinggungan dengan si tokoh utama. Contohnya, kasus suap untuk menjadi pamong desa, penulis menjelaskan melalui percakapan antara Arimbi dan teman SMP-nya. Untuk plot secara umum menggunakan plot maju. Jika ada kilas balik pun sebatas narasi.  Ini memberi ruang perkembangan cerita tidak diganggu dengan kilas balik tersebut. Dan bagaimana penulis bercerita, sudah sangat baik dan saya melihatnya "beginilah ciri terbitan Gramedia". Baku dan menghanyutkan.

Arimbi. Polos, hanya karena lingkungan ia berubah menjadi rakus. Ananta. Baik, pendukung yang handal dan pekerja keras. Bu Danti. Khas ibu-ibu sosialita yang korupsi. Ada banyak karakter yang muncul namun semuanya kebanyakan hanya pendukung bagian cerita saja. Sebab penulis membagi cerita korupsi menjadi bagian-bagian kecil sesuai kasusnya. Bagian-bagian itu kemudian dihubungkan melalui keterlibatan Arimbi. Sehingga beberapa tokoh memang akan menghilang ketika kasus berpindah ke bagian yang lain.

Adegan favorit.
Pada halaman 243-245 digambarkan anak Arimbi bertingkah tidak biasa. Si anak terus menangis. Sampai akhirnya Arimbi mendapatkan kabar kalau ibunya meninggal, si anak mulai tenang, dan Arimbi yang menangis.

Petik-petik.
Sangat lugas pesan novel ini; "Korupsi itu perbuatan buruk dan akibatnya buruk juga".

Cuplikan.
Terlalu banyak sehingga saya lupa menandai karena asyik mengikuti cerita.

Final. Rating.
Siapa saja harus baca buku ini karena bermuatan bagus. Akhirnya, saya memberikan rating 4,5 dari 5.

Jawab ya!
Apa pendapat kalian tentang praktik korupsi?