Resensi Novel Convenience Store Woman (Gadis Minimarket) - Sayaka Murata


Judul:
Convenience Store Woman (Gadis Minimarket)

Penulis: Sayaka Murata

Penerjemah: Ninuk Sulistyawati

Editor: Karina Anjani

Ilustrasi kover: Orkha

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Juni 2022, cetakan ketujuh

Tebal: 160 hlm.

ISBN: 9786020644394


Dunia menuntut Keiko untuk jadi normal, walau ia tidak tahu 'normal' itu seperti apa. Namun di minimarket, Keiko dilahirkan dengan identitas baru sebagai 'pegawai minimarket'. Kini Keiko terancam dipisahkan dari dunia minimarket yang dicintainya selama ini..



Novel Gadis Minimarket ini menceritakan tentang perempuan bernama Keiko. Usianya sudah 36 tahun tetapi masih bekerja paruh waktu di minimarket dan dia belum menikah. 

Sudah 18 tahun dia menikmati pekerjaannya. Jiwa raga sudah menyatu dengan kehidupan minimarket.

Suatu hari dia memutuskan menampung lelaki bernama Shiraha. Shiraha adalah mantan pegawai minimarket di tempat Keiko kerja. Berkat kesepakatan berdua, keputusan tinggal sekamar dianggap menguntungkan kedua pihak. 

Karena Shiraha, Keiko harus berhenti bekerja di minimarket. keputusan paling besar dalam hidupnya karena minimarket sudah menjadi surga baginya. 

Apakah Keiko sanggup melanjutkan hidup setelah berhenti kerja?




Walau tipis tapi novel ini berbobot. Soalnya banyak hal yang dibahas dan bikin pembaca jadi tambah wawasan. 

Pertama, soal psikologi. Keiko dan Shiraha memiliki karakter yang aneh. Keiko sudah aneh sejak kecil. Saat TK, dia menyarankan ibunya untuk memasak burung yang mati. Saat SD, dia memukul dua teman lelaki yang berkelahi dengan sekop. Tujuannya agar mereka cepat berhenti berkelahi. Pernah juga Keiko menurunkan rok gurunya supaya gurunya berhenti histeris, berteriak-teriak, dan memukul-mukul meja dengan buku di depan kelas. Keiko kepikiran cara ini berkat tayangan TV.

Walau sudah dewasa pun, Keiko tetap aneh. Dia suka meniru gestur dan nada ucapan pegawai lain. Bahkan dia menganggap keponakannya seperti binatang. Yang menurutnya untuk menghentikan tangisan si bayi dapat dilakukan dengan pisau. Keiko sadar kalau dia bermasalah tapi dia tidak tahu apa masalahnya. Kadang pikiran dia bisa kita terima, tapi lebih banyaknya di luar nalar.

Sedangkan Shiraha digambarkan sebagai lelaki dewasa yang suka meremehkan, pemalas, banyak omong, suka berhutang, dan tidak bertanggung jawab. Kasarnya, Shiraha itu parasit untuk siapa pun. Gara-gara omongannya yang besar, Keiko mau-maunya membuat kesepakatan dengannya untuk tinggal sekamar.

Kedua, soal budaya masyarakat. Novel ini blak-blakan menunjukkan bagaimana masyarakat melihat dan memperlakukan orang yang secara usia sudah matang tapi belum punya pencapaian. Pencapaian yang jadi standar masyarakat seperti pekerjaan yang baik dan pernikahan. Di kehidupan nyata pun banyak orang yang memandang sebelah mata kepada orang lain yang belum mencapai standar masyarakat.

Kalau ditelaah lebih dalam, Keiko dan Shiraha belum mencapai standar masyarakat karena pilihan hidup yang mereka ambil selalu tidak tepat. Sikap dan karakter keduanya yang membuat mereka tertinggal. Bukan karena takdir ya. 


Ketiga, soal pekerjaan. Nilai seseorang ditentukan dari pekerjaannya. Beruntung bagi kita yang punya pekerjaan sebab pengangguran itu tidak berharga. Novel ini menyinggung sikap profesional yang harus dimiliki pekerja. Salah satu yang paling vocal disinggung adalah harus mematuhi peraturan pekerjaan. 

Shiraha menjadi contoh buruk sikap pekerja. Dia meremehkan pekerjaannya, menggunakan ponsel di jam kerja, suka terlambat, memakan stock makanan yang hampir kadaluarsa, dan paling parah dia menguntit pelanggan minimarket. Hasilnya, dia harus dipecat. Buruknya sifat Shiraha, pemecatannya dianggap ketidakadilan.

Keempat, soal keluarga. Saya salut dengan adik dan orang tua Keiko yang tidak lepas tangan menghadapi keanehan Keiko. Selain support, mereka juga memperhatikan kehidupannya. Ini yang mematahkan dugaan keanehan Keiko diakibatkan keluarga yang tidak harmonis. Nyatanya keluarga Keiko baik-baik saja tapi Keiko tetap aneh.

Kelima, soal mencari jati diri. Setelah Keiko berhenti kerja, hidupnya jadi kacau, tidak tentu arah sebab tidak ada panduan. Ada satu kejadian, Keiko masuk ke minimarket dan reflek dia mengerjakan pekerjaan pegawai. Momen ini jadi titik balik Keiko sadar siapa dia dan apa yang ia sukai.


Novel ini tidak punya puncak konflik yang seru. Tipikal alur cerita yang datar tapi tidak sampai bikin bosan. Alurnya campuran, sesekali mundur untuk menjelaskan latar belakang yang membuat Keiko seperti sekarang.

Dengan sudut pandang orang pertama, pembaca diajak menyelami karakter Keiko lebih dalam. Dan karena saking memahami cara dia berpikir dan bertindak, saya tidak bersimpati dengan yang dialaminya. Bukan lingkungan yang salah, bukan pola didik orang tua yang salah, tetapi memang karakternya yang keliru. Ditambah Keiko tidak berjuang keluar dari zonanya selama ini, yang akhirnya sampai dia seusia segitu pun karakternya tetap tertutup.

Gaya bahasanya enak dan mudah dipahami. Ini juga berkat penerjemahan yang bagus. Ditambah kovernya yang mencolok berwarna kuning dengan ilustrasi Keiko yang minimalis, membuat novel ini gampang menarik pembaca.


Setelah membaca novel Gadis Minimarket ini saya semakin diyakinkan untuk menjadi orang yang lebih baik. Saya ingin membentuk nilai diri lebih positif seperti ramah, bertutur dengan bahasa santun, pekerja keras, gemar menebar tindakan baik, gampang menolong, dan masih banyak lagi sikap-sikap terpuji lainnya. Sebab, jika diri kita baik, masyarakat pun akan menilai baik. Dan jadi orang baik tidak akan rugi.

Untuk pengalaman membaca kisak Keiko dan minimarketnya, saya memberikan nilai 3/5 bintang. Tetap enak diikuti dan layak direnungkan.

Nah, sekian ulasan atau resensi novel dari saya. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku.


2 komentar:

  1. Jadi salfoks ama ilustrasi yang pegang bukunya...nampaknya ini si dia tambatan hatinya Adin ya hehehhe...

    ngomongin buku ini, aku beberapa kali dah baca dari temen temen lain juga tapi kali ini baca beberapa partnya lebih lengkap baca dari resensi adin...seram banget ya din tokoh utamanya...karena punya mental ilness sedari kecil...tapi blom bgerti karena apa karena toh keluarganya ga ada yang bermasalah..semua nampak saling support...berarti mungkin lingkungan pas sekolah apa pergaulan saat remaja kali...

    tapi emang sih ya kakau di jepang pernikahan itu uda semakin tergeser ama budaya kumpul kebo...bahkan sex bebas di pantaran sma kadang tergambar dalam dorama dorama jepang yang dulu saat sekolah pernah alu tonton...lumayan ngeri sih...tapi namanya konflik dalam buku ya kan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, itu teman kerja, Mbak.

      Betul, aneh banget tokoh utamanya. Kayak enggak ada penyebabnya, tapi dia tumbuh begitu. Atau sebenarnya Keiko ini tipe introvert yang enggak teradjusment. Sehingga segala hidupnya didasarkan pada penilaiannya saja.

      Iya, budaya serumah tapi tanpa pernikahan sudah banyak kasusnya di Indonesia juga. Terutama di kota besar, laki-laki dan perempuan pacaran tapi tinggal di satu kosan. Ini sempat jadi meme di twitter, gimana perasaan orang tuanya kalau tahu anaknya memilih begitu...

      Hapus