gambar diunduh dari gramedia.com, diedit |
Judul: Apakah Ucapan Bisa Menjadi Obat? (Temperature of Language)
Penulis: Lee Ki-joo
Penerjemah: Gitta Lestari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 2021
Tebal: 209 hlm.
ISBN: 9786020651804
***
Ucapan dan tulisan bisa memancarkan kehangatan juga aura dingin. Bahasa yang hangat merangkul kesedihan, bahkan memercikkan kebahagiaan. Ada orang yang bisa melepaskan rasa lelah pada dunia lewat bicara dengan teman, ada juga yang menemukan ketenangan dari kalimat-kalimat yang tertulis di buku. Jika seseorang yang kau sayangi meninggalkanmu gara-gara sesuatu yang kaukatakan tanpa sengaja, mungkin ucapanmu terlalu “panas”. Jika seseorang menutup hati hanya gara-gara satu atau dua pesan singkat darimu, mungkin tulisanmu terlalu “dingin”.
Buku ini berisi ucapan dan tulisan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari, asal muasal suatu kata, serta penegasan atas betapa penting dan berharganya bahasa. Setiap kali membalik halaman buku ini, jika kau menghirup dan membaca setiap kalimatnya dengan hati-hati layaknya sedang menyantap makanan yang masih panas, mungkin kau bisa mempertimbangkan kembali sehangat apa pesan yang kau maksudkan dari ucapan dan tulisanmu.
***
Buku 'Apakah Ucapan Bisa Menjadi Obat?' atau dalam judul aslinya adalah Temperature of Language merupakan buku nonfiksi yang dilabeli sebagai buku self-improvement. Dalam bayangan saya, buku ini akan membahas mengenai ucapan yang baik-baik, yang bisa menjadi obat untuk kestabilan emosi seseorang. Bisa dari pemilihan kata, intonasi, waktu penggunaan, atau siapa lawan bicara. Tetapi ternyata buku ini tidak membahas ucapan dengan detail seperti harapan saya. Lebih banyak menceritakan pengalaman sehari-hari penulis yang kemudian dia tarik pelajaran atau hikmah yang bisa dipetik.
Terdapat tiga bab besar yang saya sendiri tidak paham kenapa ada pengelompokan begitu. Bab pertama 'Ucapan, Sesuatu yang Terpatri dalam Hati' lebih memenuhi bayangan saya soal buku ini, karena ada pembahasan di balik ucapan yang dipilih orang-orang. Contohnya, di sebuah rumah sakit, dokter dan perawat atau pekerja lainnya akan menyebut pasien dengan gelar, nyonya, atau tuan, ketimbang memanggil mereka dengan sebutan pasien.
"Kata 'pasien' merujuk pada seseorang yang sedang sakit. Jika kita sering memanggil mereka seperti itu, mereka justru akan lebih sakit."(hal. 6)
Bab kedua 'Tulisan, Bunga yang Tak Pernah Layu' sepertinya dikhususkan bagaimana tulisan bisa membentuk ucapan yang baik. Contohnya ada seorang petugas keamanan yang setiap kali bertugas selalu membawa buku catatan. Si penulis penasaran dan mengintip beliau menulis apa. Ternyata di buku tersebut hanya tertulis tanggal dia bertemu sang istri dan tanggal ulang tahun istrinya. Setelah mendapatkan informasi, si penulis paham tujuan petugas keamanan membawa buku tersebut, tak lain karena dia didiagnosa mengalami gejala demensia. Dan petugas keamanan memilih tidak mengapa dia kelihatan banyak memori tapi dia tidak mau melupakan dua tanggal tersebut.
Bab ketiga 'Baris, Bukti Bahwa Kita Masih Hidup' seperti ingin menegaskan pentingnya meninggalkan jejak baik kita agar ketika kita tiada masih dapat dikenang oleh orang-orang terdekat. Seperti yang dilakukan oleh seorang Ibu yang renta, yang selalu mengajak anaknya yang disabilitas untuk berjalan kaki. Begitu sang Ibu meninggal, si anak sudah dapat berjalan walau tertatih. Tujuan sang Ibu agar anaknya dapat berdiri di kaki sendiri, tanpa merepotkan orang lain.
Penulis menuangkan banyak pengalaman hidupnya dalam sub-bab yang pendek-pendek. Pengalaman yang begitu keseharian sekali, tapi jika kita merubah sudut pandang, kita akan menemukan makna lebih dari pengalaman tersebut.
Ada banyak hal yang dibahas, diantaranya soal percintaan, pernikahan, pekerjaan, kegemaran, dan orang tua. Dan yang paling mengena buat saya tentu saja tulisan-tulisan yang membahas soal orang tua. Saya selalu gampang dibuat berkaca-kaca jika membaca tema orang tua. Dalam tulisan 'Hanya Menelepon' dibahas mengenai telepon orang tua kepada anaknya yang selalu diawali dengan, "Saya menelepon karena sedang senggang." Padahal di balik kalimat itu ada kerinduan yang mendalam dari sosok orang tua, tapi di sisi lain mereka tidak ingin mengganggu kesibukan si anak. Penulis ingin mengingatkan bahwa tidak ada telepon orang tua yang sekedar waktu senggang, pasti ada rasa yang ingin diungkapkan disitu. Maka, jika kita menerima telepon tersebut, angkat dan berbincanglah sebentar dengan nada yang ceria dan riang. Orang tua akan senang mendengarnya.
Lalu pada tulisan 'Maaf, Saya Tidak Bisa Memberi Lebih' menceritakan pengalaman penulis yang sedang di rumah dan ibunya pergi ke keluar di tengah cuaca dingin bersalju lebat. Karena sudah gelap dan ibunya belum pulang, si anak mencari. Akhirnya dia bisa menemukan ibunya yang gemetaran di halte bus. Begitu si ibu masuk ke mobil, dia berkata lirih, "Maaf, Ki-Joo."
Padahal orang tua sudah memberikan segenap hidupnya untuk anak-anak, tapi setiap kali orang tua merasa menyusahkan anak, selalu yang paling pertama minta maaf. Sebuah sikap yang menyakitkan bagi anak karena orang tua tidak ingin menjadi beban bagi anak-anaknya. Padahal jauh di lubuk hati anak ada rasa senang dan bangga bisa dibutuhkan orang tua. Tapi kenapa mereka masih saja merasa itu tidak seharusnya? Begitulah kebaikan dan sifat rendah hati orang tua.
Tulisan favorit saya lainnya adalah 'Tujuan Perjalanan' yang membahas mengenai makna melakukan perjalanan entah sebagai berwisata atau berkelana. Bagi penulis keduanya merupakan proses dan yang paling penting proses perjalanannya, bukan tujuannya. Bagian ini seperti menyentil impian saya yang bercita-cita melakukan perjalanan ke beberapa tempat tapi sampai saya menulis ulasan buku ini belum terwujudkan.
Dalam buku ini penulis meramu pengalaman dari hal-hal kecil yang ia temui. Lalu dengan perenungan dicari makna baik yang terkandungnya. Gaya bahasa penulis mudah dipahami, apalagi pembahasan yang dibawakan mudah diterima pembaca karena tidak jauh dari yang kita alami juga. Ditambah dikemas dalam tulisan pendek sehingga bagi pembaca yang ingin meresapi tulisannya dengan mendalam dapat dibaca dengan singkat dan dilanjutkan dengan perenungan.
Dalam pembahasan nilai-nilai kehidupan, penulis sering sekali membawa pengalamannya menonton film. Saya sampai menuliskan sebagian banyak judul-judul film yang disebutkan penulis dalam bukunya ini: Late Night Restaurant, Pale Moon, Veteran, Lover in Paris (drama), Our Little Sister, Casablanca, Whiplash, 'Like Father, Like Soon', The Great Passage, The Martian, Saving Private Rian, Gravity, Planet of Snail, Spotlight, Carol, Begin Again, Indiana Jones, Memento Mori, Star Wars, One Fine Spring Day, Interstellar, Eternal Sunshine of The Spotless Mind, La Famille Belier, Youth, The Great Beauty, The Six Million Dollar Man, The Bionic Woman, Drunken master, The Wonderful Wizard of Oz, 'Crouching Tiger, Hidden Dragon', Old Boy, Bourne Series, Mission Impossible. Ternyata Lee Ki-Joo ini sepertinya menyukai kegiatan menonton film sehingga bisa merelevansikan cerita film ke dalam pengalamannya.
Secara keseluruhan, membaca buku ini membuat saya seperti kembali melihat diri di cermin, sudah sejauh mana menerapkan syukur atas keseharian yang dilalui. Dan kita diingatkan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita selama masih bersosialisasi dengan orang lain, salah satunya dengan menjaga ucapan agar yang keluar dari mulut kita merupakan yang baik dan menyenangkan orang-orang. Dibalik proses itu, kita juga harus merawat hati dan pikiran dengan hal yang baik-baik.
Untuk buku Apakah Ucapan Bisa Menjadi Obat? saya memberikan nilai 3 bintang dari 5 bintang.
Sekian ulasan dari saya, terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!
Catatan:
Cinta tidak akan berbicara panjang lebar atau memberikan alasan remeh demi menghindari situasi tertentu (hal. 8)
... banyak hal yang kehilangan keseimbangan dan roboh gara-gara kita terlalu terobsesi pada kesempurnaan (hal. 10)
... cara mengatakan sesuatu sebenarnya lebih penting daripada apa yang dikatakan, dan kadang apa yang tidak dikatakan lebih penting daripada cara mengatakan sesuatu (hal. 11-12)
Rasa malu pada dasarnya adalah hati yang rendah hati. Orang-orang yang tidak punya rasa malu adalah orang-orang yang tidak rendah hati (hal. 29)
Permintaan maaf adalah bahasa kemenangan yang hanya bisa diucapkan oleh orang-orang yang memiliki tekad dan keberanian untuk menghadapi hal-hal rumit (30)
Sifat seseorang bisa terlihat dalam hal-hal remeh (hal. 46)
Banyak orang yang mengacaukan hidup karena tidak mengambil keputusan dengan bijak (hal. 58)
Hanya ada dua pilihan yang dimiliki oleh orang-orang yang sudah kehilangan kemampuan bertanya. Beradaptasi atau menyerah. (hal. 60)
Kadang, kita harus melihat sedikit lebih jauh. Kita bisa melangkah mundur sedikit, atau memandang sesuatu dari sudut yang berbeda. Agar sesuatu terlihat lebih berharga. (hal. 131)
Tak ada cinta yang lebih buta daripada cinta seorang ibu kepada anaknya. (hal.139)
Kita harus lebih dulu mengalami kekalahan sebelum tahu cara menggapai kemenangan. (hal. 143)
Daripada sibuk menggapai sesuatu yang bisa dengan mudah terlepas dari jari-jari kita, sebaiknya kita mengingat kembali "apa yang pernah kita miliki" dan berusaha mendapatkannya kembali. (hal.146)
... kalau kau terjatuh, beristirahatlah sejenak. kadang, kau perlu memiliki ruang kosong. (hal. 162)
jamais vu adalah fenomena ketika hal-hal yang sudah sering kita alami terasa asing. Jamais vu kebalikan dari deja vu. (hal. 172)
yang dekat dengan kehidupan adalah kelembutan, sedangkan yang dekat dengan kematian adalah kekerasan. (hal. 183)
"Mata' bukanlah alat untuk melihat kelemahan seseorang, melainkan kelebihan seseorang. (hal. 188)
Lengkap banget review-nya, Kak. Saya juga suka tulisan yang tentang sebutan 'pasien' itu. Berasa mindblowing sekali. Ternyata banyak hal-hal sederhana seperti itu yang berpengaruh besar pada kehidupan orang-orang.
BalasHapusTerima kasih sudah mampir ke blog saya ini 😁 Ternyata kata yang kita ucapkan memiliki pengaruh untuk orang lain yang mendengarnya. Buku ini seperti mengingatkan agar lebih baik lagi dalam pemilihan kata ketika berucap.
Hapus