Tampilkan postingan dengan label Penerbit buku mojok. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penerbit buku mojok. Tampilkan semua postingan

Januari 09, 2022

[Buku] Kepergian Kedua - Amanatia Junda


Judul:
Kepergian Kedua

Penulis: Amanatia Junda

Penyunting: Ninus Andarnuswari

Penerbit: BukuMojok

Terbit: Januari 2020, cetakan pertama

Tebal: vi + 108 hlm.

ISBN: 9786237284239

***

“Bagaimana kalau kamu pulang, cepat menikah, lalu ambil anak Indah. Dia bisa meneruskan sekolah, nanti jadi sarjana. Ibuk juga lega akhirnya punya mantu dan cucu dan statusmu jelas. Bagaimana kalau begitu, Le?”

Di Wetter, sebuah kota kecil di Jerman berjarak sekitar dua puluh jam penerbangan dari Gayut, Jawa Timur, Irul mengira ia bisa melarikan diri dari kuasa Ibuk dan segala benang kusut konflik keluarga besar trah Jauhari. 

Ia salah. Kabar kehamilan Indah, sepupunya yang masih belia, mengejarnya tanpa ampun. Ia dituntut memainkan peran utama sebagai satu-satunya cucu laki-laki. Tanpa seorang pun tahu rahasia macam apa yang ia bawa pergi dari Gayut.

***

Dulu, pernah mikir bakal ada kesempatan untuk baca buku kumcer Amanatia yang 'Waktu Untuk Tidak Menikah' yang jelas-jelas bukunya sudah punya. Tapi saya justru menyelesaikan buku keduanya ini, berupa novel tipis. Sengaja saya pilih buku ini untuk memacu 'mesin motivasi' agar saya bisa membaca buku lebih banyak lagi. Sebab akhir-akhir ini saya kesulitan membagi waktu untuk baca buku dengan waktu kerjaan baru.

Kepergian Kedua menceritakan tokoh utama berusia awal 30an yang balik ke Jerman untuk kedua kali, Birrul Walidain. Sampai pada satu waktu, dia mendapatkan kabar dari Ibuknya kalau Indah, sepupunya, hamil. Usia Indah masih 16 tahun, dan menurut kabar itu, pelakunya adalah pemuda penjual seblak, Heru.

Lagi-lagi, Irul dituntut untuk ikut andil menyelesaikan masalah sepupunya. Dan tanpa diketahui siapa pun, Irul menyimpan rahasia besar mengenai menghilangnya Paklik Dar, ayah Indah.

Pada dasarnya, novel ini punya alur cerita yang singkat saja. Irul yang sedang ada di Jerman dituntut menyelesaikan masalah soal sepupunya, Indah. Tetapi penulis merekap masalah-masalah yang pernah muncul di keluarga besar trah Jauhari dan pernah melibatkan Irul dalam penyelesaiannya di masa lalu. Masalah sengketa tanah warisan kakek dengan adik kakeknya, masalah undian mobil antara Pakde Mar dan Pakde Kar, dan sekarang masalah Indah yang hamil di bawah umur.

Bisa dikatakan alur novel ini campuran maju-mundur. Dan menurut saya alur mundurnya lebih banyak walau berupa potongan-potongan peristiwa penting di masa lalu. Amanatia seperti ingin lebih fokus menceritakan semua keterlibatan Irul menyelesaikan masalah keluarga besar dibandingkan menceritakan Irul selama di Jerman, pada kepergiannya yang kedua kali ini.

Isu yang pertama muncul dibahas adalah soal hamil di luar pernikahan. Indah yang berusia 16 tahun menanggung hal ini. Dalam novel ini dibahas opsi-opsi penyelesaian yang akan diputuskan keluarga besar. Salah satunya adalah melakukan aborsi. Tapi ada sisi kotradiksi yang bisa jadi renungan pembaca, Indah ini merupakan siswa pintar dan berprestasi tapi kenapa bisa terjebak hal demikian. Dan dijawab pula dalam novel ini jika faktor kondisi keluarga punya pengaruh terhadap pergaulan seorang anak. Yup, bapaknya Indah menghilang sejak kasus sengketa warisan tanah. 

Apa kecelakaan yang tengah menimpa Indah berhubungan dengan mentalnya yang terguncang akibat kehilangan sosok bapak? (hal. 41)

Dalam penyelesaian kasus Indah ini, pembaca akan menemukan fakta yang bikin nyeri hati di ujung cerita. Dan akhirnya keluarga besar mesti menanggung aib itu bulat-bulat.

Isu lain yang muncul di novel ini adalah mengenai kerawanan hubungan persaudaraan disebabkan oleh rebutan harta. Contoh dalam novel ini adalah masalah sengketa warisan tanah dan soal hadiah undian. Hubungan saudara mudah retak jika menyangkut rebutan harta. Dan dalam kehidupan nyata sudah banyak kasus demikian, bahkan bisa sampai meja pengadilan. Yang baru-baru ini muncul soal tuntutan penjara yang dilakukan anak kepada ibunya karena tanah warisan. Membaca berita soal ini sungguh bikin mengelus dada dan beristighfar.

Isu menarik lainnya mengenai stereotip anak laki-laki yang dituntut serba bisa menyelesaikan masalah yang muncul di keluarga. Padahal tidak semua anak laki-laki memiliki pengalaman dan kekuatan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dan lebih menyakitkan lagi jika kita sebagai anak laki-laki salah memutuskan perkara, beban kesalahan tersebut diletakan di pundak kanan-kiri, tanpa dibagi. Tuntutan yang begini yang kadang membuat kita sebagai anak laki-laki mudah terjaga pas tidur, dan berujung melek sampai subuh.

Novel tipis ini menarik, membawa tema keluarga dan sedikit bumbu romansa. Tema keluarga yang diangkat penulis merupakan keluarga besar dengan adat jawa. Maka kita akan menemukan banyak kosakata bahasa jawa yang bertebaran. Selain itu, mengenal keluarga besar Irul membuat saya seperti sedang masuk ke tengah-tengah mereka dan menyaksikan sendiri bagaimana mereka saling berinteraksi dengan kejawaannya itu.

Tema romansa memang sekadar bumbu, yang kemunculannya untuk membuat kaya rasa. Irul yang sudah berusia 30an, sangat polos berhubungan dengan perempuan. Satu momen ketika hubungannya dengan Gadis meningkat lebih intim, dia tidak mempersiapkan kemungkinan arah liar yang akan dituju. Untuk usia Irul segitu rasanya terlalu budiman sekali. Walau pada momen itu Irul tidak menolak melakukannya, namun ketidaksiapan dia membuat momen itu jadi kentang. 

Yang menurut saya kurang dari novel ini adalah cerita soal Irul tidak tereksplorasi dengan mendalam karena Amanatia meringkas itu. Setelah membaca sampai selesai, saya tidak mendapatkan kesan berupa simpati atau tertarik dengan karakter yang muncul yang bergulat dengan konflik yang dihadapi. Kemungkinannya karena penulis fokus menghadirkan potongan-potongan kejadian masa lalu. Padahal jika ceritanya merunut panjang, pembaca akan lebih kenal dengan Irul dan akan lebih bersimpati.

Meski demikian, novel tipis ini tetap sangat layak dibaca sebab isu-isu yang dibahasnya akan sangat terhubung dengan kehidupan kita. Pelajaran hidup dalam novel ini sangat berarti sebagai gambaran dalam berinteraksi di keluarga besar. Maka saya memberikan nilai 3 dari 5 bintang.

Sekian ulasan dari saya, terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!


September 13, 2021

[Resensi] Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan - Riyana Rizki



Judul: Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan

Penulis: Riyana Rizki

Penyunting: Amanatia Junda

Penerbit: BukuMojok

Terbit: Agustus 2021, cetakan pertama

 Tebal: vi + 156 hlm.

ISBN: 9786237284628

***

Jika menikahi laki-laki yang membawanya lari adalah takdir perempuan Sasak, jangan-jangan tidak tersisa kehormatan jika menolak takdir itu. Tidak bolehkah perempuan memilih, sekadar memilih untuk tidak memilih laki-laki yang memilihnya?

Sering kali dongeng digambarkan sebagai cerita fantasi yang berujung pada sang tokoh utama hidup berbahagia. Kisah manis seperti ini membingkai kesan bahwa dongeng hanyalah konsumsi anak-anak, sementara kelak ketika dewasa, apa pun yang indah itu hanya ada di buku dongeng belaka. Riyana Rizki memulai debutnya dengan menyajikan 12 cerita pendek terpilih yang bertalian kuat antara beragam dongeng, legenda, ataupun cerita rakyat. Cerita-cerita tersebut jauh dari janji happily ever after (bahagia selama-lamanya). Justru sebaliknya, sebagian besar menyimpan amarah, luka, dan perlawanan.

***

Wara-wiri paket buku yang dijual oleh Penerbit BukuMojok seharga 98K untuk Genealogi Hoaks Indonesia (Rony K. Pratama) dan Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan (Riyana Rizki) cukup menarik. Tapi karena tidak kenal dengan kedua penulis ini, kedua bukunya pun tidak jadi prioritas untuk segera dibeli. Namun, begitu kabar lomba resensi digaungkan, semangat menantang diri membuat ulasan bukunya melejit.

Saya pokoknya harus ikutan, menang kalah itu urusan entar, yang penting coba dulu belajar mengulas.

Sebagai syarat ikut serta, saya akhirnya memilih buku fiksi ketimbang non-fiksi. Sejauh ini saya jarang sekali mengulas buku non-fiksi. Belum ketemu formula yang pas dan nyaman untuk format ulasannya sehingga belum pengen mencoba dulu di kesempatan ini. 

Mengulas kumcer saja menjadi tantangan yang lumayan berat. Sebab keragaman cerita di dalamnya harus diulas secara utuh sebagai bentuk reaksi saya setelah membaca bukunya. 

Keragaman Tema Dalam Dominasi Tokoh Perempuan

12 cerita pendek dalam buku ini punya tema yang beragam. Ada yang mengulas soal legenda, kisah mistis, drama kehidupan, bahkan dongeng. Dan setelah saya menyelesaikan membaca bukunya, tokoh di buku ini hampir didominasi perempuan.

Isu stigma perempuan dibahas kental pada beberapa cerita di buku ini. Cerita Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan memaparkan stigma jika perempuan harus taat adat dan jika melanggar, dianggap aib. Sekalipun hidupnya menderita, melawan adat tidak dibenarkan. Sulin digunjingkan, dijadikan bahan cemoohan lantaran memilih dipulangkan (dicerai) suaminya karena alasan, "Perempuan tidak menyakiti perempuan, itu kata Ibu." (hal. 10) Sulin tidak berminat menjelaskan kepulangannya karena pada saat itu, orang-orang tidak bertolak dari apa yang benar, tetapi pada kebenaran dominan yang mereka ciptakan sendiri (hal. 11).

Pada cerita Sudah Kukatakan, Aku Timun Mas mengajak pembaca mengenal tokoh Timun, bayi perempuan yang dibuang di tempat sampah, lalu dibesarkan oleh Arini di lokalisasi, hingga ia  berusia 17 tahun dan sudah waktunya menentukan nasib seperti pada dongeng Timun Mas, lari dari raksasa atau terkungkung oleh raksasa. Stigma perempuan dalam kisah ini, lagi-lagi diposisikan untuk tidak memilih karena keadaan lingkungan mendikte lebih dulu.

Lalu pada cerita Perempuan Ceria dengan Kotak Pandora di Pelukannya seolah menyentil stigma perempuan harus sempurna dan baik. Lalu, bagaimana nasib perempuan ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), apakah tidak boleh merasakan cinta, apakah begitu menjijikan, atau tidak lagi punya kesempatan seperti perempuan-perempuan normal? Tokoh Aku bingung ketika fakta itu terungkap. Apalagi ini menyangkut perasaan dan pertimbangan Ibunya selaku pemangku restu.

Dongeng Pengantar Kematian membuka kisahnya dengan narasi yang bikin mual dan linu. Stigma di cerita ini mengenai sosok ibu tiri, yang digambarkan kejam dan tukang menyiksa. Padahal tidak semua ibu tiri demikian. Kalau pun Ilit harus meregang nyawa di tangan ibu tirinya, itu lantaran hasil rentetan emosi yang berkelindan tanpa terurai sehingga pada titik tertentu memuncak. Ilit yang masih bocah hanya menilai ibu tiri dari dongeng yang didengarnya.



Pada cerita Bocah Terbang dan Anak yang Merasa Hilang dituturkan lewat sudut pandang anak perempuan yang menerangkan tentang Ibunya yang menjadi perempuan simpanan. Makanya si anak ini penasaran siapa sosok ayahnya, sebab sepanjang kehidupannya dia tidak dibekali cerita sosok sang ayah. Tidak mengenakkan menjadi perempuan simpanan begitu lues dijabarkan penulis pada cerita ini. Dan ujung cerita disimpulkan, anaklah yang jadi korban dari hubungan orang-orang dewasa ini.

Sedangkan pada cerita Perawan, Perawan, Turunkan Rambutmu, penulis mengadopsi cerita anak-anak Rapunzel. Seorang gadis berambut panjang yang dikurung di atas menara. Dalam buku ini, ada stigma perempuan itu lemah dan dilemahkan, sehingga harus disembunyikan, dan pada kondisi naas, perempuan hanya objek bagi laki-laki. Walau pada akhirnya perempuan tetap bisa memilih untuk terus terkungkung atau menjadi bebas.

Cerita Dendam Yang Lapar dan Tegining-Teganang justru mengingatkan kita pada keburukan manusia yang serakah. Demi mencapai tujuan tertentu, orang serakah bisa melakukan apa pun. Termasuk menebar fitnah hingga menjadi kebenaran mayoritas dan melakukan penipuan tanpa belas kasih. Di cerita Dendam Yang Lapar, Alin terjebak dalam konspirasi 'Menjadi Kades' Bapak dan Suaminya yang berujung pada kematian keluarga Swarta."Dendammu masih lapar? Ada makanan penutup di rumah Bapak." (hal. 34). Lalu pada cerita Tegining-Teganang ini kita akan diingatkan pada kasus suami-istri yang menipu banyak orang dengan motif investasi. Kesamaan kedua cerita ini, pelaku yang serakah akan mendapatkan balasan setimpal.

Isu pelecehan seksual dipaparkan dalam cerita May dan Suling Pemikat dan Misteri Hilangnya Para Bocah. Kedua cerita ini terasa relate dengan berita baru-baru ini. Menceritakan korban pelecehan seksual yang sulit mendapatkan keadilan karena pelaku merupakan petinggi yang berkuasa. Bedanya, pelaku di cerita May adalah bosnya, sedangkan pada cerita Suling Pemikat dan Misteri Hilangnya Para Bocah adalah orang terpandang di desa. 

Cerita bak legenda atau dongeng akan kita temui di judul Sihir Bumi. Saat membaca cerita ini, saya membayangkan kisah kolosal. Tokoh utamanya buruk rupa, tapi sakti madraguna. Apalagi di dalam kisahnya, dibalut sihir yang menutupi pandangan orang-orang terhadap lingkungannya.

Problematika Perempuan di Mata Dunia

Seperti yang saya bilang, tokoh dalam buku ini didominasi perempuan. Sehingga banyak juga problematika perempuan yang disentil penulis, sekadar mengingatkan atau memberikan pandangan. Buku ini mau tidak mau memberikan renungan soal perempuan yang pada saat ini pun masih dianggap objek bagi laki-laki, bahkan dilemahkan sehingga posisi perempuan ditekan untuk di bawah laki-laki.

Selain itu, tokoh perempuan dalam buku ini pun, beberapa terikat dalam 'kubus' keluarga. Entah sebagai istri, ibu, adik, maupun anak perempuan. Dan peran ini membawa dinamika masalah keluarga yang beragam. Dari peran-peran inilah lahir konflik-konflik keluarga misalnya perselingkuhan, pembangkangan, ketidakakuran, kurang kasih sayang, dan sebagainya.

Penulis juga menempatkan dengan apik posisi perempuan sebagai objek. Sehingga unsur seksual begitu lekat pada alur kisahnya. Misal posisi istri simpanan, perempuan penjaja seksual, dan perzinahan. Ini semakin menegaskan tujuan penulis mengulas peran dan posisi perempuan yang ingin ia dobrak lewat cerita-cerita rekaannya.

Apakah Kumcer Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan Ini Menarik?

Ada 12 cerita menyoal perempuan dan problematika bagi saya cukup mengenyangkan. Ditambah akhir cerita yang rada jauh dari bikin senyum. Buku ini lebih banyak mengajak pembaca untuk menikmati pahitnya jalan hidup. Dan saat selesai satu judul, alangkah baiknya berhenti sejenak dan meresapi hal putih apa yang bisa diambil sebagai hikmah. Kalau sampai tidak ketemu, cukup bersyukur, "Beruntung masih bisa membaca satu kisah".

Gaya bahasa dan bercerita penulis tidak canggung. Penulis juga mahir mem-plotting bagian-bagian cerita sehingga satu judul tidak melulu alur maju, tapi ada juga yang alur campuran. Dinamika alurnya beragam sehingga tidak membosankan. Tidak pula membuat pembaca payah memahami cerita karena keluesan penulis yang mumpuni bermain diksi lugas, minim metafora dan pengandaian lainnya.

Secara kemasan, jujur aja, kovernya begitu pias, seperti bibir anak sekolah yang ikut upacara dan belum sarapan. Bikin iba. Menurut saya, kover begini tidak cukup memikat pembaca yang kebetulan masuk toko buku, untuk sekadar mengambil bukunya, membalik bagian belakang, dan membaca blurb-nya. Terlalu sederhana. Saya paham jika gambar perempuan yang mendekap lututnya menggambarkan keterkekangan menjadi perempuan, ditambah megap-megap ketika lingkungan membuatnya sesak seperti ditenggelamkan ke dalam air. Saya justru akan menyarankan kovernya dibuat warna biru laut saja.

Ada sekitar 3 temuan tipo yang saya dapati saat membaca buku ini. Jumlah yang masih dimaklumi, karena tidak mengganggu proses membaca. Mambawa = Membawa (hal. 70). Menjawa = Menjawab (hal. 100). Dan satu lagi saya lupa menandai, hehe.

Secara keseluruhan, buku ini bisa dinikmati. Waspada saja dengan efek sesudahnya, mungkin bagi kalian akan terpengaruh secara emosi sebab ceritanya memang mengaduk-aduk begitu. Jika harus memberikan nilai, saya menyematkan nilai 3 bintang dari 5 bintang. Sebuah debut yang cukup baik.

Sekian ulasan saya, terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!



Maret 18, 2019

[Resensi] Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis - Rusdi Mathari


Judul: Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis
Penulis: Rusdi Mathari
Penyunting: Syafawi Ahmad Qadzafi
Penerbit: Buku Mojok
Terbit: Cetakan pertama, Januari 2019
Tebal: viii + 115 halaman
ISBN: 9786021318805
Harga: Rp56.000,-

[ Ngebaca ] Setelah sekian lama akhirnya saya bisa menulis resensi buku lagi. Sebenarnya sejak awal tahun ini, saya sempat membaca empat judul buku. Sayangnya, saya kehilangan kemampuan menulis resensinya. Alhasil, blog ini sempat kosong artikel resensi buku, dan saya hanya menyempatkan membuat tulisan curhat receh.

Buku yang tuntas saya baca terakhir ini berupa buku kumpulan cerita. Punya dua puluh tiga cerita yang dikemas ringkas, bahkan menurut saya terlalu ringkas. Memiliki kesamaan tema, pelajaran hidup yang islami. Maka jangan heran jika cerita di dalamnya lebih banyak mengisahkan kisah Nabi Muhammad, kisah para sahabat, bahkan penceritaan kembali kisah yang ditulis di Al-Quran.

Fitnah adalah cerita pembuka yang mencoba mengingatkan pembaca bahaya dari fitnah. Dikisahkan ada seseorang yang mendatangi Abu Nawas untuk meminta maaf karena pernah melakukan fitnah. Abu Nawas mengatakan sebaiknya dilupakan saja dan tidak perlu diungkit, apalagi diumbar. Orang itu bersikap keras kepala. Maka Abu Nawas meminta orang itu untuk mengoyak bantal dan mengeluarkan isinya. Setelah selesai, Abu Nawas kembali meminta orang itu untuk memasukkan lagi isi bantal tadi. Yang terjadi, bantal yang dirusak tadi dapat diperbaiki. Namun tidak akan pernah menjadi seperti semula. Begitu juga dengan kepercayaan. Sekalinya dirusak, tidak akan seperti sedia kala meski sudah dimaafkan.

Cerita lainnya sekaligus bagian yang diambil menjadi judul buku ini adalah cerita Kambing. Mengisahkan Nabi Nuh as. yang hendak menanam pohon, didatangi seekor kambing istimewa. Kambing tadi berkaki lima, bermata tiga, dan mulutnya mencong. Nabi Nuh as. mengatakan jika kambing tadi jelek. Lalu kambing tadi bersuara, "Hai Nuh, rupaku memang jelek, dan menurutmu aku mungkin juga mahluk tidak berguna. Tidak bisa berbuat apa-apa sepertimu, tapi apakah kamu lupa wahai manusia berguna?" Nuh bertanya, "Lupa tentang apa?" Kemudian dijawablah oleh kambing, "Penciptaku dan penciptamu sama."

Mendengar itu Nabi Nuh as. bersimpuh memohon ampunan sambil menangis. Dia menyadari telah bersikap sombong. Merasa paling sempurna dan merasa paling berguna. Dan ada dua versi yang menyebutkan lamanya Nabi Nuh as. bersimpuh, 200 tahun dan 300 tahun.

Cerita lainnya juga memiliki  khas sama, cerita yang islami. Yang memiliki pesan kebaikan untuk kemanusiaan. Seperti dalam cerita Nasrani, kisah di dalamnya memberi pesan untuk saling tolong menolong meski tidak seagama. Bukan mempersulit atau menghina. Kisah ini memaparkan bagaimana Nabi Muhammad memperlakukan tamu umat Nasrani yang hendak melakukan ibadah di mesjid Nabawi. Nabi memberikan kesempatan kepada mereka untuk melakukan misa di sayap mesjid lainnya. Begitu juga dalam kisah lain, ketika umat muslim diperangi kaum kafir Quraisy, Nabi memerintahkan umatnya untuk meminta suaka ke Negus di Ethiopia yang merupakan pemeluk agama Nasrani. Dan umat muslim diterima dan diperlakukan dengan sangat baik. Cerita ini mencubit kejadian yang ada di dalam negeri mengenai larangan membangun gereja yang dilakukan umat Islam di salah satu kota. Padahal, tidak ada satu ayat pun atau ajaran Nabi Muhammad yang menganjurkan melarang pembangunan tempat ibadah agama lain. Penulis menganggap peristiwa ini sebagai ironi.

Cerita lainnya yang terdapat dalam buku ini adalah azazil, maut, cathala, agama, gereja, muhammad, perayaan, aladin, kakbah, khidir, pezina, anjing, bidah, tahun baru, ilmu, burung, adab, rasis, minoritas dan membunuh.

Membaca kesemua ceritanya, selain menyadarkan pembaca akan nilai kebaikan yang islami, juga menjadi renungan sudah seberapa baik kita bersikap terhadap sesama. Dan buku ini memberikan pemahaman baru mengenai kemanusiaan yang harus dilandasi nilai kebaikan seperti yang diajarkan agama.

Ibarat air hujan, buku ini membasahi kembali kegersangan hati dan batin saya akibat kontaminasi kemajuan zaman. Saya mengaku semakin autis dengan kehadiran teknologi diujung jari. Sehingga asupan kebajikan ke dalam hati berkurang banyak. Dan buku ini bisa menjadi alternatif untuk menggali, mengingat, dan bahkan membetulkan diri kita yang mulai jauh dari nilai kebaikan agama.