Penulis: Tere Liye
Editor: Triana
Rahmawati
Cover: Resoluzy
Lay out: Alfian
Penerbit: Penerbit
Republika
Cetakan: Pertama,
Oktober 2016
Tebal buku: vi + 524
halaman
ISBN: 9786020822341
Harga: Rp79.000
Saya sangat senang bisa membaca karya Tere Liye lagi.
Menurut saya karya-karya Tere Liye lebih menonjolkan sisi drama dengan pesan
moral yang menggugah nurani. Faktanya, quote-quote yang dikutip dari
novel-novelnya bertebaran di sosial media.
Buku ini bercerita tentang Sri Ningsih, perempuan yang
meninggal di panti jompo dengan meninggalkan warisan 19 triliun rupiah. Zaman Zulkarnaen, pemuda asal Indonesia, mendapat tugas sebagai pengacara di Thompson & Co., untuk menelusuri
ahli warisnya.
Tugas ini mengantarkan Zaman ke Pulau Bungin, Sumbawa, Indonesia. Ia bertemu dengan Pak Tua (Ode) yang ternyata menjadi teman baik Sri
pada masa kanak-kanak. Pada bagian ini, kisah Sri membuat saya hampir menangis
sebab Sri mengalami masa yang sulit menjadi anak tiri. Perjalanan Zaman
berlanjut ke Kota Surakarta, Pulau Jawa. Bagian ini menjadi bagian paling
mengerikan dari kisah Sri. Bersama Nur’aini dan Sulastri, Sri mencicipi
madrasah dan persahabatan. Namun beranjak dewasa, pengkhianatan dan dendam masa
lalu menghancurkan semua hal indah pada masa itu. Ketika keadaan sudah menjadi
baik, Sri memilih berangkat ke Jakarta. Sebagai warga pendatang, ia
pontang-panting menjadi mandiri. Ketika sukses sudah hampir di tangan, situasi
negara memorakporandakan impian Sri.
Tanpa gejala apa-apa, Sri menghilang dari Jakarta. Ia
ternyata pergi ke London. Di kota inilah Sri mendapatkan keluarga baru yang
berasal keturunan India. Episode di London lebih mengetengahkan pada cerita Sri
yang jatuh cinta, menikah, memiliki anak, dan tentu saja prahara rumah tangga.
Kisah roman Sri tidak berjalan mulus. Ia pun hijrah ke Paris, kota terakhir
yang ia singgahi hingga ia meninggal.
Berasal dari mana warisan Sri yang banyak itu? Siapa ahli
waris yang berhak mendapatkannya secara sah?
Detail cerita buku Tentang Kamu tidak sedangkal yang saya
rangkum di atas. Kalau kamu pernah membaca buku Tere Liye sebelumnya, pasti
tahu kalau kisahnya tidak sesederhana itu. Keluarga, persahabatan, dan percintaan,
diramu secara apik menjadi latar kisah Sri. Berkali-kali saya terenyuh menyimak
kisah Sri, ada bagian yang membangkitkan semangat, ada yang membuat gemas, ada
yang membuat simpati, ada yang membuat takjub, juga ada yang membuat saya
merasa tidak ingin mengakhiri kisahnya.
Ide cerita tentang warisan menjadi benang merah. Bergulir seperti
bola salju, karena menyentuh banyak dimensi kehidupan baik Sri atau Zaman. Ini
persamaan keduanya. Sedangkan klimaks cerita, Tere Liye meletakan pada bagian
eksekusi konflik. Penulis menambahkan bumbu action sebagai penegas kemampuan
Taekwondo yang dimiliki Zaman, pada bagian yang menegangkan menjelang akhir
cerita.
Berbicara gaya bercerita Tere Liye, kemampuannya tidak
diragukan lagi, selalu berhasil menghanyutkan pembaca. Sisi hukum sebagai pengacara
yang jadi backround Zaman, cukup
meyakinkan dan menjadi identitas yang tidak perlu ditanyakan. Pemilihan diksi
yang tepat, tidak lugas dan tidak mendayu-dayu, membuat novel ini terasa renyah
dengan kisah Sri yang sebenarnya kompleks jika diurai.
Tokoh utama buku
Tentang Kamu adalah Sri Ningsih. Ia perempuan yang berangkat dari kesederhanaan
dan pekerja keras. Masa lalu yang kelam menjadi catatan dalam hidupnya yang
tidak akan ia lupakan dan justru membuatnya semakin kuat. Karakter Sri yang pantang
menyerah membuat saya termotivasi untuk diterapkan secara pribadi.
Sri juga bukan perempuan yang mengecap pendidikan formal,
namun berkat karakternya yang mau belajar, ia sukses dengan pengetahuan yang
menakjubkan. Zaman pun sampai keheranan dengan pikiran Sri, terutama mengenai
asal muasal warisan itu dan proses ia menaiki tangga kesuksesan ekonomi. Sebab,
hanya mereka-mereka saja yang kuat, yang pernah mengalami babak hidup perih,
mampu membalik keadaan menjadi berpihak, bukan menjadi terpuruk.
Lalu, Zaman
Zulkarnaen menjadi tokoh utama kedua. Posisinya hanya sebagai juru cerita
yang menyampaikan kisah hidup Sri Ningsih. Mengenai konflik Zaman sendiri,
diceritakan dalam beberapa bagian saja, danZaman menyelesaikan konfliknya dengan mengkutip pelajaran dari
kisah Sri.
Keunggulan lainnya, novel-novel Tere Liye selalu berisi
informasi yang informatif. Novel ini menyingkap dua peristiwa masa lalu di
Indonesia seperti peristiwa
pemberontakan PKI dan peristiwa Malari, Malapetaka 15 Januari. Kedua
peristiwa itu membawa kisah kelam untuk Sri. Juga ada bagian yang mengonfirmasi dibalik
penyebutan ‘pedagang kaki lima’ (hal. 229).
Untuk kovernya yang didominasi warna kuning dan gambar
sepatu usang, sudah menampilkan garis besar cerita, yaitu penelusuran melalui
perjalanan panjang dari kisah masa lalu.
Hal yang kurang di novel ini adalah cerita yang dialami Sri sangat terasa fiktifnya. Sebab banyak sekali kebetulan-kebetulan yang ditemui Sri dan itu mempermudah jalan hidupnya. Kebetulan berupa anugerah yang datangnya di waktu dan kesempatan yang tepat. Sehingga selama proses membaca buku
ini saya masih belum menyatu dengan tokoh Sri atau Zaman. Saya mengakui Tere Liye sudah maksimal menggarap ceritanya dan apa
yang saya rasakan tadi hanya pendapat pribadi saja. Tentu saja novel ini tetap direkomendasikan untuk membuat karakter juang kita lebih mantap.
Rating dari saya: 4/5
Catatan:
- Janji adalah janji, setiap janji sesederhana apa pun itu,
memiliki kehormatan. [hal. 45]
- “Seperti santan, semakin tua jiwa pelautku semakin kental,
Nak. Tidak ada yang bisa menghentikan pelaut sejati membawa kapal kecuali maut.
Meski aku memang tidak sekuat lagi nelayan muda, setidaknya pengalamanmu
berharga.” [hal. 66]
- “..., ada cara terbaik untuk menerima takdir kejam itu,
dengan memeluknya....” [hal. 136]
- Dalam perkara kebaikan, bukankah sama saja siapa yang
mengerjakannya? Yang lain tinggal mendukung dan membantu dari belakang. [hal.
179]
- “...Tidak pernah membenci walau sedebu. Tidak pernah
berprasangka buruk walau setetes...” [hal. 206]
- Jika kita gagal 1000x, maka pastikan kita bangkit 1001x.
[hal. 210]
- Kenapa orang mudah sekali mengkhianati? Bukankah dalam hidup
ini kejujuran adalah hal penting? [hal. 239]
- Aku harus mengenyahkan pikiran jelek ini. Aku tidak mau
dikendalikan pikiran negatif. [hal. 250]
- Ada banyak hal-hal hebat yang tampil sederhana. [hal. 257]
- Tidak ada yang benar-benar bisa kita lupakan, karena saat
kita lupa, masih ada sisi-sisi yang mengingatnya. [hal. 270]
- “...Chaty, jadilah seperti lilin, yang tidak pernah menyesal
saat nyala api membakarmu. Jadilah seperti air yang mengalir sabar. Jangan pernah
takut memulai hal baru...” [hal. 278]
- Nasihat-nasihat lama itu benar, cinta memang tidak perlu
ditemukan, cinta-lah yang akan menemukan kita. [hal. 286]
- Setiap kali kita menunda melakukannya, semakin sedikit waktu
yang kita punya. [hal. 292]
- “Kami respek dengan betapa mudahnya kamu membantu orang lain
yang bahkan tidak dikenal.” [hal. 326]
- Lihat sampai kemana ujung perjalanan perasaan kalian. Jika
memang berjodoh, maka berjodohlah. Tidak perlu terlalu berharap, tapi tidak
juga sangat negatif menanggapinya. [hal. 360]