Judul : Bakat Menggonggong
Penulis : Dea Anugrah
Desain sampul & isi : Damar N. Sosodoro
Ilustrasi : Teguh Purnomo
Penerbit : Buku Mojok
Terbit : September 2016, cetakan pertama
Tebal buku : vii + 113 halaman
ISBN : 9786021318386
Harga : Rp35.000
Ketika saya memutuskan membeli
buku kumpulan cerita pendek ini, hanya untuk memperkaya bacaan. Sebenarnya
sudah berkali-kali saya berkomentar pada ulasan buku kumcer di blog lain kalau
saya belum suka buku jenis ini. Alasan yang saya gunakan untuk memperkaya
bacaan merupakan pemaksaan diri dalam urusan membaca. Toh, akhirnya saya selalu gagal menuntaskan membaca buku ini.
Entah ini kali keberapa saya
membaca ulang buku ini. Pernah membaca ulasan buku ini di salah satu website,
dan dikatakan jika buku ini bagus serta mendapatkan pujian. Benar, membaca satu
buku akan mendapatkan penilaian yang beragam dari pembaca lainnya. Termasuk
ketika membaca buku Bakat Menggonggong.
Saya menyatakan membaca buku
kumcer akan melahirkan pemahaman yang berbeda antara pembaca yang satu dengan
yang lain. Saya juga perlu menekankan pada ulasan saya kali ini adalah murni
pendapat pribadi atas pemahaman yang bisa saya terima setelah membaca semua
ceritanya.
Ada 14 judul cerita pendek yang
dirangkum dalam Bakat Menggonggong.
Judul buku ini tidak diambil dari salah satu cerita di dalamnya. Padahal
biasanya judul buku kumcer diambil dari salah satu cerita di dalamnya. Bakat Menggonggong mungkin mengartikan
bakat si penulis dalam menuliskan cerita yang menurut saya aneh dan mengundang
untuk dipikir, dengan catatan kamu mau berpikir. Menggonggong, kata yang
biasanya disematkan pada suara anjing, dipilih sebab penulis mungkin
menganggapnya cerita ini hasil dari pikirannya yang menyalak tanpa pernah mau
disusun secara terstruktur. Rasa aneh itu yang kemudian menonjol pada karyanya.
Lalu, bolehkan cerita-cerita itu dibaca
saja tanpa dipikirkan seperti angin yang berlalu?
Kemurkaan Si Pemuda E seperti curhat penulis yang diundang sebagai
pembicara tapi tidak dijamu dengan baik. Isu itu datang dengan dasar
senioritas. Penulis masih belum bisa dianggap senior. Sehingga kadang
perlakukan panitia kerap berbeda dengan penulis yang namanya sudah jaminan
bukunya laris (hal. 6-7). Lumrah saja, jika apa yang saya tafsirkan benar untuk
cerita ini, Dea Anugrah mengungkapkan kekesalannya dalam cerita. Menulis pun
bisa jadi ajang curhat para penulis.
Seperti pada Kemurkaan Si Pemuda
E, pada cerita Kisah Afonso pun saya
melihatnya ada unsur curhat. Dimana si Aku mengalami situasi harus menulis
sesuai pesanan orang lain. Riset dilakukan namun ia masih bingung harus menulis
apa sebab ada hal yang tidak sejalan dengan pikirannya (hal. 16). Dari hasil
riset yang tak masuk akal, hingga penulisan hasilnya yang terbatasi dengan
keinginan si klien.
Ada cerita yang judulnya sama. Yang
berbeda hanya bagiannya saja; Kisah
Sedih kontemporer (IV), Kisah Sedih
kontemporer (XII), dan Kisah Sedih
kontemporer (XXIV). Bagian yang tidak berurutan. Dugaan saja, mungkin
cerita itu diambil dari kumpulan karya penulis dan dipilih sesuai kriteria
penulis. Ketiga cerita memiliki keterkaitan, tentang Loko dan Rik. Saya menduga
mereka bersahabat dan cerita dituturkan melalui sudut pandang mereka secara
bergiliran. Dan ketiga cerita itu memiliki rasa sedih dan getir. Pada bagian IV
mengulas tentang percakapan orang tua Loko yang membicarakan pembagian harta
dan hak asuh. Ceritanya sederhana tentang hal sederhana yang disederhanakan
tapi menjadi rumit. Pusing pokoknya!
Bagian XII memiliki cerita yang
lebih panjang dari bagian sebelumnya. Bahkan ceritanya dibagi jadi dua bagian
antara Loko dan Rik. Bagian pertama mengisahkan Rik yang entah ada kejadian apa
setelah ia menerima undangan pacarnya yang akan menikah dengan pria bule
Australia. Padahal selama ini Rik selalu berusaha agar ia dan Lani, pacarnya,
untuk berjodoh. Bagian kedua yang tentang Loko pun memiliki kesamaan dengan
bagian pertama, ketidakberhasilan membangun hubungan dengan pacarnya. Kedua
bagian tadi menonjolkan kegagalan pria dengan pacar-pacarnya. Padahal di benak
Rik atau Loko ada keinginan untuk hubungan mereka mempunyai masa yang lama.
Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu adalah cerita yang memaparkan
manfaat cerita. Si Aku ditugaskan mewawancara seorang seniman yang menghindari
manusia. Kegigihan si Aku yang waktu itu mampir ke rumah si seniman tapi tidak
dibukakan pintu, berhasil. Ketika Aku bertemu dengan seniman tadi, meluncurlah
cerita-cerita tentang banyak hal. Inilah fungsi cerita, mampu mendekatkan dua
orang seperti teman lama.
Untuk cerita Penembak Jitu, penulis membawa tema balas dendam. Ceritanya si Aku
memata-matai gerombolan di rawa dengan memegang senapan. Ia sadar kalau ia yang
sendiri akan kalah dengan gerombolan itu. Tapi demi membalas dendam kematian anak
dan keluarganya, ia maju melawan. Sekarang
di kepala siapa pun peluru terakhirnya bersaran, hasilnya sama saja. Ia akan
mati seperti anak perempuannya mati dan seluruh keluarganya mati dan ruhnya
akan keluar dari tubuhnya seperti air meluap dari saku (hal. 42).
Sedikit geli ketika membaca
cerita Masalah Rumah Tangga. Nur Azis
adalah penulis naskah film dan ia geram, kesal, marah, lantaran naskahnya tidak
ada yang mau dipakai untuk film. Sebagai istri, Linda memahami sesuai
kesimpulannya jika suaminya sedang mengalami masalah psikologis. Dengan niat
ingin memotivasi, Linda memberikan buku-buku motivasi yang baru dibelinya.
Namun di akhir cerita dikatakan, permasalahan Nur Azis bukan soal naskahnya,
melainkan ada permasalah lain yang lumayan lucu jika dipikirkan. Pembaca
diingatkan untuk mengatakan terus terang tentang permasalahan. Jangan
menggalaukan masalah dan menunjukkannya dengan masalah yang lain. Orang lain
kadang tidak paham maksudnya apa. Dan dengan berterus terang, orang lain akan
membantu tepat pada masalahnya.
Setelah membaca buku Bakat Menggonggong dan ketika saya
menuliskan ulasan ini, saya menyadari jika buku kumcer sebenarnya menyajikan cerita
dengan rasa yang beragam. Ada satu kenikmatan dan kesegaran ketika saya
mengingat-ingat kembali cerita pada setiap judulnya. Tantangannya pada saat
membaca cerita itu sendiri. Sebab maksud yang disampaikan penulis cerita pendek
susah diterima secara langsung dan benar-benar harus dipahami ceritanya. Itu
pun belum tentu pemahaman pembaca akan sama dengan maksud si penulis.
Selain pengalaman membaca, saya
juga menemukan satu kebiasaan pembaca buku, yang sama pernah ditunjukkan pada
buku
Rumah Kertas. Pemuda E pada cerita Kemurkaan Pemuda E memiliki kebiasaan
menuliskan catatan pada buku yang dibacanya, tepatnya di area marjin, dengan
kode-kode yang hanya dipahami olehnya. Saya sendiri tidak meniru cara demikian.
Saya lebih suka menuliskan catatan saya di post it, lalu menempelkannya di
halaman yang memang ada sesuatunya. Nah, kamu boleh tuh memilih mau meniru yang
dilakukan Pemuda E atau saya, sebab cara demikian membantu sekali ketika
meresensi. Catatan itu bisa jadi bahan resensimu.
- Komitmen adalah ciri laki-laki
sungguhan (hal. 50)
- Cerita punya kekuatan untuk
memantapkan keyakinan (hal. 61)