*******
Aku duduk dengan resah di ruangan
sempit yang remang. Pintu yang hanya satu-satunya tertutup rapat. Di depanku
sudah duduk gadis berkerudung warna cokelat.
Namanya Husna Aulia. Dua tahun lebih muda dariku. Dia adikku.
“Ini titipan dari ibu.” Husna
menggeser rantang seng lebih dekat denganku.
Aku membuka tutup paling atas.
Nasi, masih hangat. Aku angkat rantang pertama dan melihat isi rantang kedua.
Telur balado, kesukaanku, masakan ibu. Aku menghela nafas, berat.
Aku menyendok nasi ke atas tutup
rantang. Aku mengambil sebutir telur dan menambahkan beberapa sendok kuahnya.
Aku memasukan satu suap. Belum kugigit tapi aku sudah merasa kehilangan banyak.
“Bismillah dulu, Kak Doni,” Husna
mengingatkan.
“Bismillahirrohmanirrohim,”
gumamku.
*******
Dua minggu lalu, puncak semua
kebutaanku. Maghrib itu, aku yang sedang main gitar diajak oleh Gus dan Bayu ke
rumah Bin. Ibu sempat meneriakiku solat dulu, tapi aku mengacuhkannya. Di rumah
Bin yang sepi, sebab bapaknya sudah meninggal dan ibunya pergi ke Arab, sudah
ada dua botol minuman favorit dan sebungkus besar kacang tanah yang terkenal.
“Bakal pesta nih, Bin?” tanyaku
girang.
“Iya, lagi pusing.” Bin membuka
botol yang satu. Aku, Gus, dan Bayu duduk melingkar.
“Pusing mikirin cinta yang nggak
sampai! Hehehe,” sahut Bayu.
Keningku berkerut. “Lagi suka
sama siapa sih, Bin?”
“Maya.” Bin mulai mengisi
gelas-gelas kecil yang biasa dipakai kami.
“Maya? Pacarnya Teguh?”
“Hush! Jangan keras-keras. Iya,
Maya pacarnya Teguh,” Gus membenarkan.
“Aku udah lama naksir Maya. Udah
coba nembak. Eh, dia nolak gara-gara sudah punya Teguh. Anjing, muka dia susah
dihapus!”
Aku geleng-geleng kepala. “Coba
kamu cari yang lain. Masih banyak yang lebih montok dari Maya, Bin!”
“Kamu nggak ngerti bagaimana rasa
ini buat dia. Kamu nggak paham!”
Dan pesta dimulai. Hampir setiap
pekan kami melakukannya. Yang parah, pesta pil. Tapi aku tidak pernah ikut. Kami
mulai menenggak minuman itu. Gelas diisi, kemudian kosong, kami isi lagi. Akal
sehat mana yang kuat jika dijejali minuman keras. Aku yang sudah merasa pusing
mulai menghentikan minum dan mulai ngemil kacang saja.
Handphone Bin bunyi. “Halo! Apa,
Guh? Sini, kita lagi pada kumpul. Biasa, pesta. Anjing!!! Nggak usah ceramah!”
Sesudah menerima telepon, wajah
Bin tegang dan merah. Rahangnya berkedut. Bin tengah geram. Lalu, Bin mengajak
kami menemui Teguh di lapangan blok tetangga. Pesta dihentikan dulu.
Kami tiba di lapangan yang sepi.
Jauh dari rumah penduduk. Tempat ini cocok kalau kami mau pesta ramai-ramai
atau sekedar ngobrol ngalor-ngidul. Tapi agenda sekarang bukan pesta. Bin sudah
mengirim SMS agar Teguh ke lapangan. Dan tidak berapa lama orang yang kami
tunggu datang. Teguh membonceng Maya.
Tanpa ada omongan apa-apa, Bin
memukul kepala Teguh dengan kayu sebesar lengan dengan keras yang sudah ia
persiapkan. Teguh pasti kaget dengan tindakan Bin yang tiba-tiba. Kami kira kayu itu hanya mainan Bin sambil menunggu, bukan untuk
menyerang Teguh. Teguh yang tidak ada persiapan apa-apa langsung ambruk. Maya
langsung berteriak seiring motor Teguh yang tumbang.
“Pegangin Maya, Goblok!!! Sumpal
mulutnya!!!”
Aku masih pusing sekaligus kaget.
Aku turut membantu Gus memegangi Maya. Sedangkan Bin terus memukulkan kayu ke
kepala Teguh.
“Berengsek!! Kamu coba rebut Maya
dariku, Anjing. Kamu pikir aku rela. Begini akibatnya merebut kepunyaan orang.
Dasar berengsek!!”
Rasanya aku ingin menutup mata
melihat Bin yang terus menghajar kepala Teguh yang sudah terkapar dengan darah
bersimbah. Tapi otakku tidak berfungsi. Sedangkan Bayu hanya berdiri melihati
Bin yang kalap.
Usai capek menghajar Teguh, Bin
menghampiri Maya yang melemas akibat terus menangis. Aku sudah melepaskan
peganganku begitu tubuh Maya meluruh duduk ke tanah. Bin dengan kasar menarik
Maya supaya berdiri. Ia menampar gadis itu dua kali. Maya sempat meludahi Bin
dan bergumam lirih, “Pembunuh!”.
Emosi Bin meledak. Matanya
melotot. “Kamu sok cantik. Kamu kira aku tidak bisa membalas penolakan kamu
tempo hari, hah!?”
Ia menyeret Maya ke semak-semak
dan aksi bejat itu dilakukan. Aku yakin Gus dan Bayu juga mendengar teriakan
yang tertahan dari Maya yang tak berdaya. Tapi kami tidak melakukan apa-apa. Entah
setan apa yang membuat kami menikmati setiap lirih kesakitan Maya.
Bukan hanya Bin, Gus dan Bayu
ikut-ikutan melakukan memerkosa Maya secara bergiliran di semak-semak. Aku
menjauh, mengangkat motor Teguh yang jatuh dan menstandarkan. Hanya setengah
meter saja posisiku dari jasad Teguh yang sudah tak berdaya dan tak bernyawa.
Aku memejamkan mata dan air mata meluncur ke pipi.
“Bagaimana kabar ibu?” tanyaku
sambil mengunyah.
“Ibu masih kaget. Tapi dia sempat
menulis surat.” Husna menyodorkan amplop putih.
Aku segera membuka amplop yang
dilem dan membuka lipatan kertas kumal. Aku hafal tulisan Ibu. Nasi di mulut
segera kutelan. Dengan gemetar aku mulai membaca surat ibu.
‘Doni,
Maaf, Ibu tidak bisa menjengukmu.
Bukan Ibu tidak mau, tapi Ibu belum kuat melihatmu. Ibu masih ingat ketika kamu
lahir kamu menangis kencang sekali. Ibu tahu kamu pasti takut menghadapi dunia
ini. Ibu paham ketakutanmu. Dan karena itu, Ibu menimangmu agar kamu yakin dan
kuat. Kamu akhirnya mulai anteng.
Ibu juga ingat ketika kamu masuk
SD. Ibu harus mengantarmu dan harus menemani kamu di dalam kelas sampai waktu
pulang. Kalau Ibu keluar, kamu akan menangis menjerit-jerit. Kamu pasti tidak
ingat ketika ibu kebelet, ibu juga harus bawa kamu ke WC.
Doni,
Ibu juga bangga ketika tahu kamu
ikut mewakili sekolah di seleksi olimpiade matematika. Ibu sampai solat Tahajud
memohon supaya kamu dimudahkan. Ibu tidak kecewa walau kamu hanya jadi juara
lima tingkat kabupaten. Ibu bangga punya anak pintar seperti kamu, Nak.
Doni,
Ibu percaya dan sangat percaya
kamu tidak membunuh Teguh dan _____
menyakiti Maya. Ibu sangat yakin kamu akan ingat Ibu ketika akan
melakukan hal dosa. Karena Ibu selalu mendoakan kamu supaya kamu jadi anak
soleh. Doni, kalau pun sekarang hukum
memenjarakan kamu, itu karena Allah ingin mengganjar dosa-dosamu selama ini.
Kamu harus bersyukur Allah menghukummu di dunia. Ibu tidak rela kamu masuk
neraka, Nak. Ibu tidak pernah rela.
Doni, Ibu tidak pernah membenci
kamu meski polisi mengecap kamu penjahat. Ibu tetap sayang kamu, Don. Ibu minta
sama kamu, jangan pernah tinggalkan solat. Dan kamu harus sabar, Nak.’
Aku gemetaran dan air mata sudah
tak terbendung. Aku memegang kertas itu dengan erat. Rasa kangen membuncah,
rasa menyesal menyeruak. Aku ingin melihat wajah ibu sekarang. Aku tidak mau
kehilangan ibu. Aku tidak ingin mengecewakan ibu lagi. Dan aku ikhlas menjalani
hukuman di penjara ini. Ibu, maafkan aku. Ibu, tunggu aku beberapa tahun dari sekarang. Aku akan menjadi anak yang paling Ibu banggakan.
Aku, Muhammad Doni, 19 tahun.
*******
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi #tantangannulis #BlueValley bersama Jia Effendi