Judul: Rinduku Sederas Hujan Sore Itu
Penulis: J. S. Khairen
Penyunting: Teguh Afandi & Yuli Pritania
Penerbit: Noura Books
Terbit: Maret 2019, cetakan pertama
Tebal: xii + 266 hlm.
ISBN: 9786023858026
Hujan adalah janji setia langit kepada bumi. Yang pasti datang, tanpa payah menunggu. Kita terjebak di hujan yang sama, namun tak bisa saling bicara. Membuatku terus menunggumu memutar badan dan melempar senyum kepadaku.
Aneka rasa tumpah dari langit. Cemas dan rindu tanpa bisa kucegah. Rasa yang begitu besar, yang melenyapkan rasa lainnya.
Jarak kita tak jauh. Namun tak bisa bertatapan, apalagi berbicara. Rinduku sederas hujan sore itu.
***
Sinopsis
Saya tidak tahu harus menyebut buku 'Rinduku Sederas Hujan Sore Itu' sebagai apa; novel, kumcer atau buku puisi, sebab buku ini berisi 19 cerpen dan 10 puisi dengan ragam tema.
Saya harus akui kalau saya kurang bisa menikmati puisi. Rasanya sudah lama sekali saya tidak membuat puisi padahal jaman SMA dulu saya bisa menghabiskan beberapa buku untuk ditulisi karya puisi amatir. Kepekaan saya untuk menikmati puisi sudah sangat berkurang. Sekarang saya justru lebih menyukai cerpen dan novel sebab dari bacaan ini saya bisa mengikuti alur dan konflik yang disajikan penulis. Jadi puisi dalam novel ini akan saya skip ya!
Dari sekian banyak tema yang dibawakan penulis, yang bisa membuat saya terharu bahkan menangis adalah ketika membaca cerpen yang temanya keluarga: hubungan anak dan orang tua, hubungan suami-istri, atau hubungan kakak-adik.
Seperti pada cerpen Do[s]a, kita akan menemukan konflik antara anak dengan orang tua. Cerpen ini menceritakan bagaimana menjadi anak perempuan yang tinggal dengan ayahnya tetapi tanpa ibu. Orang tua si Aku harus berpisah karena perbedaan agama. Perjalanan 'Aku' dipaparkan dengan runut dari mulai usia anak-anak sampai sudah menikah. Ketiadaan Ibu menjelma kerinduan yang menggunung, yang terbentuk dari perasaan kesal, pengharapan, marah, dan ingin dicintai. Pernyataan penutup cerpen ini bikin terharu, "Kami bersatu dalam rumah ini walau Ayah tak lagi ada. Namun, aku merasakan kehadiran Ayah, setiap detik."- hal. 14
Cinta seorang suami diuji ketika si istri belum bisa memberikan anak yang berumur panjang, ceritanya akan kita temui pada cerpen berjudul Cintaku Lumpur Sepaha. Cerpen ini berhasil membuat hati menghangat meski sebelum mencapai fase itu, kita akan dibuat geram dengan opsi yang akan dipilih si suami. Karena dua kali mempunyai anak dan dua kali harus menguburkannya, seorang suami dibingungkan untuk setia atau menikah lagi demi mendapatkan keturunan. Yang bikin cerpen ini berbobot karena penulis membangun ceritanya utuh, dimulai dari proses perkenalan sampai pasangan suami istri ini bersatu.
"Sampai maut memisahkan, takkan aku memadumu. Tidak harus punya anak, yang penting aku selalu bersamamu.... Tidak di dunia ini, di akhirat nanti pasti akan diberi oleh Sang Mahapasti." -hal.41
Cerita mengenai kehilangan kakak yang dibalut dunia musik dapat dinikmati pada cerpen berjudul Ketukan 1/64. Pembaca akan diajak mengenal lebih dulu kedekatan kakak-adik sebelum pada bagian yang cukup memilukan. Kedekatan sesama saudara sedarah biasanya akan mengoneksikan firasat-firasat dan pada cerpen ini cukup kerasa hal tersebut. Sayangnya, takdir ingin cerita lain sehingga firasat saja tidak bisa membelokkan takdir.
Takdir tragis lagi-lagi akan kita temukan di cerita Mungkin Aku yang Jahanam. Seorang ibu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan akhirnya melarikan diri. Namun cengkraman suami yang berjubah loreng begitu erat sampai tega memisahkan hubungan anak dan ibu. Bertahun-tahun mencoba untuk baik-baik saja tidak bisa mencegah kewarasannya. Apalagi sejak tahu anaknya justru tidak menghendaki keberadaannya. Makin terguncanglah kewarasannya.
Selain tema keluarga, kita juga akan menemukan cerita roman yang penuh warna. Untuk cerita Bunga Rinai, yang tampaknya merupakan ide judul buku ini, belum membuat saya tersentuh. Ceritanya sendiri tentang kisah cinta Luthfi dari SMA yang tidak pernah tuntas, dan dia harus menemukan takdir lain setelah bertahun-tahun berpisah yaitu pujaan hatinya mendahului menghadap Tuhan. Dan alurnya ya sebatas bagaimana si cowok melalui kisah cintanya tanpa melibatkan konflik lain.
Mungkin yang paling masuk ke emosi saya adalah cerita Langsung Tidurkah Engkau, Kekasihku? Di sini kita akan menemukan sosok bajingan dari lelaki yang sudah tunangan tapi secara sembunyi-sembunyi masih sering menggoda perempuan lain. Ketika apes salah kirim pesan, si lelaki menggunakan sahabatnya sebagai alibi. Walau tidak tahu nanti kehidupan pasangan ini akan berakhir apa, saya sih percaya kelakuan begitu enggak akan sembuh. Kapan waktu pasti akan kumat. Sayang aja gitu dengan perempuannya yang kapan waktu akan jadi korban.
***
Resensi
Keragaman tema yang disajikan penulis dalam cerpen-cerpennya membuat kita bisa memetik banyak pelajaran hidup. Tapi memang kekurangan dalam cerpen adalah tidak punya cerita utuh, penggalian karakter, dan pendalaman konflik, sehingga kita hanya bisa menemukan pelajarah hidup yang terbatas pada kapan cerpen dimulai dan kapan cerpen diakhiri.
Pada cerpen Do[s]a kita bisa memaknai mengenai memaafkan dan berdamai dengan keadaan. Sedangkan pada cerpen Mungkin Aku yang Jahanam kita bisa menemukan betapa besarnya cinta seorang ibu.
Untuk gaya menulis Kak J.S. Khairen bagi saya terlalu lugas, tegas, dan lincah. Kesan ini muncul sejak saya membaca novel beliau yang berjudul Kami (Bukan) Sarjana Kertas. Bagi saya, gaya menulis beliau belum nyaman dinikmati sebab saya tidak merasakan kekhasan yang tebal dari gaya Kak Khairen memilih kata dan meramu kalimat untuk media beliau memaparkan kisah. Istilah saya untuk tulisan beliau itu, belum legit, terlalu to the point, padahal beberapa sudut tulisan beliau membutuhkan sentuhan rasa.
Yang saya harapkan dari novel atau cerpen Kak J.S. Khairen adalah beliau membawakan nilai budaya yang kental. Saya bisa menangkap setting yang digunakan beliau dalam beberapa cerpen di buku ini bukan lokasi yang mainstream seperti Jakarta, Bandung, atau Bali. Tapi di luar itu, dan saya menunggu sekali beliau untuk menggali nilai kebudayaan tersebut agar jadi bahan utama dalam cerpen atau novelnya. Benar atau tidak, saya merasakan sedikit rasa persamaan beliau dengan penulis novel Puya Ke Puya, Fasial Oddang (ralat ya jika ternyata Kak JS Khairen sudah punya novel atau cerpen yang nilai budayanya sudah kental, hehe)
Untuk kovernya sendiri sangat bagus. Suasananya begitu sendu nan romantis kala gerimis dengan fokus pandangan ke dua sosok utama, muda-mudi, yang berjalan berpapasan saling membelakangi. Dan menurut saya kover ini paling pas untuk kover novel dibandingkan kover kumcer. Potensial banget mempresentasikan cerita roman yang nggak ceria-ceria amat.
Secara keseluruhan buku ini masih dapat dinikmati. Perbaikannya adalah bisa tidak ya dalam satu buku jangan sampai isinya berbelas cerpen, sebab setelah baca lewat 7 cerpen, saya suka lupa dengan cerita cerpen awalnya. Mungkin bisa ditambahkan detail untuk beberapa cerpen sehingga jumlah katanya menjadi lebih banyak dan ini akan memangkas beberapa judul. Dan untuk buku ini saya memberikan nilai 3/5 bintang.
Sekian ulasan dari saya. Sebelumnya saya mohon maaf untuk Kak J.S. Khairen dan beberapa pihak yang membantu saya mendapatkan novel ini, karena ulasan saya molornya terlalu-terlalu-terlalu lama. Alasan sebabnya bisa saya jabarkan banyak, tetapi saya mengakui intinya adalah saya masih belum bisa berkomitmen secara tegas. Ini jadi pelajaran besar untuk saya ke depannya.
Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa terus membaca buku!