Judul: Genduk
Penulis: Sunardi Mardjuki
Editor: Lana Puspitasari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: November 2017
Tebal: 232 hlm
ISBN: 9786020332192
***
Genduk adalah sebuah fiksi yang diceritakan dengan gaya memoar. Berkisah tentang seorang bocah perempuan berumur sebelas tahun, yang tinggal di desa paling puncak Gunung Sindoro, Temanggung. Setting dibuat pada tahun 1970-an ketika petani tembakau sudah mulai mengolah tembakau yang masuk kualitas atas di dunia ini untuk dipasok ke pabrik-pabrik rokok.
Geduk melakukan pencarian jati diri dan pencarian atas sosok ayah yang tidak pernah dilihatnya seumur hidup. Konflik terjadi ketika Genduk menemukan kenyataan mengenai ayahnya yang selama ini dirindukannya. Konflik pun bergulir terkait dengan permasalahan yang dialami oleh para petani.
***
Kesan yang muncul setelah saya menyelesaikan membaca novel Genduk ini muncul perasaan hangat di hati. Gambaran hidup sederhana khas desa begitu melekat di benak. Novel ini menjadi perantara saya menikmati nostalgia kehidupan di desa yang belum dijajah kecanggihan teknologi.
Dulu, sewaktu saya kecil, desa saya pun belum begitu tersentuh teknologi. Yang punya televisi masih sedikit. Tapi di rumah saya ada radio yang setiap habis mengumandangkan adzan maghrib akan disusul acara kosidahan. Kesederhanaan ini yang membuat masa kecil saya penuh kenangan permainan fisik, misal petak umpet, sodoran, bon-bonan, bahkan petualangan main ke ladang. Dan jika dibandingkan dengan anak kecil sekarang, mereka kekurangan pengalaman permainan atau bertualang ke alam.
Novel Genduk menceritakan kehidupan petani tembakau di Desa Ringinsari yang terletak di lereng Gunung Sindoro. Lewat sudut pandang sosok anak perempuan berusia 11 tahun bernama Genduk, pembaca diajak menyelami keluarganya yang terdiri dari dia dan Biyungnya (Ibu). Hidup kekurangan menjadi kesedihan terselubung bagi keduanya. Karena ekonomi keluarga bergantung pada hasil panen tembakau yang kadang harganya justru dimainkan oleh tengkulak atau gaok.
Genduk atau yang bernama aslinya Anisa Nooraini merindukan ayahnya yang menurut cerita Kaji Bawon meninggalkan desa sejak ia bayi. Dan pada satu titik keputusasaan pada keadaan dan Biyungnya, Genduk minggat untuk mencari keberadaan ayahnya di Kota Parakan. Fakta pahit sekaligus jawaban atas pertanyaan dia dan Biyungnya, yang dia dapatkan justru membawa babak baru. Kehidupan Genduk dan Biyung bukan melulu soal kemiskinan, tapi ada drama-drama dari orang sekitarnya yang membuat novel ini menarik diikuti.
Cerita drama hidup orang desa begitu terasa di novel ini, mengingat latar juga di tahun 70-an. Konflik yang muncul pun berkutat dari kehidupan petani tembakau, keluarga, dan sedikit menyinggung sejarah politik negeri pada masa itu yang terkenal soal PKI.
Isu-isu sensitif dibahas secara tipis-tipis oleh penulis, tampaknya karena sudut pandang yang dipakai penulis adalah tokoh anak-anak. Sehingga isu tersebut disesuaikan agar pas sesuai pengetahuan anak-anak.
Isu pertama yang muncul mengenai pelecehan seksual pada anak perempuan di bawah umur. Pelakunya tidak jauh-jauh dari orang yang dikenal korban. Saya kira kasus pelecehan ini sebenarnya jumlahnya banyak tapi karena pada saat itu belum ada ponsel pintar dan media sosial maka kasus tersebut tidak diketahui. Atau karena korban memilih diam karena akan jadi aib sekaligus korban biasanya dibayang-bayangi ancaman si pelaku.
Ini juga dialami Genduk, sampai si pelaku mati, Genduk tidak menceritakan kejadian itu kepada siapa pun. Sehingga rahasia pelecehan seksual itu terkubur bersama jasad si pelaku. Padahal apa yang dialami Genduk menjadi trauma mendalam. Kehidupan sekolahnya menurun, menjadi ketakutan setiap kali melihat si pelaku, dan pada saat si pelaku diketahui mati, Genduk justru bereaksi tertawa terbahak-bahak dan menangis seperti kesurupan. Dia sampai ditampar oleh Biyungnya agar sadar.
Isu agama yang ditentang oleh masyarakat yang percaya pada kebudayaan klenik juga dibahas. Bapaknya Genduk digambarkan sebagai pemuda yang sedang giat-giatnya mendalami agama islam dari berbagai pesantren. Sehingga kehadirannya tidak diterima oleh beberapa kalangan, misalnya oleh kakek Genduk, Dulmukti, yang sudah hidup berdampingan dengan kebudayaan lawas itu.
Isu kecurangan perdagangan begitu jelas pada masa itu. Gaok dan tengkulak berbuat curang memutuskan harga tembakau. Padahal harga yang diterima mereka dari juragan berbeda dengan harga yang disampaikan ke petani. Banyak sekali yang dirugikan oleh praktik ini, bahkan bisa menjadi pemicu bunuh diri bagi petani. Beban kerugian ini menjadi beban besar sebab modal mereka bertani pun sumbernya dari hutang rentenir.
Poin yang membuat hangat di hati adalah perubahan sikap Biyung kepada Genduk ketika keadaan sudah lebih baik. Karena faktor lelah dan beban hidup, Biyung tidak pernah tertarik dengan cerita prestasi Genduk di sekolah. Tanggapan Biyungnya datar. Ini juga saya alami ketika zaman sekolah dulu, Ibu dan Bapak tidak pernah ikut senang ketika lapor saya dapat rangking. Bahkan ketika saya ikut olimpiade matematika pun, mereka tidak memberikan support moral. Saya tidak kesal karena paham kalau mereka sudah cukup lelah dengan urusan ladang. Tapi efek panjang dari keadaan itu membuat hubungan anak dan orang tua tidak menyenangkan dan terbuka.
Novel Genduk ini menarik dibaca karena ceritanya yang membawa nostalgia dan imajinasi pembaca ke masa dimana desa masih begitu asri. Juga karena drama hidup yang dinamis sehingga membuat kita penasaran dengan perjalanan hidup Genduk di ujungnya. Novel ini saya beri nilai 4 bintang dari 5 bintang.
Sekian ulasan dari saya. Terakhir, jangan lupa jaga kesehatan dan terus membaca buku!
0 komentar:
Posting Komentar