Maret 09, 2016

Wishful Wednesday : Menikmati Indonesia Bareng Gagas Media


Mungkin, yang namanya keberhasilan novel salah satunya adalah membuat pembaca ingin kembali menikmati cerita serupa lagi-lagi dan lagi. Terlepas dari siapa penulisnya dan apa penerbitnya. Ini pula yang saya rasakan setelah membaca novel Kasta, Kita, Kata-Kata karya Ardila Chaka dari penerbit PING. Novel ini membawa setting Kalibiru dengan pemandangan Waduk Sermo yang sangat indah. Setting yang sangat Indonesia dan kedaerahan.

Di wishful wednesday yang digagas www.perpuskecil.wordpress.com ini, saya berharap bisa mengkoleksi dan membaca novel seri #indonesiana yang baru-baru ini diluncurkan oleh penerbit GagasMedia. Total novel dengan label #indonesiana ada 5 judul. Cek di bawah ini ya!

1. Satu Kisah yang Tak Terucap oleh Guntur Alam


Satu Kisah yang Tak Terucap mengambil setting Kota Palembang. Guntur Alam memperkenalkan tokoh yang dijodohkan; Ratna dan Lee. Lebih lengkapnya silakan mampir di blognya Mbak Anggun: http://mbakanggun.blogspot.co.id/2016/02/membaca-satu-kisah-yang-tak-terucap.html

2. Kita Dan Rindu yang Tak Terjawab oleh Dian Purnomo


Kita Dan Rindu yang Tak Terjawab membawa pembaca kepada kebudayaan orang Batak. Mbak Dian Purnomo memperkenalkan sosok Naiza Rosauly Situmorang. Lengkapnya silakan cek di blognya http://morraquatro.tumblr.com/

3. Di Bawah Langit yang Sama oleh Helga Rif


Di Bawah Langit yang Sama menghanyutkan pembaca dengan narasi Pulau Bali dan adatnya. Helga Rif memperkenalkan tokoh bernama Indira. Informasi bisa dibaca di blognya Rido Arbain : http://www.ridoarbain.com/2016/02/review-di-bawah-langit-yang-sama-helga.html#more

4. Perempuan-Perempuan Tersayang oleh Okke 'sepatumerah'


Perempuan-Perempuan Tersayang menculik pembaca jauh ke daerah Nusa Tenggara Timur bersama tokoh yang direka Mbak Okke, bernama Fransinia (kayaknya iya deh, soalnya diblog Alvi tidak disebutkan namanya, apa saya yang kelewatan). Bocoran info buku di http://www.alvisyahrin.com/2016/02/kerja-untuk-hidup-atau-hidup-untuk-kerja.html

5. Pertanyaan Kepada Kenangan oleh Faisal Oddang


Pertanyaan Kepada Kenangan mengupas adat yang ada di daerah Toraja bersama tokoh yang diciptakan Faisal Oddang bernama Rinai. Mau baca info bukunya sok mampir ke sini: https://vildasintadela.wordpress.com/2016/02/15/dilematika-mencintai-budaya/

****
Kelima novel di atas merupakan novel yang 'katanya' mengusung keindonesiaan dan kedaerahan. Masing-masing judul membawa satu nama daerah dengan kebudayaan lokalnya. Saya semakin penasaran dengan jalan cerita yang dibangun. Apakah penceritaannya akan sederhana seperti daerah-daerah indonesia atau justru terjebak penceritaan ala luar negeri? 

Semoga secepatnya saya bisa membaca seri ini.

Catatan:
*gambar diambil dari akun twitter @GagasMedia
*gambar untuk novel Pertanyaan Kepada Kenangan tidak bisa diunduh, jadi saya ganti.

Februari 27, 2016

[Resensi] Kasta, Kita, Kata-Kata - Ardila Chaka


Berawal dari hati yang terusik. Galih memperjuangkan sesuatu yang bukan kewajibannya untuk meyakinkan seorang gadis bahwa hidup bisa lebih indah dari senja di Kalibiru. Berawal dari rasa terima kasih, sang gadis penikmat senja berhasil merobohkan dinding keterbatasan. Melalui pena, ia merangkai kata dan menggores cerita dalam lukisan. Sehingga, surat-suratnya menjadi pelecut semangat bagi Galih untuk mengoyak segala ketidaksempurnaan. Dari sebuah dataran tinggi di Yogyakarta, kisah ini bermula.

Cinta ialah tentang bagaimana kekurangan bisa menjadi sumber kekuatan.


Judul buku : Kasta, Kita, Kata-Kata
Penulis : Ardila Chaka
Penyunting : Avifah Ve
Penyelaras akhir : RN
Tata sampul : Wulan Nugra
Tata isi : Violetta
Pracetak : Endang
Penerbit : PING
Terbit : 2016
Ukuran buku : 188 hlm; 13 x 19 cm
ISBN : 9786022961833


Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih untuk penerbit Divapress yang menghadiahi saya novel istimewa ini. Dan saya berusaha objektif ketika harus menceritakan kesan setelah membacanya hingga halaman terakhir.

Novel ini istimewa karena sederhana. Tema yang sederhana; persahabatan, keluarga dan sedikit bumbu cinta-cintaan. Gaya bercerita yang sederhana; menggunakan diksi yang apik percampuran bahasa puisi dan bahasa sehari-hari. Setting yang sederhana; desa wisata bernama Kalibiru dengan Waduk Sermo-nya yang menawan (saya menilai demikian setelah meng-googling). Pesan sederhana; jangan pernah patah semangat untuk belajar.

Kasta, Kita, Kata-Kata, berkisah seorang gadis 16 tahun bernama Ajeng yang memiliki gangguan bahasa afasia broca (penjelasan di halaman 49) yang dipertemukan dengan Galih, pemuda 17 tahun. Benang merahnya ditonjolkan pada perjuangan Galih membuat Ajeng bisa baca tulis, dan perjuangan Ajeng belajar agar bisa memenuhi harapan Galih dan orang tuanya.

Kasta, membahas latar belakang kedua tokoh utama yang tidak sepadan. Galih anak dari pemilik sawah yang digarap orang tua Ajeng. Sehingga perbedaan ini pun sempat mencuat menjadi konflik.

Kita, menerangkan hubungan Ajeng dan Galih yang terjalin dengan sangat murni, perasaan sederhana ingin menolong. Galih memiliki kepekaan peduli terhadap orang lain yang tinggi. Demi dilihatnya seorang Ajeng yang sering menjadi bahan omongan karena kekurangannya, Galih memutuskan membantu Ajeng belajar dengan dibantu Mbak Lia, mahasiswa KKN UGM.

Kata-Kata, salah satu poin yang kemudian menjadi pusat kedua tokoh utama bisa bersinggungan. Ajeng tidak lancar berbicara, Galih merasa terpanggil merubahnya.

Saya sangat menikmati novel ini. Jika harus saya melabelkan kata pada novel ini, indonesia dan kedaerahan adalah dua kata yang tepat. Penulis berhasil membangun situasi sebuah desa yang masih asri dengan keindahan waduknya. Saya sebagai pembaca diajak untuk membayangkan bukit Joglo dengan pemandangan Waduk Sermo. Tidak ada kemacetan, tidak ada narasi teknologi yang berlebihan, saya merasa ikut berada di sebuah kampung yang keasriaannya masih terjaga.

Selain Ajeng dan Galih, novel ini juga menghadirkan peran-peran sampingan yang ikut memberikan warna. April, adik Ajeng yang normal, cantik, supel dan pinter. Karakternya berkebalikan dengan kakaknya, Ajeng. Dia ditempatkan oleh penulis sebagai saingan Ajeng. Orang tua Galih, yang secara pola pikir sudah lebih luas ketika membicarakan soal keadaan di masyarakat Kalibiru. Kecuali untuk Bapaknya, ada penilaian pesimis terhadap pendidikan tinggi. Orang tua Ajeng, merupakan gambaran orang tua dengan pola pikir kampung yang tidak terlalu tahu hal-hal di luar kesehariannya di kampung. Namun keunggulan orang tua Ajeng terletak pada bagaimana mereka mendukung semua keputusan anak selama hal itu baik.

Plot yang digunakan penulis merupakan percampuran plot maju dan mundur. Pemilihan plot mundur yang dikemas dengan narasi, membuat novel ini tetap pada jalur mengulik perjalanan Ajeng dan Galih. Jika diceritakan dengan kemasan penceritaan seperti masa sekarang, saya punya keyakinan novel ini akan lebih tebal dan akan membuat cerita berputar-putar jauh dahulu sebelum kembali ke jalur utamanya.

Ada tiga bagian cerita yang membuat saya hampir ikut menangis. Pertama, ketika Mbak Lia harus kembali ke kota dan meninggalkan Ajeng (halaman 113 – 117). Posisi saat itu, Ajeng sudah mengalami perkembangan pesat dalam belajar membaca dan menulis. Kemajuan itu berkat kegigihan Mbak Lia juga. Hubungan mereka yang kurang dari 2 bulan tersebut telah membentuk ikatan seperti kakak adik. Ajeng merasa sedih karena dia kehilangan sosok pengajar yang hebat. Narasinya benar-benar mengharukan dan pembaca akan sangat gampang turut ikut sedih sebab pembaca sudah dijejali bagaimana Mbak Lia membimbing Ajeng.

Kedua, ketika Galih sudah kembali ke rumah setelah dirawat di rumah sakit karena kecelakaan, Bapaknya berbohong soal teman dekatnya bernama Agung (halaman 144 – 150). Saya pun akan marah kalau kekhawatiran saya pada teman baik dianggap baik-baik saja oleh Bapak, padahal teman baik saya itu sudah dimakamkan. Emosi yang muncul karena kesal, marah, sedih, bercampur dan bingung harus merasakan yang mana dulu.

Ketiga, ketika Galih akan berangkat ke sekolahnya untuk bertemu guru BK menanyakan soal beasiswanya di UGM, ia dilarang mengendarai motor oleh ibunya karena baru sembuh kecelakaan. Lalu sang Bapak muncul menawarkan diri. Ini yang paling mengharukan. Padahal Bapaknya tidak pernah setuju dengan keinginan Galih kuliah. Berminggu-minggu Galih berusaha menyampaikan niatan itu, namun sang Bapak keukeuh tidak setuju. Dan ketika akhirnya Bapak menawarkan diri mengantar Galih, itu isyarat kalau ia setuju dengan keinginan Galih kuliah. Kesabaran Galih berbuah manis.

Dan dua jempol bagi penulis yang menyisipkan bumbu cinta-cintaan untuk kedua tokoh utama tanpa merusak kesederhanaan tema lainnya. Halus sekali penulis membahas perasaan kertertarikan Ajeng pada Galih, Galih pada Ajeng. Yang akhirnya disuguhkan terang-terangan justru perasaan April pada Agung, namun justru memilukan. Mungkin penulis mempertimbangan hubungan percintaan anak muda umur 16-17 tahunan dengan setting pedesaan tidak bisa dieksplor seperti percintaan ala anak metropolitan atau kota besar lainnya. Terlalu tabu, bahkan sekedar berpelukan.

Tidak ada karya yang sempurna, begitu pun dengan novel ini. Saya masih menemukan beberapa typo yang jumlahnya tidak banyak dan tidak mengganggu proses saya membaca. Kemudian saya juga menemukan keanehan pada sifat Ajeng yang sangat polos berubah menjadi sosok yang cuek dan pengumpat di halaman 98-99.

Aku sendiri sedang tak ingin ambil pusing. (hal.98)
Sial! Aku memimpikan Galih. (hal.99)

Berikut ini beberapa kutipan menarik yang saya tandai selama membaca:

  • “...Dewasa itu di pikiran, Pak....” (hal.12)
  • Begitulah hidup. Selalu ada yang dibandingkan,.. (hal.22)
  • Banyak batasan yang seharusnya bisa dilepaskan. (hal.29)
  • ...setiap perbuatan yang dilakukan selalu dapat timbal balik. (hal.31)
  • “Orang berbuat salah memang terkadang tidak terasa...” (hal.31)
  • Belajar memang perlu sabar. (hal.84)
  • Perpisahan harus tetap terjadi. Layaknya pertemuan yang tak terelakan. (hal.114)
  • Air mata setetes justru lebih tulus dibandingkan dengan yang mengalir deras. (hal.126)

Akhirnya, saya bersyukur dijodohkan dengan novel yang istimewa ini. Banyak hal yang saya dapatkan dari cerita Ajeng dan Galih. Novel ini saya rekomendasikan untuk pembaca yang ingin menikmati bacaan dengan setting pedesaan ditambah cerita dengan nilai kemanusiaan yang benar-benar murni. Saya memberikan rating 4 dari 5 untuk Kasta, Kita, Kata-Kata.

Februari 26, 2016

[Resensi] Perempuan Patah Hati Yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi - Eka Kurniawan



Judul buku : Perempuan Patah Hati Yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi
Penulis : Eka Kurniawan
Penyunting : Ika Yuliana Kurniasih
Perancang sampul : @labusiam
Ilustrasi sampul : Ayu Hapsari & @labusiam
Ilustrasi isi : Ayu Hapsari
Pemeriksa aksara : Intan & Nurani
Penata aksara : Archi Tobias Chandra
Penerbit : Penerbit Bentang
Terbit : Maret 2015
Ukuran buku : vi + 170 hlm; 20,5 cm
ISBN : 9786022910725

Saya sebenarnya kurang menyukai buku kumpulan cerita (kumcer). Karena bagi saya cerpen selalu menuntut kepekaan pikiran untuk memahami apa yang ingin disampaikan penulisnya. Sedangkan hal tersebut untuk saya merupakan kesulitan. Pilihan saya memilih buku kumcer Perempuan Patah Hati Yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi ini hanya berdasarkan ingin mencoba dan berusaha menikmati kesulitan tersebut. Seperti memberi variasi lahapan pada kebiasaan saya yang suka membaca.

Ketika harus berbagi pengalaman membaca buku kumcer ini, saya pun bingung harus menguraikannya seperti apa. Sebisa mungkin apa yang saya jelaskan di sini merupakan hasil saya menikmati 15 cerita yang ditawarkan Eka Kurniawan. Kalau pun ada yang tidak sependapat dan berbeda dengan pembaca lainnya, semata karena kemampuan dan kepekaan saya dalam menikmati cerita yang berbeda dengan pembaca yang lain. Saya tidak berusaha mengarang atau merekayasa.

Gerimis yang Sederhana. Bercerita Mei akan bertemu dengan Efendi di restoran. Ia melihat pengemis juga di restoran tersebut. Kemudian setelah bertemu, mereka mengelilingi lingkungan di Amerika sana. Saya membacanya sampai dua kali untuk mengerti isi cerita. Namun entah kenapa saya masih belum paham. Hasil saya menikmati cerita ini justru dua yang saya pahami. Pertama, memberi (sodakoh) pasti akan diganjar harapannya. Kedua, pertemuan pertama selalu membuat gugup dan bisa diatasi dengan guyonan.

 “Ya, ya, doakan perempuan yang akan datang ini memang manis,” gumam Efendi.  (hal.6)
Gincu Ini Merah, Sayang, bercerita mengenai pasangan suami istri yang dipertemukan di bar Beranda. Rohmat Nurjaman adalah pelanggan. Marni si penjual. Mereka jatuh cinta. Cerita ini saya pahami betul. Gincu merupakan kata pertanda latar cerita, dandanan pelacur di bar. Kemudian konflik terjadi karena rasa cemburu, curiga dan yang paling fatal, tidak adanya komunikasi. Seharusnya sebagai pasangan suami istri tidak ada tebak-tebakan, tetapi berkomunikasi dua arah.

“Sebaiknya, kita bercerai saja.” (hal.21)
Perempuan Patah Hati Yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi pas dibaca untuk yang belum bisa move on dari masa lalu. Maya, perempuan yang ditinggal calon suami pas menjelang pernikahan. Apakah dia terluka dan sedih bukan pertanyaan yang benar saat itu. Maya kemudian menjadi perempuan yang rapuh. Dan ia kemudian mendapati mimpi yang berulang. Dia bertemu pria yang menggiring anjing sedang berlarian di pantai Pangandaran. Maya percaya pada mimpi itu dan mengejarnya ke Pangandaran. Pesan cerita yang saya tangkap, percayalah, soal hati, takdir telah merancangnya dengan sempurna. Jika ditinggalkan, akan ada pengganti yang lebih baik.

“Kalian orang-orang tolol yang percaya pada mimpi. Ia pergi ke Jakarta seminggu lalu.” (hal.34)
Penafsir Kebahagian, merupakan cerita yang membuat saya menggelengkan kepala. Siti, pelacur yang disewa dan dibawa ke Amerika untuk digilir oleh Jimmi dan kelima temannya. Jadi Siti bekerja selama enam hari dalam seminggu. Keadaan pelik, ketika Markum, pria setengah baya, dilayani Siti juga. Kondisinya waktu itu sedang hamil. Siti bingung siapa ayah bayi yang dikandungnya. Saya menyukai cerita ini, lebih gampang saya ikuti alurnya. Dan pelajaran yang saya ambil, tidak ada keburukan yang berbuah kebaikan, keburukan akan menimbulkan keburukan lainnya.

“Aku tak tahu apakah harus memanggilnya anak atau cucu,” gumam Markum, masih agak kesal. (hal.45)
Membuat Senang Seekor Gajah. Cerita ini mengingatkan saya pada tebak-teban waktu saya kecil. “Gajah dimasukan kulkas, yang gede apanya?” Dan jawaban tepat untuk tebak-tebakan ini adalah bohongnya yang besar. Nah, ceritanya mengenai gajah yang ingin masuk ke dalam kulkas karena kepanasan dengan dibantu dua anak kecil. Lalu yang saya dapatkan selain lelucon adalah jadilah orang yang lebih sadar diri dalam mengharapkan sesuatu. Jika dipaksakan belum tentu hasilnya seperti yang diharapkan.

“Membuatnya senang kupikir hal yang lebih penting daripada apa pun,” kata si anak lelaki. (hal.50)
Jangan Kencing Di Sini. Idenya tidak bisa saya pahami betul. Ini mengenai Sasha, pemilik toko, yang geram karena pojok parkiran tokonya selalu berbau kencing, padahal sudah dipasang larangan dan himbauan.  Ia pun sempat memata-matai karena ingin tahu siapa pelaku sebenarnya. Namun, justru berujung pada pengalaman menahan kencing yang kemudian membuat dirinya merasa menikmati rasa ‘begituan’. Pesannya, jangan membuat larangan dengan jangan.

Penis lelaki memang merupakan masalah dunia,.. (hal.52)
Tiga Kematian Marsilam. Marsilam jatuh dari lantai 12. Tidak ada saksi yang tahu penyebabnya. Kemudian cerita bergulir menuju tiga tahap kematian. Urutan kematiannya sedikit membingungkan. Penulis menyebutnya kematian kedua, kematian pertama lalu kematian ketiga. Bagi benak saya muncul urutannya kematian ketiga, kematian pertama lalu kematian kedua. Cerpen ini harus saya baca dua kali untuk tahu plotnya. Sebab, perpindahan cerita membuat saya bingung. Namun akhirnya saya tahu apa hubungan Marsilam dan Armantana. Poin mengena yang saya terima, tidak ada orang tua yang akan membiarkan anaknya menderita.

“Barangkali karena kami berbagi kesedihan yang sama.” (hal.75)
Cerita Batu, mengisahkan bagaimana si Batu menyimpan dendam setelah ia diseret pada kasus pembunuhan seorang perempuan yang mayatnya diceburkan ke sungai. Melalui kisahnya, saya memahami jika banyak sekali manusia serakah dan akhirnya melakukan kejahatan. Bisa dibayangkan seandainya benda mati bisa dijadikan saksi kejahatan, tidak ada kejahatanyang tidak terungkap.

Seperti semua batu di dunia, ia pendendam yang tabah. (hal.87)
La Cage aux Folles, merujuk pada kisah perjalanan seorang laki-laki bernama Marto, yang kemudian berubah menjadi Martha. Ini tentang transgender. Saya tidak memahami apa yang ingin disampaikan penulis melalui karakter Martha. Tapi satu hal, Kemala, sebagai teman, hanya bisa melihat apa yang diputuskan teman.

...“tapi antara tubuh lelaki dan perempuan, kau akan tahu, ada jarak yang terlampau jauh untuk kutempuh.” (hal.102)
Setiap Anjing Boleh Berbahagia, haruskah disebut sebagai kisah cinta? Cerita anjing yang membuat seorang perempuan, istri dan ibu, rela meninggalkan suami dan anak-anaknya. Cinta paling konyol saya menyebutnya. Saya hanya bisa mengambil sisi, setiap mimpi boleh diperjuangkan.

“Ronin, kita akan pergi, jauh, aku dan kamu akan bahagia.” (hal.110)
Kapten Bebek Hijau, sejenis fabel atau memang iya ini fabel. Anak bebek berbulu kuning yang berubah menjadi berbulu hijau, karena memakan buah mogita. Sedih, iya. Emak Bebek akhirnya menjuluki anak bebek hijau dengan sebutan Kapten Bebek Hijau. Keras kepalanya si anak bebek untuk kembali memiliki bulu warna kuning, membuatnya harus melakukan petualangan ke atas bukit  demi mendapatkan kunir raja. Pesannya, bersyukurlah. Ini terkait dengan akhir cerita yang fatal.

“... Hanya kamu yang berbulu hijau, sebab kamu istimewa....” (hal.114)
Teka-Teki Silang, permainan yang dibuat Juwita. Namun saat suatu hari  ia menemukan teka-teki silang dan mengisinya, justru membuat Juwita tidak tenang. Apa yang ditulisnya menjadi nyata.  Kembali saya harus meraba pesan yang saya tangkap dari cerita ini dan kesulitan. Akhirnya, jangan sombong.

Ia merasa yakin tak perlu mengeluarkan senjata-senjata rahasianya. (hal.124)
Membakar Api, memaparkan soal kehilangan Lohan. Ia ayah Artika, ia mertua Mirdad, ia besan Rustam Satria Juwono. Ini soal mafia. Nilainya adalah suap adalah kejahatan halus.

..., “Sejak kapan uang suap ada kuitansi?” (hal.143)
Pelajaran Memelihara Burung Beo. Mirah, seorang ibu yang kehilangan ketiga anaknya akibat perceraian. Ia mengganti keberadaan anak-anaknya dengan memelihara burung  beo yang mahir berbahasa indonesia. Saat burung beo tersebut diambil dinas perlindungan hewan, Mirah baru merasakan kalau anaknya tidak bisa digantikan apapun. Tampak sangat jelas apa pesan yang ingin disampaikan penulis.

Jangan pernah menggantikan anakmu dengan burung beo. (hal.155)
Pengantar Tidur Panjang mengisahkan aku yang mengantarkan Bapak tidur selamanya dengan cerita-cerita manis antara aku dan keluarga lainnya. Pesannya, menjadi orang baik tidak rugi, banyak kegunaannya.

Bahkan, pikirku, setelah meninggal  Bapak masih memberiku ongkos bus. (hal. 167)


Kalau membaca apa yang disampaikan penulis di atas, saya mungkin keterlaluan memahami cerita yang dibuatnya. Atau mungkin perkataan Eka hanya berlaku untuk novel saja?

Tapi saya memang berusaha menemukan pelajaran-pelajaran dari apa yang saya baca. Saya yakin kalau semua karya memiliki maksud dan ada yang bisa dipelajari. Uraian pesan cerita di atas pun mungkin jauh dari maksud penulis, namun saya mencoba menggunakan sudut pandang sendiri.

Cerita-cerita yang ada di kumcer ini ditulis dengan sangat apik. Beberapa cerita membuat saya bingung. Yang lainnya bisa saya serap dengan gampang. Ini seni cerpen. Dan bagi saya kumcer seperti spasi saat mengetik. Istirahat. Lalu cerita favorit saya adalah cerita terakhir. Hubungan anak dan bapak dan keluarganya selalu menyentuh selera cerita saya.

Yang membuat saya salut adalah tema cerita yang beragam dan memperkaya saya sebagai pembaca akan rasa cerita. Akhirnya saya memberi rating 4 dari 5. Saya puas membaca kumcer ini dan semoga ke depannya saya bisa membaca kumcer lainnya.

*gambar diambil kamera hape Samsung Galaxy ACE4

Februari 25, 2016

Wishful Wednesday: Metropop Fever


Metropop Fever (nggak tau penulisannya sudah bener atau nggak) maksudnya saya memang sedang suka membaca novel terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, khususnya untuk lini Metropop. Kebetulan sekali dengan momen Wishful Wednesday yang digagas www.perpuskecil.wordpress.com saya nggak mau ketinggalan untuk ikut serta.

Sebenarnya saya sudah ingin ikut WW ini dari kapan hari. Hanya sempat merasa ragu karena sebelumnya saya ikutan WW ini menggunakan blog buku saya yang saat ini sudah tidak pernah diperbaharui. Sedangkan saat ini saya hanya mengaktifkan blog personal. Nah, pada artikel ini Whisful Wednesday [183] - WW Anniversary Giveaway!  disebutkan persyaratannya memperbolehkan blog apa pun ikut, saya pun mulai menuliskan WW #1 ini. InsyaAllah ke depannya saya akan berusaha setor postingan Wishful Wednesday ini secara teratur.

Lalu novel apa yang menyita perhatian saya? Cek this out!


Complicated Thing Called Love
by Irene Dyah



Gravity
by Rina Suryakusuma



Kenapa Metropop? Mengingat usia saya yang bukan lagi kategori teenlit, membuat saya merasa sangat nyaman mengikuti cerita dengan konflik yang lebih dewasa. Bukan menganggap teenlit tidak bagus, hanya saja saya merasa banyak belajar dari Metropop sebab isi ceritanya begitu dekat dengan keseharian usia sekarang. 

Setahu saya, membaca juga membantu membentuk karakter dan menambah pemahaman pengalaman terhadap suatu kejadian dari cerita yang dipaparkan. Sehingga Metropop menjadi pilihan pertama setiap kali memutuskan pemilihan bacaan.

Semoga harapan saya terhadap kedua buku di atas segera terwujud. Amin!

Catatan ;
Gambar diambil dari www.gramedia.com - edit sendiri.
Link buku ke www.bukabuku.com

Februari 22, 2016

[Resensi] Blues Merbabu - Gitanyali



Blurb & identitas buku
"Om merasa sial sebagai anak PKI?"
"Aku tidak pernah berefleksi merasa sial atau beruntung dengan hidupku. Aku menjalani apa yang bisa kujalani."
...
"Om komunis mall atau kapitalis?"
"Tak ada bedanya. Di bawah kapitalisme, orang mengeksploitasi orang. Komunisme, tinggal dibalik saja..."

Sebagai anak PKI, Gitanyali dipaksa menerima kehidupannya tidak lagi sama sejak akhir 1965. Ia masih SD di kota kecil di kaki Gunung Merbabu ketika menyaksikan sang ayah diambil aparat, dan tak pernah ketahuan lagi rimbanya. Ibu dan sanak saudaranya menyusul ditahan tanpa tahu kapan akan dibebaskan karena dianggap terlibat peristiwa G30S.

Diasuh oleh sang paman di Jakarta, dunia Gitanyali terbuka lebar. Ia menempa diri untuk tidak kalah pada nasib. Ia menikmati kehidupan sebagai anak kebanyakan yang penuh godaan, termasuk dalam kehidupan seksual, tanpa terbawa arus. Ia memilih bertahan tanpa harus "melawan'.

Judul buku : Blues Merbabu
Penulis : Gitanyali
Perancang sampul : Gianni Messah Tjahjadi
Penataletak : Wendie Artswenda
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Terbit : Februari 2011
Ukuran buku : vi + 186 hlm; 13,5 x 20 cm
ISBN : 9789799103154

Review
Novel Blues Merbabu merupakan novel yang ceritanya selalu membuat saya tersenyum. Blues Merbabu seperti nostalgia pada masa lalu. Ya, plotnya memang mundur. Mengikuti Blues Merbabu mengingatkan saya pada salah satu judul drama korea yang sedang saya tonton, Reply 1988, yang dibintangi Hyeri, Go Kyung Pyo, Park Bo Guem, Ryu Joon Yul, Lee Dong Hwi. Persamaannya berada pada konsep cerita. Di Blues Merbabu, dikisahkan pria bernama Gitanyali sedang diwawancari oleh jurnalis bernama Nita. Sedangkan di drama korea Refly 1988, pasangan Sung Duk Sun dan Taek sedang diwawancari oleh sebuah stasiun TV.

"Yang kami dengar orangtua Om PKI. Kami juga ingin menulis bagaimana kehidupan anak-anak PKI." - Nita

Maka meluncurlah kisah Gitanyali mulai dari masa kanak-kanak hingga ia menjadi pria dewasa. Namun kalau pengertian dewasa ini merujuk ke urusan biologis, saya kurang setuju soal penentuan kedewasaanya, sebab Gitanyali ini sudah dewasa sebelum waktunya.

Saya membagi menjadi bagian-bagian kecil seluruh cerita Blues Merbabu agar memudahkan memberikan gambaran ada apa saja di dalamnya. Kehidupan keluarga PKI. Gitanyali adalah anak bungsu dari bapak yang tulen PKI. Rumahnya bahkan menjadi markas untuk rapat. Namun sejak kecil, Gitanyali tidak peduli dengan urusan partai. Yang ia tahu hanya menikmati masa kanak-kanaknya. Ia pun mengalami kehilangan ayah yang pada suatu hari digiring tentara hingga hilang kabar entah dimana. Kemudian ibunya pun ikut dipenjara. Mengenang kejadian itu, membuat Gitanyali memisahkan ingatan PKI dari jatidirinya.

Percintaan dan seks. Gitanyali ini sejak kecil sudah mempunyai kebiasaan mengintip tetangga perempuan mandi. Bayangan tubuh mereka menjadi imajinasi menjelang tidur hingga membangunkan burungnya. Lucunya, gara-gara kebiasaan mengintip ini, Gitanyali harus disunat pada saat dirinya baru kelas 4 SD. Pada saat itu, umumnya anak laki-laki akan disunat menjelang kelulusan SD. Bagi pria, ejakulasi pertama kali menjadi sejarah yang akan diingatnya, seharusnya. Gitanyali melalui proses 'itu' kala rumahnya kedatangan gadis sekaligus guru taman kanak-kanak, Mbak Kadarini. Dan sepanjang novel ini, akan diceritakan kisah Gitanyali yang menyetubuhi banyak tubuh perempuan. Saya kira dia ini tipe pria hypersex.

Perjalanan cintanya bertautan dengan perkenalannya dengan banyak perempuan. Ia sempat merasakan cinta ketika bertemu "malaikat kecil" bernama Li Hwa. Namun entah siapa cinta sejatinya, sebab Gitanyali lebih menikmati sisi petualangan. Gitanyali suka berkenalan dengan banyak perempuan namun selalu saja mengkrucut pada sesi 'bercinta'.

...ketika kanak-kanak aku tidur dengan perempuan berusia sekitar 30 tahun. Aku jatuh cinta padanya. Ketika usia belasan, aku bercinta dengan perempuan usia 30 tahun. ketika umur 20-an aku bercinta dengan perempuan usia 30 tahun. ketika umur 30-an aku bercinta dengan perempuan usia 30-an. Ketika umur 40-an lagi-lagi aku bercinta dengan perempuan 30 tahun.

Keahlian dan mimpi. Gitanyali terbilang anak yang cerdas. Ini mungkin efek didikan ayahnya yang berorientasi  pada pendidikan. Ketika usia kanak-kanak, bakat Gitanyali sudah terlihat dari bagaimana ia membuat kalimat-kalimat puitis. Dia juga senang bermain dengan kalimat-kalimat manis ketika mengirimkan kartu pesan ke radio. Beberapa kali pula karya tulisnya terpampang di majalah. Gitanyali sudah mempunyai bakat jurnalis sejak kanak-kanak. Bersamaan proses kedewasaanya, bakat itu semakin terasah.

Keunggulan novel ini, setting pada jaman tersebut bukan tempelan semata. Ada banyak aksesoris-aksesoris kenangan pada tahun itu yang membuat cerita menjadi lebih nyata. Contohnya penyebutan seniman yang terkenal pada masa itu, penyebutan judul film yang tayang di bioskop Rex pada masa itu, dan narasi visualisasi setting daerah yang memang sangat terasa kejadulannya.

Dan akhirnya, novel ini sangat direkomendasi bagi pembaca yang menyukai cerita dengan setting jadul dan dibumbui sejarah negeri. Blues Merbabu bukan hanya bercerita soal politik, sejarah, seks, tetapi lebih luas, tentang kemanusiaan sebagai seorang manusia.

Rating yang saya beri untuk Blues Merbabu adalah 4,5 dari 5.

Catatan

  • ... nyaris mutlak bahwa orang cantik selalu bernasib baik-setidaknya lebih baik dibanding yang kurang cantik.-hal.13
  • Pengarang suka meniduri perempuan dalam tulisannya memang. -hal.26
  • Dua unsur utama dunia di mataku adalah hidrogen dan kebodohan. -hal.58
  • Sesuatu yang ingin didengar sendiri, cenderung diceritakan berulang-ulang oleh si pencerita. -hal.96
  • Orang menjadi tua karena berhenti bermimpi. -hal.167
  • Menyatakan cinta itu modern, mengajak menikah itu kuno. -hal.169

Februari 20, 2016

[Resensi] 86 - Okky Madasari



Judul buku : 86
Penulis : Okky Madasari
Ilustrasi & desain sampul : Restu Ratnaningtyas
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit : April 2014 (cetakan kedua)
Tebal buku : 256 hlm
ISBN : 9789792267693



Blurb.
Apa yang dibanggakan dari pegawai rendahan di pengadilan? Gaji bulanan, baju seragam, atau uang pensiunan?

Arimbi, juru ketik di pengadilan negeri, menjadi sumber kebanggaan bagi orangtua dan orang-orang di desanya. Generasi dari keluarga petani yang bisa menjadi pegawai negeri. Bekerja memakai seragam tiap hari, setiap bulan mendapat gaji, dan mendapat uang pensiun saat tua nanti.

Arimbi juga menjadi tumpuan harapan, tempat banyak orang menitipkan pesan dan keinginan. Bagi mereka, tak ada yang tak bisa dilakukan oleh pegawai pengadilan.

Dari pegawai lugu yang tak banyak tahu, Arimbi ikut menjadi bagian orang-orang yang tak lagi punya malu. Tak ada yang tak benar kalau sudah dilakukan banyak orang. Tak ada lagi yang harus ditakutkan kalau semua orang sudah menganggap sebagai kewajaran.

Pokoknya, 86!

Ide cerita.
Sebelum membahas soal isi novelnya, saya mau cerita bagaimana saya bisa mendapatkan novel bagus ini. Saya diberi tahu oleh rekan kantor kalau di Grage Mall Cirebon sedang ada obral buku di atriumnya. Balik kerja saya langsung berburu. Dan hasilnya saya memperoleh 3 judul novel dengan harga 40rb saja. Salah satunya novel 86 ini.

Kalau membaca blurb-nya, saya memang tidak paham konflik apa yang mendominasi cerita. Dari judulnya saja saya sudah bingung, 86 tuh nunjuk ke apaan. Yang saya tahu hanya 69 (mesum, hehe). Namun begitu mulai membaca saya mulai paham cerita merujuk pada fenomena negeri yang bukan lagi rahasia, korupsi. Melalui tokoh Arimbi, pembaca akan ditunjukkan jika korupsi ini bukan untuk para pejabat saja dan bukan untuk nominal puluhan juta atau sampai milyaran saja. Lebih luas dan halus bagaimana praktik korupsi ini berlangsung di kehidupan sehari-hari. Contohnya, pada jaman itu penumpang kereta bisa naik kereta tanpa tiket asal bayar ke petugas pemeriksa tiket. Lucunya lagi, saat Arimbi hendak menikah, persyaratan surat nikahnya pun bisa dipermudah asal ada pelicin. Ada juga praktik pungutan liar bagi pembesuk tahanan di penjara. Penulis sangat blak-blakan memberi gambaran korupsi kecil yang berlangsung di kehidupan sehari-hari. Miris.

Apa yang dipaparkan penulis memang kasus nyata. Sehingga, itulah kekuatan utama novel ini. Pembaca akan langsung hanyut sebab ceritanya memang mengena dan mudah diiyakan. Garis lurusnya, Arimbi malang melintang dengan kebodohannya yang ikut-ikutan dengan fenomena yang seharusnya ia hindari. Rakus, saya kira tidak keliru untuk menyebut sosok Arimbi. Meski sudah dibui pun, Arimbi masih menikmati praktik 86 ini. Agar lebih jelasnya bagaimana Arimbi berlari dengan kejamnya Jakarta dan dunianya, sok langsung saja berburu novelnya di toko buku terdekat.

POV. Plot. Gaya bercerita. Karakter.
Novel ini memakai POV orang ketiga. Sudah pasti pilihan aman ketika penulis ingin menjelaskan cerita dari berbagai sudut. Sebab saya menangkap apa yang dipaparkan penulis bukan melulu yang bersinggungan dengan si tokoh utama. Contohnya, kasus suap untuk menjadi pamong desa, penulis menjelaskan melalui percakapan antara Arimbi dan teman SMP-nya. Untuk plot secara umum menggunakan plot maju. Jika ada kilas balik pun sebatas narasi.  Ini memberi ruang perkembangan cerita tidak diganggu dengan kilas balik tersebut. Dan bagaimana penulis bercerita, sudah sangat baik dan saya melihatnya "beginilah ciri terbitan Gramedia". Baku dan menghanyutkan.

Arimbi. Polos, hanya karena lingkungan ia berubah menjadi rakus. Ananta. Baik, pendukung yang handal dan pekerja keras. Bu Danti. Khas ibu-ibu sosialita yang korupsi. Ada banyak karakter yang muncul namun semuanya kebanyakan hanya pendukung bagian cerita saja. Sebab penulis membagi cerita korupsi menjadi bagian-bagian kecil sesuai kasusnya. Bagian-bagian itu kemudian dihubungkan melalui keterlibatan Arimbi. Sehingga beberapa tokoh memang akan menghilang ketika kasus berpindah ke bagian yang lain.

Adegan favorit.
Pada halaman 243-245 digambarkan anak Arimbi bertingkah tidak biasa. Si anak terus menangis. Sampai akhirnya Arimbi mendapatkan kabar kalau ibunya meninggal, si anak mulai tenang, dan Arimbi yang menangis.

Petik-petik.
Sangat lugas pesan novel ini; "Korupsi itu perbuatan buruk dan akibatnya buruk juga".

Cuplikan.
Terlalu banyak sehingga saya lupa menandai karena asyik mengikuti cerita.

Final. Rating.
Siapa saja harus baca buku ini karena bermuatan bagus. Akhirnya, saya memberikan rating 4,5 dari 5.

Jawab ya!
Apa pendapat kalian tentang praktik korupsi?