Resensi Novel Satine - Ika Natassa

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]


Judul: Satine

Penulis: Ika Natassa

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Desember 2024

Tebal: 336 hlm.

ISBN: 9786020679983

Tag: kesepian, jodoh, karir, metropop


Karir bagus, umur sudah kepala tiga, tapi kekasih belum punya. Satine merasa kesepian. Lewat aplikasi jodoh Bespoke ia dipertemukan dengan pria bernama Ash Risjad. Satine butuh teman kencan dan Ash butuh teman ngobrol. Keduanya sepakat untuk berkencan dengan ketentuan tertentu.

Kencan kontrak tetap punya resiko, salah satunya menumbuhkan rasa sayang, dan itu jadi pelanggaran kesepakatan. Sejak pengakuan Ash itu, mereka mengakhiri kontrak kencan tersebut. Bukannya perasaan itu makin memudar, justru makin menyiksa. Asumsi-asumi tumbuh di hidup masing-masing. Dan efek perpisahan itu mengguncang hidup Satine dan Ash secara signifikan.

Perasaan sedih dan gundah yang dihadapi keduanya memberi momen merenung mengenai luka di masa lalu. Mungkin ini waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang belum rampung. Tentang Satine dan kebahagiannya bekerja. Tentang Ash dan kebencian kepada ayahnya yang kasar.

Apakah Satine bisa menemukan kebahagiaan yang sebenarnya? Apakah Ash bisa menerima kenyataan kalau ia memiliki darah ayahnya? Dan takdir apa yang akan digariskan untuk keduanya?

***


Novel Satine jadi novel ketiga yang saya baca dari deretan karya Ika Natassa. Sebelumnya saya sudah membaca novel Critical Eleven dan novel The Architecture of Love

Novel ini membahas nelangsanya jadi orang yang secara umur pada umumnya sudah harus menikah (kepala tiga) tapi pacar aja enggak punya. Digambarkan jadi orang kesepian, kalo nonton sendirian, sibuk dengan pekerjaan sampe lembur, ada momen senang atau sedih tidak bisa berbagi dengan siapa pun. Momen-momen menyedihkan jadi joblo ngenes terasa banget di sini.

Karir bagus, duit banyak, tapi kalo kesepian, enggak membuat kita bahagia. Duit dipakai untuk melarikan diri dari rasa sepi, tapi percayalah, saat menjelang tidur, perasaan sendirian itu mendekap erat dan otak kita akan melayang mempertanyakan kenapa nasib begini amat, keputusan apa yang salah di masa lalu, dan kira-kira apa yang bisa dilakukan untuk merubahnya. Jujur, kesepian itu perasaan yang bisa disangkal di mulut tapi di dalam hati enggak bisa diajak bohong.

Bakal jadi debat panjang kalau diulik kenapa Satine masih lajang di usia 37 tahun padahal karirnya gemilang. Setiap orang punya alasan kenapa belum mempunyai pasangan. Tapi yang bahaya itu kalau alasannya berupa keegoisan kita. Satine bekerja mati-matian untuk mengejar validasi dari ibunya. Lalu, ketika validasi didapat, apa itu merubah situasi. Jawabannya, merubah, tapi tidak keseluruhan. Apa bikin bahagia? Satu sisi iya, sisi lain ia juga kehilangan banyak.

Kemapanan memang bisa dikejar, tapi waktu yang seharusnya dinikmati terbuang percuma. Saat Satine umur 37 tahun, temannya sudah menikah. Mungkin temannya tidak sekaya Satine, tapi saya percaya temannya ini sudah mengalami susah-senang bersama pasangan, pengalaman hidupnya sudah kaya, dan bersama pasangan ia sudah belajar banyak untuk jadi bijaksana.

Dan yang paling menohok buat saya, seloyal-loyalnya kita ke perusahaan, ketika kita sudah tidak bermanfaat lagi, kita akan disingkirkan dan diganti dengan karyawan yang baru. Ini hukum alam corporate. Dan kita harus mengakui kalau tanpa kita pun perusahaan akan tetap jalan. Jadi, buat apa kita jadi budak perusahaan sampai membuat kita kehilangan waktu menikmati hidup dan kesehatan. Bekerjalah dengan baik, bekerjalah dengan porsinya.



Novel ini juga menyinggung isu parenting dan kesehatan mental (trauma). Satine jadi sosok yang begitu karena di masa lalunya ada tuntutan dari ibunya untuk sukses. Dan itu jadi alasan utama kenapa Satine bekerja lebih keras. Ditambah hubungan keduanya terlalu dingin, jarang ngobrol, serba sungkan, dan egois karena tidak ada yang memulai, sehingga perjalanan Satine untuk mencapai puncak karirnya terkesan berjuang sendirian.

Lalu isu trauma bisa dipelajari dari tokoh Ash. Mempunyai ayah yang kasar dan pemarah membuat Ash berusaha untuk tidak seperti ayahnya itu. Lalu ada satu momen ia marah dan memukuli rekan kerjanya, Ash merasa gagal dan menganggap dirinya sebagai sosok monster, tidak jauh beda dengan sosok ayahnya. Gara-gara perasaan menjudge diri sendiri seburuk itu, Ash mengambil keputusan dan langkah yang keliru lagi. Jadilah drama jauh-jauhan dengan Satine yang menurut saya agak gimana gitu mengingat Ash itu sudah kepala tiga, harus bisa bijaksana ketika ia keliru langkah harusnya ia fokus membenahi, bukan meratapi.

Dari semua konflik di novel ini, saya diingatkan lagi soal arti pentingnya melakukan komunikasi tulus dan mendalam. Kalau kita ada masalah, ada salah paham, ada sesuatu yang perlu diperjelas, lakukan komunikasi, bukan justru berasumsi dan menebak-nebak. Manusia kebanyakan tidak diberikan kemampuan menebak isi pikiran orang lain jadi jangan mengandalkan 'orang lain harus tahu dan mengerti kita'. Mulailah memulai pembicaraan.

Sisi romansa begitu kental terasa di novel ini. Banyak kejadian biasa yang dikemas jadi momen romantis. Makan nasi padang dini hari bareng gebetan, lihat pameran lukisan di galeri, atau berdua melihat sebaran lampu menyerupai bintang. Dan kejadiannya bukan yang diada-adakan atau dipaksakan oleh penulis sehingga momen tadi terasa pas aja untuk ceritanya.

Secara alur cerita, kita akan dibawa terus maju mengikuti apa yang dialami oleh Satine dan Ash pasca mereka memutuskan mengakhiri kontrak kencan. Beberapa bagian menjelaskan masa lalu tapi porsinya tidak banyak, yah seperti penegasan saja, apa yang terjadi hari ini disebabkan oleh sesuatu atau keputusan di masa lalu.

Sedikit yang tidak nyaman adalah cara penulis membuat narasi terlalu lengkap untuk informasi sederhana. Banyak kalimat pembukaan yang dipakai (kebanyakan di awal paragraf tiap berganti POV). Tentu saja itu informatif tapi bagi saya itu mengurangi momen untuk mendalami alur utamanya. Ini tergantung selera juga sih, saya mungkin tipe yang ketika alur sedang jalan, saya butuh fokus yang intens masuk ke jalan ceritanya. Jangan diganggu dulu dengan narasi-narasi pendukung, saya lebih butuh narasi penggerak utamanya biar emosi yang sudah dibangun tidak buyar seketika.

Kalau untuk diksi tidak ada masalah. Terasa lugas dan cerdas. Banyak narasi bahasa inggris dan saya butuh waktu lebih lama untuk memahami isi paragrafnya. Tapi itu tidak menyurutkan semangat untuk membaca novelnya sampai kelar.



Sudut pandang dalam novel ini dibagi dua, bergantian antara Satine dan Ash. Yang membedakan penggunaan kata 'gue' di bagian Ash dan kata 'aku' di bagian Satine. Tapi saya tidak menemukan perbedaan rasa antara kedua bagian itu. Narasinya sama-sama terasa cerdas, sama-sama terasa pilu, dan sama-sama banyak menceritakan buah pikiran masing-masing.

Seandainya semua bagian menggunakan kata 'aku', dan judul bagian Satine atau Ash-nya dihapus, saya pasti kesulitan membedakan yang sedang bercerita itu Santie atau Ash, saking tidak ada gap dalam struktur narasinya. Katanya, narasi tokoh perempuan dan tokoh laki-laki harus memiliki perbedaan agar karakter tokohnya berkesan untuk pembaca. Contohnya kalau versi perempuan boleh banyak mengungkapkan pikirannya, kalau versi laki-laki dibuat lebih banyak narasi aksinya. 

Pendalaman karakter untuk tokoh utamanya sudah sangat baik. Satine Muchlis digambarkan sebagai pekerja keras, kesepian, tertekan dengan tuntutan dari ibunya, dan pejuang validasi. Sedangkan Ash Risjad digambarkan sebagai pria yang menyimpan trauma kekerasan, observer, dan perasa. Sayangnya, saya tidak terkesan dengan kedua tokoh ini. Mungkin karena kurangnya penggambaran kedekatan dengan orang-orang sekitarnya sehingga kebaikan keduanya tidak cukup terasa.

Kesimpulannya, menurut saya, novel ini memberi persepektif tentang pilihan beberapa orang yang mengejar karir sehingga urusan asmara rada kesulitan. Ada alasan kenapa pilihan itu dijalani, ada juga resiko yang timbul dari situasi tersebut. Setelah membaca novel ini, kita patut refleksi, sudah seberapa tepat kita mengambil keputusan, baik tentang asmara, finansial, dan keluarga. Dan pertanyaan berikutnya, sudahkan keputusan itu membahagiakan hidup kita?

Sekian ulasan novel Satine dari saya. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



Bebukuan April 2025


Halo!

Karena sudah di awal bulan, saya membuat postingan rutin bebukuan. Isinya merekap buku apa saja yang sudah dibaca dan buku apa saja yang saya dapatkan selama satu bulan.

Ada sedikit kekecewaan karena bulan April kemarin saya lagi-lagi beli buku yang lumayan banyak. Padahal saya tahu jumlah TBR saya masih banyak menumpuk. Terlebih karena saya hanya membaca sedikit buku sehingga TBR saya tidak berkurang tapi makin bertambah banyak saja. 

Tetapi selalu ada kesempatan untuk berubah, sedikit beli buku, banyak membaca buku. Yuk bisa yuk!

Bacaan April 2025

1. Makhluk Bumi oleh Sayaka Murata

2. Dream Record oleh Lee Hye-rin


Koleksi April 2025

1. The Hunger Games #1 oleh Suzanne Collins



Saya sudah lama mencari novel Hunger Games yang sampulnya putih untuk melengkapi buku kedua dan ketiga yang sudah punya. Namun tetap tidak dapat padahal sudah bolak-balik nyari di tiga akun eccomerce beda-beda. Dan begitu gramedia menerbitkan ulang series ini dengan sampul baru, saya pun memutuskan membeli buku pertamanya agar segera bisa mulai membaca seriesnya.

2. Novelis Sebagai Panggilan Hidup oleh Haruki Murakami



Penulis Haruki Murakami jadi penulis yang begitu saya idolakan usai membaca trilogi novel 1Q84. Saat tahu ada buku nonfiksi ini, tanpa ragu langsung membelinya. Saya penasaran dengan proses kreatif seorang Haruki ketika membuat novel. Karena menurut saya, novel-novelnya begitu kompleks, penuh drama, dan unik.

3. Dream Record oleh Lee Hye-rin



Saya terpikat membeli novel ini karena sampulnya yang ala dongeng banget. Sangkaannya, cerita di dalamnya bakal manis. Tetapi setelah membaca novelnya, isinya tidak semanis itu kok. Ceritanya lebih serius.

4. Semilir Saat Beban Terangkat oleh Moon Kyeong-min



Untuk buku ini dibeli karena berbarengan dengan Dream Record dan karena terbitan baru. Kalau dari premis di belakang bukunya, novel ini punya cerita yang harusnya menghangatkan hati karena unsur keluarga begitu ditekankan.

5. Jangan Cemas oleh Shunmyo Masuno



Buku nonfiksi soal mendalami kecemasan hidup begitu menarik buat saya karena mungkin dari buku itu bakal ditemukan pencerahan. Semakin umur bertambah, goal hidup saya bergeser ke arah 'menangkan'. Makanya bacaan pun lebih ke tema-tema bagaimana mendapatkan kedamaian hidup dari berbagai sisi.

6. How To Heal Your Inner Child oleh Simon Chapple



Buku ini dibeli karena saya ingin menggali masa lalu saya karena merasa ada luka masa kecil yang belum sembuh. Saya merasa ketidakmajuan saya karena bayang-bayang masa kecil yang penuh trauma. Dan siapa tahu dengan membaca buku ini, saya bisa mempelajari apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu dan mulai mencari langkah-langkah penyembuhannya.

7. Segala Kekasih Tengah Malam oleh Mieko Kawakami



Dulu pernah baca novel dari penulis yang judulnya Heaven. Bukan yang terkesan sekali tapi karya barunya ini tetap harus dicoba. Kalau di novel Heaven penulis mengangkat isu perundungan, saya penasaran tema apa yang akan dibawa di novel barunya ini.

8. Trunk oleh Kim Ryeo-ryeong



Selain ini terbitan baru dari gramedia, saya terpikat dengan sampulnya yang sederhana; backround hijau dan tas koper merah. Premisnya menarik, istri kontrak yang eksistensinya terusik. Ada unsur misteri juga.

9. Matthes oleh Alan TH



Beberapa orang di X sedang membaca buku ini dan saya pun tertarik. Katanya bagus makanya mau saya coba. Dan rupanya buku ini bakal jadi trilogi, buku keduanya sudah terbit beberapa waktu lalu.

***

Segitu update bebukuan bulan April kemarin. Harapannya semoga bulan Mei ini saya bisa membaca lebih banyak buku dan menikmati prosesnya.

Nah, buku apa yang sudah kalian baca bulan April lalu?