Januari 15, 2018

[Resensi] A Hole in The Head - Annisa Ihsani

Judul: A Hole in The Head
Penulis: Annisa Ihsani
Penyunting: Aditiyo Haryadi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Oktober 2017
Tebal buku: 232 halaman
ISBN: 9786020377445
Harga: Rp58.000 

Novel A Hole in The Head merupakan novel terbaru dari Annisa Ihsani dan jadi novel kedua yang saya baca, setelah sebelumnya saya membaca novel A Untuk Amanda. Ada perbedaan besar antara kedua novel tadi. Novel A Hole in The Head mengangkat kisah petualangan misteri, sedangkan novel A Untuk Amanda lebih banyak mengupas psikologi remaja.

Di novel ini kita akan berkenalan dengan anak perempuan berusia tiga belas tahun bernama Ann. Orang tua Ann bercerai ketika dia berumur dua tahun. Menjelang liburan sekolah selama dua minggu, Indira harus merubah rencana liburan Ann di rumah neneknya karena adik perempuan Indira baru saja melahirkan dan si nenek dibutuhkan sekali untuk mengurus adiknya itu. Indira akhirnya memutuskan mengirim Ann ke rumah ayahnya di Jenewa.

Gertjan, si ayah Ann, setelah bercerai, dia menikahi Mama Nina dan sudah memiliki anak bernama Emil yang berusia sepuluh bulan. Kesibukan Gertjan saat ini adalah membantu Mama Nina mengurus penginapan warisan keluarga, Penginapan Monchblick Inn.

Setibanya Ann di penginapan sekaligus rumah ayahnya, ia bertemu Jo, cucu seorang koki di penginapan. Ann juga mendengar rumor hantu yang beredar mengenai penginapan Monchblick Inn dan membuat penginapan jadi sepi pengunjung. Jiwa petualang Ann terpanggil untuk membongkar kebenaran mengenai hantu Matteo yang mengganggu di penginapan. Dia pun bekerja sama dengan Jo melakukan penyelidikan.

Membaca novel A Hole in The Head mengingatkan saya pada novel Trio Detektif punya Robert Arthur. Sama-sama memecahkan misteri dan tokohnya anak-anak. Saya sangat menyukai diksi pada novel ini, mirip terjemahan novel anak. Dunia anak yang penuh ingin tahu digambarkan dengan apik oleh Ihsani sehingga dia berhasil menggiring pembaca untuk ikut serta berpetualang. Jalan pikiran anak-anak yang bergulir tanpa banyak pertimbangan, spontan, dan sumbu pendek, membuat saya yang bukan seusia Ann lagi, seakan bernostalgia dengan masa kecil. Auranya kerasa dan berkesan. Rasa takut, deg-degan, dan penasaran merasuk ke jiwa saya sepanjang mengikuti kisah Ann.

Novel ini mematahkan stereotip tentang ibu tiri yang jahat dan tidak sayang terhadap anak tiri. Sebab Mama Nina sama sayangnya terhadap Ann meski ia memiliki anak kandung. Mama Nina peduli terhadap kebahagiaan Ann yang sudah mau menghabiskan liburan bersama keluarganya di tengah kesibukan dia mengurus penginapan yang sedang bermasalah. Selain itu, kita pun akan melihat kerukunan, saling menghormati antara Mama Nina dan Indira padahal keduanya memiliki status hubungan yang rentan dengan ketidaksukaan.

Saya paling suka pada bagian misteri yang kunci kebenarannya susah ditebak. Saya pun rasanya punya lubang di kepala, seperti judul ini, karena tidak menyadari petunjuk-petunjuk yang mengarah pada kebenaran. Padahal, penulis sudah menyinggung petunjuk-petunjuk itu di beberapa bagian. Artinya, Ihsani sukses mengonsep cerita misterinya.

Novel ini cocok dibaca oleh pembaca anak-anak. Selain menghibur, novel ini pun memiliki sisipan ilmu pengetahuan. Dan ini kelebihan novel Ihsani, memberikan cerita yang menambah wawasan. Ilmu pengetahuan yang dipilih pun bukan sekadar tempelan agar ceritanya berbobot. Justru ilmu pengetahuan itu mendukung penuh pada cerita.

Catatan saya untuk novel ini terletak pada cara Ihsani mendeskripsikan latar tempat yang menurut saya masih kurang dalam. Detail lokasi, baik jalanan, lingkungan, penginapan, dan tempat wisata, belum tergali dengan sangat baik. Saya tidak mendapatkan imajinasi latar yang benar-benar bikin bulu kuduk merinding. Padahal, menilik misteri yang diangkat, aura dingin, gelap, dan begidik, harusnya bisa tersampaikan kepada pembaca. Sayangnya, itu jadi PR Ihsani untuk karya selanjutnya. Saya membandingkan dengan karya Paula Hawkins yang Into The Water, aura dingin kolam penenggalaman tersampaikan dengan baik melalui narasi yang berulang dengan pemilihan kata yang berbeda, dan dukungan misteri yang memang menyesakkan.

Lainnya, saya kurang suka akhir cerita yang dipilih Ihsani terkait si penjahat. Sebab tidak ada hukuman dan ganjaran yang sepadan yang diterimanya. Padahal, jelas sekali kejahatannya terbilang besar. Tapi saya masih berpikir positif, pilihan Ihsani ini berdasarkan genre novelnya yang condong ke buku anak atau buku keluarga.

Saya memberikan nilai 4/5 untuk kecolongan Ann memahami kebenaran misteri yang ada di penginapan Monchblick Inn.

Januari 10, 2018

[Resensi] Rahasia Selma - Linda Christanty


Judul: Rahasia Selma
Penulis: Linda Christanty
Editor: Tia Setiadi
Penerbit: Basabasi
Cetakan: Pertama, Juni 2017
Tebal buku: 144 halaman
ISBN: 9786026651105
Harga: Rp35.000 (via bukabuku.com, sebelum diskon)

Membaca cerita pendek akan melahirkan tafsir cerita yang berlainan antara yang satu dengan yang lain. Ada kemudahan dan kesulitan dalam membaca cerpen. Mudah karena cerpen lebih singkat dari pada novel. Sulit karena bentuknya singkat sehingga cerita kadang dipadatkan, tidak rinci, dan banyak analogi-analogi.

Buku kumpulan cerpen Rahasia Selma merupakan buku kedua dari Linda Christanty yang saya baca setelah sebelumnya saya membaca Kuda Terbang Maria Pinto. Christanty masih unggul dalam penggunaan gaya bahasa yang sederhana dan renyah seperti yang di buku satunya. Tema yang diangkat pada sebelas cerpennya berragam.

Tokoh anak-anak beberapa kali dimunculkan oleh Christanty pada cerpennya: Pohon Kersen, Menunggu Ibu, Rahasia Selma, dan Para Pencerita. Tokoh anak-anak dipakai sebagai sudut pandang sehingga diksi sederhana sangat pas untuk menyesuaikan pemilihan sudut pandang ini.

Unsur seksualitas pun terasa kental di buku ini: Pohon Kersen, Kupu-Kupu Merah Jambu, Mercusuar, Jazirah di Utara, dan Babe. Seksualitas yang dimaksud lebih ke adegan seks, jenis orientasi, bahkan penyimpangan dan kejahatan seksualitas. Tema LGBT bahkan muncul di dua cerpen mewakili tema gay dan lesbi.

Yang paling menonjol dari sebelas cerpen di buku ini adalah tema ketidakbahagiaan. Mungkin benar, ketika pembaca disuguhkan cerita yang tragis dan getir, akan lebih mudah memberikan kesan. Ikut prihatin, ikut sedih, merasa nasibnya terwakili, atau justru mencerahkan karena sedang atau pernah mengalami kejadian serupa. Reaksi pembaca ini yang menjadi tolok ukur penilaian sebuah buku.

Pohon Kersen sebagai cerpen pembuka sekaligus cerpen favorit saya. Mengisahkan tentang anak perempuan yang suka sekali memanjat pohon Kersen dan dari pohon ini ia mengamati kejadian-kejadian di sekitarnya. “Aku juga bisa mengintai dan mengetahui banyak peristiwa yang berlangsung di rumah kami dari balik daun-daun kersen yang hijau rimbun” (hal. 15). Ciri lain dari cerpen Christanty adalah tidak berpusat pada objek cerpen. Pohon Kersen di cerpen ini tidak menjadi fokus utama. Justru pembahasan melebar ke berbagai hal yang berada di sekitar tokoh utama dan objek cerita. Bagian penting dalam cerpen ini justru menyibak kasus pelecehan seksual terhadap anak kecil yang dilakukan oleh orang terdekatnya. Saya terkejut membacanya karena cerita pohon Kersen melebar ke kasus besar begitu.

Cerpen Kesedihan mengangkat kisah hubungan yang rumit, yang tidak saya pahami bentuknya. Sudut pandang perempuan yang tinggal bersama pria, entah hubungan mereka suami-istri atau justru perzinahan. “Aku juga teringat ceritanya tentang hubungan kita. Kamu menyebutku keponakanmu" (hal.87). Hubungan mereka dingin, tapi tidak ingin berpisah. Lalu, si pria membawa perempuan lain yang menurut si perempuan utama sangat bertolak belakang dengan kepribadian dirinya. Walau rela, tetap si perempuan utama merasa kehilangan apa yang pernah ia miliki seutuhnya di masa lalu.

Sebagai pembaca pria, saya menyukai narasi adegan seksual pada cerpen Jazirah di Utara. Walau tidak vulgar, cukup jelas untuk dibayangkan. Sebelum kesakitan memuncak di bawah sana, matanya terbuka sekali lagi, menatap wajah lelaki itu. Begitu lembut. Begitu kanak-kanak. Dia tiba-tiba ingin memberikan seluruh dirinya sekarang juga, lalu menjelma udara agar tinggal di dalam darah dan paru-paru lelaki itu, menjaganya dari maut (hal. 115).

Sepanjang cerpen ini, selain menceritakan tentang pandangan si perempuan terhadap ayahnya yang religius, penggambaran seksualitasnya kental. Dari adegan, hingga kondisi ranjang kusut mempertegas unsur seksualitas.

Dengan membaca buku Rahasia Selma, kita akan memainkan hati dan pikiran untuk memahami kegetiran hidup yang mungkin tidak akan kita rasakan. Dan gaya menulis Christanty bisa dijadikan rujukan untuk belajar menulis yang renyah dan sederhana. Saya memberikan nilai 4/5 untuk kumpulan cerpen ini.

Januari 08, 2018

[Resensi] The Girl on The Train - Paula Hawkins

Judul: The Girl on The Train
Penulis: Paula Hawkins
Penerjemah: Inggrid Nimpoeno
Penyunting: Rina Wulandari
Penerbit: Noura Books
Cetakan: September 2015
Tebal: 440 halaman
ISBN: 9786020989976
Harga: Rp79.000 (via bukabuku.com, sebelum diskon)

Efek dari keterpukauan saya pada novel thriller kedua Paula Hawkins yang Into The Water, saya mencari buku thriller pertamanya ini dan tanpa menunggu lama segera mulai membacanya. Perasaan bagai diterpa ombak besar menghantam benak saya. Lantaran ceritanya yang membuat saya sangat terkesan.

Di novel ini kita akan berkenalan dengan Rachel Watson, seorang janda yang pemabuk. Dia rutin naik kereta komuter pada pagi dan sore. Melintasi jalur yang sama setiap hari. Makanya dia hafal betul dengan dua rumah yang ia lihat dengan penuh perhatian dari kereta. Rumah nomor lima belas dan nomor dua puluh tiga. Rumah nomor lima belas dihuni oleh sepasang suami istri, Jason-Jess. Rachel iri melihat kemesraan mereka yang beberapa kali, bahkan sering, terlihat duduk di beranda rumah. Sedangkan rumah nomor dua puluh tiga adalah bekas rumahnya. Sejak Tom ketahuan selingkuh dan selingkuhannya, Anna, hamil, posisi Rachel sebagai istri Tom berakhir. Tom membawa Anna ke rumah itu. Rachel sendiri menginap di flat Cathy.

Pada Jumat pagi, Rachel melihat Jess di beranda. Namun, dia tidak berduaan dengan Jason. Di belakangnya ada pria lain yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Mereka kemudian berciuman. Rasa iri melihat kemesraan Jason-Jess berubah menjadi marah. Rachel marah terhadap Jess yang kelihatannya berselingkuh di belakang Jason.

Pada Minggu pagi, Rachel mendapati dirinya yang kacau. Selain masih menyisakan mabuk semalam, ia juga mendapati luka di belakang kepalanya. Ada sesuatu yang aneh sebab ia lupa dengan kejadian semalam. Pada Senin malam berikutnya, Rachel mendapatkan kabar di Yahoo jika Jess menghilang. Nama asli Jason-Jess yang ia karang akhirnya diketahuinya, Scott Hipwell-Megan Hipwell. Dari sinilah misteri bergulir. Kemana Megan pergi? Apakah hubungan luka di kepala Rachel dengan menghilangnya Megan?

Paula Hawkins kembali mengangkat tokoh sentral perempuan. Kali ini tiga orang; Rachel, Megan, dan Anna. Seperti novel Into The Water, penulisan tiap bab-nya serupa, menggunakan sudut pandang ketiga dari salah satu tokoh sentral tadi. Kesamaan lainnya, tokoh perempuan di novel Hawkins selalu memiliki masalah kehidupan kompleks dan mendalam. Rachel digambarkan jadi janda yang ditinggalkan karena suaminya selingkuh hingga selingkuhannya hamil. Rachel terpuruk menjadi pemabuk dan imbasnya ia dipecat dari pekerjaannya. Megan terlena dengan permainan selingkuh hingga masalahanya tambah runyam.Selain itu dia juga masih terjebak masa lalunya yang kelam. Sedangkan Anna menjadi perempuan yang merasa benar dengan menjadi selingkuhan. Dalihnya, karena sama-sama jatuh cinta ia tak berdaya mengambil pilihan lain walau pilihannya menyakiti perempuan lain.
Hawkins terlalu cerdas membuat misteri di bukunya untuk diikuti. Dengan memberikan kejadian akhir di awal, lalu cerita digiring ke asal mula kejadian itu secara perlahan-lahan, detail, dan lengkap. Selain alur maju, Hawkins juga kuat menarasikan kejadian lampaunya.

Yang paling mencolok dari keseruan novel Hawkins adalah bagaimana dia menciptakan tokoh dengan karakter yang bulat dan penuh jiwa. Sehingga kita akan mudah mengimajinasikan tokoh-tokohnya dan memahami apa yang dilihat, dirasakan, bahkan disentuh si karakter. Bahkan kunci misteri dari bukunya dapat Hawkins samarkan melalui karakter tokoh yang terlalu terasa nyata. Saya bahkan menyimpulkan karakter jahat di novel Hawkins tergolong psikopat.

Nilai kehidupan yang dibawa Hawkins juga mengena. Pada novel ini dia menggaungkan pentingnya untuk jujur dan berani mengungkapkan (pikiran dan perasaan) dalam segala bentuk hubungan. Sebab, modal kejujuran dan keberanian mengungkapkan akan membawa alur hidup yang terkendali. Jika dalam perjalanan hidup ditemukan rintangan. Modal tadi cukup ampuh jadi pegangan.

Saya memberikan nilai 5/5 sebab saya mendapatkan lebih banyak (hiburan, pelajaran, perasaan deg-degan) setelah selesai membaca buku ini.

Januari 05, 2018

[Resensi] Into The Water - Paula Hawkins



Judul: Into The Water
Penulis: Paula Hawkins
Penerjemah: Inggrid Nimpoeno
Penerbit: Noura Books
Cetakan: Pertama, September 2017
Tebal buku: 480 halaman
ISBN: 9786023853366
Harga: Rp89.000 

Novel yang menarik itu yang bisa menghanyutkan pembaca. Perasaan deg-degan, penasaran kejadian berikutnya, dan bagaimana akhir kisahnya, membuat pembaca terus membuka halaman buku. Paket perasaan ini saya temukan di buku thriller kedua Paula Hawkins. Saya puas sekali bisa berkenalan dengan penduduk di Beckford dan sungainya yang penuh misteri.

Penulis mengajak kita ke Beckford, pemukiman yang masih sejuk, asri, tenang, dan damai bersama Jules Abbott. Kedatangan Jules kesana untuk mengurus kematian kakaknya, Nel Abbott. Tubuh Nel ditemukan tewas di Sungai Penenggelaman. Polisi menduga ia jatuh dari tebing, entah bunuh diri atau dijatuhkan seseorang. Inspektur Detektif Sean Townsend dan Sersan Erin Morgan menyelidiki kasus tersebut. Penelusuran merambat lebar pada kasus kematian sebelumnya; Katie Whittaker dan Lauren Slater. Ada banyak rahasia pada kasus kematian perempuan-perempuan di sungai itu dan melibatkan penduduk di Beckford.

Saya begitu tercengang mengikuti kisah Jules di Backford. Tidak menduga jika empat keluarga saling terhubung atas kematian-kematian yang terjadi di Sungai Penenggelaman. Semua orang menyimpan rahasia. Pepatah yang mengatakan ‘serapat-rapatnya menyimpan bangkai, akan tercium pula baunya’ berlaku di sana. Rahasia yang disimpan rapi akhirnya terkuak. Dan satu rahasia terbongkar, membongkar rahasia lainnya.

Suasana di Beckford yang damai berbeda dengan yang sebenarnya terjadi. Ada perselingkuhan, percintaan tak pantas, pembunuhan, bunuh diri, menutupi kebenaran, dan pemerkosaan. Semua kejahatan itu menghubungkan setiap orang bagai benang kusut. Sulit diurai tetapi harus diurai. Dan Hawkins berhasil meramu jalan cerita jadi tidak tertebak.


Di balik kekelaman Beckford, kita juga akan menemukan nilai kebaikan. Seperti kekentalan persahabatan Katie dan Lena yang patut ditiru. Keduanya saling membantu ketika ada masalah. Keduanya juga memegang janji yang dibuat. Selain itu, kita juga bisa meniru Jules yang akhirnya membuka hati dan belajar menerima Lena sebagai anak setelah kesalahpahaman antara Jules, Nel, dan Lena terselesaikan.

Novel Into The Water sangat menegangkan. Berkat terjemahan yang baik, saya bisa menyelesaikan cerita Jules dengan lancar. Awalnya memang pusing mengingat siapa-siapa karakter yang ada sebab setiap bab selalu berubah sudut pandang. Walau sudah ditulis pada bab itu sudut pandang siapa yang bercerita, saya beberapa kali harus membuka bab sebelumnya untuk memastikan karakter A itu siapanya karakter B dan karakter C. Namun sejalan proses membaca, akhirnya saya hafal posisi karakter-karakter yang muncul.

Saya memberikan nilai 5/5 untuk novel ini dan merekomendasikannya bagi pembaca yang suka cerita misteri. Tentunya, saya pun harus membaca buku thriller pertama Paula Hawkins yang The Girl on The Train, untuk membuktikan kedua kali jika Hawkins memang jempolan membuat cerita misteri.

Kengerian yang dimunculkan oleh pikiran selalu jauh lebih buruk daripada yang sebenarnya.

Januari 04, 2018

Selamat Datang Tahun 2018


Hari ini jadi hari keempat di tahun 2018. Pergantian tahun sudah lewat dan saya merasa perlu mengucapkan terima kasih kepada tahun 2017. Ada banyak hal baik yang saya terima. Itu berkah di sepanjang tahun.

Kebiasaan membuat artikel di blog ini sempat berhenti mulai bulan Mei sampai dengan November karena laptop rusak. Sampai sekarang pun belum ada gantinya. Lalu, saya memutuskan untuk menulis kembali artikel resensi buku di bulan Desember. Itu berkat komputer di tempat kerja. Saya akan membuat resensi di kertas A5 dengan tulisan tangan usai membaca buku. Di kantor saya mengetik ulang di komputer dan memasukkan ke blog. Semoga ini tidak berlangsung lama sebab saya merasa banyak keterbatasan.

Memasuki tahun 2018, saya punya beberapa harapan. Saya akan bekerja keras mewujudkan itu sambil menikmati kehidupan sehari-hari. Berikut daftarnya:

1. Target goodread 50 buku
2. Rutin membuat resensi buku di blog
3. Mengikuti workshop atau seminar menulis
4. Membuat tulisan fiksi sendiri
5. Lebih banyak belajar menulis yang efektif
6. Menguatkan brand blog

Sebenarnya banyak hal yang ingin dilakukan di blog ini. Biar sebagian lainnya saya simpan dan wujudkan langsung. Dan saya mohon doanya agar di tahun 2018 ini saya mendapatkan banyak kebaikan.

Desember 29, 2017

[Buku] Twinwar - Dwipatra

Judul: Twinwar
Penulis: Dwipatra
Editor: Miranda Malonka
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Desember 2017
Tebal buku: 296 halaman
ISBN: 9786020376790
Harga: Rp69.000 

Dinobatkan sebagai juara 1 dalam kompetisi Gramedia Writing Project (GWP) Batch 3, novel teenlit ini bukan sekadar punya cerita ringan, tetapi berisi pesan moral yang secara khusus ditujukan untuk remaja. Mungkin salah satu pertimbangan itu yang membuat tim Gramedia meloloskan novel debut dari Dwipatra sebagai pemenang.

Bermula dari ingkar janji, Gara dan Hisa yang kembar identik tidak pernah akur sejak mereka masuk SMA sampai menjelang Ujian Nasional (UN). Keduanya tidak berhenti saling balas mengerjai. Puncak perseteruan mereka meledak ketika Hisa memeras Gara untuk bertukar peran saat ada ulangan matematika, dengan foto Gara yang sedang pacaran. Gara terpaksa menyetujui mengingat aturan ketat mamanya yang melarang mereka pacaran sebelum masuk perguruan tinggi. Namun, kesepakatan itu tidak berjalan semestinya hingga menimbulkan masalah baru yang lebih besar. Apakah Gara dan Hisa akan akur kembali?

Sebagai novel teenlit, Twinwar dipenuhi aneka peristiwa yang umum dialami remaja SMA seperti persoalan pacaran, perbedaan pendapat remaja dengan orang tua, kegiatan pendidikan di sekolah, persaingan eksistensi di sekolah antara senior-junior, dan percampuran egois-gengsi di kalangan remaja. Semua itu membuat kisah Gara dan Hisa lebih berwarna dan lebih seru sehingga pemicu untuk menyelesaikan sampai akhir cerita.

Si kembar sebagai tokoh utama digambarkan memiliki karakter yang bertentangan. Mahisa Aryaji (Hisa) bersifat cuek, urakan, usil, dan tidak begitu cerdas. Kebalikan dari Hisa, Hanggara Setiaji (Gara) lebih penurut, pendiam, rajin, dan pintar. Selain si kembar, beberapa karakter lain juga menghidupkan cerita. Ada Dinar (pacar Gara), Ollie (calon pacar Hisa), Johan dan Danu (teman Hisa), Miss Galuh (guru privat Ollie), Ali Akbari (?), Fasial (rival Hisa), Pak Syam (guru olah raga Hisa), dan orang tua Gara-Hisa.

Untuk mengimbangi cerita yang berlatar SMA, Dwipatra berhasil meracik diksi yang sederhana, mudah dan lancar dinikmati, dan penulis tepat sekali menabur candaan atau umpatan di beberapa bagian.

Melalui perseteruan Gara dan Hisa, kita akan diingatkan pentingnya rukun sesama saudara. Perselisihan tidak akan pernah memuaskan, justru membuat jiwa dan raga lelah dan tidak tenang. Perselisihan itu akan berangsur-angsur hilang jika kita mau jujur. Nilai kejujuran ini dibahas secara vokal beberapa kali oleh Dwipatra.

Sedikit catatan, ada pernyataan kontroversial di buku ini tepatnya halaman 188 yang akan memicu kesalahpahaman mengartikan. “Zaman Mama dulu, hamil di luar nikah adalah aib yang sangat besar.” Bukan zaman dulu saja, hari ini pun kasus hamil di luar nikah tetap jadi aib sangat besar. Kesimpulannya, si mama menyatakan jika hari ini (saat ia berbicara), kasus tersebut sudah jadi aib biasa. Kalimat membandingkan itu yang bisa menjadi akar perbedaan pendapat.

Berkat keseruan cerita yang membawa ingatan SMA dulu seperti mengajak bernostalgia, Twinwar pantas diganjar nilai 4/5.

Catatan:
  • Cowok yang nggak berani ngakuin rasa sukanya ke orang lain, itu namanya pengecut. (Hal. 175)
  • Kalau kita selalu melihat sisi baik dari sesuatu, kita akan merasakan bahagianya. (Hal. 247)