Desember 05, 2019

[Resensi] Stalker - Donna Widjajanto


Judul: Stalker
Penulis: Donna Widjajanto
Penyunting: Starin Sani & Dila Maretihaqsari
Perancang & ilustrasi sampul: Roid Mukhtar Malik Anggara
Ilustrasi isi & penata aksara: tsbb
Pemeriksa aksara: Septi Ws
Digitalisasi: Rahmat Tsani H.
Penerbit: Bentang Belia
Cetakan: I, Juni 2015
Tebal: vi + 210 hlm.
ISBN: 9786021383537

Sinopsis
Buku Stalker ini menceritakan gadis SMA bernama Khila yang suatu hari bertemu dengan pemuda bernama Leon ketika menunggus bus pulang. Khila, Leon, Ibu Silvia dan Ibu Iin memutuskan naik taksi yang bayarnya patungan. Karena Leon itu ganteng, Khila merasa tidak keberatan bertemu di hari selanjutnya. Apalagi saat itu Khila sedang tegang dengan Saka soal proyek komik sekolah, dan kehadiran Leon menjadi seperti hujan bagi Khila di tengah panasnya hubungan dia dengan Saka, Abel, dan Nadia.

Namun Khila tidak menyangka jika Leon punya sisi gelap: protektif, pemaksa, dan pejuang. Buah dari kurang kasih sayang membuat Leon menjadi sosok yang mengerikan. Khila sempat mengalami pelecehan seksual di dalam taksi oleh Leon. Dan sejak itu penilaian Khila berubah terhadap Leon. Dia berusaha menjauhinya. Sebaliknya, Leon tambah mengusiknya.

Resensi
Ketika memutuskan untuk mengeratkan ikat pinggang dari belanja buku baru (entah beneran bisa atau enggak), saya akhirnya bisa selesai membaca satu judul buku dalam satu hari. Pencapaian yang spesial karena saya akhir-akhir ini kesulitan membaca buku sampai tamat.

Buku itu adalah Stalker karya Mbak Donna, yang menjadi salah satu dari series DarkLit bikinan Penerbit Bentang. Dalam bayangan saya, series ini berkaitan dengan horor, tetapi ternyata untuk buku ini tidak demikian. Justru mengambil tema besar berupa sakit mental. Dan insyaallah untuk resensi judul lainnya akan segera menyusul.

Membaca buku ini membuka mata saya dalam merasakan perasaan korban pelecehan seksual. Membaca bagian ketika Khila mandi dan menggosok badannya untuk menghapus bekas tangan Leon, membuat saya terenyuh. Khila merasakan marah, kesal, tidak berdaya, kotor, malu, menjijikan, semua bercampur, dan dia enggak bisa ngomong ke siapa pun. Tekanan ini yang dirasakan korban pelecehan seksual. Makanya mereka baru bisa bercerita setelah beberapa lama setelah kejadian.

Peran keluarga atau orang terdekat menjadi sangat penting dalam proses pemulihan. Korban pasti mengalami trauma dan orang sekitarnya harus membantu korban untuk keluar dari traumanya. Bukan tidak mungkin jika korban dibiarkan meratapi nasibnya, mereka akan melakukan tindakan bodoh misal percobaan bunuh diri. Orang tua Khila, Saka, Abel, Nadia, dan Eri memberikan inspirasi bagus dalam menguatkan Khila. Poinnya adalah penting sekali membangun kembali kepercayaan diri korban untuk melanjutkan kehidupan dan mengingatkan korban jika dia enggak sendiri. Masih banyak sekali orang sekitar yang sayang dan peduli.

Di novel ini pembaca juga akan menemukan tema keluarga, tema persahabatan, dan tema roman. Kalau ditakar, buku ini punya lebih banyak tema persahabatan. Tema keluarga ditampilkan pada bagian cerita peran orang tua Khila dalam mendampingi anaknya yang menjadi korban penguntit. Untuk tema persahabatan yang menjadi tema besar ditampilkan dalam bagian cerita bagaimana sahabat-sahabat Khila merespon apa yang dialami Khila. Sedangkan tema roman muncul dari hubungan Saka dan Khila, dan perasaan tersembunyi dari Nadia dan Eri.

Sebelum tahun ajaran dimulai, Saka sudah menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia nembak Khila. Tapi, Saka takut persahabatan mereka malah rusak kalau mereka jadian. Atau, apesnya, mereka nantinya putus, terus musuhan. (hal.85)

Kemudian karakter-karakter tokoh di novel ini sudah pas dan berkesan. Khila ini sosok gadis muda yang judes, galak, rajin, egois, sekaligus rapuh. Saka tampil sebagai cowok muda yang tegas, lebih bijak, dan sabar. Nadia muncul sebagai gadis yang pemendam rasa, berusaha menyenangkan semua orang, sensitif, namun pengendali emosi yang baik. Eri dirancang sebagai cowok kstaria yang mau menerima kenyataan percintaannya tanpa harus membenci. Sedangkan untuk Abel yang tipe pemimpin, penengah, dan punya empati yang besar, menjadi bias di bayangan saya, dia itu cewek apa cowok sebenarnya.

Petik-Petik
Pesan yang saya terima adalah ketika punya masalah jangan pernah merasa sendirian. Terbukalah kepada keluarga dan orang terdekat. Biarkan mereka mengerti dan membantu. Karena kita hidup tidak sendirian. Keluarga dan orang terdekat pasti menyayangi kita dan tidak akan membiarkan kita kesulitan sendirian.

Terakhir & Rating
Buku Stalker ini sangat cocok dibaca oleh remaja untuk mengingatkan bahwa tidak semua orang dalam lingkaran pergaulan kita itu baik. Lalu, ketika kita tertimpa masalah, ayo selesaikan bersama keluarga dan orang terdekat, bukan meratapi, menutupi, dan merasa takut. Jangan lari tetapi ayo hadapi. Akhirnya buku stalker ini saya ganjar dengan rating 4 dari 5.

*****

  • Kesedihan yang dibagi akan berkurang, sama seperti kesenangan yang dibagi akan bertambah. Itu, kan, gunanya teman? (hal.70)
  • "...Sakitnya kalau benci sama orang itu lebih sakit daripada kalau kita dibenci orang." (hal.95)


November 09, 2019

Pengalaman Beli Buku di bukabuku.com

gambar diunduh dari behance.com / diedit author

Sebagai pembaca dan blogger buku, tentu saja setiap bulan pasti ada saja buku yang dibeli. Hitung-hitung sebagai amunisi, juga menjadi kebiasaan yang kalau tidak lakukan, merasa ada yang kurang. Saya sendiri kerap membeli buku secara offline, yaitu saat di kota saya digelar bazar buku murah, atau sedang ada promo beli buku dengan diskon sangat lumayan di toko buku.

Tetapi, kadang pilihan beli buku juga suka bergeser ke online. Pertimbangan utama tentu saja ketika diskon buku yang diberikan lebih besar sehingga harga buku baru bisa lebih murah dibandingkan harga asli di toko buku. 

Sepanjang saya beli buku secara online, saya pertama kali kenal toko buku online yaitu , bukabuku.com. Kalau melihat sejarah pembelian buku di toko buku ini, saya sudah melakukannya sejak tahun 2015. 


Tentang diskon yang gede menjadi alasan pertama kenapa saya akhirnya bisa kenalan dengan toko buku online ini. Bahkan dulu saya rajin berkunjung ke situs ini walau hanya sekadar melihat update ada buku baru apa yang terbit. Eit, tapi sampai sekarang pun masih suka mengintip informasi buku terbaru walaupun tidak serajin dulu.

Selain sebagai rujukan untuk membeli buku, saya pun ikut berafiliasi dengan toko buku ini.

Afiliasi tuh apaan?

Jadi begini, dalam postingan resensi buku, saya akan meletakkan link khusus yang diberikan bukabuku.com di judul buku. Sehingga ketika ada pembaca yang membeli buku dari link tersebut, saya mendapatkan fee. Kerja sama ini sudah jarang sekali saya lakukan. soalnya kegiatan membaca saya sedang menurun dan berimbas saya jarang menulis resensi di blog ini.

Tampilan blognya sangat membantu saya memilih buku. Sebab begitu masuk ke halaman utamanya, kita sudah dikasih tunjuk buku baru yang terbit, baik sudah benar-benar terbit atau statusnya masih preorder (PO).


Kalau sekadar mengintip, kita juga bisa memilih buku sesuai genre. Kalian tinggal pilih saja di menu genre, genre mana yang mau dilihat.

Sedangkan kalau ingin melihat promo menarik, cukup klik menu Promo Hari Ini.

Biar lebih jelas, saya sarankan langsung saja berkunjung ke website bukabuku.com. Siapa tahu kalian memasukan bukabuku.com ini sebagai salah satu toko buku online pilihan saat membeli buku.

Nah, ini artikel pertama saya mengenai pengalaman membeli buku di toko buku online. Ke depannya akan disusul oleh toko buku online lainnya. Nantikan saja ya!

Terakhir dari saya, selamat berbelanja buku!

Oktober 14, 2019

[Resensi] The Chronicle of a 35-Year-Old Woman - kincirmainan


Judul: The Chronicle of 35- Year-Old Woman
Penulis: kincirmainan
Penyunting: Yuke Ratna Permatasari
Penerbit: Penerbit Bhuana Sastra
Terbit: 2017
Tebal buku: 244 hlm.
ISBN: 9786023948512

Perjalanan cinta di ujung penantian.

Kikan, 35 tahun, seorang wanita karir yang molek dengan karakter work hard, play hard. Kikan masih melajang karena jera dengan hubungan asmaranya yang sudah-sudah, dan Andre "Si Blasteran Siluman Anjing Pemburu" adalah penyebabnya.

Bertahun-tahun Kikan tidak kunjung menemukan lelaki yang bisa memantapkannya. Sampai tiba-tiba juniornya di kantor nekat melamar. Dialah Pras, lelaki introver yang usianya delapan tahun lebih muda darinya. Tapi, bersama dengan Pras belum meyakinkannya seratus persen. Ditambah urusan dengan mantannya yang belum tuntas.

Kikan akhirnya harus memilih, mengakhiri penantiannya atau...

*****

Sinopsis di belakang novel ini sudah menggambarkan garis besar ceritanya. Kikan yang sudah berusia 35 tahun dilamar oleh rekan kerjanya yaitu Prasetyo, yang justru lebih muda delapan tahun. Dia galau dengan jawaban yang akan dipilihnya. Tiba-tiba saja dia bertemu dengan mantannya delapan tahun silam, Andreas.

Kehadiran Andreas benar-benar mengusik hubungan Kikan dan Pras. Selain hubungan Andreas dan Pras yang bersaudara tiri, ada masa lalu mereka yang sampai saat ini membuat keduanya berseteru. Kikan benar-benar dibuat gila oleh Pras yang susah ditebak dan oleh Andreas yang masih menyimpan perasaan masa lalu.
Siapakah yang akan dipilih oleh Kikan antara Pras dan Andreas? Jawabannya tentu saja lebih baik baca langsung novelnya.

*****

Novel ini dilabeli sebagai fiksi/novel dewasa yang tertera di sampul belakang. Alhasil, banyak ditemukan  bagian cerita yang menjelaskan secara detail soal hubungan seksual. Selain sebagai pemanis cerita, menurut saya adegan intim tokoh di novel ini untuk menunjang penggambaran karakter yang kuat dari masing-masing tokoh. Misalkan Andreas yang jelas-jelas penjahat kelamin disebutkan mahir soal medan ranjang. Sedangkan Prasetyo disebutkan sebagai karakter pria biasa yang berkacamata tapi punya sisi liar dalam hubungan seks. Kikan sendiri diceritakan sebagai perempuan matang yang memang butuh pemenuhan hasratnya. Tak heran pada beberapa bagian dia melakukan seks, diterangkan dia begitu menikmatinya.

Adegan mesum yang lumayan banyak membuat saya harus mewanti-wanti jika novel ini hanya boleh dibaca oleh pembaca di atas 20 tahun. Kenapa bukan 18 tahun? Sebab keutuhan cerita yang dipadukan dengan adegan seks pra-nikah perlu disikapi oleh pembaca yang bijak dan berwawasan.

Pembaca yang sudah cukup usianya bisa memandang jika adegan seks di novel ini, apa pun kondisinya, hanya sebatas tekstual semata, bukan untuk ditiru mentah. Sedikit bahaya jika novel ini dibaca oleh remaja. Ketakutannya adalah mereka meniru bulat-bulat adegan seks tanpa melihat jalan cerita besarnya.

*****

Saya menilai jika novel ini bagus sebab beberapa bagian ceritanya sejalan dengan pengalaman sendiri. Sehingga beberapa pesan ceritanya bisa sampai ke saya.

Ketika Kikan melakukan kesalahan besar kepada Pras, dia galau dengan banyak mempertimbangkan apa harus atau tidak harus memulai menghubungi Pras. Lalu Gita sebagai sahabat menekankan Kikan untuk memulai menghubungi Pras sebab jika terlambat bisa saja terjadi cerita lain. Menghubungi lebih dulu sama saja bentuk memperjuangkan.

Ini sejalan dengan pengalaman saya bolak-balik antara Cirebon - Subang untuk memperjuangkan dia lagi, menjelaskan masalahnya, dan mengatakan maaf. Sampai tiga kali saya melakukannya. Walau hasilnya tetap tidak bisa diperbaiki hubungan kami, saya merasa puas sebab saya sudah maksimal menjalankan bagian saya dalam memperbaiki hubungan yang saya rusak.

Bagian lain menceritakan soal bagaimana pentingnya melepaskan masa lalu ketika sedang menjalani hubungan yang baru. Kikan harus melepaskan bayangan Andreas yang pernah menorehkan luka yang dalam. Begitu juga Pras dan Andreas harus melepaskan masa lalu yang jadi pemicu mereka berseteru tak pernah akur.

Saya pun pernah terjebak masa lalu dengan seseorang karena kami berpisah dengan tidak baik-baik. Dia yang melakukannya dengan tidak baik-baik. Sehingga selama setahun ke depannya, saya kerap diserang rasa sakit di dada setiap mengingat dia. Pada puncaknya, setahun setelah kejadian perpisahan tidak baik-baik, saya memberanikan diri menemui dia untuk mengucapkan maaf karena saya tahu masalah perpisahan itu pasti dipicu oleh kesalahan saya juga.

Setelah itu saya bisa menjalani kehidupan dengan lebih adem. Saya juga bisa membuka hati untuk beberapa nama berikutnya walau sampai sekarang belum ada yang pas di hati.

*****

Novel ini punya tiga tokoh utama yaitu Kikan, Pras, dan Andreas. Mereka dibentuk dengan karakter yang kuat. Kikan merupakan tipe perempuan matang yang pekerja keras, menomorduakan asmara, punya kegalauan sendiri soal pencapaian hidup di usia kritis, dan masih kekanak-kanakan jika menyangkut perkara cinta.

Prasetyo itu sosok pria yang kalem, punya bakat di alat musik, hemat kata-kata, dan pemikir matang. Yang saya tidak sukai dari tokoh Pras ini adalah kebiasaan dia untuk menyampaikan hal penting harus nunggu waktu yang tepat. Saya tidak mengerti alasannya kenapa dia menunda-nunda menyampaikan cerita masa lalu yang sebenarnya kepada Kikan. Baru setelah konflik meruncing, Pras buka mulut.

Lalu Andreas ini tipe penjahat kelamin, bicaranya to the point, guyonannya keterlaluan, dan menyepelekan perempuan. Karakter Andreas sangat mengganggu dan menyebalkan.
Selain ketiga tokoh yang berkarakter kuat dan berwarna, novel ini tambah menarik oleh beberapa faktor lain: jalan ceritanya yang lincah dan kovernya menarik.

Jalan cerita novel ini dibangun dengan alur maju dan mundur. Alur maju dipakai penulis untuk memberikan progres konflik yang dialami si tokoh. Sedangkan alur mundur menjadi pembukaan tabir dari keadaan sekarang, yah semacam membuka alasan kenapa si tokoh begini dan begitu.

Penceritaan pun dilakukan oleh ketiga tokoh. Walau porsi Kikan lebih banyak dibandingkan bagian Pras atau Andreas. Teknik ini menyeimbangkan penilaian pembaca terhadap ketiga tokoh agar tidak dihakimi secara sepihak.

Sampul merah gelap dipadukan dengan Stiletto tampak tidak mengganggu mata. Justru menampilkan kesan dewasa. Pas banget dengan tokoh yang ada di dalamnya beserta konflik yang diurai menjalin alur cerita.

*****

Apakah novel ini menyuguhkan kisah roman saja?

Tidak. Sebab ada juga bagian cerita yang mengulas hubungan anak dan orang tua. Dipresentasikan oleh Andreas dan Pras kepada sosok Bunda. Sosok Bunda juga merupakan tokoh samping yang menarik. Cara pandang beliau kepada perseteruan kedua anaknya sangat elegan. Ia tidak memaksa agar keduanya akur. Tapi Bunda tahu kapan turun tangan untuk menengahi kedua anaknya.

Bagian lain mengulas soal hubungan persahabatan. Contohnya antara Gita dan Kikan. Kikan kerap menghabiskan waktu di rumah Gita. Merecoki Gita dengan keluhannya. Kadang Kikan malah ikut mengasuh anak Gita. Sampai menjelang konflik cerita berakhir, Gita punya peranan penting sebagai sahabat Kikan agar Kikan tidak semena-mena memutuskan sesuatu yang keliru. Fungsi sahabat demikian bukan? Mengingatkan sahabat ketika dia salah jalan.

*****

Akhirnya novel ini selesai dibaca dan saya pun merekomendasikan novel ini untuk pembaca dewasa yang ingin mendapatkan cerita rada panas dan memberikan pencerahan dari konflik yang disajikan.

Oktober 11, 2019

[Resensi] Table for Two - Dy Lunaly


Judul: Table for Two
Penulis: Dy Lunaly
Penyunting: Pratiwi Utami
Penerbit: Bentang Belia
Terbit: Cetakan pertama, Desember 2016
Tebal: iv + 260 hlm.
ISBN: 9786021383636

"Aku pernah janji untuk selalu ngelindungin kamu. Itu alasan kenapa aku nggak bisa berhenti bertinju, sekalipun kamu minta aku untuk berhenti. Aku cuma bisa ngelindungin kamu kalau aku kuat." (Hal. 112)

*****

Novel Table for Two ini merupakan bagian dari novel series Olahraga yang digagas penerbit Bentang Belia. Masih ada empat judul lainnya: Let's Break Up karya Anjani Fitriana, Other Half of Me karya Elsa Puspita, My Favorite Distruction karya Naala, dan Happiness is You karya Clara Canceriana.

Untuk Table for Two ini, olahraga yang menjadi tema utama adalah tinju. Membawa kisah Asha yang harus menjadi pendamping diet untuk sahabat masa kecilnya yang seorang petinju. Konflik muncul karena Asha dan Arga pernah berantem tujuh tahun lalu perkara soal Arga yang keukeuh menjalani cita-cita menjadi petinju profesional. Asha meminta Arga berhenti karena cerita menyedihkan meninggalnya sang papa sewaktu tanding tinju di Amerika.

Alur cerita dalam novel ini memang mengejutkan. Latar belakang kenapa Asha berantem dengan Arga, alasan Arga ketus kepada Asha, dan alasan Arga memilih jadi petinju, dibeberkan perlahan-lahan. Sehingga teknik menulis begini membuat saya penasaran dan terus membaca karena keseruan yang ditimbulkannya.

Saya bukan penyuka olahraga tinju jadi tidak terlalu tahu seluk-beluknya. Di sini pun saya mendapati kalau penulis tidak mendalami emosi orang-orang yang memilih penjadi petinju. Sekedar teknik dasar memang diselipkan, tapi kedalaman profesinya tidak sampai kepada saya selaku pembaca. Termasuk profesi mamanya Asha sebagai ahli gizi, tidak tereksplorasi secara mendalam. Menu diet yang disebutkan sekadar nama saja tanpa ada penjelasan lebih rinci tentang manfaat, takaran dan kombinasi menu atau bahan-bahannya.

Kesimpulan profesi yang saya tangkap berupa: untuk kelas dalam tinju ditentukan oleh berat badan makanya dibutuhkan diet untuk mencapai berat badan sesuai kelas. Istilah tinju paling sering disebut dalam novel ini adalah Sparring. Alat tinju yang disebutkan antara lain sarung tinju dan samsak. Sedangkan untuk dunia pergizian hanya informasi berupa penting sekali mengetahui kadar makanan yang kita makan baik berupa jumlah kalori atau ketersediaan unsur karbohidrat, protein dan sebagainya.

Dominasi hal lain yang ditulis penulis adalah mengenai rasa dan proses menerima kehilangan. Asha, mama, dan Om Bima menjadi orang-orang yang terbelenggu atas meninggalnya papanya Asha. Ketiga orang tadi memiliki alasan masing-masing memendam penyesalan atas kejadian itu. Namun penulis membawa cerita kehilangan ini menuju proses menerima kenyataan dengan cara yang bijaksana. Sebab ketiga pihak tadi tidak menjadikan penyesalan sebagai sesuatu yang menghalangi kehidupan ke depannya. Walaupun kesedihan kerap menimpa mereka dalam kondisi-kondisi tertentu terutama ketika mengingat hal-hal yang berkaitan dengan papanya Asha.

Unsur roman yang diracik penulis juga menarik. Terutama mengenai hati Asha akan berlabuh kemana, antara Arga atau Rama. Rama ini adalah pekerja di klinik mamanya Asha, yang perhatiannya melebihi sosok kakak. Penulis mengakhiri kebimbangan Asha dengan cukup baik. Asha memilih orang yang tepat setelah hatinya dilanda kebimbangan. Alasan kenapa Asha memilih pilihannya sangat saya terima. Kalau mau tau siapa yang dipilih Asha, langsung baca aja novelnya, hehe.

Beberapa hal dalam novel ini juga menjadi sorotan saya. Terutama karakter Arga yang temperamental, ketus, pendiam, suram, mendadak berubah ketika di bab menjelang akhir buku. Perubahannya terlalu cepat padahal Arga dan Asha habis bertengkar hebat. Apalagi di pertengkaran itu Arga menghina orang-orang yang Asha sayangi. Kalau saya di posisi Asha, bakal berat banget untuk memaafkan ucapan Arga yang mengandung hinaan, merendahkan dan tuduhan.

Penyelesaian konflik novel ini pun terasa terburu-buru. Ini lagi lagi berkaitan dengan mudahnya Arga dan Asha berdamai padahal konflik mereka terbilang runcing. Sehingga menjelang akhir buku, saya merasa kurang bisa menikmati alur cerita demi menutup kisah Arga dan Asha. Terutama adegan Asha yang berbincang dengan Arga setelah Arga siuman pasca pingsan. Mereka bisa bercanda sedemikan rupa padahal sebelumnya mereka berseteru hebat. Aneh saja buat logika saya.

Sebagai penutup, terlepas dari kekurangan (menurut saya) di atas, novel Table for Two ini nyaman dibaca. Kita akan disuguhi pelajaran bagaimana berdamai dengan masa lalu, dan bukan menjadikan masa lalu sebagai ganjalan untuk masa depan.

*****

Ternyata kenangan bahagia, tidak peduli selama apa pun tersimpan, selalu menghadirkan getar kerinduan ketika mengingatnya. (Hal. 7)

Ternyata benar, kenangan tidak tersimpan dalam ingatan atau hati. Tetapi, pada benda atau tempat kenangan itu terjadi. (Hal. 64)

...kuat itu bukan yang bisa mengalahkan lawan, melainkan seseorang yang bisa dihormati dan dihargai karena berhasil mengalahkan keinginan untuk balas dendam. (Hal. 143)

Agustus 31, 2019

[Resensi] Seumpama Matahari - Arafat Nur


Judul: Seumpama Matahari
Penulis: Arafat Nur
Editor: Yetti A. KA
Penerbit: DIVA Press
Terbit: Cetakan pertama, Mei 2017
Tebal buku: 144 hlm.
ISBN: 9786023914159

"Cinta Seumpama matahari, ia tidak pernah mengharapkan cahaya dari bumi. Tapi, ia selalu memberikan cahaya bagi bumi. Biarpun bumi tidak merasakan cahayanya. (Hal. 92)

*****

Novel Seumpama Matahari terbilang tidak tebal. Dan ukuran ini cukup untuk memancing daya baca saya yang sedang merosot. Ampuh memang hasilnya. Novel ini bisa saya selesaikan sekali duduk saja.

Buku berkover kuning ini menceritakan perjalanan seorang Asrul, pemuda Aceh, yang terlibat sebagai gerilyawan dalam operasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sampai dia memutuskan untuk keluar dari GAM demi menjadi warga yang normal.

Saya sedikit terusik ketika tahu jika tokoh dalam buku ini mengambil sudut pandang pemberontak. Dalih-dalih mereka memerangi tentara demi merdeka sangat bertentangan dengan pikiran saya yang masih mencintai tanah air dengan segala permasalahannya. Tetapi penulis berhasil memberikan jawaban untuk pertanyaan kenapa tokoh utamanya harus seorang gerilyawan.

Seorang Arafat Nur seperti ingin memberikan informasi kalau beberapa anggota gerilyawan sebenarnya tidak melulu memiliki ambisi memberontak. Asrul misalnya, dia ini memang punya dendam kepada tentara atas terbunuhnya Ayahnya yang ditembaki tentara sebagai pelampiasan karena gagal menangkap pemberontak. Karena ajakan kawannya dan hasutan peristiwa pembunuhan itu, Asrul akhirnya masuk ke pelatihan demi menjadi anggota gerilyawan.

Berjalannya cerita, Asrul akhirnya tiba di satu titik lelah dengan ambisi perangnya terhadap tentara. Dia menimbang perasaan ibunya, adiknya, bahkan calon istrinya. Muncullah kehendak hati untuk menjadi warga biasa saja yang menjalani kehidupan normal tanpa harus merasa dikejar untuk ditangkap tentara.

Hal menarik yang saya temukan dari membaca buku ini salah satunya adalah sejarah GAM itu sendiri. Penulis membuka selapis demi selapis mengenai GAM. Kapan GAM mulai kambuh. Apa latar belakang GAM muncul. Bahkan bagaimana senjata bisa dimiliki oleh GAM. Akhirnya setelah selesai membaca buku ini, saya paham eksistensi GAM yang dipicu oleh pemerintah yang tidak adil dalam membangun daerah di Aceh (sesuai novelnya).

Biarpun buku ini menceritakan bagian sejarah Indonesia, bobotnya tidak terlalu berat seperti buku teks di sekolahan. Mungkin karena penulis memasukkan unsur roman antara Asrul dan perempuan berambut hitam yang wangi. Justru roman ini paling melekat di benak saya begitu cerita ditamatkan.

Sepanjang mengikuti kisah roman Asrul, pikiran saya ikut liar berandai-andai. Jujur saja, saya sempat membayangkan si Asrul ini akan melakukan hal senonoh dengan perempuan yang ia sukai. Sebabnya, Asrul ini muda dan jiwanya masih meletup-letup. Kisah awal ketika dia bertemu dengan gadis itu, ada aura nakal yang muncul. Bahkan ketika Asrul serumah dengan perempuan itu, narasi mengesankan kalau Asrul hanya pemuda biasa yang punya birahi juga. Sayangnya latar Aceh menyelamatkan cerita jatuh ke kosnep liar yang saya bayangkan tadi. Tahu sendiri, Aceh sangat menjunjung tinggi nilai keislaman, bahkan itu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan di dalam novel ini menyinggung pandangan soal pacaran di kalangan warga Aceh yang dianggap sebagai perilaku yang tak pantas. Kalau sampai ketahuan warga sedang berduaan di tempat sepi, bisa diarak dan disidang. Cukup bikin menelan ludah bukan jika dikaitkan dengan kondisi saat ini?

Alasan saya akhirnya lancar jaya menamatkan buku ini, karena ditopang juga oleh diksi yang digunakan penulis. Arafat Nur yang beberapa kali mendapat apresiasi karyanya, tampaknya lebih nyaman menggunakan bahasa baku ketimbang bahasa gaul dalam buku ini. Bisa jadi pengaruh latar di Aceh dan bukan di Jakarta, sehingga bahasa yang dipakai adalah bahasa santun yang memang dipergunakan di sana.

Ternyata tetap saja ada yang kurang terhubung antara saya dan buku Seumpama Matahari ini. Terutama mengenai penokohan Asrul dan karakter-karakter lainnya. Saya kesulitan membayangkan fisik dan sifat Asrul ini. Tidak ada penjelasan spesifik Asrul ini mukanya seperti apa, kecuali rambutnya yang panjang. Sifatnya pun masih bias, dia ini seperti apa. Pekerja keras bukan. Pemberani sekali juga bukan walau tersebut sebagai gerilyawan. Humoris juga tidak. Dewasa dan bijak juga tidak ada narasi yang kesana. Saya tidak menemukan karakter menonjol dari Asrul yang bisa mengesankan saya, syukur-syukur bisa diteladani.

Melihat kekurangan (menurut saya) tadi itu, saya jadi ingin membaca buku Arafat Nur lainnya. Terlebih ingin membandingkan cara beliau bercerita dan bermain diksi. Apakah lebih memikat dari yang ini atau justru sama saja karena itu ciri beliau?

Sebagai penutup, novel ini enak, nyaman, dan sangat bagus dibaca karena muatan sejarahnya yang bisa menambah wawasan pembaca soal salah satu peristiwa besar yang pernah terjadi di tanah Aceh, yaitu Gerakan Aceh Merdeka.

Catatan: Nggak ada penanda buku/bookmark

*****

Padukanlah pikiran dan perasaanmu, niscaya kau mampu mengendalikan dunia ini. (Hal. 24)

"Nak, berusaha untuk mati itu lebih cepat berhasil daripada kau berusaha untuk terus hidup." (Hal. 55)

Kebahagiaan selalu saja diakhiri perpisahan. Sebagaimana kehidupan yang dipisahkan kematian. (Hal. 58)

Sejujur-jujurnya manusia tetap pernah berbohong. (Hal. 109)

Agustus 27, 2019

Curhat Saya Soal Menulis


[Intermeso] Akhirnya saya memberanikan diri untuk menulis uneg-uneg yang kelamaan diperam di dada soal menulis resensi. Aslinya saya sangat terbebani ketika harus menulis resensi buku yang selesai saya baca, harus bagus. Harus pakai aturan resensi yang ini itu, harus pakai kalimat efektif, harus memiliki nyawa, bahkan harus kerasa ilmiah. Persetan dengan itu semua sebab saya masih belajar menulis.

Pernah kapan waktu saya mau ikutan lomba resensi dan berujung nggak jadi ikut karena stres begitu harus membuat resensi. Sudah bacaan saya terbilang sastra berat, ditambah saya harus membuat resensi super menarik, super cerdas, supaya bisa jadi juara. Sayang seribu sayang, saya kalah sebelum perang. Saya mentok nggak bisa mikir harus menulis resensi mulai dari mana, harus bahas apaan, harus menyoroti dan mengkritisi bagian apanya dan harus menggunakan format yang bagaimana.

Efek besar dari perfeksionis ini saya jadi jarang memposting artikel resensi. Buah dari kebuntuan ketika membuat resensi yang harus memenuhi kriteria sempurna. Saya sudah membaca beberapa judul buku dan selalu berujung resensinya dihapus karena merasa jelek mulu, sampai dengan sekarang buku tadi belum bisa bersanding dengan resensinya. Akhirnya mangkrak dan terpaksa buku tadi masuk ke kategori buku yang harus dibaca ulang.

Sejak saat ini, saya memang harus sedikit berkompromi dengan proses menulis. Enggak perlu muluk-muluk harus bagus banget, yang penting bisa menyampaikan kesan setelah baca dengan versi saya yang sesungguhnya. Sedikit memberikan toleransi kepada tulisan saya supaya bisa jadi, tanpa memasang standar tinggi. Sebab standar tadi justru bisa balik membunuh kebiasaan dan latihan menulis.

Lalu apa kabar dengan belajar menulis yang baik? Saya memercayai kalau proses akan memoles kemampuan. Saya percaya pribahasa 'Alah bisa karena biasa'. Dengan banyak membaca dan menuliskan lagi, kemampuan membaca dan menulis akan terasah hingga runcing. Sambil berproses, saya akan memperbaiki sisi-sisi yang bisa diperbaiki.

Sebagai penutup, saya ingin menekankan jika akhirnya blog ini akan menjadi sangat personal menjembatani saya sebagai pembaca dengan buku yang saya baca. Kemudian resensi hanya menjadi bentuk klimaks dari hubungan saya dan buku. Ibarat pengantin baru di malam pertamanya, kedua pihak tidak perlu menuntut kesempurnaan suatu momen. Sebab masih ada banyak waktu untuk menambahkan kesan-kesan baik di malam-malam berikutnya.