Agustus 17, 2021

[Resensi] Seni Hidup Bersahaja - Shunmyo Masuno



Judul: Seni Hidup Bersahaja

Penulis: Shunmyo Masuno

Penerjemah: Susi Purwoko

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (GPU)

Terbit: September 2019, cetakan kedua

Tebal buku: xvi + 208 hlm.

ISBN: 9786020631967

***

    Dengan pelajaran yang jelas, praktis, dan mudah diterapkan, Shunmyo Masuno memanfaatkan kebijakan yang telah berusia berabad-abad untuk mengajari kita menyederhanakan hidup dan menemukan kebahagiaan di tengah pusaran dunia modern.

    Temukan caranya ... Bangun lima belas menit lebih dini di pagi hari dapat membuat kita merasa tidak terlalu sibuk. Menjejerkan sepatu dengan rapi setelah melepasnya dapat menertibkan pikiran kita. Mengatupkan kedua tangan dapat meredakan rasa tersakiti dan konflik. Meletakan sendok garpu setiap kali setelah menelan makanan dapat membantu kita merasa lebih bersyukur atas apa yang kita miliki. Menanam bunga dan menyaksikannya tumbuh dapat mengajari kita untuk menerima perubahan. Pergi ke luar untuk menyaksikan matahari terbenam bisa membuat setiap hari terasa seperti perayaan.

    Dengan melakukannya setiap hari, kita akan belajar menemukan kebahagiaan bukan dengan mencari pengalaman luar biasa, tetapi dengan membuat perubahan kecil dalam hidup kita serta membuka diri kita pada perasaan damai dan ketenangan batin yang baru.

***

    Dengan membaca 100 praktik harian yang disampaikan penulis dalam buku ini, cukup membuat saya terbuka dengan kebiasaan baru karena 100 praktik tersebut bukan sesuatu yang sukar dikerjakan. Sebenarnya mudah saja, asal kita ada kemauan untuk berubah. Dan hampir semua praktik yang disampaikan adalah kegiatan sehari-hari kita. Lalu yang membuatnya berbeda adalah bagaimana kita merenungkan dan bagaimana kita memaknai aktifitas tersebut.

100 praktik tadi dibagi menjadi empat bagian besar sebagai berikut; 

1) 30 cara untuk membugarkan "diri-saat-ini"

Pada bagian pertama ini, pembaca akan dikenalkan pada tahap mempersiapkan diri meliputi fisik dan pikiran. Makanya pada tahap awal ini kita akan diajak untuk mengosongkan pikiran, bernafas dengan lebih pelan-pelan, duduk meditasi, dan mencari kata-kata motivasi. Shunmyo seperti sedang membersihkan jiwa pembaca sebelum diisi oleh praktik lainnya. Ini tahap menyiapkan wadah agar menjadi bersih dulu.

2) 30 cara untuk mengilhami kepercayaan-diri dan keberanian untuk hidup

Tahap kedua ini, pendekatannya jadi lebih dalam kepada personal pembaca. Shunmyo mencoba menguatkan jiwa pembaca dari sisi jiwa dan pikiran dengan membuka pandangan kita pada keadaan yang tengah dihadapi saat ini, seperti: nikmatilah pekerjaan, mengamati perubahan, memelihara pikiran yang lentur, dan menunggu peluang yang tepat.

Shunmyo tidak mengajak kita merubah keadaan. Dia tidak menyuruh kita mengganti pekerjaan, tidak menyuruh kita mengganti aktifitas, justru dia membesarkan hati kita untuk menikmati apa yang sedang kita kerjakan dan yang kita punya. Dia hanya merubah cara kita memaknai dan menikmati semua itu.

3) 20 cara untuk meredakan kebingungan dan kecemasan

Langkah naik selanjutnya, Shunmyo menyelami pikiran pembaca yang terbentuk oleh lingkungan dan dia ingin membenarkan hal itu. Bingung dan cemas merupakan hal normal dialami manusia. Tapi akan lebih normal jika kadarnya benar. Dan Shunmyo menyoroti bagaimana memperbaiki hubungan kita dengan orang lain. Karena orang lain bagian dari lingkungan, dan lingkungan sangat besar pengaruhnya sebagai sumbu pemicu kebingungan dan kecemasan. 

Beberapa praktik yang disodorkan adalah melayani orang, jangan terpaku pada benar dan salah, jangan terperangkap dalam kata-kata, dan menghargai semua orang yang datang ke hadapan kita.

4) 20 cara untuk menjadikan setiap hari adalah hari yang terbaik

Tahap terakhir ini merupakan sentuhan pamungkas dimana kita diminta untuk menikmati setiap hari yang kita lalui. Karena ukuran paling pendek untuk merasakah kehidupan hanya diukur dalam satu hari. Makanya penting sekali untuk memiliki hari yang baik. Shunmyo menyarankan kepada kita untuk: bersyukur setiap hari meski hari paling biasa, menjadi positif, mengamati perubahan musim, dan membuat persiapan.

Obat untuk Pengembangan Diri

    Menurut saya adanya pembagian tersebut agar pembaca bisa memilih akan membaca bagian praktik mana dulu, yang pada saat ini paling dibutuhkan si pembaca. Sehingga pembaca tidak harus membaca berurutan dari 1 sampai 100 praktik itu. Ibaratnya kita sedang sakit, yang pertama dilakukan adalah menganalisa sakit apa, sehingga kita bisa menentukan obat apa yang perlu diminum.

    Selain itu, setiap praktik dinarasikan dengan singkat. Shunmyo bukan orang yang bertele-tele sehingga penjelasannya ringkas dan spesifik.

    Tujuan dari buku ini adalah mengembangkan karakter seseorang menjadi lebih sederhana, lebih tertib, dan lebih bahagia, dengan cara-cara yang sederhana sejalan dengan ajaran Zen

***

Catatan:

  • Mendapatkan banyak barang bukanlah kebebasan. Yang penting adalah mendapatkan pola pikir untuk menggunakan benda-benda dengan bebas. (Hal. 29)
  • Kesederhanaan adalah soal menyingkirkan apa yang tidak bermanfaat... Pelit adalah hidup bersama benda-benda yang bernilai rendah. (Hal. 31)
  • Bekerja keraslah untuk menyelesaikan apa yang perlu diselesaikan hari ini. Maka keberuntungan akan datang. (Hal. 61)
  • Pikiran yang lentur akan menerima perubahan dan tidak melekat pada masa lalu. (Hal. 95)
  • Hidup secara sadar dimulai dengan tidur dini, bangun dini. (Hal. 97)
  • Ketika bekerja keras dengan kepala, hati, dan tubuh, kita pasti tumbuh lebih kuat. (Hal. 111)
  • Persis karena dikhianati oleh harapan seperti itulah kita mengalami kesusahan. (Hal. 127)
  • Dalam soal menyampaikan niat kita yang sesungguhnya, tindakan akan bicara lebih keras daripada kata-kata. (Hal. 132)
  • ... dengan berfokus pada kebaikan orang lain, kita bisa menciptakan relasi yang indah. (Hal. 137)
  • Membangun satu relasi yang penuh makna akan lebih memperkaya dibandingkan mengumpulkan seratus koneksi yang tidak penting. (Hal. 139)
  • Tetapi komentar negatif harus dilupakan dengan cepat. (Hal. 149)
  • Ketegasan pengambilan keputusan adalah soal memiliki kemampuan untuk memercayai diri sendiri. (Hal. 155)



Juli 06, 2021

[Resensi] Interval - Diasya Kurnia


Judul: Interval

Penulis: Diasya Kurnia

Penyunting: Ainini

Terbit: 2016, cetakan pertama

Penerbit: Ping!

Tebal: 176 hlm.

ISBN: 9786023910595

***

Bagaimanapun, aku hanya gadis SMA. Selayaknya, saat ini aku sedang merasakan asmara. Tapi, justru seakan semua awan mendung dikirim dalam masa kehidupan yang katanya penuh warna ini.

Persaingan menjadi ketua ekskul tari di sekolah menyeret statusku sebagai penari jathil keliling yang dianggap rendah. Rey, satu-satunya sahabatku, tiba-tiba menjauh. Dan seakan itu belum cukup, Kakek mengusir Carl, guru baru yang menjadi idola di sekolah, hanya karena dia orang asing.

Tidak sekali aku berpikir bahwa tentu hidupku akan berbeda jika orang tuaku bersedia tetap di sisi. Tampaknya, waktu tidak selalu menjadi obat mujarab bagi luka. Bahkan setelah jeda yang lama, beberapa dari masa lalu masih bergelayut. Termasuk pertanyaan kepada orang tuaku: "Kenapa kalian memilih pergi?"

Tapi semakin dekat dengah tujuan, aku bimbang. Benarkah aku ingin tahu jawaban mereka?

***

Interval, kalo diliat di KBBI artinya, "Masa antara dua kejadian yang bertalian." Judul buku ini seperti mengisyaratkan kalau ada satu masa yang menghubungkan dua periode. Saya sendiri menyimpulkan seperti alur berikut: sebab --> proses --> akibat. Interval ini ada di posisi proses.

Interval menceritakan tentang Kinanti, remaja SMA, yang yatim piatu, dan untuk membantu kakeknya dalam hal ekonomi, dia menjalani sebagai penari jathil. Penari daerah yang kerap dipandang sebelah mata, apalagi perempuan pelakonnya kadang mendapat sebutan yang tak pantas karena biasanya perempuan yang jadi penari, mudah dijamah dan dilecehkan. Kinan menjalani masa SMA yang penuh pilu, beruntungnya dia punya kawan yang peduli, namanya Rei.

Namun, perjalanan Kinanti dewasa berujung ke Amerika demi menemui seseorang yang ia suka, sekaligus mencari keluarganya. Penuh drama dan penuh kejadian tragis. Kinanti seperti dihujani banyak ketidakberuntungan.

Tema dalam novel Interval ini merupakan campuran antara roman dan keluarga. Roman yang diusung bukan roman yang mulus dan romantis, tapi tragis. Saat SMA, dia menyukai teman sekelas yang justru sudah jadi pacar bintang sekolah. Yang terjadi pada saat itu justru menempatkan Kinanti menjadi bulan-bulanan Ratih.

Begitu dewasa, di sela pencariannya, Kinan menemukan sosok yang ia sukai pada masa sekolah. Sayangnya, justru orang tersebut sudah punya pasangan dan tak lama lagi akan menikah. Begitu waktu move on berlangsung, dia bertemu sosok pria baru yang merupakan orang yang dekat dengan keluarganya, tapi fakta kalau sosok ini punya orientasi beda, Kinanti merasakan patah hati. Novel ini terbilang berani membawakan tema orientasi seksual yang beragam. Meski sebagai bumbu penyedap cerita, dinamisnya roman yang ditampilkan akan bikin pembaca penasaran dengan ujung kisah cinta Kinanti.

Tema keluarga sangat terasa dari narasi soal kakeknya dan perjalanan Kinanti ke Amerika demi menemui keluarganya. Proses mencari ini yang kemudian menjadi sarana penulis membawa pembaca menikmati latar Amerika. Apa Kinanti bisa menemukan keluarganya? Mending baca saja novelnya, yang pasti, "Apa yang kita mau, belum tentu dikabulkan Tuhan."

Dipikir-pikir, di tengah buku, saya sempat kaget karena mendapati perpindahan rentang waktu yang signifikan. Diceritakan Kinanti remaja ini sedang berjuang membentuk namanya sebagai penari jathil yang tidak seperti orang-orang bayangkan, namun mendadak cerita bergulir enam tahun kemudian ketika Kinanti sudah kerja dan sedang dalam perjalanan ke New York. Disitulah saya menyayangkan kenapa begitu cepat proses penyelesaian konflik Kinanti di masa SMA.

Dan tambah ke belakang, cerita Kinanti ini dibuat sangat kilat. Termasuk kejadian ketika dia kehilangan sahabatnya yang bunuh diri. Tidak ada narasai jelas, tiba-tiba Kinanti sudah bersedih dan merasa ikut bertanggung jawab atas keputusan sahabatnya itu untuk bunuh diri.

Terlepas dari catatan saya di atas, novel Interval ini enak dinikmati kok. Dan mungkin ceritanya akan lebih tergali kalau saja penulis atau penerbit membuat novel ini lebih tebal, sehingga ceritanya lebih kaya.

Sekian ulasan saya, terakhir, selamat membaca buku!


Juni 17, 2021

[Resensi] Sumur - Eka Kurniawan

 


Judul: Sumur

Penulis: Eka Kurniawan

Editor: Mirna Yulistianti

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Juni 2021

Tebal: 51 hlm.

ISBN: 9786020653242

Buku Sumur ini merupakan buku baru dari penulis Eka Kurniawan, tetapi bukan tulisan barunya, melainkan cerita pendek yang sempat diterbitkan di luar negeri duluan. Saat tahu ada buku ini, tidak ada pikiran mau beli karena saya memang belum pernah baca buku karya Eka Kurniawan lainnya, jadi belum ada niatan untuk baca juga. Namun satu waktu, di akun shopee saya ada saldo sisa, setelah mencari banyak buku yang seharga saldo tersebut, pilihan saya akhirnya membeli buku ini.

Lebih kaget lagi, ketika saya terima paketnya, anjir, ternyata bukunya tipis banget dan kecil. Sedikit terhibur pas beli buku ini karena saya dapat gelang tangan dengan inisial nama panggilan saya "A-D-N". Buku ini ternyata punya sampulnya juga, mungkin tujuannya agar lebih terlindungi karena ketika buku ini disimpan dengan buku lainnya, malah nggak kelihatan keberadaannya.


Buku Sumur ini berkisah tentang perjalanan Toyib dan Siti yang didera getirnya kehidupan dengan latar kampung yang kering. Nasib pilu datang karena kampung mereka kering akibat kemarau panjang. Lalu berimbas pada perseteruan rebutan air yang berujung meninggalnya ayah Siti ditangan ayah Toyib. Hubungan masa kecil mereka yang akrab berubah drastis menjadi dingin. 

Lalu nasib keduanya diuji kembali ketika Siti pergi ke kota dan Toyib harus menanggung rindu yang tidak pernah tersampaikan. Niatan ayahnya yang mengajak Toyib ke kota supaya punya kesempatan bertemu Siti, justru membuat ayahnya hanyut di sungai dan meregang nyawa. 

Hingga ujung cerita, kegetiran hubungan Toyib dan Siti tidak menemukan ujung yang seperti dongeng. Takdir mereka memang tidak untuk bersatu, apalagi memadu kasih.

Mungkin karena berupa cerita pendek, kepiluan yang ingin disampaikan penulis tidak tergali dengan sempurna sampai tahap pembaca merasa hanyut. Ujungnya, pembaca hanya diajak menyelami alur ceritanya saja. Tapi tenang, di sela kisahnya, saya justru terbawa emosi ketika ayah Toyib memutuskan untuk pergi ke kota demi membuat harapan anaknya berbinar lagi. Pilihan sebelum kepergian mereka terasa berat tapi si ayah tetap mementingkan harapan anaknya. Saya menyimpulkan jika yang diputuskan ayahnya Toyib merupakan pengorbanan sekaligus tanggung jawabnya kepada anak laki-lakinya.

Gaya bahasa yang saya temukan di sini, sudah sangat pas. Tidak sukar dipahami, justru jelas sekali, sehingga menyelesaikan buku ini tidak butuh sampai satu jam. Biasanya kalau gaya tulisannya 'nyastra' bakal bikin saya lama selesai bacanya karena butuh ekstra perhatian untuk memahami maksud narasinya. Selain itu, POV di buku ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, menyebutkan secara bebas Toyib dan Siti.

Selain tentang keluarga, buku ini juga mengedepankan sisi roman yang tragis antara Toyib dan Siti. Mereka punya rasa tapi karena masa lalu yang buruk, mereka memilih memendam sampai akhirnya tali hubung keduanya tidak bisa menyambung walau sekadar tetanggaan atau kawan masa kecil. Lalu, pesan lainnya, buku ini menyampaikan tentang, "Alangkah baiknya jika memberi dan meminta maaf menjadi hal enteng dilakukan." Andai saja Toyib dan Siti menerima masa lalunya, dan mau saling memberi dan meminta maaf, rasa-rasanya kisah mereka di sumur itu tidak menjadi begitu kelam, justru harusnya lebih romantis dan harmonis.

Saya juga ingin berikan pujian untuk kover buku cerpennya yang menurut saya sangat mempresentasikan cerita di dalamnya. Memusatkan pada setting cerita; sumur, dan warna orange - kuning yang menunjukkan musim kemarau.

Sekian ulasan saya, terakhir, selamat membaca buku!


Juni 10, 2021

[Resensi] Ibu Susu - Rio Johan


Judul
: Ibu Susu
Penulis: Rio Johan
Penyunting: Christina M. Udiani
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Terbit: Oktober 2017, cetakan pertama
Tebal: vi + 202 hlm.
ISBN: 9786024246921

Masih ingat betul, saya beli buku Ibu Susu ini ketika acara Gramedia Book Fair di gramedia.com. Waktu itu banyak buku yang diobral murah, buku ini saja hanya dibandrol seharga 6K, dari harga aslinya 60K.

Lantas nggak ada alasan lain selain murah tadi yang bikin saya memilih buku ini, sebab Rio Johan ini entah penulis yang mana, karena saya belum pernah membaca buku karya beliau yang lainnya. Dan kali ini, lewat buku Ibu Susu, saya akhirnya bisa berkenalan dengan beliau.

Pertama yang ingin saya singgung, perkara sampul bukunya yang didominasi warna hitam. Ada gambar seseorang yang tengkurap di ranjang, di lantainya terdapat burung yang terkapar, gelas yang tergeletak, dan seekor ular yang mendesis. Lalu ada juga matahari yang meneteskan sesuatu, yang di dalamnya terdapat seorang bayi. Dugaan saya, tetesan tadi adalah curahan air susu, sedangkan si bayi merupakan salah satu tokoh yang ada di ceritanya. Sedangkan seseorang yang tengkurap itu bisa jadi perempuan Iksa.

Bicara soal sampul, harus saya akui desainnya tidak cukup menarik untuk bikin seseorang yang melihat buku ini akhirnya pengen beli. Ditambah judul bukunya yang pendek, dan kata "Ibu Susu" membuat buku ini tidak istimewa. Mungkin karena kategori sastra, penerbit memang tidak menata buku ini semenggugah akan disasarkan kepada pembaca milenial. Seolah penerbit memang mengkhususkan diri menerbitkan buku untuk pembaca paruh baya.

Ibu Susu mengisahkan seorang Firaun Theb yang didatangi mimpi perkara air susu yang melimpah. Menurutnya mimpi ini ada kaitannya dengan mukjizat kesembuhan calon firaun masa depan, Pangeran Sem, yang tengah sakit. Dan setelah beberapa kali penafsiran dilakukan oleh orang-orang kompeten di kerajaan, akhirnya dilakukan pencarian ibu susu yang ciri-cirinya sesuai penafsiran. Dan pada akhirnya memang ditemukan ibu susu yang memiliki ciri-ciri sama sesuai perhitungan dan ramalan juru wazir. Dilemanya ketika sosok ibu susu yang dicari dan sudah ditemukan, justru memiliki penyakit serius, borokan sekujur badan hingga luka-lukanya kadang meletus, menimbulkan banjir nanah.

Keteguhan hati Firaun Theb demi melihat Pangeran Sem sembuh, dia mengabaikan banyak hal dan menoleransi banyak sisi. Titahnya agar Perempuan Iksa  atau ibu susu mengabdikan diri dengan memberikan air susunya untuk Pangeran Sem, justru harus dibayar dengan tiga permintaan. Firaun Theb tidak berkutik, dan dengan kelapangan hati dia pun mengabulkan dua permintaan Perempuan Iksa. Namun pada permintaan ketiga, Firaun Theb justru menolak dan membuat keputusan yang membuatnya terpuruk.

Bahasa sastra memang kental sekali dalam buku ini. Pun narasinya penuh dengan diksi metafora, hiperbola, yang perlu waktu untuk memahaminya. Ditambah karena settingnya di zaman firaun, istilah-istilah mengenai lokasi, ritual, nama biji-bijian, nama dewa-dewi, sangat asing sekali. Jadi memang otak kita tidak perlu bekerja keras untuk membuat kita merasa ikut di dalam ceritanya. Saya sendiri lebih berprinsip menikmati alur ceritanya.



Cerita Firaun Theb ini memperlihatkan banyak sisi. Ada bagian yang menunjukkan kepada pembaca tentang situasi pemerintahan, dalam buku ini berbentuk kerajaan, yang diisi oleh orang-orang yang baik atau yang buruk tabiatnya. Lalu ada juga bagian yang menggambarkan hubungan orang tua dan anak yang diliputi cinta. Ada sosok ibu yang merasa merana menyaksikan anaknya sakit tidak berdaya, ada juga sosok ayah yang akan melakukan apa pun demi kebaikan anaknya.

Selain itu ada juga bagian yang memperlihatkan bagian romansa. Ini tergambar jelas ketika Meth, istri Firaun Theb, merasa cemburu ketika permintaan kedua Perempuan Iksa harus dijalankan demi tujuan anaknya sembuh. Kegundahan hati perempuan tampak jelas yang dirasakan Meth, dilema memilih rasa cemburunya atau kesembuhan Pangeran Sem.

Kesan saya setelah membaca buku ini; tidak terhubung dengan ceritanya, tidak mendapatkan nilai dari pesan moralnya, tapi ceritanya dapat diterima dan dapat dinikmati. Ibaratnya, saya seperti menikmati dongeng.

 Sekian tulisan saya, terakhir, selamat membaca buku!

Januari 31, 2021

Rekap Blog Buku Januari 2021


    Terima kasih dan selamat tinggal Januari. Ada banyak momen yang terjadi di bulan ini. Juga merupakan bulan yang menyenangkan untuk membaca buku kembali. 

    Kalau melihat menu Koleksi Buku dan Koleksi E-Buku, saya kadang merasa sedih karena masih banyak buku yang belum terbaca. Tetapi hasrat untuk membeli buku, suka tidak bisa dikendalikan dan selalu saja ada buku yang dibeli setiap bulannya.

    Berikut adalah buku-buku yang masuk ke koleksi saya untuk bulan Januari ini:

1. Reclaim Your Heart - Yasmin Mogahed (e-book, Rp20.698)



2. Muhammad #2: Sang Pengeja Hujan - Tasaro GK (e-book, Rp58.800)


    Kedua buku ini saya beli di google play book karena merasa pulsa axis saya masih banyak. Dan saat melihat-lihat koleksi buku di akun saya, ketemu dua judul ini yang memang sudah pengen saya beli. Buku Reclaim Your Heart sudah beberapa kali masuk keranjang di shopee, tapi selalu kalau beli oleh judul-judul lain. Alasannya karena buku ini non-fiksi, ada keraguan apakah saya bisa membaca dan memahami isinya, atau justru hanya akan jadi koleksi lainnya seperti buku-buku non-fiksi yang sudah-sudah.

    Sedangkan buku series Muhammad #2, memang merupakan series yang niatnya akan saya lengkapi di tahun ini. Buku dari penulis favorit yang tidak akan saya lewatkan kesempatan untuk menggenapi koleksi saya.

3. Interval - Diasya Kurnia (Rp15.000)



4. Basirah - Yetti A. KA (Rp25.000)



5. Sawerigading Datang dari Laut - Faisal Oddang (Rp30.000)



6. Dari Hari Ke Hari - Mahbub Djunaidi (Rp30.000)



    Keempat buku ini saya beli tepat di akhir bulan Januari 2021 karena teringat ada acara Bazar Sejuta Buku Cirebon yang digelar di Gedung Wanita. Sepulang mencari angin sore di Setu Patok, saya menyempatkan diri mampir untuk melihat-lihat. 



    Acara bazar ini sangat sepi. Dan buku koleksi yang digelar juga sangat sedikit. Sepengelihatan saya selama di sana, saya menemukan buku novel dari penerbit Ping!, Mojok, Diva press, Circa, dan penerbit minor lainnya. Untuk buku mizan sangat sedikit. Dan saya rasanya tidak menemukan buku dari penerbit mayor; Gramedia.

    Selain membeli buku, bulan Januari ini juga saya berhasil membaca beberapa buku berikut ini:

1. My Other Half - Cyndi Dianing Ratri

2. Matinya Burung-Burung - Ronny Agustinus

3. Happily Ever After - Winna Efendi

4. Reclaim Your Heart - Yasmin Mogahed

5. Kami (Bukan) Sarjana Kertas - J. S. Khairen

6. Seperti Bianglala, Pada Sebuah Akhir Kita Memulai - Galih Hidayatullah

    Jumlah yang menurut saya sangat banyak untuk permulaan setelah sekian bulan saya kepayahan menyelesaikan satu judul buku saja. Dan semoga saja semangat membaca ini akan terus terpelihara sehingga saya bisa membabat semua tumpukan buku yang menunggu untuk dibaca, lalu diresensi.

    Sekian update Rekap Blog Buku Januari 2021. Oya, artikel serupa akan saya buat setiap akhir bulan sebagai bentuk laporan bulanan kegiatan membaca dan ngeblog. Terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca.



Januari 27, 2021

[EBook] Seperti Bianglala, Pada Sebuah Akhir Kita Memulai - Galih Hidayatullah

 


Judul: Seperti Bianglala, Pada Sebuah Akhir Kita Memulai

Penulis: Galih Hidayatullah

Penyunting: Fariz Kelima

Penerbit: PT Bukune Kreatif Cipta

Terbit: Mei 2017, cetakan kedua

Tebal: vi + 178 hlm.

ISBN: 9786022202172


    Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada penulis dan penerbit ebook ini, karena sudah menyediakan secara gratis ketika awal pandemi kemarin, sebagai teman bacaan ketika pemerintah menggalakan #StayAtHome. Setidaknya dengan gratis, saya bisa menikmati beberapa buku tanpa merogoh kocek.

    Buku dengan tajuk Seperti Bianglala, Pada Sebuah Akhir Kita Memulai, bukan novel. Melainkan kumpulan tulisan pendek yang dikumpulkan penulis dengan tema roman. Kalau kita menilik sampulnya, pantasnya ini adalah novel, begitu juga dugaan saya di awal. Namun setelah membaca bab 'thanks to' yang merupakan pendahuluannya, di situ dikatakan tulisan ini merupakan catatan-catatan saja.

    Tema roman merupakan intisari semua tulisan di buku ini. Kita akan menemukan tulisan-tulisan pendek mengenai banyak keadaan manusia ketika dihadapkan dengan cinta. Ada catatan ketika jatuh cinta, bahkan jatuh cinta yang diam-diam. Ada juga catatan tentang putus cinta, ketika kehilangan. Ada pula catatan tentang rindu. 

    Tulisan yang dibuat penulis tersaji dalam banyak format. Ada yang seperti cerita pendek, ada juga yang seperti sajak, bahkan ada juga yang seperti tulisan jurnal pribadi. Bahkan tulisan per judulnya dibuat dengan unik, karena satu dengan yang lainnya dibuat berbeda, baik font, maupun susunan paragrafnya. Tidak lupa juga di buku ini kita akan melihat ilustrasi-ilustrasi sederhana yang menegaskan pada setiap tulisannya.

    Namun, secara pribadi saya kurang menyukai buku ini. Pertama, tulisannya memiliki tema yang diulang-ulang. Misalnya tulisan mengenai kerinduan, kita akan menemukan lebih dari dua judul yang membahas persoalan kerinduan ini. Atau tulisan mengenai patah hati karena kehilangan kekasih dibuat penulis menjadi beberapa judul. Yang kemudian membuat saya nggak nyaman adalah saya menemukan diksi yang diulang-ulang juga. Misalnya kata 'menganaksungai' yang dipakai penulis sebanyak lima kali untuk menggambarkan 'menangis'. Diksi yang diulang-ulang begini secara otomatis membuat saya merasa membaca kalimat template yang dibuat penulis untuk memperindah tulisannya. 

    Kedua, saya tidak menemukan pendalaman terhadap rasa dari masing-masing tulisan. Ketika berbicara rindu, saya tidak menemukan rasa rindu yang bisa menulari saya. Atau ketika berbicara jatuh cinta, saya tidak ikut merasakan jatuh cinta tadi. Atau ketika berbicara patah hati, saya tidak merasakan simpati. Dugaan saya karena tulisan di sini dibuat pendek, seperti jurnal, bahkan seperti sajak, sehingga rasa tulisan ini begitu personal untuk penulisnya, tetapi bukan untuk dirasakan pembaca. Singkatnya, rasa tulisan di sini belum menggali perasaan pembaca sampai dalam.

    Kita pernah mempertahankan sesuatu- cinta, impian, pekerjaan, atau apa saja yang menurut kita kebahagiaan- hingga menafikan luka, rasa sakit, kepedihan, dan kegetiran yang bertubi-tubi menghadang. Hanya karena begitu kukuh meyakini bahwa itu adalah kebahagiaan yang paling benar. Tak peduli lagi pada kebaikan diri sendiri (hal. 17).

    Paragraf di atas merupakan yang mengena di saya karena mengingatkan sekaligus memperingatkan untuk mengejar kebahagiaan tanpa harus mengorbankan kebahagiaan. Yang terlintas pertama kali saat membaca kalimat di atas adalah soal pekerjaan saya. Beberapa bulan ini saya mati-matian mengerjakan pekerjaan yang mendadak banyak, dan kerap saya lupa makan, kurang tidur, bahkan ketika sakit pun saya mencoba untuk tidak merasakannya. Hanya karena keyakinan semua usaha akan berbuah manis. Padahal bisa saja ketika manis itu datang, kondisi kita justru yang ambruk. Buah manis tadi tidak akan bisa dinikmati ketika kita sakit. Kesimpulannya, pengendalian diri, berjuang keras sah-sah saja, tapi bukan berarti menyakiti diri sendiri. Harus tahu batasan diri, karena kita semua masih manusia biasa.

    Setelah membaca buku ini, saya mengakui kalau membuat tulisan pribadi seperti jurnal harian akan sangat membantu menstabilkan emosi. Pun ketika kita berurusan soal cinta-cintaan, yang kapan waktu mood seperti dimain-mainkan, membuat tulisan perlu dilakukan untuk menumpahkan perasaan. Apalagi untuk sebagian pria yang susah mengungkapkan emosi rapuh, sedih, bahkan terpuruk, ke orang lain, dan lebih memilih menelan semuanya, menuliskan perasaan akan membantu mengeluarkan uneg-uneg yang terpendam.

    Sekian tulisan saya, terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku.


[Buku selanjutnya dari penulis Galih Hidayatullah yang akan dibaca adalah buku Untukmu Di Hari Kemarin]