Judul: Wesel Pos
Penulis: Ratih Kumala
Editor: Mirna Yulistianti
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Juni 2018, cetakan pertama
Tebal buku: vi + 100 hlm.
ISBN: 9786020387116
***
Ada dua jenis orang yang hidup di Jakarta. Pertama adalah orang sakti, mereka adalah orang yang akan bertahan hidup sebab 'ilmu' mereka sudah tinggi. Kedua adalah orang sakit, yang akan mati ditelan kekalahan di kota ini. Elisa datang ke Jakarta membawaku, sebab di atas tubuhku tertulis alamat kakaknya yang selama ini mengiriminya uang melalui aku, si Wesel Pos. Apakah dia akan menjadi orang sakti atau orang sakit? Sungguh tipis perbedaan menjadi sakti dan sakit.
***
Ratih Kumala sebagai penulis mulai saya ketahui sejak gaung novel Tabula Rasa beredar di media sosial karena waktu itu buku ini akan difilmkan. Film Tabula Rasa akhirnya rilis pada bulan September 2014.
Beruntungnya saya berjodoh dengan karya ratih Kumala ketika toko buku online gramedia.com mengobral beberapa buku menarik dengan harga sangat terjangkau. Dan saat itu saya membeli beberapa judul, dan di antaranya ada dua buku karya Ratih Kumala: Wesel Pos dan Larutan Senja, kedua buku ini saya beli hanya dengan harga masing-masing 5.800,-, murah banget cuy!. Anggap saja ini memang sudah saatnya saya berkenalan dengan karya Ratih Kumala.
Kali ini saya mau mengulas novel tipis berjudul Wesel Pos. Novel ini menceritakan sudut pandang wesel pos yang dibawa ke Jakarta oleh tokoh Elisa untuk mencari kakak laki-lakinya yang sudah dua tahun tidak pernah pulang tapi masih mengirimkan uang lewat wesel, sekaligus untuk mengabarkan kepada kakaknya kalau Ibu sudah meninggal.
Dari Purwodadi ke Jakarta jadi perjalanan yang menarik bagi Elisa. Namun, Jakarta ternyata tidak seramah yang dibayangkan. Begitu keras kehidupan di kota metropolitan ini. Baru saja tiba di Jakarta, Elisa harus kerampokan oleh ibu-ibu penjual kopi. Berkat bantuan polisi dan alamat kantor yang tertera di wesel, Elisa bertemu Fahri, salah satu teman Iqbal, kakaknya. Dari Fahri, kehidupan Elisa bergulir warna-warni dan tersingkap pula beberapa hal yang selama ini Elisa tidak ketahui.
Jakarta Bukan Kota yang Ramah
Latar cerita novel ini di Jakarta. Gambaran Jakarta yang keras begitu tampak dalam beberapa kejadian yang dialami tokoh-tokohnya. Misal, Elisa yang kerampokan, Fahri yang menjadi kurir barang haram, Mas Memet yang jadi banci dan menurut rumornya harus sampai jual diri, bahkan pemandangan kehidupan orang-orang yang tinggal di rumah susun.
Jakarta yang keras juga menjadi berkumpulnya banyak orang dengan ragam tabiat, baik-buruk. Dijelaskan di novel ini jika di Jakarta kita tidak bisa asal menilai seseorang.
"Kamu lugu atau naif? Penjahat itu enggak melulu harus laki-laki, enggak melulu harus preman. Ibu-ibu penjahat juga banyak." (hal. 11).
Saya pertama kali menginjak Jakarta, tepatnya di Jakarta Utara, serasa sedang melakukan touring. Padahal saat itu saya ke Jakarta untuk bekerja menjaga toko sembako. Karena ada kejadian tidak mengenakan, saya kabur dan berpetualang dari Jakarta Utara ke Jakarta Pusat, lanjut ke Tanggerang. Selama perjalanan ini, saya beruntung karena mendapatkan banyak bantuan. Walau saat itu saya harus menginap di salah satu musolah di Pasar Baru. Tapi perjalanan kabur di Jakarta menjadi pengalaman yang seru banget.
Inkonsisten Soal Sudut Pandang Wesel Pos
Sudut pandang dalam novel ini diambil dari benda mati, Wesel Pos. Di awal-awal cerita, penggunaan sudut pandang ini memang efektif. Tapi semakin bergulirnya cerita, sudut pandang ini semakin tidak konsisten. Akibat dari kejadian yang dialami oleh tokoh utamanya, Elisa dan Fahri, berkembang jauh sehingga peran sudut pandang wesel ini tidak fungsi. Misalnya, ketika Fahri datang ke markas untuk mengambil barang dan menyatakan ingin berhenti jadi kurir, jadi penceritaan berubah menjadi sudut pandang orang ketiga. Karena memang harus diakui jika wesel pos ini tidak melekat terus dengan tokoh-tokohnya, sehingga banyak sekali bagian cerita yang berubah sudut pandang.
Menurut saya, jika sudut pandang ini dirubah ke sudut pandang orang ketiga pun tidak masalah. Karena pengaruh sudut pandang wesel pos tidak berarti signifikan. Pemilihan ini seolah untuk membuat novelnya lebih unik dan berbeda.
Rasa Film Televisi (FTV)
Alur novel Wesel Pos ini maju dan bergulir lumayan cepat. Berkat gaya bercerita yang lugas dan jelas, saya bisa menikmati alurnya seolah sedang menonton film televisi atau FTV. Ratih Kumala berhasil membuka semua pertanyaan soal perjalanan Elisa di Jakarta dengan pelan-pelan dan rapi. Pembaca terus dibuat penasaran dengan apa yang akan di alami Elisa. Misal, apa yang akan terjadi setelah Elisa kerampokan, bagaimana dia menemukan kakaknya yang menurut informasi Fahri sudah 2 tahun tidak bekerja di perusahaan itu, dan bagaimana nasib Elisa selanjutnya setelah pencariannya ke Jakarta tidak sesuai harapan.
Ending novel Wesel Pos ini cukup terbuka lebar jika akan dibuat sekuel. Kehidupan Elisa akan lebih pelik setelah kejadian tragis yang menimpa Fahri. Dan tentu saja kisah roman Elisa ini berpotensi besar dijadikan novel sekuel, kira-kira Elisa akan bertemu siapa lagi selama di Jakarta ini.
Nah, jika kita perhatikan di belakang kover novel ini, ada kode rate 18+ yang tentu saja artinya novel ini memiliki muatan alur cerita yang pantasnya dibaca oleh pembaca dewasa. Dalam benak saya, rate tersebut menyiratkan adegan vulgar semata. Ketahuan nih kalo sempit banget pemahaman saya, taunya ada adegan indehoy aja.
Tetapi di novel ini justru adegan vulgarnya minim sekali. Langsung mengelus dada, menghela nafas, yah huft! Rupanya yang dimaksud muatan dewasa dalam novel ini lebih ke konteks kehidupan banci dan transaksi narkoba. Dua hal ini jelas belum pantas dibaca oleh pembaca remaja atau anak-anak, sehingga peringatan rate ini sudah tepat.
Apakah novel Wesel Pos karya Ratih Kumala ini menarik?
Secara keseluruhan saya puas sekali bisa membaca cerita Elisa dan Fahri di novel ini. Tidak perlu pusing memahami ceritanya karena alurnya bergulir lancar bak aliran air di sungai pada musim hujan. Eh, tapi kan suka ada banjir bandang? Iya, di novel ini juga ada bagian yang bikin tegang, pas penyergapan Fahri itu, anggap aja itu banjir bandangnya, hehe.
Jika mesti saya nilai, saya akan kasih 4 bintang dari 5 bintang. Perkenalan yang manis bukan? Makanya novel selanjutnya yang akan saya baca pun masih karya Ratih Kumala, sebuah kumpulan cerita berjudul Larutan Senja. Nantikan ya resensinya.
Sekian ulasan dari saya, terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!
wow seperti biasa! sukaaak banget cara mereview kamu din...ntah kenapa...soalnya aku seringnya membaca pereview buku tuh cewek...nah sekarang ketika yang mereview cowok itu rasanya dari awal hingga akhir kamu mempreteli buku ini tuh bahasanya enak... setengah resmi (kalau kebanyakan review cewek kan lebih banyak santainya dalam arti kata gaul, ga semua sih tapi pereview buku yang dah kubaca) tapi yang ini tetep asyik diikuti tau tau uda nyampe terakhir aja ahaha
BalasHapusuntuk bukunya, aku baru engeh ternyata Ratih Kumala yang bikij tabula rasa...aih...ini mah aku cuma tahu filmnya soalnya tentang masak masak kan jadi aku suka...hehe..sekarang dia berkisah tentang perjalanan elisa mencari kakaknya yang ga balik balik tapi rutin kirim wesel
sudut pandang yang dipake meski inkonsisten dari akunya si wesel berubah jadi kata ganti orang ketiga bisa dimaklumi sih ya mengingat semakin alur berkembang ke belakang maka ga memungkinkan kan buat si wesel mengintil semua aktivitas tokoh tokohnya hihi
aku terus terang penasaran banget dengan pahit manis si Elisa setelah nyampe di jakarta ini, cara kamu menjabarkan sekilas part partnya asli bikin penasaran
aku pengen tahu pas ia kerampokan ibu ibu penjual kopi, kok serem kayaknya ya...memang sih kalau orang baru datang ke jakarta belum ngeh tipikal orang orangnya seperti apa rawan kena kasus kejahatan...terutama jadi korban...ya seperti si Elisa ini. Terus ternyata fahri teman abangnya malah kurir narkoba..hwa..lalu temannya yang transgender dan juga kehidupan keras di lingkungan rusun ia tinggal. Bener bener 'jakarta' banget
oiya...yang pas kamu cerita nginep di masjid pasar baru itu yang deket pasarnya dong...yang banyak lampion lampion..bukan masjid istiqlal yang di lapangan banteng kan...deket katedral..?
tapi balik lagi ke review bukunya, sekali lagi aku sangat menikmatinya. Beneran jadi pengen baca. Beruntung kamu dapat diskon segitu murahnya ga nyampe ceban hihihi
Wah Kak Nita terima kasih pujiannya, ini sedang pemanasan lagi soalnya kemarin-kemarin hiatusnya lama.
HapusBetul Kak Ratih Kumala ini yang nulis buku Tabula Rasa dan sudah difilmkan. Kalo nggak salah, filmnya membawa kebudayaan Padang deh. Saya malah belum nonton filmnya.
Latar Jakartanya dapet banget, plus karakter warga Jakartanya juga tergambarkan betapa ragam banget. Misal, ada polisi yang baik banget mau nganterin Elisa ke kantor tempat kakaknya bekerja. Tapi ada juga Ibu-Ibu samping petak rusun yang khas banget, suka kepo sama suka nyindir tetangga.
Kalo soal mesjid yg saya maksud, sy kurang hafal. Tapi waktu itu saya memang jalan dari Istiqlal, Ke Lapangan Banteng, terus ke Pasar Baru. yang saya ingat, mesjid itu menghadap ke sungai. Pengalaman seru banget waktu itu, enggak takut sama sekali :)
Bentar….
BalasHapusIni beli dua buku, harganya cuma dua belas ribu dan dapet kembalian?
Dan buku original?
Hhhh
Gue enggak pernah kefikiran buat nyari buku diskonan gini. Anjir, nyesek juga, beli buku bisa semurah ini ternyata.
Tulisan ini memakai sudut pandang wesel? Sumpah, baru tau uy. Emang pengetahuan seputar nulis masih cetek ya, makanya enggak heran klo reaksi gue kayak begini.
Untung nya, gue masih lumayan paham wesel itu apa. Karena dulu pas di pondok, ya nge gunain itu soalnya. Wehehe
Tapi, emang selalu seru, menurut gue ya, cerita tentang orang yang mengadu nasib di Jakarta macam Elisa gini. Pengen beli, tapi masih banyak buku yang masih belum dibaca uy
Iye, harganya segitu, muurah bener bukan? Dan jaminan original, sebab belinya di gramedia.com
HapusDuh, saya juga sama, bahan bacaannya masih kalah jauh dibandingkan yang lain. Makanya ini lagi menggiatkan kembali, karena tau manfaat baca itu banyak.
Seumur-umur malah belum pernah pake wesel pos. Bentuknya aja nggak tau. Ditambah kekinian, pakainya transfer mulu.
Puasa beli buku dulu selama bisa. Kalo saya suka khilaf mulu, makanya nambah terus timbunannya. Hehe
Ini buku-buku lawas yang diobral gitu, ya? Saya pernah dapat semurah-murahnya memang harga 5.000 (kemungkinan besar ini ongkos produksi), novelnya Abdullah Harahap. Kalau bukunya Ratih yang kumcer Bastian dan Jamur Ajaib seharga 10.000.
BalasHapusBaru tahu malah Ratih punya karya ini, karena setahu saya dia lebih dikenal sebagai penulis Tabula Rasa atau Gadis Kretek.
Sebetulnya unsur 18+ memang mengarahnya ke adegan indehoi gitu kan. Tapi ya tak jarang bagian itunya sedikit, lebih ke hal-hal lain yang juga tabu. Perkara novel kayak FTV sejujurnya bukan masalah buat saya, sih, selama diceritakan dengan enak dan masuk akal. Yang jadi masalah tuh FTV yang kita tahu bentuknya sering jelek. Haha. Coba kalau kiblatnya ke FTV yang bagus, pasti embel-embel ceritanya kayak FTV ini beda lagi nilainya.
Bener Yog, ini obralan gitu, tapi kalo terbitan 2018 terbilang lama nggak ya? Hehe
HapusRatih Kumala memang nempel banget di buku Tabula Rasa dan Gadis Kretek. Sayangnya, dua buku itu sama-sama belum baca dan belum punya cah.
Berharap banyak adegan indehoy, nanti bukunya malah nggak leluasa beredar ya, haha. Kadang gitu, FTV pasti berlabelnya "nggak bagus" karena emang suka aneh-aneh. Untungnya novel Wesel Pos ini merujuk ke FTV yang bagus, alurnya ngalir, dialognya lugas. Dan nggak banyak drama-drama, kalo di buku mungkin pengulangan situasi, di buku ini tuh nggak ada yang kayak begituan. Seru lah pokoknya.