[Resensi] Lebih Senyap Dari Bisikan - Andina Dwifatma

gambar diunduh dari gramedia.com, diedit

Judul: Lebih Senyap Dari Bisikan

Penulis: Andina Dwifatma

Editor: Teguh Afandi

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Juni 2021, cetakan pertama

Tebal: viii + 155 hlm.

ISBN: 9786020654201

***

Di akhirat nanti, kalau aku ketemu Tuhan, akan kutanyakan kenapa Dia bikin tubuh perempuan seperti makanan kaleng. Kubayangkan di bawah pusar atau pantatku ada tulisan: Best Before: Mei 2026.

Amara dan Baron dikepung pertanyaan mengapa belum punya anak. Aneka usaha untuk hamil nyatanya telah mereka lakukan, dari yang normal hingga ekstrem. Namun, persoalan tidak selesai tatkala Amara hamil dan melahirkan. Ada yang tidak ditulis di buku panduan menjadi orangtua, ada yang tidak pernah disampaikan di utas Program Hamil.

Lebih Senyap dari Bisikan merupakan novel kedua Andina Dwifatma, setelah Semusim, dan Semusim Lagi (2013)—pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta. Novel ini membuka mata pembaca dengan kisah Amara dan pahit manis kehidupan perempuan dalam menemukan apa yang berharga.

***

Delapan tahun menikah dan belum punya anak membuat pasangan Amara dan Baron hampir putus asa. Segala cara sudah dilakukan tapi belum kunjung membuahkan hasil. Tetapi perjuangan keras dan panjang mereka akhirnya berujung indah. Amara bisa memiliki anak. Apakah ini tujuan akhirnya? Bukan, masalah datang lagi ketika anak sudah lahir, yaitu mengurus anak, yang ternyata membuat keharmonisan pasangan ini diuji untuk saling membantu dan memahami.

Ketika kehidupan mereka sedang ditata setelah ada anak, musibah datang menimpa Baron yang harus mengalami rugi besar di pasar uang. Mobil ditarik dealer, rumah disita bank. Tidak ada yang tersisa. Kesabaran benar-benar menguji mereka. Apa yang salah sebenarnya?

Novel Lebih Senyap Dari Bisikan memang tipis tapi di dalamnya mengandung cerita rumah tangga yang padat. Novel dewasa ini meringkas beberapa masalah yang timbul ketika berumah tangga dan saya rasa novel ini harus dibaca oleh siapa pun agar tahu kalau berumah tangga bukan soal 'aku cinta kamu' dan 'kamu cinta aku', tetapi ada tanggung jawab besar yang harus dipikul.

Setelah membaca keseluruhan novel ini, saya akan menyimpulkan kalau akar masalah yang dihadapi Amara dan Baron dimulai dari pernikahan mereka yang tidak direstui dan juga beda agama. Saya meyakini jika restu orang tua mutlak akan membawa kita kemana. Amara menikah dengan Baron tanpa restu ibunya. Sehingga sejauh apa pun Amara berusaha, berlari, dan menganggap segalanya baik-baik saja, satu ujung mereka akan menemukan masalah besar. Restu orang tua adalah kunci hidup baik-baik saja.

Banyak sekali pengalaman yang membuktikan hal ini. Saya pun mengalaminya ketika saya memaksakan diri kuliah, padahal saat itu orang tua lebih setuju saya kerja, dan hasilnya saya harus putus di tengah jalan ketika kuliah. Lain cerita dengan sepupu yang meminta izin menikahi perempuan yang berada di luar kota, dan sang ibu hanya menjawab dengan pertanyaan, "Apa nggak kejauhan?" Dan tak lama kemudian pernikahan itu batal. Makanya saya masih menganggap restu orang tua itu sakral.

Pernikahan beda agama menjadi isu dari beberapa yang dibahas dalam novel ini. Saya yang beragama islam tentu berpendapat tidak setuju dengan pernikahan beda agama. Aspek sah dan tidak sah pernikahan bagi saya sangat penting. Dan jika tetap dilangsungkan pernikahan beda agama, maka secara agama hubungan suami istri pasangan ini masih kategori zina. Pernikahan mereka tidak diakui agama. Jika melanggar ajaran agama akan berakibat buruk, dan jika menuruti ajaran agama akan membawa berkah, sederhananya prinsip di agama islam begini.

Bagian proses melahirkan yang diceritakan begitu menyakitkan digambarkan penulis dengan detail dan jelas. Menunggu pembukaan sampai benar-benar si bayi lolos keluar merupakan pertaruhan hidup dan mati. Bahkan pada proses itu si calon ibu akan mengalami kesadaran pada perasaan dan kehidupan yang selama ini diabaikan. Amara baru merasa perlu minta maaf kepada ibunya ketika dia merasakan sakit yang begitu tak tertahankan, padahal selama ini dia selalu punya pembenaran atas keputusannya.

Pada bukaan keenam, aku ingin menelepon Mami dan meminta maaf karena telah menjadi anak durhaka. Bukaan ketujuh, aku menjerit-jerit minta operasi. Bukaan kedelapan, kupikir aku akan mati. Bukaan kesembilan. aku sangat ingin berak, seperti sudah sembelit selama dua belas purnama
(hal. 52).

Masalah lain muncul ketika anak itu lahir. Selain soal uang, mengurus anak juga harus dipertimbangkan dengan baik. Amara harus mengurus anak tanpa pendampingan ibunya. Padahal sebaik-baik guru dalam mengurus anak adalah orang tua, sebab mereka sudah lebih dulu menguji hal itu. Pada bagian ketika anak Amara digigit tikus dan dengan histeris dia membawa ke rumah sakit, itu puncak keputusasaan betapa lelah mengurus anak kecil. Dan puncaknya ketika Amara hampir berhasil membekap anaknya dengan bantal merupakan bukti bahwa support system keluarga sangat penting bagi ibu yang baru punya anak. Mereka butuh bantuan, mereka butuh nasihat, mereka butuh petunjuk soal bagaimana mengurus anak karena pelajaran ini nggak pernah ada di sekolah maupun kuliah. Saya hampir menangis membaca bagian ini karena saya ingat cerita pengalaman rekan kerja yang baru menjadi ibu, mempunyai anak adalah tanggung jawab baru yang segalanya butuh kesabaran tinggi.

Di tengah huru-hara soal mengurus anak, Baron tertimpa musibah kerugian uang ratusan juta akibat perdagangan uang yang dia lakukan tidak sesuai ekspektasi. Mobil ditarik dealer, rumah disita bank, tidak ada yang tersisa di tangan mereka. Baron semakin kacau dan berujung jadi pengangguran. Kebangkrutan ini merubah kondisi hubungan suami istri. Sampai-sampai Baron khilaf menampar Amara. Amara lebih bingung karena harus menghadapi suaminya yang sudah kehilangan gairah hidup dan harus mengurus anak mereka yang masih bayi. 

Keputusan akhir yang dipilih Amara sekaligus keputusan penulis mengakhiri kisahnya memang melegakan tapi tidak cukup memuaskan saya. Sebab di sisi Baron saya tidak mendapatkan gambaran apa yang terjadi setelah insiden bayi mereka yang digigit tikus dan atas kepulangan Amara kepada ibunya.

Penyampaian penulis untuk kisah Amara dan Baron berumah tangga sangat baik dengan pemilihan diksi yang lugas dan jelas. Alurnya mengalir dengan lembut dan topik masalah rumah tangga dijelaskan dengan baik sehingga saya sebagai pembaca bisa ikut merasakan apa yang pasangan ini rasakan.

Karakter yang muncul pun begitu hidup. Amara digambarkan sebagai perempuan cerdas yang manut suami. Walaupun dia dididik dengan disiplin oleh ibunya, Amara justru tumbuh menjadi perempuan yang mengenal demokrasi dan diskusi. Sehingga permasalahan yang muncul dalam rumah tangganya mampu dia pikirkan dengan matang. Baron sebagai suami memiliki karakter yang tanggung jawab. Walaupun ketika musibah besar melanda, dia memilih untuk meratapi, bukan berdiskusi dengan baik bersama si istri. 

Yang masih mengganjal buat saya adalah sosok Yani, pengasuh bayi Amara, yang kemudian pada beberapa bagian seperti ada narasi mencurigakan. Saya menangkap hubungan gelap antara Baron dan Yani. Tapi ini hanya dugaan sebab tidak ada narasi yang jelas dan lantang yang mengungkapkan hal ini.

Usai membaca novel Lebih Senyap Dari Bisikan ini saya mendapatkan intisari mengenai bagaimana kita harus memiliki adab untuk meminta restu orang tua dalam segala aspek kehidupan. Sebab saya menganggap restu orang tua adalah hal sakral untuk membuka jalan hidup kita. Dan keputusan akhir yang disajikan penulis mengenai konsep pulang, memang pilihan yang tepat. Seburuk apa pun kita saat ini, orang tua adalah tempat pulang paling baik. Mereka akan membukakan pintu selebar-lebarnya dan menjamu kita sebaik-baiknya meski kita pernah mengajak mereka perang di masa lalu.

Untuk novel rumah tangga yang penuh konflik internal ini saya memberikan nilai 5 bintang dari 5 bintang.

Sekian ulasan dari saya, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!

----------------------------------------------------------

MONDAY BOOK REVIEW

Oya, karena hari ini bertepatan dengan hari Senin, jadi ulasan buku kali ini saya masukkan sebagai postingan Monday Book Review yang digagas oleh Kak Ira di blognya: irabooklover.com

Label ini berlangsung dengan harapan akan bisa mempertemukan dan menggiatkan kembali blogger-blogger buku sehingga bisa lebih produktif dalam mengelola blognya ataupun dalam kegiatan membaca buku.

Bagi teman-teman yang mau ikut serta, silakan langsung berkunjung ke postingan Kak Ira yang membahas soal label Monday Book Review ini dengan mengklik poster di bawah ini:

3 komentar:

  1. Samaaaaaa, saya juga yakin bahwa restu orang tua itu sakral. Pesan moral dari buku ini bagus sekali ya. Jadi penasaran kepingin baca. Semoga berjodoh juga dengan bukunya.

    Dan terima kasih sudah ikutan Monday Book Review ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Kak Ira, pokoknya saya manut sama omongan ibu sebab beliau mah menggunakannya bukan perasaan lagi, tapi restu, yang pasti didengar Allah. Seucap aja salah, pasti kejadian.

      Sama-sama Kak Ira :)

      Hapus
  2. Kayaknya waktu itu ke gramed terus ga nemu buku ini, sedih

    BalasHapus