Agustus 24, 2021

[Resensi] Wesel Pos - Ratih Kumala



Judul: Wesel Pos

Penulis: Ratih Kumala

Editor: Mirna Yulistianti

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Juni 2018, cetakan pertama

Tebal buku: vi + 100 hlm.

ISBN: 9786020387116

***

Ada dua jenis orang yang hidup di Jakarta. Pertama adalah orang sakti, mereka adalah orang yang akan bertahan hidup sebab 'ilmu' mereka sudah tinggi. Kedua adalah orang sakit, yang akan mati ditelan kekalahan di kota ini. Elisa datang ke Jakarta membawaku, sebab di atas tubuhku tertulis alamat kakaknya yang selama ini mengiriminya uang melalui aku, si Wesel Pos. Apakah dia akan menjadi orang sakti atau orang sakit? Sungguh tipis perbedaan menjadi sakti dan sakit.

***

Ratih Kumala sebagai penulis mulai saya ketahui sejak gaung novel Tabula Rasa beredar di media sosial karena waktu itu buku ini akan difilmkan. Film Tabula Rasa akhirnya rilis pada bulan September 2014. 

Beruntungnya saya berjodoh dengan karya ratih Kumala ketika toko buku online gramedia.com mengobral beberapa buku menarik dengan harga sangat terjangkau. Dan saat itu saya membeli beberapa judul, dan di antaranya ada dua buku karya Ratih Kumala: Wesel Pos dan Larutan Senja, kedua buku ini saya beli hanya dengan harga masing-masing 5.800,-, murah banget cuy!. Anggap saja ini memang sudah saatnya saya berkenalan dengan karya Ratih Kumala.

Kali ini saya mau mengulas novel tipis berjudul Wesel Pos. Novel ini menceritakan sudut pandang wesel pos yang dibawa ke Jakarta oleh tokoh Elisa untuk mencari kakak laki-lakinya yang sudah dua tahun tidak pernah pulang tapi masih mengirimkan uang lewat wesel, sekaligus untuk mengabarkan kepada kakaknya kalau Ibu sudah meninggal.

Dari Purwodadi ke Jakarta jadi perjalanan yang menarik bagi Elisa. Namun, Jakarta ternyata tidak seramah yang dibayangkan. Begitu keras kehidupan di kota metropolitan ini. Baru saja tiba di Jakarta, Elisa harus kerampokan oleh ibu-ibu penjual kopi. Berkat bantuan polisi dan alamat kantor yang tertera di wesel, Elisa bertemu Fahri, salah satu teman Iqbal, kakaknya. Dari Fahri, kehidupan Elisa bergulir warna-warni dan tersingkap pula beberapa hal yang selama ini Elisa tidak ketahui.

Jakarta Bukan Kota yang Ramah

Latar cerita novel ini di Jakarta. Gambaran Jakarta yang keras begitu tampak dalam beberapa kejadian yang dialami tokoh-tokohnya. Misal, Elisa yang kerampokan, Fahri yang menjadi kurir barang haram, Mas Memet yang jadi banci dan menurut rumornya harus sampai jual diri, bahkan pemandangan kehidupan orang-orang yang tinggal di rumah susun. 

Jakarta yang keras juga menjadi berkumpulnya banyak orang dengan ragam tabiat, baik-buruk. Dijelaskan di novel ini jika di Jakarta kita tidak bisa asal menilai seseorang.

"Kamu lugu atau naif? Penjahat itu enggak melulu harus laki-laki, enggak melulu harus preman. Ibu-ibu penjahat juga banyak." (hal. 11).

Saya pertama kali menginjak Jakarta, tepatnya di Jakarta Utara, serasa sedang melakukan touring. Padahal saat itu saya ke Jakarta untuk bekerja menjaga toko sembako. Karena ada kejadian tidak mengenakan, saya kabur dan berpetualang dari Jakarta Utara ke Jakarta Pusat, lanjut ke Tanggerang. Selama perjalanan ini, saya beruntung karena mendapatkan banyak bantuan. Walau saat itu saya harus menginap di salah satu musolah di Pasar Baru. Tapi perjalanan kabur di Jakarta menjadi pengalaman yang seru banget.

Inkonsisten Soal Sudut Pandang Wesel Pos

Sudut pandang dalam novel ini diambil dari benda mati, Wesel Pos. Di awal-awal cerita, penggunaan sudut pandang ini memang efektif. Tapi semakin bergulirnya cerita, sudut pandang ini semakin tidak konsisten. Akibat dari kejadian yang dialami oleh tokoh utamanya, Elisa dan Fahri, berkembang jauh sehingga peran sudut pandang wesel ini tidak fungsi. Misalnya, ketika Fahri datang ke markas untuk mengambil barang dan menyatakan ingin berhenti jadi kurir, jadi penceritaan berubah menjadi sudut pandang orang ketiga. Karena memang harus diakui jika wesel pos ini tidak melekat terus dengan tokoh-tokohnya, sehingga banyak sekali bagian cerita yang berubah sudut pandang.

Menurut saya, jika sudut pandang ini dirubah ke sudut pandang orang ketiga pun tidak masalah. Karena pengaruh sudut pandang wesel pos tidak berarti signifikan. Pemilihan ini seolah untuk membuat novelnya lebih unik dan berbeda.

Rasa Film Televisi (FTV)

Alur novel Wesel Pos ini maju dan bergulir lumayan cepat. Berkat gaya bercerita yang lugas dan jelas, saya bisa menikmati alurnya seolah sedang menonton film televisi atau FTV. Ratih Kumala berhasil membuka semua pertanyaan soal perjalanan Elisa di Jakarta dengan pelan-pelan dan rapi. Pembaca terus dibuat penasaran dengan apa yang akan di alami Elisa. Misal, apa yang akan terjadi setelah Elisa kerampokan, bagaimana dia menemukan kakaknya yang menurut informasi Fahri sudah 2 tahun tidak bekerja di perusahaan itu, dan bagaimana nasib Elisa selanjutnya setelah pencariannya ke Jakarta tidak sesuai harapan.

Ending novel Wesel Pos ini cukup terbuka lebar jika akan dibuat sekuel. Kehidupan Elisa akan lebih pelik setelah kejadian tragis yang menimpa Fahri. Dan tentu saja kisah roman Elisa ini berpotensi besar dijadikan novel sekuel, kira-kira Elisa akan bertemu siapa lagi selama di Jakarta ini.

Nah, jika kita perhatikan di belakang kover novel ini, ada kode rate 18+ yang tentu saja artinya novel ini memiliki muatan alur cerita yang pantasnya dibaca oleh pembaca dewasa. Dalam benak saya, rate tersebut menyiratkan adegan vulgar semata. Ketahuan nih kalo sempit banget pemahaman saya, taunya ada adegan indehoy aja.

Tetapi di novel ini justru adegan vulgarnya minim sekali. Langsung mengelus dada, menghela nafas, yah huft! Rupanya yang dimaksud muatan dewasa dalam novel ini lebih ke konteks kehidupan banci dan transaksi narkoba. Dua hal ini jelas belum pantas dibaca oleh pembaca remaja atau anak-anak, sehingga peringatan rate ini sudah tepat.

Apakah novel Wesel Pos karya Ratih Kumala ini menarik?

Secara keseluruhan saya puas sekali bisa membaca cerita Elisa dan Fahri di novel ini. Tidak perlu pusing memahami ceritanya karena alurnya bergulir lancar bak aliran air di sungai pada musim hujan. Eh, tapi kan suka ada banjir bandang? Iya, di novel ini juga ada bagian yang bikin tegang, pas penyergapan Fahri itu, anggap aja itu banjir bandangnya, hehe.

Jika mesti saya nilai, saya akan kasih 4 bintang dari 5 bintang. Perkenalan yang manis bukan? Makanya novel selanjutnya yang akan saya baca pun masih karya Ratih Kumala, sebuah kumpulan cerita berjudul Larutan Senja. Nantikan ya resensinya. 

Sekian ulasan dari saya, terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!

Agustus 22, 2021

[Resensi] The Hen Who Dreamed She Could Fly - Hwang Sun-Mi



Judul: The Hen Who Dreamed She Could Fly

Penulis: Hwang Sun-Mi

Penerjemah: Dwita Rizki

Editor: Harum Sari, Dian Pranasari

Penerbit: Penerbit BACA

Terbit: November 2020, cetakan pertama

Tebal buku: x + 214 hlm.

ISBN: 9786026486523

***

Dari balik kandang, seekor ayam petelur yang menamai dirinya sendiri Daun selalu menyaksikan kehidupan keluarga halaman yang penuh kebahagiaan. Ayam Betina mengerami telur. Beber-bebek berbaris menuju bendungan. Anjing Tua yang selalu kalah ketika berebut makanan dengan Ayam Jantan. Daun ingin berhenti menjadi ayam petelur. Daun ingin keluar, bebas, dan menjadi ibu; bertelur dan mengeraminya.

Tatkala kesempatan keluar kandang tiba, Daun harus berhadapan dengan penolakan keluarga halaman dan ancaman Musang lapar yang hendak menerkam. Hidup di luar kandang tidak semudah yang daun bayangkan. Namun Daun berhasil menetaskan Jambul Hijau, seekor anak bebek yang berbeda dengan bebek-bebek di halaman.

The Hen Who Dreamed She Could Fly adalah dongeng indah yang menguatkan tekad untuk memupuk impian. Sebuah kisah tentang bersikap penuh kasih sayang, keberanian, pengorbanan, dan tulus mencintai tanpa membeda-bedakan. Begitu diterbitkan, The Hen Who Dreamed She Could Fly langsung mencuri perhatian pembaca Korea. Berada di daftar buku terlaris selama sepuluh tahun berturut-turut dan menginspirasi film animasi terpopuler dalam sejarah Korea.

***

Novel ini tergolong fabel. Menurut KBBI, fabel adalah 
cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang (berisi pendidikan moral dan budi pekerti). Ditulis oleh penulis berasal dari Korea dan novel ini laris diterjemahkan ke banyak bahasa.

Premisnya, seekor ayam betina petelur yang memiliki keinginan untuk punya kehidupan seperti ayam betina umumnya: mengerami telur, menyaksikan anaknya menetas, dan bisa menikmati kehidupan normal bersama anak-anaknya. Tapi sebagai ayam petelur, dia meradang setiap kali melihat telurnya diambil majikan dan entah diapakan. Keinginan ini yang membuat gairah hidupnya menurun, diliputi kesedihan.

Begitu ada kesempatan untuk keluar kandang, Daun si ayam petelur ini, menghadapi banyak kesulitan: diincar Musang si Pemangsa, ditolak oleh keluarga halaman, tidak punya sarang, dan kelaparan. Tapi mimpinya yang bikin Daun kuat. Sampai akhirnya dia menemukan sebuah telur dan mengeraminya. Bahagia membuncah karena impiannya terwujud. Namun begitu menetas, yang lahir ternyata anak bebek liar. Ini tantangan baru, dia akhirnya punya anak, tapi bebek yang dipelihara ayam betina tetaplah bebek.

Dongeng Petualangan

Cerita apa pun, jika ada unsur petualangan, menurut saya selalu menarik. Ada nilai perjuangan, latihan kesabaran, dan pendewasaan, yang membuat petualangan itu bernilai lebih. Walau karakter di novel ini adalah hewan, namun nilai yang selipkan pada kisahnya relevan untuk kehidupan manusia. 

Petualangan yang saya maksud tentu saja perjalanan Daun menemukan sarang baru, pelariannya mencari sarang aman untuk anaknya, dan pertemuannya dengan kebanyak kejadian yang menegangkan ketika jadi sasaran si Musang. Saya yakin kisah petualangan hewan begini akan menarik perhatian anak-anak jika orang tua bersedia menceritakannya. Hitung-hitung menanamkan nilai-nilai kebaikan sejak dini, hehe.

Kemasan Sederhana Tapi Memikat

Karena ini cerita fabel, penulis mengemas kisahnya dengan diksi sederhana. Alur cerita, kejadian-kejadian, dan konflik yang dibangun penulis tidak menyimpang dari kewajaran prilaku hewan. Penilaian ini yang membuat buku ini disajikan apa adanya. Saya menyebut demikian karena beberapa kali saya menemukan cerita hewan yang prilakunya manusia banget, misal kelinci menggunakan ponsel, anjing menggunakan sepeda, atau hewan lain yang melakukan aktifitas manusia atau menggunakan fasilitas manusia. Tidak keliru sebenarnya, tapi menurut saya berlebihan.

Dengan kemasan sederhana tapi memikat ini, pembaca jadi belajar bagaimana prilaku hewan tertentu. Misal hewan bebek yang suka berkelompok, ayam jantan yang kadang superior, dan musang yang punya naluri memangsa. Lumayan bukan untuk nambah wawasan soal hewan-hewan.

Ada Bawang-Bawangnya

Dulu sekali, saya pernah membaca buku fabel, dan kebanyakan memiliki jalan cerita yang mencerahkan. Misal, cerita Tokek mengejek Semut yang mengumpulkan makanan setiap hari. Begitu musim hujan dan banjir, Semut punya persediaan makanan sedangkan Tokek kelaparan. Akhir cerita Semut berbagi makanan dengan Tokek. 

Namun di buku ini cerita dibuat kental dengan emosi sedih. Apalagi menjelang akhir kisah, Daun harus merelakan Bebek Jambul Hijau pergi bersama kelompoknya untuk melanjutkan perjalanan migrasi. Alasan jadi momen sedih karena kedekatan yang terbangun antara Daun dan Bebek Jambul Hijau sudah seperti ikatan ibu dan anak. Dan perpisahan ibu dan anak selalu menjadi titik paling menyedihkan, apalagi di kehidupan manusia.

Bermimpi, Berjuang, Ikhlaskan

Ketiga pesan ini begitu terasa di dalam kisah Daun. Bermimpi; Daun mengajarkan untuk memiliki impian setinggi dan semutahil mungkin. Jika itu bisa membuat kita bahagia. tidak salah jika dicoba dulu. Berjuang: Dalam mewujudkan impian yang besar tadi, dibutuhkan usaha yang lebih besar dan lebih giat. Jangan harap akan menemukan jalan mudah, sebab setiap proses mencapai sesuatu akan ditemukan kerikil-kerikil yang mesti dihadapi. Ikhlaskan: Setelah melalui proses panjang untuk mewujudukan impian besar kita, apa pun hasilnya, kita mesti memiliki hati yang luas untuk proses terakhir, mengikhlaskan hasil yang sudah kita upayakan, apa pun ujungnya.

Sekian ulasan saya, terakhir, jaga kesehatan dan selamat membaca buku!

Agustus 19, 2021

[Resensi] Rapijali #1: Mencari - Dee Lestari



Judul: Rapijali #1; Mencari

Penulis: Dee Lestari

Editor: Dhewiberta H., Jia Effendi

Penerbit: Penerbit Bentang

Terbit: Mei 2021, cetakan keempat

Tebal buku: xvi + 352 hlm.

ISBN: 9786022917724

***

Ping merasa telah memiliki segala yang ia butuhkan. Dunianya yang damai di Pantai Batu Karas, rumahnya yang penuh alat musik di tepi Sungai Cijulang, seorang sahabat terbaik, serta kakek yang menyayanginya. Namun, diam-diam Ping menyimpan kegelisahan tentang masa depannya yang buram. Bakat musiknya yang istimewa tidak memiliki wadah, dan ia tidak berani bercita-cita.

Hidup Ping jungkir balik ketika ia harus pindah ke Jakarta dan tinggal bersama keluarga calon gubernur. Ping mesti menghadapi sekolah baru, kawan-kawan baru, dan tantangan baru. Mungkinkah ia menemukan apa yang hilang selama ini? Dan, apakah Ping siap dengan yang ia temukan? Bahwa, hidupnya ternyata tidak sesederhana yang ia duga.

***

Nama Dee Lestari mulai dikenal ketika saya baca series Supernova. Walau nggak rampung series tersebut, tapi buku lainnya pun sempat saya cicipi, seperti novel Perahu Kertas, kumcer Madre, dan kumcer Filosofi Kopi. Buku sebelum Rapijali ini, Aroma Karsa, tidak rampung juga dengan alasan tertentu.

Bagi saya, novel Dee selalu punya rasa yang enak. Misal di Perahu Kertas, saya menikmati keluesan Dee meramu kisah anak muda dalam narasi yang lincah. Sedangkan di series Supernova, saya cukup terkesima dengan detail-detail pengetahuan yang saya tahu itu semua hasil riset yang nggak main-main.

Dan giliran menikmati Rapijali ini, saya terperanjat kaget dengan diksi dan isi novelnya. Ini persis ketika saya baca Aroma Karsa. Ada rasa tidak enak. Entah dibagian mananya. Dan saya butuh sedikit paksaan untuk menyelesaikan novel ini.

Rapijali sendiri mengisahkan remaja perempuan bernama Ping yang tinggal di Pantai Batu Karas, Pangandaran, bersama kakeknya, Yuda Alexander. Karena sudah kelas tiga SMA, ada kegelisahan mau kemana setelah lulus, mengingat kondisi ekonomi kakeknya yang sulit untuk membiayai kuliah. Sedangkan sahabatnya, Oding, yang peselancar andalan Batu Karas, punya peluang luas untuk jadi atlit.

Takdir lain menyeret Ping pergi ke Jakarta dan tinggal dengan keluarga calon gubernur, Pak Guntur. Di sini kisah barunya dimulai. Dia bertemu kawan baru; Inggil, Rakai, Buto, Jemi, dan Lodeh. Dia menemukan dunia musik; band, kompetisi, dan pengalaman belajar musik. Tapi tabir itu masih rapi tersembunyi rapat, entah kapan akan terungkap.

Musik Bukan 'Sesuatu' yang Dekat

Tema musik yang kali ini dibawa Dee, bukan tema yang dekat dengan saya. Saya hanya penikmat nada dan lagu, bukan pemain musik, jadi detail musik yang ada di novel ini terasa begitu jauh. Bahkan lagu-lagu yang disebutkan pun, tidak familiar. Saya memang tidak begitu suka lagu luar negeri karena bahasa inggris saya lemah. Ini alasan pribadi semata kenapa saya tidak bisa menikmati temanya.

Dunia musik yang coba disampaikan pun, tidak membuat saya takjub sebagai pengetahuan baru. Karena saya tidak bisa merasakan kalau itu menarik. Misal, kemampuan Ping sebagai perfect picth tidak membuat saya melihat Ping sebagai remaja istimewa. Di novel Rapijali ini, kemampuan itu hanya dianalisa sebagai bakat tok, bukan sebagai kemampuan yang membuat Ping gemilang dan melakukan sesuatu yang besar.

Kayaknya persoalan tema ini jadi alasan sama kenapa saya tidak bisa menikmati novel Dee sebelumnya, Aroma Karsa, yang mengambil tema indera penciuman. Kemampuan istimewa soal indera ini bukan hal yang dekat, bahkan sepanjang hidup saya, rasanya belum pernah bertemu dengan orang yang memiliki kemampuan ini. Sehingga saya kesulitan untuk dibuat takjub oleh tokoh-tokohnya.

Rajutan Kisah Ping yang Berwarna

Latar pantai di novel ini mengingatkan saya pada series Outer Banks yang baru-baru ini selesai saya tonton season 2-nya. Saya membayangkan tokoh Oding sebagai John B dan tokoh Ping sebagai Kiara. Pemandangan pantai, Rumah Makan Mang Acep, dan Sungai Cijulang terbayang memiliki nuansa kuning keemasan seperti warna senja dan fajar. Dan kulit para tokohnya lebih gelap terpanggang matahari, khas orang-orang yang tinggal di pesisir. Menarik bukan?




Alasan kenapa saya bisa menyelesaikan sampai halaman terakhir, karena alur maju yang membawa Ping ke dunia baru, Jakarta, yang lebih luas daripada Pantai Batu Karas. Pertanyaan, "Bagaimana nasib Ping di Jakarta dan bagaimana ia akan tahu rahasia besarnya?" menjadi motor yang membuat saya tidak bosan baca cerita Ping. Ada dua konflik yang dihadapi Ping yang bikin saya lanjut baca; konflik dengan keluarga Pak Guntur (Sarnita dan Ardi) dan konflik perjalanan band-nya. Kedua konflik ini memberi warna pada kisah hidup Ping.

Tokoh-Tokohnya Belum Mengkilap

Ping mendadak gagap budaya karena hijrah dari daerah pantai ke kota metropolitan. Dia juga harus adaptasi dengan kebiasaan orang kaya selama tinggal di keluarga Pak Guntur. Selain bakat musik, Ping ditampilkan sebagai sosok gadis remaja yang gugup dan segan. 

Oding, pemuda peselancar, sosok khas anak pantai yang hidup di tengah keluarga sederhana. Di novel ini belum tergali dia pemuda yang bagaimana sebab belum banyak konflik yang melibatkan Oding. Kecuali konflik pribadi, ketika dia harus menerima kepergian Ping ke Jakarta, padahal mereka sudah sepakat untuk terus jadi sahabat masa kecil.

Rakai tipikal pemuda cerdas yang tidak nakal, tidak cupu juga. Anak band sejati, yang baik ke semua orang, termasuk ke Ping dan Jemi. Dan dia bisa jadi sosok yang akan membawa konflik asmara hingga merusak pertemanan di band. Ini kemungkinan saya semata ya.

Inggil merupakan sosok gadis remaja yang rendah diri karena harus berdiri di tengah lingkungan sekolah orang kaya. Punya obsesi jadi anak pintar, sebab sisi keuangan bukan andalannya agar bisa bertahan di lingkungan sekolah elit.

Jemima menjadi sosok kebalikan dari Ping. Lahir dari keluarga kaya, punya fisik cantik, dan punya otak yang cerdas. Bisa dibilang bintangnya sekolah. 

Buto digambarkan remaja yang punya badan bongsor. Anak dari keluarga yang kaya. Dan di novel ini dia belum dijelaskan punya konflik apa. Sejauh ini hanya ada sedikit ketegangan antara dia dan Rakai soal band saja.

Semua tokoh di novel ini belum tergali mendalam. Mungkin karena novel ini merupakan series pertama jadi konflik yang tersebar pun masih kecil-kecil. Porsi paling besar dari novel ini masih di tokoh Ping. Tokoh lainnya belum bersinar terang.

Sebatas Remahan Kue

Saat pre-order novel ini selesai dan beberapa orang sudah menerima fisik novelnya, geger kalau kover yang diiklankan berbeda dengan yang dicetak. Rupa-rupanya banyak yang tidak tau kalau Rapijali ini akan menjadi series. Pembaca banyak yang merasa dibohongi oleh penerbit.

Terlepas dari kegaduhan itu, karena Rapijali ini jadi series membuat buku pertamanya ini serasa buku perkenalan saja. Konflik yang dimuat baru sebatas remahan kue. Dan saking kecilnya remahan, sampai akhirnya beberapa rasa tidak tertangkap indera. Misalnya, kegaduhan kempanye pemilihan gubernur tidak tergambarkan seperti yang biasanya terjadi di kehidupan nyata. Kesibukan tim Pak Guntur tidak cukup terceritakan dengan detail. Ketegangan dan persaingan dua kubu tidak tampak.

Lainnya yang kurang, kisah kehidupan Oding dan keluarganya langsung redup. Saya tidak tahu bagaimana keseharian Oding setelah Ping ke Jakarta. Saya tidak tahu nasib rumah Ping di Cijulang diurus oleh siapa. Intinya, Dee belum menceritakan kondisi orang-orang terdekat Ping di Cijulang, termasuk anggota band D'Brehoh lainnya.

Apakah Novel Rapijali #1 Mencari ini menarik?

Di luar kekurangan yang saya utarakan sebelumnya, series pertama Rapijali ini menarik. Buktinya saya bisa tamat membaca padahal sebelumnya saya kesulitan menyelesaikan baca novel. Novel ini ditutup dengan pintu besar yang penuh tanda tanya. Saya berharap bisa segera punya dan baca novel Rapijali #2 Menjadi, untuk mengetahui perjalanan Ping di Rapijali Band, dan mengetahui apa yang akan terjadi dengan rahasia besar Ping soal keluarganya.

Sekian resensi kali ini, terakhir, selamat membaca buku!



Agustus 17, 2021

[Resensi] Seni Hidup Bersahaja - Shunmyo Masuno



Judul: Seni Hidup Bersahaja

Penulis: Shunmyo Masuno

Penerjemah: Susi Purwoko

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (GPU)

Terbit: September 2019, cetakan kedua

Tebal buku: xvi + 208 hlm.

ISBN: 9786020631967

***

    Dengan pelajaran yang jelas, praktis, dan mudah diterapkan, Shunmyo Masuno memanfaatkan kebijakan yang telah berusia berabad-abad untuk mengajari kita menyederhanakan hidup dan menemukan kebahagiaan di tengah pusaran dunia modern.

    Temukan caranya ... Bangun lima belas menit lebih dini di pagi hari dapat membuat kita merasa tidak terlalu sibuk. Menjejerkan sepatu dengan rapi setelah melepasnya dapat menertibkan pikiran kita. Mengatupkan kedua tangan dapat meredakan rasa tersakiti dan konflik. Meletakan sendok garpu setiap kali setelah menelan makanan dapat membantu kita merasa lebih bersyukur atas apa yang kita miliki. Menanam bunga dan menyaksikannya tumbuh dapat mengajari kita untuk menerima perubahan. Pergi ke luar untuk menyaksikan matahari terbenam bisa membuat setiap hari terasa seperti perayaan.

    Dengan melakukannya setiap hari, kita akan belajar menemukan kebahagiaan bukan dengan mencari pengalaman luar biasa, tetapi dengan membuat perubahan kecil dalam hidup kita serta membuka diri kita pada perasaan damai dan ketenangan batin yang baru.

***

    Dengan membaca 100 praktik harian yang disampaikan penulis dalam buku ini, cukup membuat saya terbuka dengan kebiasaan baru karena 100 praktik tersebut bukan sesuatu yang sukar dikerjakan. Sebenarnya mudah saja, asal kita ada kemauan untuk berubah. Dan hampir semua praktik yang disampaikan adalah kegiatan sehari-hari kita. Lalu yang membuatnya berbeda adalah bagaimana kita merenungkan dan bagaimana kita memaknai aktifitas tersebut.

100 praktik tadi dibagi menjadi empat bagian besar sebagai berikut; 

1) 30 cara untuk membugarkan "diri-saat-ini"

Pada bagian pertama ini, pembaca akan dikenalkan pada tahap mempersiapkan diri meliputi fisik dan pikiran. Makanya pada tahap awal ini kita akan diajak untuk mengosongkan pikiran, bernafas dengan lebih pelan-pelan, duduk meditasi, dan mencari kata-kata motivasi. Shunmyo seperti sedang membersihkan jiwa pembaca sebelum diisi oleh praktik lainnya. Ini tahap menyiapkan wadah agar menjadi bersih dulu.

2) 30 cara untuk mengilhami kepercayaan-diri dan keberanian untuk hidup

Tahap kedua ini, pendekatannya jadi lebih dalam kepada personal pembaca. Shunmyo mencoba menguatkan jiwa pembaca dari sisi jiwa dan pikiran dengan membuka pandangan kita pada keadaan yang tengah dihadapi saat ini, seperti: nikmatilah pekerjaan, mengamati perubahan, memelihara pikiran yang lentur, dan menunggu peluang yang tepat.

Shunmyo tidak mengajak kita merubah keadaan. Dia tidak menyuruh kita mengganti pekerjaan, tidak menyuruh kita mengganti aktifitas, justru dia membesarkan hati kita untuk menikmati apa yang sedang kita kerjakan dan yang kita punya. Dia hanya merubah cara kita memaknai dan menikmati semua itu.

3) 20 cara untuk meredakan kebingungan dan kecemasan

Langkah naik selanjutnya, Shunmyo menyelami pikiran pembaca yang terbentuk oleh lingkungan dan dia ingin membenarkan hal itu. Bingung dan cemas merupakan hal normal dialami manusia. Tapi akan lebih normal jika kadarnya benar. Dan Shunmyo menyoroti bagaimana memperbaiki hubungan kita dengan orang lain. Karena orang lain bagian dari lingkungan, dan lingkungan sangat besar pengaruhnya sebagai sumbu pemicu kebingungan dan kecemasan. 

Beberapa praktik yang disodorkan adalah melayani orang, jangan terpaku pada benar dan salah, jangan terperangkap dalam kata-kata, dan menghargai semua orang yang datang ke hadapan kita.

4) 20 cara untuk menjadikan setiap hari adalah hari yang terbaik

Tahap terakhir ini merupakan sentuhan pamungkas dimana kita diminta untuk menikmati setiap hari yang kita lalui. Karena ukuran paling pendek untuk merasakah kehidupan hanya diukur dalam satu hari. Makanya penting sekali untuk memiliki hari yang baik. Shunmyo menyarankan kepada kita untuk: bersyukur setiap hari meski hari paling biasa, menjadi positif, mengamati perubahan musim, dan membuat persiapan.

Obat untuk Pengembangan Diri

    Menurut saya adanya pembagian tersebut agar pembaca bisa memilih akan membaca bagian praktik mana dulu, yang pada saat ini paling dibutuhkan si pembaca. Sehingga pembaca tidak harus membaca berurutan dari 1 sampai 100 praktik itu. Ibaratnya kita sedang sakit, yang pertama dilakukan adalah menganalisa sakit apa, sehingga kita bisa menentukan obat apa yang perlu diminum.

    Selain itu, setiap praktik dinarasikan dengan singkat. Shunmyo bukan orang yang bertele-tele sehingga penjelasannya ringkas dan spesifik.

    Tujuan dari buku ini adalah mengembangkan karakter seseorang menjadi lebih sederhana, lebih tertib, dan lebih bahagia, dengan cara-cara yang sederhana sejalan dengan ajaran Zen

***

Catatan:

  • Mendapatkan banyak barang bukanlah kebebasan. Yang penting adalah mendapatkan pola pikir untuk menggunakan benda-benda dengan bebas. (Hal. 29)
  • Kesederhanaan adalah soal menyingkirkan apa yang tidak bermanfaat... Pelit adalah hidup bersama benda-benda yang bernilai rendah. (Hal. 31)
  • Bekerja keraslah untuk menyelesaikan apa yang perlu diselesaikan hari ini. Maka keberuntungan akan datang. (Hal. 61)
  • Pikiran yang lentur akan menerima perubahan dan tidak melekat pada masa lalu. (Hal. 95)
  • Hidup secara sadar dimulai dengan tidur dini, bangun dini. (Hal. 97)
  • Ketika bekerja keras dengan kepala, hati, dan tubuh, kita pasti tumbuh lebih kuat. (Hal. 111)
  • Persis karena dikhianati oleh harapan seperti itulah kita mengalami kesusahan. (Hal. 127)
  • Dalam soal menyampaikan niat kita yang sesungguhnya, tindakan akan bicara lebih keras daripada kata-kata. (Hal. 132)
  • ... dengan berfokus pada kebaikan orang lain, kita bisa menciptakan relasi yang indah. (Hal. 137)
  • Membangun satu relasi yang penuh makna akan lebih memperkaya dibandingkan mengumpulkan seratus koneksi yang tidak penting. (Hal. 139)
  • Tetapi komentar negatif harus dilupakan dengan cepat. (Hal. 149)
  • Ketegasan pengambilan keputusan adalah soal memiliki kemampuan untuk memercayai diri sendiri. (Hal. 155)



Juli 06, 2021

[Resensi] Interval - Diasya Kurnia


Judul: Interval

Penulis: Diasya Kurnia

Penyunting: Ainini

Terbit: 2016, cetakan pertama

Penerbit: Ping!

Tebal: 176 hlm.

ISBN: 9786023910595

***

Bagaimanapun, aku hanya gadis SMA. Selayaknya, saat ini aku sedang merasakan asmara. Tapi, justru seakan semua awan mendung dikirim dalam masa kehidupan yang katanya penuh warna ini.

Persaingan menjadi ketua ekskul tari di sekolah menyeret statusku sebagai penari jathil keliling yang dianggap rendah. Rey, satu-satunya sahabatku, tiba-tiba menjauh. Dan seakan itu belum cukup, Kakek mengusir Carl, guru baru yang menjadi idola di sekolah, hanya karena dia orang asing.

Tidak sekali aku berpikir bahwa tentu hidupku akan berbeda jika orang tuaku bersedia tetap di sisi. Tampaknya, waktu tidak selalu menjadi obat mujarab bagi luka. Bahkan setelah jeda yang lama, beberapa dari masa lalu masih bergelayut. Termasuk pertanyaan kepada orang tuaku: "Kenapa kalian memilih pergi?"

Tapi semakin dekat dengah tujuan, aku bimbang. Benarkah aku ingin tahu jawaban mereka?

***

Interval, kalo diliat di KBBI artinya, "Masa antara dua kejadian yang bertalian." Judul buku ini seperti mengisyaratkan kalau ada satu masa yang menghubungkan dua periode. Saya sendiri menyimpulkan seperti alur berikut: sebab --> proses --> akibat. Interval ini ada di posisi proses.

Interval menceritakan tentang Kinanti, remaja SMA, yang yatim piatu, dan untuk membantu kakeknya dalam hal ekonomi, dia menjalani sebagai penari jathil. Penari daerah yang kerap dipandang sebelah mata, apalagi perempuan pelakonnya kadang mendapat sebutan yang tak pantas karena biasanya perempuan yang jadi penari, mudah dijamah dan dilecehkan. Kinan menjalani masa SMA yang penuh pilu, beruntungnya dia punya kawan yang peduli, namanya Rei.

Namun, perjalanan Kinanti dewasa berujung ke Amerika demi menemui seseorang yang ia suka, sekaligus mencari keluarganya. Penuh drama dan penuh kejadian tragis. Kinanti seperti dihujani banyak ketidakberuntungan.

Tema dalam novel Interval ini merupakan campuran antara roman dan keluarga. Roman yang diusung bukan roman yang mulus dan romantis, tapi tragis. Saat SMA, dia menyukai teman sekelas yang justru sudah jadi pacar bintang sekolah. Yang terjadi pada saat itu justru menempatkan Kinanti menjadi bulan-bulanan Ratih.

Begitu dewasa, di sela pencariannya, Kinan menemukan sosok yang ia sukai pada masa sekolah. Sayangnya, justru orang tersebut sudah punya pasangan dan tak lama lagi akan menikah. Begitu waktu move on berlangsung, dia bertemu sosok pria baru yang merupakan orang yang dekat dengan keluarganya, tapi fakta kalau sosok ini punya orientasi beda, Kinanti merasakan patah hati. Novel ini terbilang berani membawakan tema orientasi seksual yang beragam. Meski sebagai bumbu penyedap cerita, dinamisnya roman yang ditampilkan akan bikin pembaca penasaran dengan ujung kisah cinta Kinanti.

Tema keluarga sangat terasa dari narasi soal kakeknya dan perjalanan Kinanti ke Amerika demi menemui keluarganya. Proses mencari ini yang kemudian menjadi sarana penulis membawa pembaca menikmati latar Amerika. Apa Kinanti bisa menemukan keluarganya? Mending baca saja novelnya, yang pasti, "Apa yang kita mau, belum tentu dikabulkan Tuhan."

Dipikir-pikir, di tengah buku, saya sempat kaget karena mendapati perpindahan rentang waktu yang signifikan. Diceritakan Kinanti remaja ini sedang berjuang membentuk namanya sebagai penari jathil yang tidak seperti orang-orang bayangkan, namun mendadak cerita bergulir enam tahun kemudian ketika Kinanti sudah kerja dan sedang dalam perjalanan ke New York. Disitulah saya menyayangkan kenapa begitu cepat proses penyelesaian konflik Kinanti di masa SMA.

Dan tambah ke belakang, cerita Kinanti ini dibuat sangat kilat. Termasuk kejadian ketika dia kehilangan sahabatnya yang bunuh diri. Tidak ada narasai jelas, tiba-tiba Kinanti sudah bersedih dan merasa ikut bertanggung jawab atas keputusan sahabatnya itu untuk bunuh diri.

Terlepas dari catatan saya di atas, novel Interval ini enak dinikmati kok. Dan mungkin ceritanya akan lebih tergali kalau saja penulis atau penerbit membuat novel ini lebih tebal, sehingga ceritanya lebih kaya.

Sekian ulasan saya, terakhir, selamat membaca buku!


Juni 17, 2021

[Resensi] Sumur - Eka Kurniawan

 


Judul: Sumur

Penulis: Eka Kurniawan

Editor: Mirna Yulistianti

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Juni 2021

Tebal: 51 hlm.

ISBN: 9786020653242

Buku Sumur ini merupakan buku baru dari penulis Eka Kurniawan, tetapi bukan tulisan barunya, melainkan cerita pendek yang sempat diterbitkan di luar negeri duluan. Saat tahu ada buku ini, tidak ada pikiran mau beli karena saya memang belum pernah baca buku karya Eka Kurniawan lainnya, jadi belum ada niatan untuk baca juga. Namun satu waktu, di akun shopee saya ada saldo sisa, setelah mencari banyak buku yang seharga saldo tersebut, pilihan saya akhirnya membeli buku ini.

Lebih kaget lagi, ketika saya terima paketnya, anjir, ternyata bukunya tipis banget dan kecil. Sedikit terhibur pas beli buku ini karena saya dapat gelang tangan dengan inisial nama panggilan saya "A-D-N". Buku ini ternyata punya sampulnya juga, mungkin tujuannya agar lebih terlindungi karena ketika buku ini disimpan dengan buku lainnya, malah nggak kelihatan keberadaannya.


Buku Sumur ini berkisah tentang perjalanan Toyib dan Siti yang didera getirnya kehidupan dengan latar kampung yang kering. Nasib pilu datang karena kampung mereka kering akibat kemarau panjang. Lalu berimbas pada perseteruan rebutan air yang berujung meninggalnya ayah Siti ditangan ayah Toyib. Hubungan masa kecil mereka yang akrab berubah drastis menjadi dingin. 

Lalu nasib keduanya diuji kembali ketika Siti pergi ke kota dan Toyib harus menanggung rindu yang tidak pernah tersampaikan. Niatan ayahnya yang mengajak Toyib ke kota supaya punya kesempatan bertemu Siti, justru membuat ayahnya hanyut di sungai dan meregang nyawa. 

Hingga ujung cerita, kegetiran hubungan Toyib dan Siti tidak menemukan ujung yang seperti dongeng. Takdir mereka memang tidak untuk bersatu, apalagi memadu kasih.

Mungkin karena berupa cerita pendek, kepiluan yang ingin disampaikan penulis tidak tergali dengan sempurna sampai tahap pembaca merasa hanyut. Ujungnya, pembaca hanya diajak menyelami alur ceritanya saja. Tapi tenang, di sela kisahnya, saya justru terbawa emosi ketika ayah Toyib memutuskan untuk pergi ke kota demi membuat harapan anaknya berbinar lagi. Pilihan sebelum kepergian mereka terasa berat tapi si ayah tetap mementingkan harapan anaknya. Saya menyimpulkan jika yang diputuskan ayahnya Toyib merupakan pengorbanan sekaligus tanggung jawabnya kepada anak laki-lakinya.

Gaya bahasa yang saya temukan di sini, sudah sangat pas. Tidak sukar dipahami, justru jelas sekali, sehingga menyelesaikan buku ini tidak butuh sampai satu jam. Biasanya kalau gaya tulisannya 'nyastra' bakal bikin saya lama selesai bacanya karena butuh ekstra perhatian untuk memahami maksud narasinya. Selain itu, POV di buku ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, menyebutkan secara bebas Toyib dan Siti.

Selain tentang keluarga, buku ini juga mengedepankan sisi roman yang tragis antara Toyib dan Siti. Mereka punya rasa tapi karena masa lalu yang buruk, mereka memilih memendam sampai akhirnya tali hubung keduanya tidak bisa menyambung walau sekadar tetanggaan atau kawan masa kecil. Lalu, pesan lainnya, buku ini menyampaikan tentang, "Alangkah baiknya jika memberi dan meminta maaf menjadi hal enteng dilakukan." Andai saja Toyib dan Siti menerima masa lalunya, dan mau saling memberi dan meminta maaf, rasa-rasanya kisah mereka di sumur itu tidak menjadi begitu kelam, justru harusnya lebih romantis dan harmonis.

Saya juga ingin berikan pujian untuk kover buku cerpennya yang menurut saya sangat mempresentasikan cerita di dalamnya. Memusatkan pada setting cerita; sumur, dan warna orange - kuning yang menunjukkan musim kemarau.

Sekian ulasan saya, terakhir, selamat membaca buku!