September 05, 2021

[Resensi] Satu Kisah Yang Tak Terucap - Guntur Alam



Judul: Satu Kisah Yang Tak Terucap

Penulis: Guntur Alam

Editor: Idha Umamah

Penerbit: GagasMedia

Terbit: Februari 2016, cetakan pertama

Tebal: x + 242 hlm.

ISBN: 9797808556

***

Jika aku berbagi rahasia paling rahasia, bisakah kau memastikan hatimu akan tetap miliku?

Laki-laki itu tampak asing di mata Ratna, tetapi tak sulit jatuh cinta kembali kepadanya. Dialah yang menuliskan nama mereka di pohon cinta yang melegenda di Pulau Kemaro. Tempat yang mengabadikan kisah cinta Putri Fatimah dan Pangeran Tan Bu An.

Pulau di timur Kota Palembang itu pulalah yang menjadi saksi kisah Ratna dan Lee, belasan tahun silam. Dulu maupun sekarang, binar itu masih sama. Namun, sebuah cemas bersarang dan Ratna tak kuasa mengusirnya.

Mungkin saja semua masih bisa sama saat hanya jarak yang memisahkan mereka. Hanya saja, sejauh mana kau bisa bertahan dalam sebuah rahasia dari orang yang kau cinta?

Ratna dan Lee. Bagaimana jika kisah mereka seperti legenda Putri Melayu dan Pangeran Negeri Tionghoa di Pulau Kemaro? Bahwa cinta sejati tak selamanya berakhir bahagia...

***

Ini adalah novel series Indonesiana kedua dari penerbit GagasMedia yang akhirnya bisa saya selesaikan setelah beberapa lama menjadi timbunan. Kalau bisa teriak, kayaknya timbunan bakal merengek, "Pembacaku yang baik, please, bacalah daku!" Mengabaikan pengandaian rengekan buku-buku di rak, saya masih merasakan kekentalan tema budaya di novel ini, meski dalam karya Guntur Alam ini kita akan diajak mendekat ke kebudayaan warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Palembang.

Novel Satu Kisah Yang Tak Terucap ini mengisahkan pasangan Ratna dan Lee, teman-tetangga-masa kecil, yang kembali bertemu setelah 15 tahun berpisah. Ratna tetap di Palembang, sedangkan Lee pindah sekeluarga ke Jakarta. Lee kembali karena mengikuti permintaan Omanya yang merencanakan perjodohan dirinya dengan Ratna. Lee merasa ini hal baik yang patut dicoba setelah tiga tahun lamanya dia merasa kecewa atas insiden pacarnya selingkuh dengan perempuan lain.

Namun ketika Lee bertemu dengan Ratna, dia mendapati Ratna bukan sosok yang dulu dia kenal. Ratna lebih pendiam dan sering kesal kepadanya. Lee tidak tahu kalau Ratna sama merindukannya namun ada satu rahasia yang belum pernah dia ungkap kepada siapa pun.

Isu-Isu Yang Mewarnai

Pada novel Satu Kisah Yang Tak Terucap ini ada beberapa isu yang disinggung penulis walaupun kadarnya tidak banyak. Pertama, mengenai diskriminatif terhadap keturunan Tionghoa pada masa orde baru. Sampai-sampai bagi mereka, nama china harus diganti dengan nama indonesia, percakapan pun dilarang menggunakan bahasa ibu, perayaan agama mereka pun tidak boleh dilakukan terang-terangan sehingga mereka merayakan Imlek secara sembunyi-sembunyi.

Kedua, dipaparkan pula legenda Pangeran Tan Bun An yang hendak meminang Putri Fatimah, putri Raja Sriwijaya. Syarat pinangan itu, Pangeran Tan Bun An harus menyerahkan maskawin pernikahan sebesar sembilan guci emas. Orang tua Pangeran Tan Bun An tidak dapat hadir tapi mereka mengirimkan sembilan guci yang saat dibuka berisi sawi busuk. Pangeran kecewa lalu dengan kesal dia melemparkan guci-guci tersebut ke Sungai Musi. Pada saat di guci terakhir, kakinya tersandung dan guci pecah memperlihatkan emas batangan. Pangeran tidak paham kalo sawi busuk dalam guci digunakan untuk mengelabui perompak agar emas-emas itu aman.

Dengan perasaan sedih, pangeran melompat ke dalam sungai bermaksud mengambil kembali guci-guci berisi emas tadi. Tetapi pangeran tidak juga muncul. Tersiarlah kabar kalau pengeran tenggelam di sungai ke telinga Putri Fatimah. Tanpa berpikir panjang, Putri Fatimah bergegas ke sungai dan dia pun berucap, "Bila kelak ada tanah kering muncul di tengah Sungai Musi, itulah makamku dan makam Tan Bun An." Putri menceburkan diri ke sungai dan tidak pernah kembali. 

Inilah legenda di balik keberadaan Pulau Kemaro. Nama 'Kemaro' sendiri dalam bahasa Melayu Palembang berarti kemarau.

Ketiga, orientasi seksual lesbi dan gay. Orientasi lesbi dibahas ketika pada satu hari Lee yang kembali ke apartement pacarnya, Michel, justru mendapati pacarnya itu tengah memadu kasih dengan seorang perempuan, Luna. Dari insiden ini, Lee sangat kecewa terhadap pacarnya yang sudah empat tahun menemaninya. Lalu orientasi gay dituturkan ketika Lee lulus SMA dan diajak oleh Jounatan ke kelab, mereka sampai melakukan hal terlarang itu. Kegiatan seksual (lesbi dan gay) dalam novel ini masih terbilang aman karena disinggung sangat sedikit, bisa dibilang sebagai bumbu saja. Bahkan kejadian Lee dan Jou itu lumayan mengagetkan saya karena tidak dibahas sedikit pun pengalaman ini. Tau-tau menjelang akhir cerita, penulis memaparkan hal ini.

Keempat, kekerasan seksual. Ini isu yang sudah saya duga akan muncul ketika penulis terus mengulur keputusan Ratna untuk menerima Lee. Padahal keduanya sudah secara terang-terangan saling menyukai, namun gara-gara rahasia ini keduanya tidak kunjung menemukan titik temu. Mereka justru lebih banyak bertengkar karena banyak berprasangka.

Yang mengecewakan saya, kekerasan seksual yang dialami Ratna sangat tidak jelas. Setelah penulis mengulur dari awal sampai menjelang cerita, begitu adegan Ratna mengungkapkan apa yang terjadi dan apa rahasianya, penulis tidak memuat dengan detail cerita sebenarnya. Bahkan tidak dibahas apa yang terjadi, kapan kejadiannya, dan siapa pelakunya.

"Siapa dia, Na? Siapa?" Tangis Ratna masih keras. Dia terguncang. (hal. 218)

Penulis lebih fokus menyimpan itu sebagai rahasia besar Ratna. Dan lebih mengherankan lagi, apa yang dialami Ratna tidak diketahui keluarganya. Ratna berubah sejak itu, tapi saya tidak bisa habis pikir kekuatan mental seperti apa yang dimiliki Ratna kok bisa begitu kuat menghadapi kejadian buruk itu.

Cinta Segitiga Lagi

Seperti novel Pertanyaan Kepada Kenangan karya Faisal Oddang, pada novel ini pun kembali diangkat kisah roman cinta segitiga. Ada Lee, Ratna, dan Samuel. Tokoh ketiga ini muncul sekitar pertengahan buku, untuk memberi konflik cemburu bagi Lee yang tidak ada kemajuan dengan Ratna.

Dari ketiga tokoh yang bermain rasa cinta, saya tidak terkesan oleh salah satunya. Lee termasuk pria berkarakter menawan. Dia setia dan perhatian. Namun, dia sesekali suka berpikir pendek untuk membuat keputusan sehingga jika keadaan mendukung dia akan melewatkan banyak kesempatan asmaranya. Misal, ketika Ratna mengaku tidak setuju dengan perjodohan, Lee hampir bergegas kembali ke Jakarta. Atau ketika Ratna sudah mengungkapkan rahasianya, Lee menjauh dan dia pun sempat berpikir kembali ke Jakarta.

Tokoh Ratna yang mengalami trauma akibat kekerasan seksual tidak membuat saya simpati. Sebab narasi yang dibuat penulis membentuk Ratna ini sudah dalam kondisi stabil. Dia menolak Lee, tapi gestur dan harapannya menginginkan Lee. Dan ketidakjelasan ini tidak dinarasikan dengan kejadian kekerasan seksual. 

Sedangkan tokoh Samuel merupakan tokoh paling utuh, saya rasa. Sebab alasan dia mengejar dan memperhatikan Ratna cukup beralasan. Dia juga cukup baik merespon reaksi Ratna ketika terang-terangan menginginkan Ratna.

Oya, di novel ini kita akan dibawa ke masa sekolah mereka. Alur yang disajikan penulis berupa alur maju-mundur. Masa lalu dibahas untuk menegaskan seberapa dekat hubungan Lee dan Ratna sehingga ketika mereka bertemu kembali, pembaca akan merasakan kontrasnya. Sedangkan masa lalu Ratna dan Samuel untuk mengungkapkan siapa sosok yang dekat dengan Ratna setelah Lee pindah ke Jakarta.

Apakah Novel Satu Kisah Yang Tak Terucap ini menarik?

Bagi saya, selama ada nilai kebudayaan, itu menjadi wawasan menarik. Kisah romannya tidak memang mengesankan, tapi latar ceritanya (budaya, tradisi, sejarah) cukup menutupi kekurangan itu. Dan judul novel Satu Kisah Yang Tak Terucap ini belum cukup memuaskan saya untuk memahami 'satu kisah' yang dimaksud oleh penulis. 

Nah, jika saya nilai secara pribadi novel Satu Kisah Yang Tak Terucap ini, maka saya akan beri nilai 3 bintang dari 5 bintang.

September 02, 2021

[Resensi] Pertanyaan Kepada Kenangan - Faisal Oddang



Judul: Pertanyaan Kepada Kenangan

Penulis: Faisal Oddang

Editor: Jia Effendi & Tesara Rafiantika

Penerbit: GagasMedia

Terbit: Januari 2016, cetakan pertama

Tebal buku: xii + 188 hlm.

ISBN: 979780853X

***

Di Makasar, dan barangkali di tempat kau sekarang membaca kisah ini; kenangan sering kali datang bukan pada waktu dan tempat yang tepat. Rinailah Rindu, perempuan Jawa itu memandang Pantai Losari sekali lagi. Mengenang rencana pernikahannya yang karam tiga tahun silam. Namun, bukan kehilangan itu yang ia sesali, melainkan mengapa dia kembali? Tanya itulah yang menuntut jawaban pada kisah yang seharusnya telah usai.

Kehilangan telah mebuat Rinai mengerti bahwa manusia tidak pernah memiliki apa pun, bahkan perasaannya sendiri. Ia bersetuju dengan keadaan, bahwa Wanua, laki-l;aki Bugis itulah harapan baru baginya. Lamba, bangsawan Toraja yang pernah mematahkan hatinya, hanya perlu berakhir sebagai kenangan.

Sayangnya, terkadang hati dan ingatan tak selalu sejalan. Rinai tak ingin terluka lagi, tetapi kali ini, apakah takdir akan berbaik hati pada cinta juga kebahagiannya?

***

Dalam series Indonesiana, penerbit GagasMedia mengabarkan kepada pembaca kisah yang dibalut kental kebudayaan. Tujuannya agar kisah yang disajikan kepada pembaca bukan melulu kisah roman semata yang disisipkan konflik ala-ala sinetron. Bisa jadi series Indonesiana ini adalah bentuk komitmen penerbit bersikap nasionalis dengan kembali mengangkat tema budaya kepada masyarakat.

Novel Pertanyaan Kepada Kenangan merupakan salah satu judul dalam series Indonesiana, yang ditulis oleh penulis novel Puya ke Puya, Fasial Oddang. Novel Puya ke Puya sendiri begitu saya puji karena memiliki cerita menarik. Kesamaan dua novel ini menyinggung budaya yang ada di Tana Toraja, Rambu Solo, menyemayamkan orang meninggal agar rohnya naik ke Puya, surga. Ritual ini merupakan ritual paling mahal karena bisa menghabiskan uang ratusan juta, bahkan milyar.

Kegagalan Pernikahan Karena Beda Budaya

Konflik pertama yang diberikan penulis ke pembaca berupa kandasnya hubungan Rinai dan Lamba karena adat yang berbeda. Proposal pernikahan yang diajukan Lamba kepada mamanya, ditentang lantaran ritual Rambu Solo kematian papanya belum digelar. Tidak boleh ada perayaan kebahagian sebelum selesai perayaan kedukaan. Dan bagi keluarga Lamba, pantang menentang adat.

Rinai nelangsa. Selain gagal menikah, pertemanan dia dengan dua orang, Lamba dan Manua, berubah.  Karena diketahui kemudian kalau Manua selama ini menyimpan perasaan suka kepada Rinai. Kedekatan bak keluarga, berubah jadi dingin dan membuat mereka asing satu sama lain.

Cinta Segitiga Anak Manusia

Dalam catatan awal, Faisal menganggap proyek novel Pertanyaan Kepada Kenangan ini seperti proyek istirahat setelah ia menyiapkan novel Puya ke Puya yang menurutnya lebih rumit. Tema roman menjadi pilihan yang menyenangkan baginya dan Faisal memilih konflik cinta segitiga.

Bentuk cinta segitiga sudah menjadi bahan novel yang banyak diangkat oleh penulis lain, namun dasarnya tema roman tidak ada matinya, yang ditunggu oleh pembaca tentu saja bagaimana penulis mengeksekusi konflik cinta segitiga ini. 

Dan menurut saya, akhir kisah Rinai - Lamba - Wanua ini belum begitu jelas arahnya. Saya sampai bingung, ini si Rinai jadinya pilih siapa?


Di dalam saku kemejaku, kotak berwarna gusi pemberian Lamba barangkali telah menunggu jawaban pula. Kotak itu belum kubuka sejak kami pulang dari Bukit Sion. Isinya utuh. Di dalam dadaku, cinta buat Wanua juga belum ada yang membukanya. Isinya utuh. (hal. 185)

Toraja, Makasar, dan Kekayaannya

Kebudayaan Toraja dan Makasar digali sangat mendalam oleh penulis. Termasuk tempat wisata, sejarah kota, dan kesenian, diracik menjadi bumbu cerita yang makin menguatkan konflik antara tokoh-tokoh yang ada, dan itu bukan sekadar tempelan biar ada tema budaya. Misalnya: Rambu Solo, Kete Kesu, Pantai Losari, Tongkonan, Tau-Tau, Fort Roterdam, dan masih banyak lainnya.

Tau-tau (replika mayat) - sumber gambar dari filckr.com

Menurut saya penulis berhasil menjadikan kebudayaan menjadi pelengkap dalam ceritanya. Bahkan pada akhirnya kebudayaan menjadi titik awal kenapa muncul konflik perasaan antara ketiga tokoh utamanya.

Kenalan dengan Tokoh-Tokohnya

Jujur saja, saya merasa tokoh yang paling menonjol adalah tokoh Rinai. Perempuan yang tengah dilema memilih antara Lamba atau Wanua. Karakternya, dia bisa memikirkan matang sebelum memutuskan, dia gampang gamang dan pasti butuh waktu agak lama sampai dia yakin, dan yang paling mengganggu ketika cerita akan diakhiri, Riani ini seolah-olah menjadi perempuan yang jinak-jinak merpati. Saat itu dia sudah dihadapkan harus memilih, tapi entah kenapa Rinai mengulur sedemikian rupa. 

Tokoh Lamba dan Wanua tidak meninggalkan kesan buat saya. Mereka ada untuk menjadi lawan konflik Rinai, dan penulis hanya membuat dua karakter ini mempunyai perbedaan, kayak siang dan malam. Wanua dibentuk sebagai pemuda yang berprofesi wartawan, berambut gondrong, dan lebih urakan. Sedangkan Lamba jadi sosok pengusaha muda, klimis, dan anak penurut.

Tidak ada pendalaman karakter untuk Lamba dan Wanua. Adanya mereka hanya untuk mengikuti alur cerita yang dibuat maju-mundur. Maju - mengetengahkan proses Rinai berkompromi dengan perasaannya ketika dua sahabat dekatnya menginginkan hubungan lebih dari sahabat. Mundur - menyibak awal mula mereka (Rinai - Lamba - Wanua) bertemu, kedekatan persahabatan, bahkan menjabarkan kronologis awal mula adanya perang dingin.

Apakah novel Pertanyaan Kepada Kenangan menarik?

Bagi saya, ini novel ringan yang berisi. Roman dikawinkan dengan kebudayaan. Pembaca akan dapat dramanya, akan dapat juga wawasannya. Setelah membaca novel ini, kita akan sadar ternyata banyak PR bagi kita sebagai warga Indonesia untuk mengenal negeri sendiri yang luasnya dari Sabang sampai Merauke, dengan memiliki kebudayaan yang beraneka ragam.

Jika saya harus memberikan nilai, saya berikan 3 bintang dari 5 bintang.

Demikian ulasan kali ini, terakhir dari saya, jaga terus kesehatan dan tetap membaca buku!

***

Catatan: 

  • Dua kali kehilangan orang yang sama, jauh lebih menyakitkan daripada memiliki orang yang salah lebih dari sekali. - 8
  • Cinta tidak pernah menyalahkan siapa pun dan apa pun, tetapi manusia selalu saja menyalahkan banyak hal atas nama cinta. - 32

Agustus 29, 2021

[Resensi] Sakura di Langit Osaka - Arizu Kazura



Judul: Sakura di Langit Osaka

Penulis: Arizu Kazura

Editor: Cicilia Prima

Penerbit: Grasindo

Terbit: Oktober 2017, cetakan pertama

Tebal buku: vi + 242 hlm.

ISBN: 9786024524098

***

Naya Wijaya - Pernah disakiti, hatinya dilukai, harapannya dipatahkan, hingga membuatnya sulit membuka hati dan percaya kepada laki-laki, menaruh kebencian yang mendalam kepada laki-laki pemilik mata dengan tatapan tajam- yang pantang menyerah dalam mendapatkan hatinya- itu sejak bertemu.

Nishimura Tetsuya - Pernah dikhianati, dikecewakan dan dipermalukan di depan orang banyak karena gagal menikah, hingga membuat dirinya enggan jatuh cinta dan lebih menyukai hidup sendiri, menaruh rasa kepada wanita pemilik senyum cantik ebrlesung pipi- yang ingin dimilikinya- itu ketika wajah cantiknya berada dalam frame kameranya.

Mereka bertemu di bawah langit musim semi. Berawal dari pertemuan yang tidak menyenangkan saat sakura sedang bermekaran hingga berubah menjadi dirindukan, tiba-tiba keduanya ingin jatuh cinta lagi. Mereka ingin bahagia lagi. Tapi, mampukah keduanya saling melengkapi? Menutup luka lama dengan kebahagiaan yang sekarang dirasa? Atau malah sebaliknya, pertemuan itu adalah awal bagi hadirnya luka baru yang lebih menyiksa?

***

Saya beli novel Sakura di Langit Osaka karya Arizu Kazura saat gramedia.com bikin bazar murah dan hanya dengan harga 6.000,-. Kovernya yang didominasi warna pink, persis warna kelopak bunga sakura, terkesan 'perempuan' banget. Alasan ini yang bikin saya agak malu kalo harus membaca novel ini di luar kosan.

Kover ini juga mengecoh saya mengetahui kalo penulis Arizu Kazura ini ternyata seorang penulis laki-laki. Saya pikir penulisnya perempuan lho! Saya baru tahu kalau nama asli penulis adalah Aris Kurniawan ketika baca profil penulis di halaman paling belakang.

Novel Sakura di Langit Osaka adalah noval roman, dan membaca novel roman yang paling dicari adalah alurnya yang dirajut dengan konflik-konflik pasangan kekasih. Sebab novel roman pasti berkutat di masalah sepasang kekasih, yang ragam masalahnya banyak banget. Konflik yang saya maksud sebenarnya bisa dan sering kita temukan di novel yang lain, karya penulis lain. Gara-gara ini, penulis novel roman harus bisa mengemas ceritanya dengan lebih mengesankan pembaca sehingga akan terus diingat karyanya.

Unsur novel roman kurang lebih begini: perasaan suka, jatuh cinta, cemburu, butuh perhatian, masa lalu, komunikasi romantis, restu, pernikahan impian. Kebanyakan novel roman isinya sekitar itu. Dan yang bikin saya memilih baca novel Sakura di Langit Osaka karena berharap akan mendapatkan cerita yang punya unsur salah satunya.

Naya, si tokoh utama perempuan, akan pergi ke Osaka, Jepang, untuk urusan kerja. Usianya yang sudah 27 tahun, dikhawatirkan oleh ibunya. Terbayang, kontrak 3 tahun di Osaka, dan ketika pulang ke Indonesia usianya sudah 30 tahun, belum menikah. Tapi Naya meyakinkan Ibunya jika sudah ketemu pasangan yang tepat, dia akan segera mengakhiri masa lajangnya.

Setibanya Naya di Osaka, dia justru bertemu pria menyebalkan, Nishimura Tetsuya. Pertemuan mereka terus berlanjut ke pertemuan lainnya, dan tetap hanya bikin Naya kesal saja. Namun bergulirnya waktu, siapa sangka perasaan bisa berubah. Tetsuya mulai mengisi hari-hari Naya dengan perhatian, petikan gitar, dan perlakuan romantis. Yuri, sahabat Naya, ikut senang karena kehadiran Naya merubah banyak kebiasaan Tetsuya.

Tapi kemudian 'Dia' yang berasal dari masa lalunya muncul kembali di tengah-tengah. Mencoba merekonsiliasi hubungan yang sudah rusak, mengais kemungkinan-kemungkinan bagi mereka untuk merajut asmara seperti dulu. 'Dia' bukan hanya ada di sisi Naya, tapi ada 'Dia' juga di sisi Tetsuya.

Tanda Tanya Besar Masa Lalu dan Dia

Saya akui fungsi prolog di novel ini cukup baik, dengan menyebutkan petunjuk yang samar dan membuat pembaca bertanya-tanya, bakal sukses bikin pembaca membuka halaman novel selanjutnya. Percakapan Naya dan Ibunya di prolog halaman 4, memancing rasa penasaran saya. Disitu disinggung kejadian pilu Naya pada tujuh tahun lalu, dan disangkutpautkan dengan 'Dia', yang entah siapa.

"Apa begitu sulit untuk membukanya dan membiarkan laki-laki lain mengisi kekosongan di dalamnya? Sudah tujuh tahun lho, Nduk. Apakah selama itu juga perasaanmu masih sama kepadanya?" (hal. 4).

"Tentang aku yang tidak bisa jatuh cinta dan membuka hati untuk laki-laki lain, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan siapa pun. Termasuk dia yang Ibu pikirkan. Aku bahkan sudah lupa. Aku tidak mengingatnya. Jadi, bagaimana bisa seseorang yang sudah tidak ada di pikiranku menghalangiku untuk jatuh cinta lagi?" (hal. 4).

Isue yang Masih Eksis

Dalam novel ini diangkat isu-isu yang eksis di kehidupan sehari-hari, dan masih menjadi bahan diskusi yang panjang. Misalnya soal usia ideal perempuan untuk menikah, dan soal adanya pandangan kemapanan seorang laki-laki sebagai kriteria pasangan membahagiakan. Dua isu ini tidak begitu banyak disinggung, tapi lumayan membekas ketika kita membaca bagian itu.

Untuk isu usia ideal menikah lumayan menohok karena pandangan ini disampaikan dari sisi seorang ibu. Kita sebagai anak tidak bisa mengatur perasaan ibu terkait sudut pandangnya. Tapi kita harus tahu perasaan ibu yang prihatin jika pada usia kita yang cukup untuk menikah, kita belum juga memijak fase itu. Dan langkah tepat untuk meluruskan perbedaan pendapat ini ya dengan komunikasi yang baik dan santun. Seorang ibu pada akhirnya akan memahami kondisi kita, karena dalih mereka menyinggung usia ideal menikah hanya untuk mengingatkan anaknya.

Sedangkan pembahasan soal kemapanan sebagai pilihan pasangan tepat, hanya disampaikan sepintas oleh Yuri ketika memberikan saran kepada Naya untuk tidak membuang kesempatan memiliki Tetsuya. Apalagi keseluruahn tokoh di novel ini digambarkan memiliki kondisi ekonomi tengah dan atas. Sehingga saya tidak menemukan pembanding apa resikonya memiliki pasangan biasa dan pasangan mapan.

Rasa Novel Karya Ilana Tan

Dari segi penceritaan dan penokohan, saya merasakan rasa novel ini tuh mirip novel karya Ilana Tan. Saya memang baru membaca satu judul karya Ilana Tan yang Autum in Paris, namun saya bisa menyebutkan apa saja kemiripan antara novel ini dengan novel Ilana Tan.

Pertama, latar kisah sama-sama di luar negeri. Dan setau saya ada juga karya Ilana Tan yang latarnya di Jepang, yakni novel Winter in Tokyo. Musim pada akhirnya memiliki peran penting untuk membangun hubungan romantis antar tokoh-tokohnya. Jika pada Winter in Tokyo memakai musim salju, di novel ini memakai musim semi dan gugur, pada saat bunga sakura berkembang indah sampai pada saat bergugurannya.

Kedua, tokoh-tokoh yang dikarang penulis merupakan orang-orang dewasa yang latar belakangnya bukan ekonomi bawah sekali. Profesi atau latar pribadi mereka cukup baik sehingga ekonomi bukan jadi unsur cerita yang fital yang membangun alurnya. Di novel ini disebutkan profesi kantor konstruksi. Kita pasti tahu kemakmuran orang-orang yang bekerja di perusahaan konstruksi, apalagi jika perusahaan tersebut sampai menangani proyek luar negeri.

Ketiga, tema 'benci jadi cinta' menjadi benang merah yang masih dipakai kedua penulis untuk merajut kisah romantisnya. Ciri paling mencolok, pada awal kisah akan dimulai dengan pertengkaran-pertengkaran kecil. Semakin ke belakang, kedua tokoh makin menguat memiliki perasaan suka, perasaan kagum, perasaan ketergantungan satu sama lain, dan berujung 'aku suka kamu, kamu suka aku'.

Keempat, diksi yang formal sekali. Apalagi jika sudah menggunakan kata 'aku, kau, kamu'. Ditambah tidak ada penggunaan kata-kata gaul, akan membuat novel terasa lancar alurnya tapi kaku. Kalimat-kalimat percakapan di novel ini pun lebih ke percakapan tulisan, bukan lisan, sebab komposisi kalimat dan penggunaan kosa katanya begitu formal.

"Bagaimana? Apa kau yakin kau sudah melupakanku sepenuhnya?" (hal. 178)

Kelima, kover novel ini mirip dengan kover novel Winter in Tokyo. Saya sampai menyandingkan kover keduanya, dan setuju jika mirip sekali.




Apa Kesan Setelah Membaca Novel Sakura di Langit Osaka?

Seru. Pasangan yang awalnya tidak saling suka, seiring berjalannya waktu, mereka jadi saling cinta. Di novel ini proses perubahan perasaan Naya dan Tetsuya dijabarkan pelan-pelan, tidak tergesa-gesa, sehingga pembaca tidak dibuat kaget dengan perubahan yang tiba-tiba.

Kurang puas karena ada bagian-bagian tertentu yang mau tidak mau harus disingkat sedemikian rupa agar novel harus segera diakhiri. Misalnya, kepulangan Naya ke Indonesia, dan masa penyembuhan Tetsuya pasca mengalami kecelakaan di lokasi proyek.

Memilih kontrak 3 tahun di Osaka, Jepang, jelas menjadi tantangan penulis mengemas kisah tokoh-tokohnya, karena penulis harus bisa memangkas waktu, memberikan dinamika konflik, bahkan harus memetakan kapan dimulai, kapan memuncak, dan kapan kisah harus diselesaikan. 

Tetapi untuk novel Sakura di Langit Osaka ini menurut saya sudah cukup baik dieksekusi penulis. Dan kalo harus memberi nilai, saya beri 3 bintang dari 5 bintang.

Karena novel ini sebuah sekuel, saya makin penasaran dengan novel sebelumnya, Sekelopak Bunga Sakura. 

Sekian ulasan saya untuk novel Sakura di Langit Osaka, terakhir, jaga kesehatan dan selamat membaca buku!

Agustus 26, 2021

[Resensi] Larutan Senja - Ratih Kumala


Judul: Larutan Senja

Penulis: Ratih Kumala

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Januari 2017, cetakan pertama

Tebal buku: vi + 126 hlm.

ISBN: 9786020338156

***

Dia membuat larutan antara siang dan malam. Larutan yang akan menjadikan siapa pun terpikat; 'larutan senja' begitu dia menyebutnya. Dia berpikir sambil bergumul denngan racikannya di laboratorium, menggumam-gumam sendiri mengenai penemuannya kali ini.

"Pertama-tama... rasa senja tidak manis seperti siang dan tidak pahit seperti malam. Senja memiliki rasa: hangat." Dia meneteskan beberapa ciaran rasa. " Lalu warna... bukan terang seperti siang, bukan hitam seperti malam... terlalu pekat."

Kali ini dia kembali mencampurteteskan beberapa cairan lain, cairan warna.

"Ada lagi... masih kurang sesuatu, ah... ya... aku tahu. Senja harus menimbulkan sebuah perasaan. Bukan perasaan gembira seperti siang atau perasaan gundah seperti malam."

Dia meneteskan cairan perasaan. Lalu larutan itu menimbulkan semacam ledakan kecil, peletik api keluar dari sana. Selesai sudah: 'larutan senja'.

Dia tahu, saat dia membuat larutan itu, selamanya dia harus tutup mulut. Menjaga sebongkah rahasia dan tak boleh bercerita. Karena jika bocor, maka tuhan akan mencuri larutan itu dari dia guna memperkaya mainan-mainan ciptaannya yang dinamakan 'dunia'.

***

Setelah cukup puas menikmati buku Wesel Pos, saya menjajal buku lainnya karya Ratih Kumala, dan kali ini berupa kumpulan cerita/KumCer. Buku ini mencolok lantaran warna dominan merah kekuningan khas senja, seolah menantang untuk dibaca. Saya? Ya Beranilah!

Awal akan membaca, ada sedikit keraguan lantaran saya jarang menemukan cerpen yang menarik untuk dinikmati. Sejauh ini saya masih mengunggulkan buku kumcer Kuda Terbang Maria Pinto (Linda Christanty), Rahasia Selma (Linda Christanty), dan Kupu-Kupu Bersayap Gelap (Puthut EA) sebagai bacaan kumcer menarik.

Menurut saya cerpen menarik itu yang ditulis dengan diksi lugas, mengambil tema cerita keseharian, dan ada muatan pesan membangun untuk pembacanya. Ini yang saya temukan pada beberapa cerpen di ketiga buku yang saya sebutkan tadi sehingga bisa dibilang saya memfavoritkan ketiga bukunya.

Buku Larutan Senja ini memiliki 14 cerita pendek dengan ragam tema sehingga usai membaca semua ceritanya, kita akan sadar jika buku kumcer begini punya warna-warni yang tidak bikin bosan.

Tema-Tema yang Menyedot Perhatian

Keempat belas cerita di buku ini bisa dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan tema. Tema Mistis, kita bisa menemukan di cerpen Paradji, Purnama di Borneo, Larutan Senja, Obral Peti Mati, dan Gin-Gin dari Singaraja.

Paradji menceritakan profesi dukun yang dituduh penyebab kematian seorang warga hingga si paradji ini dihakimi. Fitnah keji ini yang akhirnya berujung sumpah dendam di masa depan. Cerita Purnama di Borneo mengangkat soal peri yang ada di hutan kalimantan, yang suka menggoda pria agar dinikahi tapi ujungnya terhalang restu. Ketika si pria dikembalikan ke dunianya, dia akan mengalami mimisan hingga meluah sampai ke titik meninggalnya.

Larutan Senja menjadi judul besar untuk kumcer ini, memaparkan Dia membuat ramuan yang kerap hasilnya itu dibeli oleh tuhan untuk mengayakan mainannya, dunia. Karena prestasi dunia yang meningkat, tuhan kerap dipuji dan disanjung oleh yang lain. Ini yang membuat Dia kesal sehingga ketika ia berhasil membuat larutan Senja, larutan ini disembunyikan dari tuhan. Tapi tuhan ternyata bisa membuat duplikasinya. Tuntutan yang tidak terpenuhi membuat Dia menuangkan larutan gelap pekat ke dunia, dan jadi bencana.

Lalu kisah Gin-Gin dari Singaraja menyebut makna tradisi ngaben di Bali. Pertemuan si tokoh dengan Gin-Gin justru memperjelas soal tradisi ngaben sebagai upacara memulangkan kembali roh. Dan cerita Obral Peti Mati mengisahkan penjual peti mati yang sedang sepi pembeli dan berharap peti mati di depan rumahnya bergerak pada malam hari sebab itu tanda peti mati tersebut akan terjual. Lalu pada satu malam ada empat peti mati yang bergerak. Kematian pertama, seorang ayah. Kematian kedua, seorang janda kembang pelakor. Kematian ketiga, seorang rentenir yang meresahkan. Dan kematian keempat tidak pernah diduganya.

Tema Sejarah memiliki lintasan yang lebih luas karena melingkupi sisi agama, sejarah dunia, hingga sejarah negara kita, Republik Indonesia. Kita bisa menemukannya di judul-judul berikut ini: Dalu-Dalu, Natch Westen, Anakku Terang Laksana Burung, dan Radio Kakek.

Dalu-Dalu menjadi cerita yang kurang saya sukai karena membahas soal Lekra, dimana saya tidak tahu Lekra itu apa. Kemudian saya coba cari di google dan ketemu ini!

Lembaga Kebudajaan Rakjat atau dikenal dengan akronim Lekra, merupakan organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia. Lekra didirikan atas inisiatif D.N. Aidit, Nyoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta pada tanggal 17 Agustus 1950, Lekra mendorong seniman dan penulis untuk mengikuti doktrin realisme sosialis.

Netch Westen menjadi cerita drama yang dibalut sejarah karena mengisahkan keluarga yang terpisah di Jerman Barat dan Jerman Timur pada masa awal-awal tembok Berlin. Pada masa itu ada ketimpangan di antara dua wilayah. Kalau sekarangnya, mungkin sama keadaannya dengan dua wilayah Korea Utara dan Korea Selatan. Perpisahan yang terjadi itu, tidak dapat diprediksi kapan akan berakhir. Dan proses keluar dari wilayah itu harus menghadapi banyak birokrasi. Sehingga beberapa orang memilih untuk mengendap-endap menyebrangi tembok, tapi kebanyakan berakhir mati ditembak.

Sisi agama justru kental sekali akan kita temukan di cerita Anakku Terbang Laksana Burung. Kisah ini kurang lebih menuturkan ulang kisah Nabi Isa AS atau kisah Yesus, dan diceritakan dari sudut pandang Maryam, Ibunya.

Hampir sama dengan latar cerita Dalu-Dalu, Radio Kakek menceritakan kejadian tragis pada masa dulu dimana sorang kakek, sekaligus imam mesjid, dituduh menyembunyikan pejuang kemerdekaan. Sampai akhirnya tokoh aku mengintip eksekusi orang-orang yang dituduh di kebun kecil.

Tema Drama Kehidupan lebih kaya, dan dapat kita jumpai di cerita-cerita: Shizophrenia, Tahi Lalat di Punggung Istriku, Wanita Berwajah Penyok, Pada Sebuah Gang Buntu, Buroq.

Cerita Shizophrenia mengisahkan seorang psikiater yang memanipulasi pasiennya yang bergaya sebagai intel. Tapi kegiatan psikiater ini justru diawasi ketat oleh dokter lain. Selain drama, dibalut juga sisi seksual, bisa dibaca pada cerita Tahi Lalat di Punggung Istriku, yang membahas suami yang memiliki fetis akan tahi lalat istrinya. Dan ketika tahi lalat itu menghilang, gairah pasangan ini meredup cepat.

Orang stres kembali dibahas ketika penulis menjabarkan kisah Wanita Berwajah Penyok yang mengalami disabilitas sejak lahir, diduga akibat ia merupakan hasil janin yang gagal diaborsi. Kehidupannya terkurung di ruang sempit dekat kuburan. Temannya hanya bulan, matahari, dan pantulan wajahnya di genangan air. Lalu kisah Pada Sebuah Gang Buntu, penulis membahas kehidupan suami yang kedapatan jajan di tempat prostitusi saat istrinya baru saja melahirkan anak kedua. Keanyeban hubungan mereka dimulai sejak kehamilan itu. Menurut pengakuan si suami, kebutuhan rohaninya tidak terpenuhi maksimal.

Dan cerita pamungkas di buku ini berjudul Buroq. Mengisahkan seorang pemuda yang berprofesi sebagai tukang tato yang bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW sedang mengendarai buroq. Walau kisahnya dibuat selang -seling dengan seorang bocah yang juga memimpikan Nabi Muhammad SAW. Pada ujung ceritanya, kita akan sepakat kebulatan soal latar belakang si pemuda tersebut.



Kesan Membaca Buku Ini?

Oya, halaman di dalam buku ini memiliki rona warna senja yang unik, yang bikin buku ini berbeda dari buku yang lain. Dan kesan setelah menuntaskan keempat belas ceritanya, saya sangat puas, terhibur, tercerahkan, dan lumayan mendapatkan pengalaman kegetiran hidup dari tokoh-tokoh yang dirancang Ratih Kumala.

Jika saya harus menilai, buku ini saya kasih 3 bintang dari 5 bintang. 

Demikian ulasan saya, terakhir, selamat membaca buku!

Agustus 24, 2021

[Resensi] Wesel Pos - Ratih Kumala



Judul: Wesel Pos

Penulis: Ratih Kumala

Editor: Mirna Yulistianti

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Juni 2018, cetakan pertama

Tebal buku: vi + 100 hlm.

ISBN: 9786020387116

***

Ada dua jenis orang yang hidup di Jakarta. Pertama adalah orang sakti, mereka adalah orang yang akan bertahan hidup sebab 'ilmu' mereka sudah tinggi. Kedua adalah orang sakit, yang akan mati ditelan kekalahan di kota ini. Elisa datang ke Jakarta membawaku, sebab di atas tubuhku tertulis alamat kakaknya yang selama ini mengiriminya uang melalui aku, si Wesel Pos. Apakah dia akan menjadi orang sakti atau orang sakit? Sungguh tipis perbedaan menjadi sakti dan sakit.

***

Ratih Kumala sebagai penulis mulai saya ketahui sejak gaung novel Tabula Rasa beredar di media sosial karena waktu itu buku ini akan difilmkan. Film Tabula Rasa akhirnya rilis pada bulan September 2014. 

Beruntungnya saya berjodoh dengan karya ratih Kumala ketika toko buku online gramedia.com mengobral beberapa buku menarik dengan harga sangat terjangkau. Dan saat itu saya membeli beberapa judul, dan di antaranya ada dua buku karya Ratih Kumala: Wesel Pos dan Larutan Senja, kedua buku ini saya beli hanya dengan harga masing-masing 5.800,-, murah banget cuy!. Anggap saja ini memang sudah saatnya saya berkenalan dengan karya Ratih Kumala.

Kali ini saya mau mengulas novel tipis berjudul Wesel Pos. Novel ini menceritakan sudut pandang wesel pos yang dibawa ke Jakarta oleh tokoh Elisa untuk mencari kakak laki-lakinya yang sudah dua tahun tidak pernah pulang tapi masih mengirimkan uang lewat wesel, sekaligus untuk mengabarkan kepada kakaknya kalau Ibu sudah meninggal.

Dari Purwodadi ke Jakarta jadi perjalanan yang menarik bagi Elisa. Namun, Jakarta ternyata tidak seramah yang dibayangkan. Begitu keras kehidupan di kota metropolitan ini. Baru saja tiba di Jakarta, Elisa harus kerampokan oleh ibu-ibu penjual kopi. Berkat bantuan polisi dan alamat kantor yang tertera di wesel, Elisa bertemu Fahri, salah satu teman Iqbal, kakaknya. Dari Fahri, kehidupan Elisa bergulir warna-warni dan tersingkap pula beberapa hal yang selama ini Elisa tidak ketahui.

Jakarta Bukan Kota yang Ramah

Latar cerita novel ini di Jakarta. Gambaran Jakarta yang keras begitu tampak dalam beberapa kejadian yang dialami tokoh-tokohnya. Misal, Elisa yang kerampokan, Fahri yang menjadi kurir barang haram, Mas Memet yang jadi banci dan menurut rumornya harus sampai jual diri, bahkan pemandangan kehidupan orang-orang yang tinggal di rumah susun. 

Jakarta yang keras juga menjadi berkumpulnya banyak orang dengan ragam tabiat, baik-buruk. Dijelaskan di novel ini jika di Jakarta kita tidak bisa asal menilai seseorang.

"Kamu lugu atau naif? Penjahat itu enggak melulu harus laki-laki, enggak melulu harus preman. Ibu-ibu penjahat juga banyak." (hal. 11).

Saya pertama kali menginjak Jakarta, tepatnya di Jakarta Utara, serasa sedang melakukan touring. Padahal saat itu saya ke Jakarta untuk bekerja menjaga toko sembako. Karena ada kejadian tidak mengenakan, saya kabur dan berpetualang dari Jakarta Utara ke Jakarta Pusat, lanjut ke Tanggerang. Selama perjalanan ini, saya beruntung karena mendapatkan banyak bantuan. Walau saat itu saya harus menginap di salah satu musolah di Pasar Baru. Tapi perjalanan kabur di Jakarta menjadi pengalaman yang seru banget.

Inkonsisten Soal Sudut Pandang Wesel Pos

Sudut pandang dalam novel ini diambil dari benda mati, Wesel Pos. Di awal-awal cerita, penggunaan sudut pandang ini memang efektif. Tapi semakin bergulirnya cerita, sudut pandang ini semakin tidak konsisten. Akibat dari kejadian yang dialami oleh tokoh utamanya, Elisa dan Fahri, berkembang jauh sehingga peran sudut pandang wesel ini tidak fungsi. Misalnya, ketika Fahri datang ke markas untuk mengambil barang dan menyatakan ingin berhenti jadi kurir, jadi penceritaan berubah menjadi sudut pandang orang ketiga. Karena memang harus diakui jika wesel pos ini tidak melekat terus dengan tokoh-tokohnya, sehingga banyak sekali bagian cerita yang berubah sudut pandang.

Menurut saya, jika sudut pandang ini dirubah ke sudut pandang orang ketiga pun tidak masalah. Karena pengaruh sudut pandang wesel pos tidak berarti signifikan. Pemilihan ini seolah untuk membuat novelnya lebih unik dan berbeda.

Rasa Film Televisi (FTV)

Alur novel Wesel Pos ini maju dan bergulir lumayan cepat. Berkat gaya bercerita yang lugas dan jelas, saya bisa menikmati alurnya seolah sedang menonton film televisi atau FTV. Ratih Kumala berhasil membuka semua pertanyaan soal perjalanan Elisa di Jakarta dengan pelan-pelan dan rapi. Pembaca terus dibuat penasaran dengan apa yang akan di alami Elisa. Misal, apa yang akan terjadi setelah Elisa kerampokan, bagaimana dia menemukan kakaknya yang menurut informasi Fahri sudah 2 tahun tidak bekerja di perusahaan itu, dan bagaimana nasib Elisa selanjutnya setelah pencariannya ke Jakarta tidak sesuai harapan.

Ending novel Wesel Pos ini cukup terbuka lebar jika akan dibuat sekuel. Kehidupan Elisa akan lebih pelik setelah kejadian tragis yang menimpa Fahri. Dan tentu saja kisah roman Elisa ini berpotensi besar dijadikan novel sekuel, kira-kira Elisa akan bertemu siapa lagi selama di Jakarta ini.

Nah, jika kita perhatikan di belakang kover novel ini, ada kode rate 18+ yang tentu saja artinya novel ini memiliki muatan alur cerita yang pantasnya dibaca oleh pembaca dewasa. Dalam benak saya, rate tersebut menyiratkan adegan vulgar semata. Ketahuan nih kalo sempit banget pemahaman saya, taunya ada adegan indehoy aja.

Tetapi di novel ini justru adegan vulgarnya minim sekali. Langsung mengelus dada, menghela nafas, yah huft! Rupanya yang dimaksud muatan dewasa dalam novel ini lebih ke konteks kehidupan banci dan transaksi narkoba. Dua hal ini jelas belum pantas dibaca oleh pembaca remaja atau anak-anak, sehingga peringatan rate ini sudah tepat.

Apakah novel Wesel Pos karya Ratih Kumala ini menarik?

Secara keseluruhan saya puas sekali bisa membaca cerita Elisa dan Fahri di novel ini. Tidak perlu pusing memahami ceritanya karena alurnya bergulir lancar bak aliran air di sungai pada musim hujan. Eh, tapi kan suka ada banjir bandang? Iya, di novel ini juga ada bagian yang bikin tegang, pas penyergapan Fahri itu, anggap aja itu banjir bandangnya, hehe.

Jika mesti saya nilai, saya akan kasih 4 bintang dari 5 bintang. Perkenalan yang manis bukan? Makanya novel selanjutnya yang akan saya baca pun masih karya Ratih Kumala, sebuah kumpulan cerita berjudul Larutan Senja. Nantikan ya resensinya. 

Sekian ulasan dari saya, terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!

Agustus 22, 2021

[Resensi] The Hen Who Dreamed She Could Fly - Hwang Sun-Mi



Judul: The Hen Who Dreamed She Could Fly

Penulis: Hwang Sun-Mi

Penerjemah: Dwita Rizki

Editor: Harum Sari, Dian Pranasari

Penerbit: Penerbit BACA

Terbit: November 2020, cetakan pertama

Tebal buku: x + 214 hlm.

ISBN: 9786026486523

***

Dari balik kandang, seekor ayam petelur yang menamai dirinya sendiri Daun selalu menyaksikan kehidupan keluarga halaman yang penuh kebahagiaan. Ayam Betina mengerami telur. Beber-bebek berbaris menuju bendungan. Anjing Tua yang selalu kalah ketika berebut makanan dengan Ayam Jantan. Daun ingin berhenti menjadi ayam petelur. Daun ingin keluar, bebas, dan menjadi ibu; bertelur dan mengeraminya.

Tatkala kesempatan keluar kandang tiba, Daun harus berhadapan dengan penolakan keluarga halaman dan ancaman Musang lapar yang hendak menerkam. Hidup di luar kandang tidak semudah yang daun bayangkan. Namun Daun berhasil menetaskan Jambul Hijau, seekor anak bebek yang berbeda dengan bebek-bebek di halaman.

The Hen Who Dreamed She Could Fly adalah dongeng indah yang menguatkan tekad untuk memupuk impian. Sebuah kisah tentang bersikap penuh kasih sayang, keberanian, pengorbanan, dan tulus mencintai tanpa membeda-bedakan. Begitu diterbitkan, The Hen Who Dreamed She Could Fly langsung mencuri perhatian pembaca Korea. Berada di daftar buku terlaris selama sepuluh tahun berturut-turut dan menginspirasi film animasi terpopuler dalam sejarah Korea.

***

Novel ini tergolong fabel. Menurut KBBI, fabel adalah 
cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang (berisi pendidikan moral dan budi pekerti). Ditulis oleh penulis berasal dari Korea dan novel ini laris diterjemahkan ke banyak bahasa.

Premisnya, seekor ayam betina petelur yang memiliki keinginan untuk punya kehidupan seperti ayam betina umumnya: mengerami telur, menyaksikan anaknya menetas, dan bisa menikmati kehidupan normal bersama anak-anaknya. Tapi sebagai ayam petelur, dia meradang setiap kali melihat telurnya diambil majikan dan entah diapakan. Keinginan ini yang membuat gairah hidupnya menurun, diliputi kesedihan.

Begitu ada kesempatan untuk keluar kandang, Daun si ayam petelur ini, menghadapi banyak kesulitan: diincar Musang si Pemangsa, ditolak oleh keluarga halaman, tidak punya sarang, dan kelaparan. Tapi mimpinya yang bikin Daun kuat. Sampai akhirnya dia menemukan sebuah telur dan mengeraminya. Bahagia membuncah karena impiannya terwujud. Namun begitu menetas, yang lahir ternyata anak bebek liar. Ini tantangan baru, dia akhirnya punya anak, tapi bebek yang dipelihara ayam betina tetaplah bebek.

Dongeng Petualangan

Cerita apa pun, jika ada unsur petualangan, menurut saya selalu menarik. Ada nilai perjuangan, latihan kesabaran, dan pendewasaan, yang membuat petualangan itu bernilai lebih. Walau karakter di novel ini adalah hewan, namun nilai yang selipkan pada kisahnya relevan untuk kehidupan manusia. 

Petualangan yang saya maksud tentu saja perjalanan Daun menemukan sarang baru, pelariannya mencari sarang aman untuk anaknya, dan pertemuannya dengan kebanyak kejadian yang menegangkan ketika jadi sasaran si Musang. Saya yakin kisah petualangan hewan begini akan menarik perhatian anak-anak jika orang tua bersedia menceritakannya. Hitung-hitung menanamkan nilai-nilai kebaikan sejak dini, hehe.

Kemasan Sederhana Tapi Memikat

Karena ini cerita fabel, penulis mengemas kisahnya dengan diksi sederhana. Alur cerita, kejadian-kejadian, dan konflik yang dibangun penulis tidak menyimpang dari kewajaran prilaku hewan. Penilaian ini yang membuat buku ini disajikan apa adanya. Saya menyebut demikian karena beberapa kali saya menemukan cerita hewan yang prilakunya manusia banget, misal kelinci menggunakan ponsel, anjing menggunakan sepeda, atau hewan lain yang melakukan aktifitas manusia atau menggunakan fasilitas manusia. Tidak keliru sebenarnya, tapi menurut saya berlebihan.

Dengan kemasan sederhana tapi memikat ini, pembaca jadi belajar bagaimana prilaku hewan tertentu. Misal hewan bebek yang suka berkelompok, ayam jantan yang kadang superior, dan musang yang punya naluri memangsa. Lumayan bukan untuk nambah wawasan soal hewan-hewan.

Ada Bawang-Bawangnya

Dulu sekali, saya pernah membaca buku fabel, dan kebanyakan memiliki jalan cerita yang mencerahkan. Misal, cerita Tokek mengejek Semut yang mengumpulkan makanan setiap hari. Begitu musim hujan dan banjir, Semut punya persediaan makanan sedangkan Tokek kelaparan. Akhir cerita Semut berbagi makanan dengan Tokek. 

Namun di buku ini cerita dibuat kental dengan emosi sedih. Apalagi menjelang akhir kisah, Daun harus merelakan Bebek Jambul Hijau pergi bersama kelompoknya untuk melanjutkan perjalanan migrasi. Alasan jadi momen sedih karena kedekatan yang terbangun antara Daun dan Bebek Jambul Hijau sudah seperti ikatan ibu dan anak. Dan perpisahan ibu dan anak selalu menjadi titik paling menyedihkan, apalagi di kehidupan manusia.

Bermimpi, Berjuang, Ikhlaskan

Ketiga pesan ini begitu terasa di dalam kisah Daun. Bermimpi; Daun mengajarkan untuk memiliki impian setinggi dan semutahil mungkin. Jika itu bisa membuat kita bahagia. tidak salah jika dicoba dulu. Berjuang: Dalam mewujudkan impian yang besar tadi, dibutuhkan usaha yang lebih besar dan lebih giat. Jangan harap akan menemukan jalan mudah, sebab setiap proses mencapai sesuatu akan ditemukan kerikil-kerikil yang mesti dihadapi. Ikhlaskan: Setelah melalui proses panjang untuk mewujudukan impian besar kita, apa pun hasilnya, kita mesti memiliki hati yang luas untuk proses terakhir, mengikhlaskan hasil yang sudah kita upayakan, apa pun ujungnya.

Sekian ulasan saya, terakhir, jaga kesehatan dan selamat membaca buku!