[Resensi] Table for Two - Dy Lunaly


Judul: Table for Two
Penulis: Dy Lunaly
Penyunting: Pratiwi Utami
Penerbit: Bentang Belia
Terbit: Cetakan pertama, Desember 2016
Tebal: iv + 260 hlm.
ISBN: 9786021383636

"Aku pernah janji untuk selalu ngelindungin kamu. Itu alasan kenapa aku nggak bisa berhenti bertinju, sekalipun kamu minta aku untuk berhenti. Aku cuma bisa ngelindungin kamu kalau aku kuat." (Hal. 112)

*****

Novel Table for Two ini merupakan bagian dari novel series Olahraga yang digagas penerbit Bentang Belia. Masih ada empat judul lainnya: Let's Break Up karya Anjani Fitriana, Other Half of Me karya Elsa Puspita, My Favorite Distruction karya Naala, dan Happiness is You karya Clara Canceriana.

Untuk Table for Two ini, olahraga yang menjadi tema utama adalah tinju. Membawa kisah Asha yang harus menjadi pendamping diet untuk sahabat masa kecilnya yang seorang petinju. Konflik muncul karena Asha dan Arga pernah berantem tujuh tahun lalu perkara soal Arga yang keukeuh menjalani cita-cita menjadi petinju profesional. Asha meminta Arga berhenti karena cerita menyedihkan meninggalnya sang papa sewaktu tanding tinju di Amerika.

Alur cerita dalam novel ini memang mengejutkan. Latar belakang kenapa Asha berantem dengan Arga, alasan Arga ketus kepada Asha, dan alasan Arga memilih jadi petinju, dibeberkan perlahan-lahan. Sehingga teknik menulis begini membuat saya penasaran dan terus membaca karena keseruan yang ditimbulkannya.

Saya bukan penyuka olahraga tinju jadi tidak terlalu tahu seluk-beluknya. Di sini pun saya mendapati kalau penulis tidak mendalami emosi orang-orang yang memilih penjadi petinju. Sekedar teknik dasar memang diselipkan, tapi kedalaman profesinya tidak sampai kepada saya selaku pembaca. Termasuk profesi mamanya Asha sebagai ahli gizi, tidak tereksplorasi secara mendalam. Menu diet yang disebutkan sekadar nama saja tanpa ada penjelasan lebih rinci tentang manfaat, takaran dan kombinasi menu atau bahan-bahannya.

Kesimpulan profesi yang saya tangkap berupa: untuk kelas dalam tinju ditentukan oleh berat badan makanya dibutuhkan diet untuk mencapai berat badan sesuai kelas. Istilah tinju paling sering disebut dalam novel ini adalah Sparring. Alat tinju yang disebutkan antara lain sarung tinju dan samsak. Sedangkan untuk dunia pergizian hanya informasi berupa penting sekali mengetahui kadar makanan yang kita makan baik berupa jumlah kalori atau ketersediaan unsur karbohidrat, protein dan sebagainya.

Dominasi hal lain yang ditulis penulis adalah mengenai rasa dan proses menerima kehilangan. Asha, mama, dan Om Bima menjadi orang-orang yang terbelenggu atas meninggalnya papanya Asha. Ketiga orang tadi memiliki alasan masing-masing memendam penyesalan atas kejadian itu. Namun penulis membawa cerita kehilangan ini menuju proses menerima kenyataan dengan cara yang bijaksana. Sebab ketiga pihak tadi tidak menjadikan penyesalan sebagai sesuatu yang menghalangi kehidupan ke depannya. Walaupun kesedihan kerap menimpa mereka dalam kondisi-kondisi tertentu terutama ketika mengingat hal-hal yang berkaitan dengan papanya Asha.

Unsur roman yang diracik penulis juga menarik. Terutama mengenai hati Asha akan berlabuh kemana, antara Arga atau Rama. Rama ini adalah pekerja di klinik mamanya Asha, yang perhatiannya melebihi sosok kakak. Penulis mengakhiri kebimbangan Asha dengan cukup baik. Asha memilih orang yang tepat setelah hatinya dilanda kebimbangan. Alasan kenapa Asha memilih pilihannya sangat saya terima. Kalau mau tau siapa yang dipilih Asha, langsung baca aja novelnya, hehe.

Beberapa hal dalam novel ini juga menjadi sorotan saya. Terutama karakter Arga yang temperamental, ketus, pendiam, suram, mendadak berubah ketika di bab menjelang akhir buku. Perubahannya terlalu cepat padahal Arga dan Asha habis bertengkar hebat. Apalagi di pertengkaran itu Arga menghina orang-orang yang Asha sayangi. Kalau saya di posisi Asha, bakal berat banget untuk memaafkan ucapan Arga yang mengandung hinaan, merendahkan dan tuduhan.

Penyelesaian konflik novel ini pun terasa terburu-buru. Ini lagi lagi berkaitan dengan mudahnya Arga dan Asha berdamai padahal konflik mereka terbilang runcing. Sehingga menjelang akhir buku, saya merasa kurang bisa menikmati alur cerita demi menutup kisah Arga dan Asha. Terutama adegan Asha yang berbincang dengan Arga setelah Arga siuman pasca pingsan. Mereka bisa bercanda sedemikan rupa padahal sebelumnya mereka berseteru hebat. Aneh saja buat logika saya.

Sebagai penutup, terlepas dari kekurangan (menurut saya) di atas, novel Table for Two ini nyaman dibaca. Kita akan disuguhi pelajaran bagaimana berdamai dengan masa lalu, dan bukan menjadikan masa lalu sebagai ganjalan untuk masa depan.

*****

Ternyata kenangan bahagia, tidak peduli selama apa pun tersimpan, selalu menghadirkan getar kerinduan ketika mengingatnya. (Hal. 7)

Ternyata benar, kenangan tidak tersimpan dalam ingatan atau hati. Tetapi, pada benda atau tempat kenangan itu terjadi. (Hal. 64)

...kuat itu bukan yang bisa mengalahkan lawan, melainkan seseorang yang bisa dihormati dan dihargai karena berhasil mengalahkan keinginan untuk balas dendam. (Hal. 143)

2 komentar:

  1. Kadang emang klo nemu udahlah cerita konfliknya rumit, e ndilalah mnuju akhir kaya keburu2 , berasa ada something mis gitu ya din

    Kebanyakan karakter utama pria knp sifatnya dingin n ketus yes huhui

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biasanya kecapekan nulis kayaknya hehehe

      Karakter cowok dingin dan ketus kelihatan cool. Jadi tampak menarik di mata cewek

      Hapus