[Resensi] Ibu Susu - Rio Johan


Judul
: Ibu Susu
Penulis: Rio Johan
Penyunting: Christina M. Udiani
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Terbit: Oktober 2017, cetakan pertama
Tebal: vi + 202 hlm.
ISBN: 9786024246921

Masih ingat betul, saya beli buku Ibu Susu ini ketika acara Gramedia Book Fair di gramedia.com. Waktu itu banyak buku yang diobral murah, buku ini saja hanya dibandrol seharga 6K, dari harga aslinya 60K.

Lantas nggak ada alasan lain selain murah tadi yang bikin saya memilih buku ini, sebab Rio Johan ini entah penulis yang mana, karena saya belum pernah membaca buku karya beliau yang lainnya. Dan kali ini, lewat buku Ibu Susu, saya akhirnya bisa berkenalan dengan beliau.

Pertama yang ingin saya singgung, perkara sampul bukunya yang didominasi warna hitam. Ada gambar seseorang yang tengkurap di ranjang, di lantainya terdapat burung yang terkapar, gelas yang tergeletak, dan seekor ular yang mendesis. Lalu ada juga matahari yang meneteskan sesuatu, yang di dalamnya terdapat seorang bayi. Dugaan saya, tetesan tadi adalah curahan air susu, sedangkan si bayi merupakan salah satu tokoh yang ada di ceritanya. Sedangkan seseorang yang tengkurap itu bisa jadi perempuan Iksa.

Bicara soal sampul, harus saya akui desainnya tidak cukup menarik untuk bikin seseorang yang melihat buku ini akhirnya pengen beli. Ditambah judul bukunya yang pendek, dan kata "Ibu Susu" membuat buku ini tidak istimewa. Mungkin karena kategori sastra, penerbit memang tidak menata buku ini semenggugah akan disasarkan kepada pembaca milenial. Seolah penerbit memang mengkhususkan diri menerbitkan buku untuk pembaca paruh baya.

Ibu Susu mengisahkan seorang Firaun Theb yang didatangi mimpi perkara air susu yang melimpah. Menurutnya mimpi ini ada kaitannya dengan mukjizat kesembuhan calon firaun masa depan, Pangeran Sem, yang tengah sakit. Dan setelah beberapa kali penafsiran dilakukan oleh orang-orang kompeten di kerajaan, akhirnya dilakukan pencarian ibu susu yang ciri-cirinya sesuai penafsiran. Dan pada akhirnya memang ditemukan ibu susu yang memiliki ciri-ciri sama sesuai perhitungan dan ramalan juru wazir. Dilemanya ketika sosok ibu susu yang dicari dan sudah ditemukan, justru memiliki penyakit serius, borokan sekujur badan hingga luka-lukanya kadang meletus, menimbulkan banjir nanah.

Keteguhan hati Firaun Theb demi melihat Pangeran Sem sembuh, dia mengabaikan banyak hal dan menoleransi banyak sisi. Titahnya agar Perempuan Iksa  atau ibu susu mengabdikan diri dengan memberikan air susunya untuk Pangeran Sem, justru harus dibayar dengan tiga permintaan. Firaun Theb tidak berkutik, dan dengan kelapangan hati dia pun mengabulkan dua permintaan Perempuan Iksa. Namun pada permintaan ketiga, Firaun Theb justru menolak dan membuat keputusan yang membuatnya terpuruk.

Bahasa sastra memang kental sekali dalam buku ini. Pun narasinya penuh dengan diksi metafora, hiperbola, yang perlu waktu untuk memahaminya. Ditambah karena settingnya di zaman firaun, istilah-istilah mengenai lokasi, ritual, nama biji-bijian, nama dewa-dewi, sangat asing sekali. Jadi memang otak kita tidak perlu bekerja keras untuk membuat kita merasa ikut di dalam ceritanya. Saya sendiri lebih berprinsip menikmati alur ceritanya.



Cerita Firaun Theb ini memperlihatkan banyak sisi. Ada bagian yang menunjukkan kepada pembaca tentang situasi pemerintahan, dalam buku ini berbentuk kerajaan, yang diisi oleh orang-orang yang baik atau yang buruk tabiatnya. Lalu ada juga bagian yang menggambarkan hubungan orang tua dan anak yang diliputi cinta. Ada sosok ibu yang merasa merana menyaksikan anaknya sakit tidak berdaya, ada juga sosok ayah yang akan melakukan apa pun demi kebaikan anaknya.

Selain itu ada juga bagian yang memperlihatkan bagian romansa. Ini tergambar jelas ketika Meth, istri Firaun Theb, merasa cemburu ketika permintaan kedua Perempuan Iksa harus dijalankan demi tujuan anaknya sembuh. Kegundahan hati perempuan tampak jelas yang dirasakan Meth, dilema memilih rasa cemburunya atau kesembuhan Pangeran Sem.

Kesan saya setelah membaca buku ini; tidak terhubung dengan ceritanya, tidak mendapatkan nilai dari pesan moralnya, tapi ceritanya dapat diterima dan dapat dinikmati. Ibaratnya, saya seperti menikmati dongeng.

 Sekian tulisan saya, terakhir, selamat membaca buku!

4 komentar:

  1. pengarangnya dari lokal ya din, takirain buku luar soalnya nama nama tokohnya kayak nama timur tengah aka middle east

    menurutku kok covernya malah justru artistik ya...wekekekke

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, ini penulis lokal, dan ternyata bagus juga karyanya ini.

      Setuju Mbak kalo kovernya art banget tapi menurut saya belum bikin memikat, hehe. Apa saya memang lebih sukanya yang berwarna-warni kali ya..

      Hapus
  2. Jika tak salah ingat, saya baca buku ini pada 2018. Beberapa garis besar cerita masih terekam jelas, apalagi bagian payudara si ibu susu yang satu-satunya mulus sekalipun bagian tubuh lain menderita penyakit kulit. Bagian lucunya adalah ketika si ibu susu alias Perempuan Iksa itu meminta permintaan banyak banget. Saya kira tuh udah berhenti, ternyata dia masih mencerocos lagi tentang bahan-bahan itu. Cara yang cerdik buat memperpanjang halaman sekaligus menyisipkan komedi satir.

    Karya Rio cukup aneh-aneh buat saya. Tapi entah mengapa jadi suatu kebaruan dibandingkan novel-novel yang katanya sastra dan penulisnya sudah bapak-bapak itu. Saya kira memang perlu memberi tempat kepada penulis-penulis muda demi adanya kesegaran semaacam ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener juga Yog, memang sudah seharusnya penulis muda unjuk kebolehan membuat karya yang "nyastra" sebab karya begini biasanya punya muatan nilai yang lebih berbobot. Berbeda dengan karya urban, yang menurut saya lebih banyak menyodorkan kenikmatan jalan cerita dibanding nilainya.

      Kayaknya novel ini merupakan karya pertama Rio Johan yang saya baca. Dan saya tambah penasaran dengan karya-karya beliau yang lainnya.

      Hapus