Tampilkan postingan dengan label Penerbit Ping. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penerbit Ping. Tampilkan semua postingan

Juli 06, 2021

[Resensi] Interval - Diasya Kurnia


Judul: Interval

Penulis: Diasya Kurnia

Penyunting: Ainini

Terbit: 2016, cetakan pertama

Penerbit: Ping!

Tebal: 176 hlm.

ISBN: 9786023910595

***

Bagaimanapun, aku hanya gadis SMA. Selayaknya, saat ini aku sedang merasakan asmara. Tapi, justru seakan semua awan mendung dikirim dalam masa kehidupan yang katanya penuh warna ini.

Persaingan menjadi ketua ekskul tari di sekolah menyeret statusku sebagai penari jathil keliling yang dianggap rendah. Rey, satu-satunya sahabatku, tiba-tiba menjauh. Dan seakan itu belum cukup, Kakek mengusir Carl, guru baru yang menjadi idola di sekolah, hanya karena dia orang asing.

Tidak sekali aku berpikir bahwa tentu hidupku akan berbeda jika orang tuaku bersedia tetap di sisi. Tampaknya, waktu tidak selalu menjadi obat mujarab bagi luka. Bahkan setelah jeda yang lama, beberapa dari masa lalu masih bergelayut. Termasuk pertanyaan kepada orang tuaku: "Kenapa kalian memilih pergi?"

Tapi semakin dekat dengah tujuan, aku bimbang. Benarkah aku ingin tahu jawaban mereka?

***

Interval, kalo diliat di KBBI artinya, "Masa antara dua kejadian yang bertalian." Judul buku ini seperti mengisyaratkan kalau ada satu masa yang menghubungkan dua periode. Saya sendiri menyimpulkan seperti alur berikut: sebab --> proses --> akibat. Interval ini ada di posisi proses.

Interval menceritakan tentang Kinanti, remaja SMA, yang yatim piatu, dan untuk membantu kakeknya dalam hal ekonomi, dia menjalani sebagai penari jathil. Penari daerah yang kerap dipandang sebelah mata, apalagi perempuan pelakonnya kadang mendapat sebutan yang tak pantas karena biasanya perempuan yang jadi penari, mudah dijamah dan dilecehkan. Kinan menjalani masa SMA yang penuh pilu, beruntungnya dia punya kawan yang peduli, namanya Rei.

Namun, perjalanan Kinanti dewasa berujung ke Amerika demi menemui seseorang yang ia suka, sekaligus mencari keluarganya. Penuh drama dan penuh kejadian tragis. Kinanti seperti dihujani banyak ketidakberuntungan.

Tema dalam novel Interval ini merupakan campuran antara roman dan keluarga. Roman yang diusung bukan roman yang mulus dan romantis, tapi tragis. Saat SMA, dia menyukai teman sekelas yang justru sudah jadi pacar bintang sekolah. Yang terjadi pada saat itu justru menempatkan Kinanti menjadi bulan-bulanan Ratih.

Begitu dewasa, di sela pencariannya, Kinan menemukan sosok yang ia sukai pada masa sekolah. Sayangnya, justru orang tersebut sudah punya pasangan dan tak lama lagi akan menikah. Begitu waktu move on berlangsung, dia bertemu sosok pria baru yang merupakan orang yang dekat dengan keluarganya, tapi fakta kalau sosok ini punya orientasi beda, Kinanti merasakan patah hati. Novel ini terbilang berani membawakan tema orientasi seksual yang beragam. Meski sebagai bumbu penyedap cerita, dinamisnya roman yang ditampilkan akan bikin pembaca penasaran dengan ujung kisah cinta Kinanti.

Tema keluarga sangat terasa dari narasi soal kakeknya dan perjalanan Kinanti ke Amerika demi menemui keluarganya. Proses mencari ini yang kemudian menjadi sarana penulis membawa pembaca menikmati latar Amerika. Apa Kinanti bisa menemukan keluarganya? Mending baca saja novelnya, yang pasti, "Apa yang kita mau, belum tentu dikabulkan Tuhan."

Dipikir-pikir, di tengah buku, saya sempat kaget karena mendapati perpindahan rentang waktu yang signifikan. Diceritakan Kinanti remaja ini sedang berjuang membentuk namanya sebagai penari jathil yang tidak seperti orang-orang bayangkan, namun mendadak cerita bergulir enam tahun kemudian ketika Kinanti sudah kerja dan sedang dalam perjalanan ke New York. Disitulah saya menyayangkan kenapa begitu cepat proses penyelesaian konflik Kinanti di masa SMA.

Dan tambah ke belakang, cerita Kinanti ini dibuat sangat kilat. Termasuk kejadian ketika dia kehilangan sahabatnya yang bunuh diri. Tidak ada narasai jelas, tiba-tiba Kinanti sudah bersedih dan merasa ikut bertanggung jawab atas keputusan sahabatnya itu untuk bunuh diri.

Terlepas dari catatan saya di atas, novel Interval ini enak dinikmati kok. Dan mungkin ceritanya akan lebih tergali kalau saja penulis atau penerbit membuat novel ini lebih tebal, sehingga ceritanya lebih kaya.

Sekian ulasan saya, terakhir, selamat membaca buku!


Februari 27, 2016

[Resensi] Kasta, Kita, Kata-Kata - Ardila Chaka


Berawal dari hati yang terusik. Galih memperjuangkan sesuatu yang bukan kewajibannya untuk meyakinkan seorang gadis bahwa hidup bisa lebih indah dari senja di Kalibiru. Berawal dari rasa terima kasih, sang gadis penikmat senja berhasil merobohkan dinding keterbatasan. Melalui pena, ia merangkai kata dan menggores cerita dalam lukisan. Sehingga, surat-suratnya menjadi pelecut semangat bagi Galih untuk mengoyak segala ketidaksempurnaan. Dari sebuah dataran tinggi di Yogyakarta, kisah ini bermula.

Cinta ialah tentang bagaimana kekurangan bisa menjadi sumber kekuatan.


Judul buku : Kasta, Kita, Kata-Kata
Penulis : Ardila Chaka
Penyunting : Avifah Ve
Penyelaras akhir : RN
Tata sampul : Wulan Nugra
Tata isi : Violetta
Pracetak : Endang
Penerbit : PING
Terbit : 2016
Ukuran buku : 188 hlm; 13 x 19 cm
ISBN : 9786022961833


Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih untuk penerbit Divapress yang menghadiahi saya novel istimewa ini. Dan saya berusaha objektif ketika harus menceritakan kesan setelah membacanya hingga halaman terakhir.

Novel ini istimewa karena sederhana. Tema yang sederhana; persahabatan, keluarga dan sedikit bumbu cinta-cintaan. Gaya bercerita yang sederhana; menggunakan diksi yang apik percampuran bahasa puisi dan bahasa sehari-hari. Setting yang sederhana; desa wisata bernama Kalibiru dengan Waduk Sermo-nya yang menawan (saya menilai demikian setelah meng-googling). Pesan sederhana; jangan pernah patah semangat untuk belajar.

Kasta, Kita, Kata-Kata, berkisah seorang gadis 16 tahun bernama Ajeng yang memiliki gangguan bahasa afasia broca (penjelasan di halaman 49) yang dipertemukan dengan Galih, pemuda 17 tahun. Benang merahnya ditonjolkan pada perjuangan Galih membuat Ajeng bisa baca tulis, dan perjuangan Ajeng belajar agar bisa memenuhi harapan Galih dan orang tuanya.

Kasta, membahas latar belakang kedua tokoh utama yang tidak sepadan. Galih anak dari pemilik sawah yang digarap orang tua Ajeng. Sehingga perbedaan ini pun sempat mencuat menjadi konflik.

Kita, menerangkan hubungan Ajeng dan Galih yang terjalin dengan sangat murni, perasaan sederhana ingin menolong. Galih memiliki kepekaan peduli terhadap orang lain yang tinggi. Demi dilihatnya seorang Ajeng yang sering menjadi bahan omongan karena kekurangannya, Galih memutuskan membantu Ajeng belajar dengan dibantu Mbak Lia, mahasiswa KKN UGM.

Kata-Kata, salah satu poin yang kemudian menjadi pusat kedua tokoh utama bisa bersinggungan. Ajeng tidak lancar berbicara, Galih merasa terpanggil merubahnya.

Saya sangat menikmati novel ini. Jika harus saya melabelkan kata pada novel ini, indonesia dan kedaerahan adalah dua kata yang tepat. Penulis berhasil membangun situasi sebuah desa yang masih asri dengan keindahan waduknya. Saya sebagai pembaca diajak untuk membayangkan bukit Joglo dengan pemandangan Waduk Sermo. Tidak ada kemacetan, tidak ada narasi teknologi yang berlebihan, saya merasa ikut berada di sebuah kampung yang keasriaannya masih terjaga.

Selain Ajeng dan Galih, novel ini juga menghadirkan peran-peran sampingan yang ikut memberikan warna. April, adik Ajeng yang normal, cantik, supel dan pinter. Karakternya berkebalikan dengan kakaknya, Ajeng. Dia ditempatkan oleh penulis sebagai saingan Ajeng. Orang tua Galih, yang secara pola pikir sudah lebih luas ketika membicarakan soal keadaan di masyarakat Kalibiru. Kecuali untuk Bapaknya, ada penilaian pesimis terhadap pendidikan tinggi. Orang tua Ajeng, merupakan gambaran orang tua dengan pola pikir kampung yang tidak terlalu tahu hal-hal di luar kesehariannya di kampung. Namun keunggulan orang tua Ajeng terletak pada bagaimana mereka mendukung semua keputusan anak selama hal itu baik.

Plot yang digunakan penulis merupakan percampuran plot maju dan mundur. Pemilihan plot mundur yang dikemas dengan narasi, membuat novel ini tetap pada jalur mengulik perjalanan Ajeng dan Galih. Jika diceritakan dengan kemasan penceritaan seperti masa sekarang, saya punya keyakinan novel ini akan lebih tebal dan akan membuat cerita berputar-putar jauh dahulu sebelum kembali ke jalur utamanya.

Ada tiga bagian cerita yang membuat saya hampir ikut menangis. Pertama, ketika Mbak Lia harus kembali ke kota dan meninggalkan Ajeng (halaman 113 – 117). Posisi saat itu, Ajeng sudah mengalami perkembangan pesat dalam belajar membaca dan menulis. Kemajuan itu berkat kegigihan Mbak Lia juga. Hubungan mereka yang kurang dari 2 bulan tersebut telah membentuk ikatan seperti kakak adik. Ajeng merasa sedih karena dia kehilangan sosok pengajar yang hebat. Narasinya benar-benar mengharukan dan pembaca akan sangat gampang turut ikut sedih sebab pembaca sudah dijejali bagaimana Mbak Lia membimbing Ajeng.

Kedua, ketika Galih sudah kembali ke rumah setelah dirawat di rumah sakit karena kecelakaan, Bapaknya berbohong soal teman dekatnya bernama Agung (halaman 144 – 150). Saya pun akan marah kalau kekhawatiran saya pada teman baik dianggap baik-baik saja oleh Bapak, padahal teman baik saya itu sudah dimakamkan. Emosi yang muncul karena kesal, marah, sedih, bercampur dan bingung harus merasakan yang mana dulu.

Ketiga, ketika Galih akan berangkat ke sekolahnya untuk bertemu guru BK menanyakan soal beasiswanya di UGM, ia dilarang mengendarai motor oleh ibunya karena baru sembuh kecelakaan. Lalu sang Bapak muncul menawarkan diri. Ini yang paling mengharukan. Padahal Bapaknya tidak pernah setuju dengan keinginan Galih kuliah. Berminggu-minggu Galih berusaha menyampaikan niatan itu, namun sang Bapak keukeuh tidak setuju. Dan ketika akhirnya Bapak menawarkan diri mengantar Galih, itu isyarat kalau ia setuju dengan keinginan Galih kuliah. Kesabaran Galih berbuah manis.

Dan dua jempol bagi penulis yang menyisipkan bumbu cinta-cintaan untuk kedua tokoh utama tanpa merusak kesederhanaan tema lainnya. Halus sekali penulis membahas perasaan kertertarikan Ajeng pada Galih, Galih pada Ajeng. Yang akhirnya disuguhkan terang-terangan justru perasaan April pada Agung, namun justru memilukan. Mungkin penulis mempertimbangan hubungan percintaan anak muda umur 16-17 tahunan dengan setting pedesaan tidak bisa dieksplor seperti percintaan ala anak metropolitan atau kota besar lainnya. Terlalu tabu, bahkan sekedar berpelukan.

Tidak ada karya yang sempurna, begitu pun dengan novel ini. Saya masih menemukan beberapa typo yang jumlahnya tidak banyak dan tidak mengganggu proses saya membaca. Kemudian saya juga menemukan keanehan pada sifat Ajeng yang sangat polos berubah menjadi sosok yang cuek dan pengumpat di halaman 98-99.

Aku sendiri sedang tak ingin ambil pusing. (hal.98)
Sial! Aku memimpikan Galih. (hal.99)

Berikut ini beberapa kutipan menarik yang saya tandai selama membaca:

  • “...Dewasa itu di pikiran, Pak....” (hal.12)
  • Begitulah hidup. Selalu ada yang dibandingkan,.. (hal.22)
  • Banyak batasan yang seharusnya bisa dilepaskan. (hal.29)
  • ...setiap perbuatan yang dilakukan selalu dapat timbal balik. (hal.31)
  • “Orang berbuat salah memang terkadang tidak terasa...” (hal.31)
  • Belajar memang perlu sabar. (hal.84)
  • Perpisahan harus tetap terjadi. Layaknya pertemuan yang tak terelakan. (hal.114)
  • Air mata setetes justru lebih tulus dibandingkan dengan yang mengalir deras. (hal.126)

Akhirnya, saya bersyukur dijodohkan dengan novel yang istimewa ini. Banyak hal yang saya dapatkan dari cerita Ajeng dan Galih. Novel ini saya rekomendasikan untuk pembaca yang ingin menikmati bacaan dengan setting pedesaan ditambah cerita dengan nilai kemanusiaan yang benar-benar murni. Saya memberikan rating 4 dari 5 untuk Kasta, Kita, Kata-Kata.