Tampilkan postingan dengan label Penerbit Diva Press. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penerbit Diva Press. Tampilkan semua postingan

Oktober 18, 2021

[Resensi] Basirah - Yetti A. KA



Judul: Basirah

Penulis: Yetti A. KA

Penyunting: Misni Parjiati

Penerbit: DIVA Press

Terbit: Oktober 2018

Tebal: 184 hlm.

ISBN: 9786023916252

***

Langit berwarna pekat. Seorang perempuan orang tua tunggal membaca pertanda alam lewat kartu tarot. Seekor anjing raksasa mati dibunuh dengan cara mengenaskan. Seorang perempuan tua yang lebih suka bercakap-cakap dengan arwah anak dan suaminya. Anak gadis berjiwa dewasa terperangkap dalam kekeliruan.

Di Kota Basirah ini semua hal tidak masuk akal bisa terjadi. Mungkin, sesuai arti namanya, kota ini menunjukkan inti perasaan terdalam penghuninya, yang tak selalu seputih kapas, tapi juga sehitam malam.

***

Awalnya saya kira Basirah itu nama tokoh tapi ternyata bukan, itu nama kota kecil, pada novel ini seperti terletak di Pulau Sumatra. Basirah memiliki arti inti perasaan terdalam. Entah apa relevansinya dengan situasi kota tersebut yang sepi, jauh dari kota ramai, dan tidak banyak penduduk tampaknya. Disebutkan oleh penulis kota ini juga didominasi oleh orang-orang yang religius.

Novel Basirah ini menceritakan kehidupan anak perempuan berusia delapan tahun bernama Imi. Dia tinggal bersama Mamanya yang berprofesi sebagai pembaca kartu tarot. Imi selalu dibilang anak aneh dan istimewa. Dia senang berkhayal dan berbicara dengan hatinya sendiri.

Imi kecil begitu polos. Dia berteman dengan Nenek Wu, salah satu tetangga rumahnya, yang tinggal sendirian. Tapi Imi percaya kalau Nenek Wu tidak kesepian sebab dia ditemani hantu suami dan anaknya yang sudah meninggal karena kebakaran.

Imi juga begitu sayang kepada Paman Pohon, yang kata Mama, Paman Pohon adalah penolong. Meski Imi tidak punya saudara (paman, bibi, kakek, nenek, adik, atau kakak), dia bersyukur punya Paman Pohon yang menyenangkan.

Alur cerita dimulai ketika suatu pagi Imi dan Mama menemukan anjing raksasa peliharaan mereka 'Bolok', mati dengan luka di leher dan salah satu kupingnya dipotong. Untuk sementara waktu mereka mengabaikan pertanyaan siapa pelakunya, dan justru mengutamakan untuk membuang bangkai anjing itu ke lokasi dimana anjing tersebut ditemukan dulu.

Lalu emosi Mama kerap naik-turun jika sedang ada masalah. Beliau terganggu dengan kabar jika Paman Pohon berpacaran dan akan menikah dengan Tante Miri. Rasa cemburu membuat Mama menarik diri dari siapa pun, kecuali dengan Imi.

Puncak konflik terjadi ketika Imi menghilang. Mama dan yang lainnya mencari tapi tidak ketemu. Pada rentang waktu itu, Nenek Wu meninggal dibakar di rumahnya karena masyarakat menganggap Nenek Wu penyihir dan sudah menculik anak-anak.



Novel ini diceritakan melalui sudut pandang Imi dan Nenek Wu. Dominasi penggunaan narasinya dengan format kalimat tidak langsung dan saya harus benar-benar fokus untuk bisa memahami siapa yang sedang bercerita. Sebelumnya saya tidak pernah menemukan novel dengan format ini dan membaca novel Basirah ini menjadi pengalaman menarik bagi saya.

Secara garis besar, novel ini hanya menceritakan kehidupan Imi sebagai tokoh utama. Mama, Paman Pohon, Bolok, dan Nenek Wu, berfungsi sebagai penunjang cerita saja. Alur cerita besarnya sebenarnya sedikit. Justru penulis lebih banyak menggali latar belakang beberapa tokoh sehingga pembaca bisa mengenal lebih dalam.

Misalnya, latar belakang Mama yang memilih tinggal di kota Basirah dan mempunyai anak tapi tanpa ada suami. Ataupun mengenai latar belakang Nenek Wu yang kelam, yang membuat dia enggan bersuara dan memilih tinggal sendiri di gubuknya.

Novel Basirah ini membahas isu-isu penting yang ada di masyarakat. Pertama, isu seksual yang kental dibahas pada bagian yang menjelaskan bagaimana pertemuan Mama dan Papa pada sebuah bar di Jakarta hingga Imi terbentuk. Papa Imi saat itu adalah sosok suami dan sudah memiliki tiga anak. Bagian lainnya ketika menjelaskan masa lalu Nenek Wu yang diperkosa beramai-ramai hingga dia mempunyai anak. Nenek Wu kemudian pindah ke Batavia dan menjadi perempuan penghibur.

Kedua, perdagangan anak yang dialami Imi setelah dia diculik. Bagian ini akan kita temukan di penghujung novel sebagai jawaban pertanyaan kemana Imi menghilang dan siapa pelakunya. Di akhir novel pembaca akan disodorkan sosok Imi dewasa, yang lebih bijaksana menerima takdir hidup yang menimpanya.

Ketiga, tentang mendidik anak, yang lumayan berat dilakukan oleh orang tua. Bagian ini lebih banyak dibahas dari sudut pandang Imi yang melihat orang dewasa di sekitarnya. Dia punya penjelasan, penilaian, dan kesimpulan atas apa yang dia lihat dan dengar dari orang dewasa dalam versi anak-anak. Sehingga novel ini bagus dibaca oleh pembaca dewasa untuk memahami jalan pikiran anak-anak yang kadang berseberangan dengan pikiran orang dewasa.

Kesan saya setelah membaca novel ini justru melelahkan. Alasannya karena penggunaan kalimat tidak langsung membuat pembaca butuh ekstra perhatian untuk memahami narasinya. Ditambah setiap paragrafnya lumayan panjang-panjang. Selain itu, novel ini terbilang 'unik yang berat' karena dua hal. Satu, penggambaran situasi Kota Basirah yang sepi dan menyeramkan. Lumayan susah dibayangkan karakter kotanya. Dua, tokoh-tokoh yang menonjol punya keunikan yang tidak umum. Mama berprofesi pembaca kartu tarot, Imi yang pikirannya liar tidak sesuai umurnya, Paman Pohon yang penolong tapi tidak jelas gambaran besar kehidupannya, Nenek Wu yang memilih menjadi pendiam dan punya ciri seperti nenek sihir, dan Bolok, anjing peliharaan yang berbadan besar yang setelah kematiannya suka muncul di benak Imi sebagai hantu.

Terlepas dari label cerita 'unik yang berat', novel ini justru mengandung banyak sindiran yang dilontarkan Imi kepada orang-orang dewasa. Imi seperti membolak-balikkan semua pikiran orang dewasa yang bisa berubah-ubah kapan pun mengikuti keadaan. Tentunya dalam bahasa anak-anak. Dan secara keseluruhan saya memberi nilai 2 bintang dari 5 bintang.

Sekian ulasan dari saya, terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!

Agustus 31, 2019

[Resensi] Seumpama Matahari - Arafat Nur


Judul: Seumpama Matahari
Penulis: Arafat Nur
Editor: Yetti A. KA
Penerbit: DIVA Press
Terbit: Cetakan pertama, Mei 2017
Tebal buku: 144 hlm.
ISBN: 9786023914159

"Cinta Seumpama matahari, ia tidak pernah mengharapkan cahaya dari bumi. Tapi, ia selalu memberikan cahaya bagi bumi. Biarpun bumi tidak merasakan cahayanya. (Hal. 92)

*****

Novel Seumpama Matahari terbilang tidak tebal. Dan ukuran ini cukup untuk memancing daya baca saya yang sedang merosot. Ampuh memang hasilnya. Novel ini bisa saya selesaikan sekali duduk saja.

Buku berkover kuning ini menceritakan perjalanan seorang Asrul, pemuda Aceh, yang terlibat sebagai gerilyawan dalam operasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sampai dia memutuskan untuk keluar dari GAM demi menjadi warga yang normal.

Saya sedikit terusik ketika tahu jika tokoh dalam buku ini mengambil sudut pandang pemberontak. Dalih-dalih mereka memerangi tentara demi merdeka sangat bertentangan dengan pikiran saya yang masih mencintai tanah air dengan segala permasalahannya. Tetapi penulis berhasil memberikan jawaban untuk pertanyaan kenapa tokoh utamanya harus seorang gerilyawan.

Seorang Arafat Nur seperti ingin memberikan informasi kalau beberapa anggota gerilyawan sebenarnya tidak melulu memiliki ambisi memberontak. Asrul misalnya, dia ini memang punya dendam kepada tentara atas terbunuhnya Ayahnya yang ditembaki tentara sebagai pelampiasan karena gagal menangkap pemberontak. Karena ajakan kawannya dan hasutan peristiwa pembunuhan itu, Asrul akhirnya masuk ke pelatihan demi menjadi anggota gerilyawan.

Berjalannya cerita, Asrul akhirnya tiba di satu titik lelah dengan ambisi perangnya terhadap tentara. Dia menimbang perasaan ibunya, adiknya, bahkan calon istrinya. Muncullah kehendak hati untuk menjadi warga biasa saja yang menjalani kehidupan normal tanpa harus merasa dikejar untuk ditangkap tentara.

Hal menarik yang saya temukan dari membaca buku ini salah satunya adalah sejarah GAM itu sendiri. Penulis membuka selapis demi selapis mengenai GAM. Kapan GAM mulai kambuh. Apa latar belakang GAM muncul. Bahkan bagaimana senjata bisa dimiliki oleh GAM. Akhirnya setelah selesai membaca buku ini, saya paham eksistensi GAM yang dipicu oleh pemerintah yang tidak adil dalam membangun daerah di Aceh (sesuai novelnya).

Biarpun buku ini menceritakan bagian sejarah Indonesia, bobotnya tidak terlalu berat seperti buku teks di sekolahan. Mungkin karena penulis memasukkan unsur roman antara Asrul dan perempuan berambut hitam yang wangi. Justru roman ini paling melekat di benak saya begitu cerita ditamatkan.

Sepanjang mengikuti kisah roman Asrul, pikiran saya ikut liar berandai-andai. Jujur saja, saya sempat membayangkan si Asrul ini akan melakukan hal senonoh dengan perempuan yang ia sukai. Sebabnya, Asrul ini muda dan jiwanya masih meletup-letup. Kisah awal ketika dia bertemu dengan gadis itu, ada aura nakal yang muncul. Bahkan ketika Asrul serumah dengan perempuan itu, narasi mengesankan kalau Asrul hanya pemuda biasa yang punya birahi juga. Sayangnya latar Aceh menyelamatkan cerita jatuh ke kosnep liar yang saya bayangkan tadi. Tahu sendiri, Aceh sangat menjunjung tinggi nilai keislaman, bahkan itu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan di dalam novel ini menyinggung pandangan soal pacaran di kalangan warga Aceh yang dianggap sebagai perilaku yang tak pantas. Kalau sampai ketahuan warga sedang berduaan di tempat sepi, bisa diarak dan disidang. Cukup bikin menelan ludah bukan jika dikaitkan dengan kondisi saat ini?

Alasan saya akhirnya lancar jaya menamatkan buku ini, karena ditopang juga oleh diksi yang digunakan penulis. Arafat Nur yang beberapa kali mendapat apresiasi karyanya, tampaknya lebih nyaman menggunakan bahasa baku ketimbang bahasa gaul dalam buku ini. Bisa jadi pengaruh latar di Aceh dan bukan di Jakarta, sehingga bahasa yang dipakai adalah bahasa santun yang memang dipergunakan di sana.

Ternyata tetap saja ada yang kurang terhubung antara saya dan buku Seumpama Matahari ini. Terutama mengenai penokohan Asrul dan karakter-karakter lainnya. Saya kesulitan membayangkan fisik dan sifat Asrul ini. Tidak ada penjelasan spesifik Asrul ini mukanya seperti apa, kecuali rambutnya yang panjang. Sifatnya pun masih bias, dia ini seperti apa. Pekerja keras bukan. Pemberani sekali juga bukan walau tersebut sebagai gerilyawan. Humoris juga tidak. Dewasa dan bijak juga tidak ada narasi yang kesana. Saya tidak menemukan karakter menonjol dari Asrul yang bisa mengesankan saya, syukur-syukur bisa diteladani.

Melihat kekurangan (menurut saya) tadi itu, saya jadi ingin membaca buku Arafat Nur lainnya. Terlebih ingin membandingkan cara beliau bercerita dan bermain diksi. Apakah lebih memikat dari yang ini atau justru sama saja karena itu ciri beliau?

Sebagai penutup, novel ini enak, nyaman, dan sangat bagus dibaca karena muatan sejarahnya yang bisa menambah wawasan pembaca soal salah satu peristiwa besar yang pernah terjadi di tanah Aceh, yaitu Gerakan Aceh Merdeka.

Catatan: Nggak ada penanda buku/bookmark

*****

Padukanlah pikiran dan perasaanmu, niscaya kau mampu mengendalikan dunia ini. (Hal. 24)

"Nak, berusaha untuk mati itu lebih cepat berhasil daripada kau berusaha untuk terus hidup." (Hal. 55)

Kebahagiaan selalu saja diakhiri perpisahan. Sebagaimana kehidupan yang dipisahkan kematian. (Hal. 58)

Sejujur-jujurnya manusia tetap pernah berbohong. (Hal. 109)